Kamis, 24 Januari 2013

Kelompok-kelompok Islam di Indonesia Menolak Undang-undang Kesetaraan Jender (sejak dahulu islam selalu merendahkan wanita dasar muhammad bahlul)

Nampaknya keberatan terbesar mereka adalah perempuan dapat dengan bebas memilih suami. Hukum Islam mengijinkan kaum pria untuk menikahi wanita non Muslim, namun tidak sebaliknya, dengan asumsi bahwa orang non Muslim akan tunduk kepada orang Muslim, dan bahwa  seisi rumah-tangga akan mengikuti agama suami.


Seperti dikemukakan pada akhir the posting yang mendahului tulisan ini, “usaha-usaha untuk melegislasi perlindungan terhadap
hak-hak perempuan mendapatkan protes atas nama Syariah”

Terimakasih karena telah memuat tulisan kami. "Indonesia: Kelompok-kelompok Islam Menolak Undang-undang Kesetaraan Jender", dari AdnKronos International, 15 Maret March (terimakasih kepada  The Religion of Peace):

Jakarta, 15 Maret (AKI/Jakarta Post) – Enam organisasi Islam terbesar di Indonesia telah menyuarakan keberatan terhadap Undang-undang keadilan dan kesetaraan jender, mereka mengatakan bahwa beberapa artikelnya bertentangan dengan nilai-nilai Islam. 

Keberatan-keberatan tersebut disampaikan pada pertemuan konsultasi antara organisasi-organisasi dan Departemen Agama dan komisi urusan-urusan sosial.  
Kritik juga datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Musyawarah Organisasi - Ikatan Wanita Islam (BMO-IWI), Aisyiah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Partai Umat Islam (PUI) dan  Muslimah NU.

Para perwakilan, yang semuanya perempuan, mengatakan bahwa undang-undang tersebut dapat melanggar hukum waris Islam, pernikahan dan hak-hak perempuan untuk menjadi ibu dan istri. Mereka mengatakan bahwa artikel 12 dari undang-undang tersebut, sebagai contoh, yang mengemukakan bahwa setiap pria dan wanita dapat dengan bebas memilih suami atau istri, bertentangan dengan hukum Islam yang menganjurkan agar pengantin pria dan wanita mempunyai keyakinan yang sama. 

Nampaknya keberatan terbesar mereka adalah perempuan dapat dengan bebas memilih suami. Hukum Islam mengijinkan kaum pria untuk menikahi wanita non Muslim, namun tidak sebaliknya, dengan sumsi bahwa orang non Muslim akan tunduk kepada orang Muslim, dan bahwa  seisi rumah-tangga akan mengikuti agama suami.

Eneng Zubaedah dari MUI mengatakan bahwa Islam sebagai agama dengan keras meregulasi proporsi warisan antara seorang pria dan wanita, yaitu dua banding satu.  
“Kita harus menyadari bahwa itu juga dapat bertentangan dengan ide di balik undang-undang tersebut”, ujar  Eneng Zubaedah.

Juru bicara HTI  Iffah Ainur Rochmah mengatakan bahwa kesetaraan jender yang mendorong kaum wanita untuk bekerja pada akhirnya akan lebih banyak menimbulkan konflik dalam pernikahan. “Pada tahun 2009, statistik dari Jakarta  mengemukakan bahwa angka rata-rata perceraian para guru meningkat terutama karena para istri memiliki gaji yang lebih tinggi, dan dengan demikian merasa lebih superior”, ujarnya ...  

Itu kedengarannya sedikit seperti proyeksi kesombongan yang mudah terluka. Nampaknya mereka mengesampingkan tanggung-jawab dengan tidak mencari kesalahan tanpa iri hati, tetapi dengan “memprovokasi” kecemburuan oleh karena pasangannya lebih berhasil, dan menjadi lebih mandiri. Sudah tentu, taktik yang sama seringkali digunakan jika terkait dengan kemarahan.

Cari artikel Blog Ini

copy right