Kita
semua bertanya, atas dasar teologis apakah maka perempuan kanak-kanak
dianjurkan untuk disunat klitorisnya? Karena kisah Nabi Ibrahim? Memang
diseluruh kutipan diatas, tampak kekonyolan yang paling tidak
bertanggung jawab, ketika diriwayatkan dongeng Islamik yang menyatakan
bahwa khitan untuk perempuan pertama kalinya dilaksanakan terhadap Siti
Hajar! Dikisahkan bahwa karena Sarah cemburu terhadap Siti Hajar, maka Ibrahim-lah yang menyarankan Siti Sarah agar melubangi kedua telinga dan menyunat kemaluan Siti Hajar….
Oleh: Yusuf Assidiq
Masalah khitan terhadap perempuan terus menuai perdebatan dan pertanyaan. Tak sedikit keluarga Muslim di Tanah Air merasa
Sejak terbitnya Surat Edaran (SE) Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI Nomor HK 00.07.1.31047 a, tertanggal 20 April 2006, tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan, hampir sebagian besar bayi perempuan tak lagi dikhitan. Menurut surat edaran itu, sunat perempuan tidak bermanfaat bagi kesehatan, justru merugikan dan menyakitkan.
Lalu bagaimana menurut agama Islam? (Ini sudah dijelaskan dalam pernyataan dan fatwa MUI …. MUI tolak pelarangan khitan perempuan)
Dalam
fatwa itu, para ulama menegaskan, khitan perempuan tak boleh dilakukan
secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan
eksisi) yang bisa mengakibatkan dharar (bahaya).
Sebagian
ulama dan fukaha, mengungkapkan, khitan bagi wanita akan menjadi
kebaikan bila dilakukan. Dalam sebuah hadis riwayat Syaddad bin Aus
dijelaskan, ‘’Khitan adalah sunnah bagi kaum lelaki, dan merupakan
kebaikan bagi kaum wanita.’’
SANDARAN AGAMA ISLAM UNTUK KHITAN PEREMPUAN
Khitan terhadap laki-laki telah dicontohkan Nabi Ibrahim AS. Sedangkan khitan untuk perempuan pertama kalinya dilaksanakan Siti Hajar.
Dalam satu riwayat diungkapkan, bermula ketika Siti Sarah, isteri
Ibrahim, memberikan izin kepada Ibrahim untuk menikahi Siti Hajar. Siti
Hajar pun hamil. Ini menimbulkan kecemburuan Siti Sarah. Ibrahim menyarankan agar Siti Sarah melubangi kedua telinga dan menyunat kemaluan Siti Hajar.
Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam bukunya berjudul Fiqh Wanita menyarankan agar tetap berpegang pada tuntunan hadis Nabi SAW.
‘’Rasulullah telah menerangkan, khitan bagi wanita akan mendatangkan kebaikan (makramah),’’ tegasnya. Di samping itu juga dapat mewujudkan kebersihan serta kesucian…
Ulama terkemuka Syekh Yusuf al-Qardhawi
mengakui masalah khitan perempuan telah menjadi perdebatan panjang di
kalangan dokter dengan ulama. Ada dokter yang setuju, ada pula yang
menentangnya. Begitu pula dengan ulama ada yang menganjurkan ada yang
melarang.
‘’Barangkali pendapat yang paling moderat, paling adil dan paling dekat kepada kenyataan dalam masalah ini ialah khitan ringan, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis,’’ ungkap Syekh al-Qaradhawi. Meski hadis itu tak sampai ke derajat sahih, papar dia, Nabi SAW pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi mengkhitan wanita.
‘’Barangkali pendapat yang paling moderat, paling adil dan paling dekat kepada kenyataan dalam masalah ini ialah khitan ringan, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis,’’ ungkap Syekh al-Qaradhawi. Meski hadis itu tak sampai ke derajat sahih, papar dia, Nabi SAW pernah menyuruh seorang perempuan yang berprofesi mengkhitan wanita.
Rasulullah SAW bersabda, ‘’Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.”
SISI PANDANG LAIN
A. Khitan Bagi Perempuan Dalam Perspektif Islam
Oleh: Musdah Mulia
Musdah Mulia
Isu
tentang sunat perempuan di Indonesia kembali mengemuka setelah
munculnya peraturan Menteri Kesehatan R.I. No. 1636 Tahun 2010 tentang
Sunat Perempuan. Peraturan itu dibuat berdasarkan Fatwa MUI No 9 A Tahun
2008 Tentang Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan. Sejatinya
peraturan tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan sunat perempuan di
masyarakat tidak salah kaprah. Karena itu, isi peraturan tersebut
menegaskan bahwa yang dimaksud dengan sunat perempuan adalah tindakan
menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai
klitoris. Selanjutnya, menjelaskan secara rinci bagaimana cara melakukan
sunat perempuan secara benar sesuai aturan kesehatan, serta siapa yang
berhak melakukannya.
Akan tetapi,
problemnya adalah siapa yang dapat memastikan bahwa pelaksanaan sunat
perempuan di masyarakat betul-betul dilakukan sesuai peraturan tersebut?
Peraturan Menkes tersebut alih-alih menjadi peringatan bagi pelaksanaan
sunat yang seringkali membahayakan perempuan, malah masyarakat
menjadikannya sebagai rujukan hukum bagi keharusan melaksanakan sunat
perempuan. Peraturan tersebut justru dibaca sebagai suatu pembenaran hukum bagi keharusan sunat perempuan.
Hal
ini sungguh memprihatinkan mengingat sejumlah penelitian mengungkapkan,
dalam praktiknya sunat perempuan lebih banyak menimbulkan bencana (dharar) bagi tubuh perempuan, seperti pemotongan klitoris dan bagian vagina lainnya sehingga perempuan mengalami gangguan sepanjang hayatnya, terkait hak dan kesehatan reproduksinya.
B. Kecaman Dunia/PBB
Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Majelis Umum mengecam praktik sunat
perempuan. Seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, diminta PBB
untuk menghentikan praktik yang ditengarai mengancam sekitar tiga juta gadis setiap tahun.
Menurut
data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ada sekitar 140 juta gadis yang
disunat. Pelaksanaan sunat perempuan lazim ditemui di negara-negara
Afrika, Timur Tengah, dan Asia, dan rata-rata dilandaskan pada alasan
budaya, religi, maupun sosial.
Warga
Uganda berkumpul menghadiri upacara khitan bagi anak perempuan di
distrik Bukwa, di timur laut ibukota Kampala (foto: dok). Di Indonesia,
beberapa daerah masih menerapkan tradisi khitan bagi perempuan, meski di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Mesir tidak dilakukan.
Amnesty
International mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan
praktik khitan bagi perempuan dengan mencabut Peraturan Menteri
Kesehatan RI tentang sunat perempuan.
Pemerintah
melalui Kementerian Kesehatan membantah bahwa peraturan Menteri
Kesehatan tentang sunat bagi perempuan merupakan legitimasi mutilasi
kelamin perempuan.
Peraturan
Menteri Kesehatan RI tentang sunat perempuan dinilai Amnesty
International kian melegitimasi praktek sunat terhadap perempuan karena mengatur
secara detil tata laksana khitan pada perempuan sekaligus memberi
otoritas kepada pekerja medis seperti dokter, bidan dan perawat, untuk
melakukannya.
Selain itu aturan tersebut menurut Amnesti Internasional juga bertentangan
dengan konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia.
C. Menyayangkan Sikap Pemerintah & MUI
Kepala
Lembaga Kependudukan dan Gender Universitas YARSI Jakarta, Professor
Jurnalis Uddin, menyayangkan sikap pemerintah yang membatalkan aturan
larangan khitan perempuan tersebut.
Peraturan Menteri kesehatan tahun 2010 mengenai tata laksana khitan perempuan, menurut Prof Jurnalis Uddin, justru semakin memperbesar resiko kerugian pada perempuan yang dikhitan.
“Pertama
dari segi kesehatan tidak ada guna. Yang ada malah kerugian, karena ada
luka, mungkin pendarahan, serta kemungkinan terjadi infeksi; jadi
sebenarnya tidak ada manfaat. Di Saudi sendiri tidak ada khitan
perempuan, di Yordania tidak ada khitan perempuan, di Libanon tidak ada,
di Turki tidak ada. Jadi di negara yang konvensional saja tidak ada.
Dan di Mesir, ada fatwa dari mufti bahwa khitan perempuan tidak boleh
dilakukan. Nah Indonesia (men)contoh yang mana?” ungkap Prof Jurnalis Uddin.
Untuk
itu, Professor Jurnalis Uddin juga mendesak Kementerian Kesehatan
segera mencabut peraturan Menteri Kesehatan tentang khitan perempuan.
Kementerian Kesehatan bersama dengan pakar-pakar kesehatan harus
meyakinkan Majelis Ulama Indonesia bahwa sunat perempuan tidak mempunyai
manfaat apapun.
Prof
Jurnalis Uddin menambahkan, “Harus menyakinkan Majelis Ulama. Melakukan
penelitian sehingga nanti pakar-pakar bisa menyakinkan Majelis Ulama
bahwa fatwanya keliru.
Dan itu biasa, di Majelis Ulama suatu fatwa tidak berarti itu fatwa
seumur hidup. Bisa saja fatwa itu setelah 5 tahun diubah lagi karena ada
temuan-temuan baru, sehingga ada dasar untuk mengubahnya.”
Praktek
khitan bagi perempuan oleh sebagian negara di dunia saat ini memang
sudah dilarang. Negara-negara di Afrika tahun 2010 lalu bahkan sampai
menggelar konferensi internasional untuk mendorong gerakan penghapusan
atau pelarangan khitan pada organ genital perempuan yang dinilai melanggar HAM.
Umumnya praktek khitan bagi perempuan ini dilakukan atas alasan budaya ataupun mengikuti perintah agama. Tetapi
pada kelanjutannya, praktek khitan pada perempuan justru menyebabkan
infeksi, masalah pada saluran kencing, trauma psikis, komplikasi saat
melahirkan dan bahkan pada beberapa kasus menyebabkan pendarahan.
D. Komentar Kaum Umum:
Kita
semua bertanya, atas dasar teologis apakah maka perempuan kanak-kanak
dianjurkan untuk disunat klitorisnya? Karena kisah Nabi Ibrahim? Memang
diseluruh kutipan diatas, tampak kekonyolan yang paling tidak
bertanggung jawab, ketika diriwayatkan dongeng Islamik yang menyatakan
bahwa khitan untuk perempuan pertama kalinya dilaksanakan terhadap Siti Hajar! Dikisahkan bahwa karena Sarah cemburu terhadap Siti Hajar, makaIbrahim-lah yang menyarankan Siti Sarah agar melubangi kedua telinga dan menyunat kemaluan Siti Hajar….
Wahai
para Muslim! Tidakkah kedua hamba Allah ini – Ibrahim dan Sarah – telah
digambarkan sebagai pasangan yang PALING BENGIS (untuk Sarah &
Ibrahim), SEKALIGUS TOLOL (untuk Ibrahim)?
Jikalau
benar terjadi kebengisan begini besar, maka tentulah penyunatan
kemaluan Hajar telah dilakukan secara kejam atas klitoris Hajar, alias
melakukan sebuah mutilasi balas-dendam! Dengan demikian maka instruksi
Muhammad (dan kini MUI) untuk tidak boleh
melakukan mutilasi potong klitoris itu hanyalah sebuah ketentuan yang
tidak benar (!) karena tidak selaras dengan sandaran Islamik-nya dimana
Sarah dalam kemarahannya betul-betul memangkas ICON SEX yang
direpresentasikan oleh klitoris Hajar!
Salah kaprahlah Rasulullah SAW yang bersabda, ''Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami."