Isu hakiki dari “ayat-ayat setan” ini adalah, bagaimana
mungkin suara Jibril yang mewakili Allah bisa rentan terhadap intrusi
suara setan? Bagaimana mungkin Muhammad kebablasan terkacau dalam
membedakan mana suara Allah dan mana suara setan? Ini hanya mungkin
bila Jibril tidak seluruhnya membawa suara Tuhan! Dan senang atau tidak
senang – memang itulah yang telah terjadi!
Salah
satu maksud dari Tuhan Elohim yang berfirman langsung dengan para
nabi-Nya (secara dialog interaktif) adalah agar tak ada nabi yang
mengkelirukan firmanNya dengan ayat dengar-dengaran dari setan.
Nabi
yang sejati tahu akan suara Tuhannya karena mereka “mengenal suaraNya”
(Yoh.10:3-4), dan mustahil setan mampu meniru ciri suaraNya. Jadi ayat
Tuhan yang maha kudus mustahil bisa disandingkan kepada ayat setan yang
maha-najis, walau sesaat saja. Penyandaran ayat setan yang
kemudian dihapuskan lagi, jelas adalah HARAM terbesar bagi kekudusan dan kehormatan Tuhan Elohim!
Namun
dalam perjalanan sejarah pewahyuan Quran, Muhammad sempat kecolongan
sesaat dengan masuknya ayat-luar yang lazimnya disebut sebagai ayat-ayat
setan, yang mana kemudian dihapuskannya. Ini diakui yang direkam dalam
Quran dan tradisi:
“Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula)
seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitan
pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang didalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya….” (Qs.22:52-53).
Baiklah
ditegaskan bahwa “ayat setan” itu sungguh bukan penemuan Salman Rusdhi,
melainkan memang dilaporkan dalam sebagian hadis Nabi yang mana cocok
dengan kesejarahannya.
“Ayat-ayat
setan” pernah hadir secara mengagetkan kepada para sahabat dan pengikut
Muhammad (khususnya 83 orang yang sedang hijrah ke Abessynia), ketika
Muhammad menerima kompromi tentang keberadaan 3 anak-anak puteri Allah:
al-Lat, al-Uzza, dan Manat. Protes dan kekacauan yang terjadi akibat
pengakuan politheisme ini menyadarkan Muhammad, yang akhirnya segera mengakui itu sebagai bisikan setan yang harus dikoreksi dan dihapuskan.
Posisi dari ayat yang dihapuskan itu adalah persis segera sesudah dua ayat ini, “Apakah kamu perhatikan Lata dan ‘Uzza? Dan Manata, ketiga yang lain?” (Qs.53:19-20), yang tadinya tersambung dengan apa yang terhapus yang berbunyi: “Mereka inilah perantara-perantara agung, Yang syafaatnya sungguh sangat diharapkan”.
Baru kemudian, ini diteruskan ke-ayat 21-22,
“Apakah bagi kamu anak laki-laki dan bagi Nya anak perempuan? Itu, kalau demikian adalah pembagian curang”.
Bukankah yang tertinggal inipun masih dirasakan sebagai bau-bau pengakuan tidak langsung dari perbincangan politeisme? (Abd.Al-Masih, The Occult in Islam, p.19)
Hassan Hanafi seorang filsuf besar Muslim (!), menegaskan bahwa apa yang terdapat dalam The Satanic Verses, yakni “cerita gharaniq” itu adalah benar!
Dikatakannya bahwa The Satanic Verses merupakan bentuk permohonan orang
non-Muslim (musyirik) yang diajukan kepada nabi, menuntut supaya tuhan
mereka diakui dan ditulis dalam wacana wahyu. Maka nabi sebagai seorang
pimpinan politik yang menghendaki terwujudnya perdamaian (kemaslahatan)
sementara bersama musuh, kemudian menerima tawaran yang menggiurkan
itu…” (Ali Harb, Kritik Nalar Al-Quran, p.58). Tidak jelas berapa
lama setelah ayat-ayat tersebut dimasukkan sebagai wacana wahyu –
akhirnya Muhammad menyadari bahwa bagian tersebut tidak bersumber dari
Tuhan. Maka ia dilain waktu menerima suatu wahyu korektif ilahi untuk
menghapuskan bagiannya…
Sarjana Islam di Indonesia, Taufik Adnan juga menulis sebagai berikut: “Dalam
butir-butir pokok, terlihat bahwa laporan hadits tentang “ayat-ayat
setan” itu dapat dibenarkan, karena agak sulit membayangkan kaum
muslimin merekayasa kisah semacam itu mengenai Muhammad. Dari sisi
sejarah, kisah ini terjadi pada saat kaum Muslimin mengalami tantangan
dan siksaan yang sangat keji, sehingga Nabi menyuruh mereka berhijrah ke
Abisinia. Dengan demikian, kisah tersebut cocok dengan konteks
kesejarahannya dan mengungkapkan kompromi yang diupayakan Nabi terhadap
orang-orang Quraisy. Barangkali pertimbangan semacam inilah yang
melandasi penerimaan sejarawan dan mufassir agung al-Thabari terhadap kebenaran kisah itu”. (Rekonstruksi Sejarah al-Quran, p229)
Isu hakiki dari “ayat-ayat setan” ini adalah, bagaimana mungkin suara Jibril yang mewakili Allah bisa rentan terhadap intrusi suara setan? Bagaimana mungkin Muhammad kebablasan terkacau dalam membedakan mana suara Allah dan mana suara setan?
Ini hanya mungkin bila Jibril tidak seluruhnya membawa suara Tuhan! Dan
senang atau tidak senang – memang itulah yang telah terjadi!
Sebab
kitapun telah menyaksikan bahwa Al-Quran Al-Karim yang katanya 100%
suaranya Allah itu sesungguhnya juga sudah terkontaminasi dengan suara
setan sejak Allah telah SUDI mengambil alih kata-kata bejat setan secara
verbatim (kata demi kata) untuk dikeluarkan kembali dari mulut Allah sendiri ! Sedemikian sehingga Allah seolah sudi menempatkan dirinya sesaat sebagai diri setan, karena terucap kata “Saya Setan”!
Tidak percaya? Lihat misalnya Qs.8:48:
“Dan
(ingatlah) ketika setan membuat mereka memandang baik pekerjaannya
seraya berkata, “Tidak seorang pun yang dapat mengalahkan kamu pada hari
ini dan sesungguhnya saya (setan) adalah
pelindungmu”.Tetapi tatkala kedua pasukan itu saling memperlihatkan
(berhadap-hadapan), setan itu berbalik belakang, seraya berkata,
“Sesungguhnya saya berlepas diri dari padamu”… (bold dari pen.).
So, bagaimanakah? Begitu miskinkah cara Allah ‘memperbendaharakan’ bahasaNya sehingga kata-kata verbatim setan, harus Allah adopsi 100% lalu dikeluarkan dari mulutNya sebagai ayat Quran (?):
(Allah berkata) Dan
ketika setan… berkata, “Tidak seorangpun yang dapat mengalahkan kamu
pada hari ini dan sesungguhnya saya (setan) adalah pelindungmu”…
Dimanapun di Alkitab, Tuhan Elohim haram menjadi mulut-antara yang mengulangi kata-kata setan untuk dijadikan bagian dari wahyuNya!
Nabi-nabi Tuhan tidak akan kecolongan seperti Muhammad sempat
kecolongan sesaat dengan “ayat-ayat setan” yang sudah kita bicarakan.
Namun disinipun kembali terjadi – walau dengan model berbeda – bahwa
suara setan verbatim juga diizinkan bercampur-baur dengan wahyu yang
keluar dari mulut Allah. Ini tentu terlalu najis dan mustahil bagi
keagungan Yahweh Semesta Alam. Maka jaminan Allah swt terhadap kemurnian
ayat-ayatNya lebih merupakan slogan-besar ketimbang fakta:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Qs 15:9).
Berlainan
dengan Alkitab dimana kata-kata setan juga ditulis didalamnya, namun
dimanapun itu bukan diulang wahyukan lewat mulut Tuhan pribadi,
melainkan ditulis oleh penyaksi Alkitab yang diinspirasikan oleh Roh
Tuhan!
Kini menjadi pertanyaan bagi setiap Muslim:
“Bolehkah
Al Quranul Karim disisi Allah, bercokol kata-kata Setan yang Allah
ucapkan meniru persis ucapan Setan, bahkan hal itu telah terjadi dalam
kekekalan di di Lauhul Mahfudz sebelum setannya sendiri diciptakan?”