Pages

Rabu, 28 November 2012

Kesaksian Murtadin Bangladesh


Image


Tommy dari Bangladesh.

Aku dibesarkan sebagai Muslim Sunni, meskipun
sebenarnya keluarga kami adalah keluarga sekuler. Sanak keluargaku masih memeluk Islam, tapi tidak terlalu taat beribadah. Mereka tidak makan babi, minum minuman keras, atau sejenisnya, tapi aku jarang melihat mereka sholat lima waktu. Karena itulah, aku menilai keluarga hanyalah Muslim KTP.

Meskipun agak sekuler, ayahku sebenarnya adalah orang yang paling taat beribadah di keluargaku. Dialah yang berusaha mengajarku tentang Islam. Dia membawaku sholat Jum’at, dan memasang CD tentang pelafalan Qur’an sewaktu mengantarku ke sekolah pakai mobil. Dia juga menceritakan kisah² sang Nabi padaku. Karena sikapnya inilah maka keluargaku masih beriman pada Islam.

Aku selalu takut untuk memberitahu orangtuaku bahwa aku sudah murtad. Aku murtad di usia 17 tahun dan baru di usia 19 tahun aku berani memberitahu orang lain. Sekarang aku berusia 20 tahun.

Orangtuaku mengetahui kemurtadanku bukan langsung dariku. Mereka hanya punya dua anak: aku dan kakak perempuanku Samiah. Aku pertama kali memberitahu Samiah dan dia terkejut, tapi hanya bilang “O baiklah” tanpa berkata apapun lagi. Aku minta padanya untuk merahasiakan hal ini karena aku ingin menyampaikan pada orangtuaku sendiri. Tapi ternyata Samiah memberitahu orangtuaku.

Ayahku dengan cepat mengetahui kemurtadanku, dan aku tidak mau bicara dengannya di telpon. Saat itu aku hidup di negara lain (Amerika Serikat). Kupikir, jika aku pulang ke rumah untuk menjenguknya, maka aku bertatap muka dan bicara dengannya.

Di bulan Desember 2008, aku pulang di masa liburan musim dingin. Saat itulah aku punya kesempatan bicara langsung padanya.

Aku sangat kaget ketika melihat reaksi ayahku. Dia tidak marah dan dia malah mengerti. Dia berkata padaku bahwa setiap orang bisa meragukan agama, dan terserah masing² bagaimana dia menentukan jalan hidupnya sendiri. Dia berkata bahwa yang terpenting baginya adalah aku hidup dengan baik dan berguna. Dia berulangkali mengatakan dia tidak mau memaksakan Islam padaku.

Aku sangat senang sekali mendengar pendapat ayahku. Sejak itu aku merasa sangat lebih dekat dengannya. Tapi ibuku tidak bisa menerima keputusanku semudah itu. Dia memang lebih takhayul dibandingkan ayah dalam melihat kehidupan. Kakak perempuanku tetap tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku adalah atheis. Dia bilang bahwa ini hanya sesaat saja. Kubiarkan saja dia beranggapan begitu.

Sekarang aku benar² telah lepas dari Islam. Kukira dulu Muslim akan bersikap keras dalam menghadapi Muslim lain yang murtad. Meskipun ini benar pada umumnya, tapi ternyata ada juga perkecualian. Pada kenyataannya, hanya sedikit Muslim yang benar² relijius. Aku lebih suka bergaul dengan para Muslim KTP daripada Muslim kaffah.