Sabtu, 29 September 2012

Mengapa Geert Wilders Menjadi Seorang yang Sangat “Anti-Islam”?




Mengapa Geert Wilders “anti-Islam,” danapa pesannya pada orang-orang Muslim

Pejuang kebebasan Geert Wilders membuat sebuah pernyataan penting dan mencerahkan di MuslimsDebate.com: “Mengapa ia menjadi anti-Islam dan apa pesannya kepada orang-orang Muslim?”

Saya pertama kali mengunjungi sebuah negara Islam pada tahun 1982. Usia saya pada waktu itu 18 tahun dan saya bepergian dengan seorang teman keturunan Belanda dari Eilat di Israel, ke sebuah resort Laut Merah Mesir Sharm-el-Sheikh. Kami berdua bepergian dengan ransel dan uang kami sangat terbatas pada waktu itu. Saya masih ingat akan impresi pertama saya mengenai Mesir: saya takjub atas keramahan, sikap bersahabat dan suka menolong dari orang-orangnya.
Saya juga ingat impresi kedua yang kuat yang saya rasakan mengenai Mesir: Hal yang mengejutkan saya adalah bagaimana orang-orang yang sangat bersahabat dan ramah ini kemudian menjadi sangat ketakutan.
Selagi kami ada di Sharm el-Sheikh, President Mubarak mengunjungi tempat ini.
Saya ingat ketakutan yang tiba-tiba turun di kota kecil ini ketika diumumkan bahwa Hosni Mubarak akan datang untuk sebuah kunjungan yang tidak direncanakan; saya masih ingat saat melihat iring-iringan mobil hitam pada hari ia berkunjung dan merasakan ketakutan yang hampir-hampir secara fisik, seperti orang yang tengah mengalami demam tinggi di siang yang terik di musim panas.
Ini adalah sebuah pengalaman yang aneh; Mubarak tidak dianggap sebagai tiran Islamik yang kejam, namun ketakutan yang dirasakan oleh rakyat biasa Mesir kepada pemimpin mereka bahkan masih dirasakan oleh saya. Saya memikirkan, apa yang dirasakan oleh orang-orang Saudi ketika Raja mereka ada di sebuah kota, apa yang dirasakan oleh orang-orang Libya ketika Gaddafi mengumumkan kedatangannya, apa yang harus dirasakan oleh orang-orang Irak ketika Saddam Hussein ada di dekat mereka. Beberapa tahun kemudian, saya membaca Qur’an mengenai apa yang dirasakan oleh orang-orang Arab saat mereka ada di hadapan Muhammad, yang, sebagaimana digambarkan oleh beberapa ayat,”menjatuhkan teror ke dalam hati mereka” (Sura 8:12, 8:60, 33:26, 59:12).

Dari Sharm el-Sheikh, saya dan teman saya pergi ke Kairo. Kota ini miskin dan sangat kotor. Saya dan teman saya sungguh terheran-heran bagaimana tempat yang miskin dan dekil seperti ini bisa menjadi tetangga Israel, yang demikian bersihnya. Penjelasan dari orang-orang Arab, dimana dengan mereka kami mendiskusikan kemiskinan mereka, adalah bahwa mereka sama sekali menolak menyalahkan diri mereka atas kondisi mereka yang memprihatinkan. Mereka katakan bahwa mereka itu adalah korban dari konspirasi global dari “imperialisme” dan “Zionisme”, yang bertujuan membuat orang-orang Muslim menjadi miskin dan bersikap tunduk. Saya temukan bahwa penjelasan itu tidak meyakinkan. Insting saya memberitahu saya bahwa ini terjadi karena adanya perbedaan budaya antara Israel dan Mesir.
Saya melakukan sebuah kesalahan di Kairo. Kami hampir-hampir kehabisan uang dan saya merasa haus. Orang bisa membeli segelas air pada orang-orang yang mengumpulkan air untuk umum. Kelihatannya tidak bersih tetapi saya meminumnya. Setelah itu saya terkena penyakit diare yang parah. Saya pergi ke penginapan murah dimana orang bisa menyewa sebuah bidang kecil di lantai seharga dua dollar sehari. Di sanalah saya berbaring selama beberapa hari, seperti sebuah timbunan kesengsaraan di tengah-tengah keramaian, kamar yang bau, dengan sepuluh orang pria lainnya. Dulu Mesir pernah menjadi peradaban yang paling maju di dunia. Mengapa ia tidak tidak terus berkembang bersama-sama dengan bagian dunia lainnya?
Di akhir tahun 1890an, Winston Churchill adalah seorang tentara dan seorang koresponden perang di British India (kini menjadi Pakistan) dan Sudan. Churchill adalah seorang pria muda yang cerdik. Waktu selama berbulan-bulan ketika ia berada di Pakistan dan Sudah membuat dia bisa memahami dengan baik apa masalah dengan Islam dan “kutukan-kutukan yang akan dialami oleh para penggemarnya.”
“Disamping sikap fanatik yang gila-gilaan,…..,dalam agama ini pun ada sikap fatalistik yang menakutkan,” tulisnya. ”Efeknya bisa terlihat dengan jelas di banyak negara. Kebiasaan membuang-buang waktu, sistem agrikultur yang ceroboh, metode dagang yang melempem, dan keberadaan properti yang tidak aman dimana para pengikut Nabi Muhammad memerintah atau tinggal…. Faktanya adalah bahwa dalam hukum Muhammad, setiap wanita harus menjadi milik satu-satunya dari seorang pria sebagai properti absolutnya, apakah seorang anak, seorang istri, atau seorang selir. Kita harus menunda kepunahan akhir dari perbudakan hingga iman Islam telah menjadi sebuah kekuatan besar diantara manusia. Orang-orang Muslim individual mungkin akan memperlihatkan kualitas yang baik sekali – tetapi pengaruh dari agama ini melumpuhkan perkembangan sosial dari mereka yang mengikutinya.” Kemudian Churchill menyimpulkan: ”Tidak ada sesuatu pun kekuatan yang terus mengalami kemunduran yang bisa tetap eksis dalam dunia.”
Ada orang yang mengatakan bahwa saya membenci orang-orang Muslim. Saya tidak membenci orang-orang Muslim. Yang menyedihkan saya adalah bagaimana Islam telah merampok martabat mereka. Apa yang dilakukan oleh Islam terhadap orang-orang Muslim begitu kasat mata. Sebagai contoh, bagaimana mereka memperlakukan anak-anak gadis mereka. Pada bulan Maret tanggal 11 tahun 2002, lima belas anak-anak perempuan usia sekolah tewas sementara mereka berusaha untuk keluar dari gedung sekolah mereka di kota suci Mekah. Saat itu api tengah membakar gedung itu. Para gadis ini lari ke gerbang sekolah tetapi gerbang itu dikunci. Kunci dipegang oleh penjaga yang adalah seorang pria, yang menolak untuk membuka pintu gerbang karena gadis-gadis itu tidak mengenakan pakaian yang sesuai dengan yang diwajibkan bagi para wanita, menurut hukum Saudi Arabia, yaitu: wajah berkerudung dan pakaian yang lebar dan berjumbai.
Gadis-gadis yang tengah berpakaian “tidak sopan” ini, dalam keadaan bingung mencoba untuk menyelamatkan hidup mereka yang masih muda itu. Tetapi Polisi Saudi memukuli mereka dan memaksa mereka untuk masuk kembali ke gedung yang sedang terbakar. Para petugas Mutaween, “Bertugas untuk mempromosikan nilai-nilai Islam dan mencegah tindakan asusila,” yaitu polisi yang terkenal sangat keras di Saudi Arabia, juga memukuli orang-orang yang tengah lewat dan petugas pemadam kebakaran yang berusaha menolong para gadis itu. “Jika kamu mendekati mereka, maka kamu berdosa”, demikian peringatan yang dikatakan oleh petugas polisi itu. Bukan hanya berdosa, tetapi tindakan seperti itu juga dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal.
Perempuan tidak memiliki nilai yang tinggi dalam Islam. Qur’an mengatakan kelahiran seorang anak perempuan membuat “wajah seorang ayah menjadi gelap dan dia akan dipenuhi dengan kemuraman” (Sura 43:15). Namun demikian, insiden di sekolah yang ada di Mekah itu menyebabkan munculnya reaksi kemarahan. Islam itu tidak humanis; tetapi orang-orang Muslim adalah manusia, yang bisa mengasihi – dan ini adalah sesuatu yang dibenci oleh Muhammad. Kemanusiaan bisa ditemukan dalam diri para ayah Mekah yang meratapi kematian anak-anak gadis mereka; juga bisa ditemukan dalam diri petugas pemadam kebakaran yang berkonfrontasi dengan Mutaween, sementara Mutaween memukuli anak-anak gadis itu supaya mereka masuk kembali ke dalam sekolah yang sedang terbakar itu. Juga para Jurnalis dari surat kabar Saudi, untuk pertama kali dalam sejarah Saudi, mengkritik “para petugas yang sangat ditakuti oleh masyarakat, dan yang ditugaskan untuk mempromosikan nilai-nilai Islam dan mencegah tindakan asusila” itu.
Namun demikian, protes-protes Muslim terhadap perilaku tidak manusiawi dari Islam adalah hal yang sangat jarang dilakukan. Kebanyakan Muslim, bahkan yang tinggal di negara-negara Barat, mengunjungi mesjid-mesjid dan mendengarkan ayat-ayat Qur’an yang membuat syok, dan kotbah-kotbah yang menjijikkan tanpa memperlihatkan sikap menentangnya.
Saya sendiri adalah seorang agnostik. Tetapi orang-orang Kristen dan Yahudi meyakini bahwa Tuhan menciptakan manusia serupa dan segambar dengan diriNya. Mereka meyakini hal itu dengan cara mengobservasi diri mereka, sebagai mahluk yang bebas dan rasional, yang bisa mengasihi dan yang bisa mengenal Tuhan. Mereka bahkan bisa mempertanyakan Tuhan, sebagaimana yang sudah dilakukan oleh orang-orang Yahudi di sepanjang sejarah mereka. Tetapi sebaliknya, Qur’an menyatakan bahwa “Tak ada yang bisa diperbandingkan dengan Allah” (Sura 16:74, 42:11). Ia secara absolut berbeda dengan kita. Adalah hal yang tidak masuk akal beranggapan bahwa Allah menciptakan manusia dalam rupa dan gambarNya. Konsep Alkitabiah bahwa Tuhan itu adalah Bapa kita, juga tidak ditemukan dalam Islam. Tak ada relasi personal antara manusia dengan Allah. Tujuan Islam adalah penundukan total kepada Allah yang tidak bisa dikenal, yang harus dilayani melalui ketaatan total kepada Muhammad sebagai pemimpin dari negara Islamik (Suras 3:31, 4:80, 24:62, 48:10, 57:28). Dan sejarah telah mengajarkan kita bahwa Muhammad sama sekali bukan seorang nabi yang mengasihi dan berbelas kasihan, tetapi ia adalah seorang pembunuh massal, seorang tiran dan seorang pedofil. Orang-orang Muslim tak mungkin bisa mendapatkan seorang model yang lebih buruk lagi dari yang Satu ini.
Tanpa kebebasan individual, tidaklah mengejutkan bahwa gagasan bahwa manusia adalah agen-agen yang bertanggungjawab tak banyak berkembang dalam Islam. Muslim cenderung menjadi manusia yang sangat fatalistik. Barangkali – mari kita mengharapkannya – hanya segelintir Muslim saja yang mengintepretasikan Qur’an dengan sangat serius dan kemudian melakukan jihad untuk memerangi orang-orang kafir. Namun demikian, kebanyakan Muslim tidak pernah mengeluarkan suara mereka untuk menentang kelompok-kelompok radikal. Inilah “ketakutan fatalistik apatis” sebagaimana yang dikatakan oleh Churchill.
Penulis Aldous Huxley, yang tinggal di Afrika Utara pada tahun 1920an, melakukan observasi berikut: ”Mengenai sebab akibat dari segala sesuatu – persisnya bagaimana hal-hal itu terjadi – kelihatannya mereka sama sekali tidak tertarik untuk mengetahuinya. Bahkan mereka sama sekali tidak mengakui bahwa ada yang disebut sebagai sebab akibat, karena menurut ajaran Islam, Allah secara langsung bertanggungjawab atas segala sesuatu. “Apakah anda berpikir hujan akan turun?” Anda kemudian menunjuk kepada awan yang ada di atas sana. Tetapi jawaban mereka adalah: “Jika Allah berkehendak.”
Anda melewati rumah sakit setempat. “Apakah dokter-dokternya bagus?” “Di negara kami, kami katakan bahwa dokter sama sekali tidak bermanfaat,” jawab orang-orang Arab. Jika Allah berkehendak seseorang untuk mati, maka ia akan mati. Jika tidak, maka ia akan sembuh.”
Islam menghilangkan kebebasan orang-orang Muslim. Ini adalah sesuatu yang memalukan, karena orang-orang yang bebaslah yang bisa melakukan hal-hal yang besar; dan sejarah telah memperlihatkan hal ini. Orang Arab, Turki, Iran, India, Indonesia memiliki potensi yang sungguh luar biasa. Jika mereka tidak dibelenggu oleh Islam, jika mereka bisa membebaskan diri mereka dari gandar Islam, jika mereka berhenti menjadikan Muhammad sebagai panutan, dan jika mereka bisa menyingkirkan Qur’an, maka mereka akan sanggup meraih hal-hal yang besar yang bukan hanya akan bermanfaat bagi mereka, tetapi juga bagi seluruh dunia.
Sebagai seorang Belanda, orang Eropa dan seorang politikus Barat, tanggungjawab saya secara khusus adalah bagi orang-orang Belanda, kepada bangsa-bangsa di Eropa dan Barat. Namun demikian, karena membebaskan orang-orang Muslim dari Islam akan memberikan manfaat bagi kita semua, maka saya dengan segenap hati akan mendukung orang-orang Muslim yang mencintai kebebasan. Pesan saya bagi mereka sudah jelas:”Fatalisme bukanlah pilihan!”
Sikap tunduk adalah hal yang memalukan.
Bebaskan diri anda sendiri.
Semuanya bergantung pada anda.
Geert Wilders

Cari artikel Blog Ini

copy right