Puasa
Ramadhan sesungguhnya bukan puasa yang dikenal dan dipraktikkan para
nabi sebelumnya. Ia bukan puasa yang memantang atau mengurangi nafsu
lahiriah (pantang makan-minum dan sex dll) untuk keseluruhan tenggang
waktu, melainkan semata-mata “memindahkan jam makan dan sex,” dari
pagi-sore menjadi sore-subuh selama bulan tersebut. Volume makan-minum
dan kualitasnya juga tidak disita, dipantangi atau dikurangi -- malahan
cenderung sebaliknya karena sering lebih tinggi melampiaskan nafsu
makan-minum ketimbang yang dilakukan dihari-hari/bulan biasanya.
Oleh: Ram Kampas
Puasa
Ramadhan kini bukan lagi merupakan
ibadah Islam, melainkan juga menjadi
fashion kultural. Hingar bingar dari satu keluarga besar atau
kelompok-kelompok komunitas tertentu dalam acara buka puasa misalnya
mulai menjadi aktifitas sosial yang dianggap sangat memberi makna. Puasa
Ramadhan telah diwajibkan sejak di Medinah tahun 2H kepada setiap
Muslim demi melengkapi ibadah shalat 5 waktu, yang semuanya diklaim
berlandaskan atas perintah Allah, yang satu dijemput oleh Muhammad ke
surga (malam Mikraj), yang satu diturunkan dari surga, dalam Sura
Al-Baqarah 183,
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.”
Kisah
memperoleh hukum wajib shalat jelas dikisahkan di pelbagai hadist
berkenaan dengan perjalanan malam Mikraj. Walau sangat berbau dongeng
1001 malam dan penuh detil yang saling berkontradiksi, namun itulah yang
telah dipercayai umat Muslim. Kini adakah Muslim yang tahu bagaimana
perjalanan Muhammad sampai mendapatkan hukum wajib Puasa Ramadhan?
Allah-kah yang mewajibkan puasa ini, atau seseorang lainnya? Absahkah
dan sempurnakah perintah wajib puasa itu sampai ke tangan Muhammad?
Ataukah ada unsur otak-atik dan akal-akalan manusia sehingga malah
meleset motivasinya dan sia-sia puasanya? Inilah sejumlah kecil fakta
yang mudah diperlihatkan, namun sering dialpakan.
Fakta-1. Puasa Islamik bukan puasa nabi-nabi sebelumnya.
Puasa
Ramadhan sesungguhnya bukan puasa yang dikenal dan dipraktikkan para
nabi sebelumnya. Ia bukan puasa yang memantang atau mengurangi nafsu
lahiriah (pantang makan-minum dan sex dll) untuk keseluruhan tenggang
waktu, melainkan semata-mata “memindahkan jam makan dan sex,” dari
pagi-sore menjadi sore-subuh selama bulan tersebut. Volume makan-minum
dan kualitasnya juga tidak disita, dipantangi atau dikurangi -- malahan
cenderung sebaliknya karena sering lebih tinggi melampiaskan nafsu
makan-minum ketimbang yang dilakukan dihari-hari/bulan biasanya. Ia
tidak meninggalkan apa-apa seperti yang dicatatkan dalam hadits riwayat
Ibn Khuzaimah, kecuali menggesernya,
“Meninggalkan
makannya karena-Ku, meninggalkan minumnya karena-Ku, meninggalkan hawa
nafsunya karena-Ku, dan meninggalkan hubungan suami istri karena-Ku” (HR
Ibn Khuzaimah).
[Bandingkan
dengan puasa umat “ahli kitab” (Yahudi dan Kristiani) yang samasekali
bukan asal menggeser jam makan, melainkan melandaskan dasar berpuasa
pada “suasana perkabungan”, suasana jeritan batin, penyesalan/minta
pengampunan dosa, keprihatinan atau kepedulian (concern) yang sangat
mendalam terhadap percaturan dan isu kehidupan tertentu. Dan karenanya
dengan segala rendah hati – bahkan hancur hati – sengaja mencari wajah
dan welas-asih Tuhan, mendekatkan diri secara khusus dengan Tuhannya,
dengan betul-betul meninggalkan nafsu makan-minum dan
lain-lain nafsu kedagingan. Puasa inilah yang dilakukan secara pribadi
atau berkelompok selama beberapa waktu yang dianggap perlu oleh pihak
yang berpuasa, bisa sehari, atau beberapa hari]. Jadi puasa Ramadhan ini
sungguh tidak berakar dari tata ritual nabi-nabi, yang mana merupakan
perolehan dari sumber lain yang tidak berasal dari Alkitab.
Fakta-2.
Puasa Ramadhan hanyalah sebentuk disiplin jasadiyyah atas pembalikan
waktu makan, yang cenderung bersifat pamer, minta dihormati, dan
mengharapkan pahala.
Hadis Nabi justru memerintahkan Muslim yang berpuasa untuk pamer puasa dengan mengucap dua kali: “Saya sedang berpuasa” kepada orang yang bertengkar dengannya atau yang melecehi dirinya (Bukhari 31:118). Ini sungguh arogan. Menonjolkan ego
dirinya yang sok suci puasa! Memaklumatkan status dirinya yang
menyiratkan “kebenaran-dirinya” menghadapi pertengkarannya yang sedang
berjalan. Dan ini tentu tidak akan menyelesaikan persoalan apa-apa.
Seyogyanya puasanya tidak ditonjolkan olehnya, melainkan dengan rendah
hati diubah menjadi sejenis: “Saya minta dimaafkan”. Atau “Kita memilih
berdamai di bulan suci ini.”
Implikasi seruan “saya sedang berpuasa” ini telah dirasakan oleh kedai-kedai makan dan resto yang “dihimbau” (baca: diwajibkan)
untuk ditutup. Dalil yang dipakai adalah orang-orang lain harus
sensitif dan “tahu-diri” bahwa dia (Muslim) itu sedang berpuasa dan
berkorban-suci, sehingga harus mendapat pengakuan dan penghormatan yang
layak. Mereka juga merasa telah “berkorban” sehingga merasa layak
mendapat upah berupa pahala Allah.
[Bandingkan
puasa yang sungguh menghayati keluhuran batiniah dengan rendah hati,
tanpa pamer, tidak menuntut penghormatan, pahala, atau pengakuan
siapapun, melainkan cukup diketahui/dipandang oleh Tuhan sebagai puasa
yang mulia. Tak ada pahala manusia karena semuanya adalah kepunyaanNya.
Tuhan telah memberi begitu banyak, sampai memberi Yesus, dan kita tidak
bisa menuntut lagi. Namun Dia akan memberi terus menurut kemurahanNya,
sebagaimana yang Yesus katakan:
“Dan apabila kamu berpuasa (bukan geser jam makan!), janganlah muram mukamu seperti orang munafik.
Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang
berpuasa (minta pengakuan dan penghormatan orang lain). Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya.
Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu,
supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan
hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi (bersifat pribadi, rendah hati, pasrah tidak menuntut). Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” (Matius 6:16-18)]
Fakta-3. Muhammad ikut mempraktekkan puasa pagan: Puasa 10 Muharram.
Aneh,
tidak diketahui oleh Muslim, kapan Nabinya pertama kali berpuasa.
Dimana, bagaimana, bersama siapa? Logisnya beliau harus sudah berpuasa
tatkala retreat di gua Hira. Tidak ada transformasi yang terdahsyat
terjadi dalam hidupnya sebelum seseorang berpuasa habis-habisan didalam
Tuhan. Lihat itu Musa, Ester, Daud, Yesus, semua perubahan ajaib terjadi
SETELAH mereka menuntaskan doanya dengan berpuasa. Tapi entahlah kenapa
hal ini tidak terjadi pada Muhammad. Yang jelas, puasa sudah dikenal
dalam masyarakat Arab bahkan sebelum Islam muncul. Tercatat bahwa
Quraisy pagan sudah biasa melaksanakan puasa “Ashura”
pada masa Jahiliah, dan karena itulah Muhammad juga ikut-ikut berpuasa
Ashura untuk mengagungkan hari tersebut, demi berusaha mengambil hati
kaum pagan untuk masuk Islam (bukti lihat point berikutnya).
Diriwayatkan Aisha: “Quraisy biasa berpuasa pada hari Ashura dalam zaman pra-Islam, maka Rasul Allah memerintahkan (Muslim) untuk berpuasa pada saat itu….” (Hadist Bukhari 3.31.no.117).
Ini berarti puasa awal yang dilakukan oleh Muhammad adalah puasa pagan, bukan puasa Islamik yang Allah turunkan khusus dari surga untuk menjadi tiang ibadah kaum Muslim!
Ini
patut disesalkan! Puasa Ashura ala Quraisy itu jatuh pada 10 Muharram
yang juga merupakan ketetapan kaum pagan sendiri, entah dari mana tetapi
bukan dari Allah. Dan Muhammad nyaman-nyaman saja melaksanakannya tanpa
ditegur Allah (atau Muhammad minta ampun kepada Allahnya), hingga pada
suatu waktu lainnya di Medinah…
Fakta-4. Muhammad memplagiat puasa Yahudi di Medinah: Puasa Ashura (?)
Sekalipun
Muhammad sudah berusaha keras untuk menyenangkan Quraisy dengan
mengikuti pelbagai tradisi mereka, namun beliau tidak berhasil
merangkulnya. Padahal Muhammad sudah menerima dan ikut tradisi, termasuk
(1) pensakralan 4 bulan-bulan Haram, (2) ikut ritual umroh/haji, (3)
memanggil nama “Allah” yang sama, (4) pengkramatan Ka’bah dengan Batu
Hitamnya, (5) serta berpuasa Ashura pula, namun kaum Arab ini tetap saja
memusuhi Nabi yang mengajarkan Allah Yang Satu (The God) seraya
mengolok-olokkan dewa-dewi mereka yang politeistis. Maka ketika hijrah
ke Medinah dan mendapati banyak orang-orang Yahudi disana, Muhammad –
pun banting setir dengan mencoba merangkul orang Yahudi yang memang sudah monoteis. Dikiranya lebih gampang…
Sebenarnya,
sejak masih anak remaja, Muhammad sudah cenderung kepada ajaran Yahudi
ketimbang pagan Arab. Dikala sebagai gembala bayaran, Muhammad memang
telah berkhayal untuk menjadi nabi nabi-nabi Yahudi seperti Musa dan
Daud (MH.Haekal, Sejarah Muhammad, p.60). Belakangan, Khadijah dan
Waraqah bin Naufal juga turut mendorongnya menjadi ‘nabi terusan’ dari
deretan nabi-nabi Yahudi, yaitu kini bagi orang orang Arab. Itu sebabnya
Muhammad berkata bahwa ia membawa pesan dan peringatan yang sama
seperti yang digariskan juga dalam Taurat dan Injil untuk orang orang
Israel, dan merasa berhak dijejerkan dengan Musa, bahkan lebih.
Diriwayatkan
Ibn 'Abbas: Nabi datang ke Medina lalu melihat orang-orang Yahudi
sedang berpuasa pada hari Ashura [??]. Beliau bertanya tentang hal
tersebut. Dan merekapun menjawab, “Ini adalah hari baik, hari dimana
Allah melepaskan Bani Israel dari musuh mereka. Maka Musa berpuasa pada
hari tersebut.
Nabi pun berkata, “Kami lebih berhak dengan Musa ketimbang kalian.” Oleh karena itu Nabipun melaksanakan puasa pada hari itu seraya memerintahkan (kepada Muslim) untuk berpuasa (pada hari itu). (Bukhari 3.31.No. 222)
Ini
puasa wajib. Hadist sangat jelas berbicara tentang asal-usul dan awal
puasa Islam yang ditetapkan wajib oleh Muhammad tanpa otoritas dari
surga, melainkan dimulai secara MENDADAK serentak pada siang hari itu
juga, walau para pengikutnya sudah terlanjur makan! (Yusuf Qardhawi,
Tirulah Puasa Nabi! p.213). Yaitu dengan ikut-ikutan plagiat puasa
Ashura Yahudi—hanya karena dua hal, yaitu kesombongan Muhammad yang tak
mau dianggap kalah-hak atas warisan Musa, dan sekaligus memanfaatkannya
untuk meyakinkan/merangkul kaum Yahudi bahwa benarlah dia
“nabi-terusan” Taurat dan Injil! Ini sekaligus melengkapi plagiat kiblat shalat
yang harus diarahkan ke Baitul Maqdis (Yerusalem). Bahkan menyertakan
(mengklaim) namanya “Ahmad” sebagai nabi yang ditunggu-tunggu, yang
namanya sudah tertulis dalam Taurat dan Injil!
Akan tetapi kini datang pertanyaan-pertanyaan besar yang menantang semua bualannya, yaitu antara lain:
(1).
Kenapa ada dua jenis puasa Ashura, yang satu Ashura-Quraisy (10
Muharram) seperti yang disaksikan oleh Aisyah, dan kini Ashura-Yahudi
seperti yang disaksikan ibn Abbas?
(2).
Bukankah Muhammad sudah melaksanakan puasa Ashura bersama dengan
Quraisy, lalu kenapa Muhammad juga menganut puasa Yahudi, dan tidak
“mempermasalahkan” kedua puasa Ashura ini? Tentu telah terjadi kesalahan
entah dimana, dan Muslim tidak anggap itu bermasalah!?
(3). Mungkinkah kedua puasa Ashura ini sama ritual puasanya, dan jatuh pada tanggal yang sama pula? Mustahil, bukan?
(4). Kalau begitu dapatkah seorang Nabi Allah menganut dua jenis puasa: yang satu belum dibatalkan, tetapi yang baru langsung diadopsi dan diberlakukan instan pada hari itu juga?
Fakta-5. Muhammad yang ummi tersesat dalam istilah Ibrani. Allah diam saja.
Ternyata Nabi buta huruf hanya melek membual kepada sesama yang ”ummi” hingga sekarang.
Hadist
mencatat bahwa Nabi ikut-ikutan puasa Ashura dikalangan Quraisy (10
Muharram), dan juga ikut-ikutan dengan “puasa Musa” yang dianggap
bertanggal 10 pula, yang dilaporkan sebagai “Ashura” pula. Bagaimana
kekacauan ini mungkin terjadi? Ternyata memang ada puasa Yahudi yang
paling terkenal dengan nama puasa Yom Kippur pada hari ke- bulan Tishri pada
penanggalan Yahudi. Kesamaan satu-satunya dari kedua puasa tadi
hanyalah terletak pada “Hari ke-10”, yang berarti “Ashura” dalam bahasa
Arab, dan “Assara” dalam bahasa Ibrani! Nah, “Assara” inilah yang
agaknya ditangkap Nabi ummi sebagai Ashura”!
Puasa
Yom Kippur tak ada kaitannya sama-sekali dengan puasa pagan di bulan
‘Muharram’. Tetapi inilah ketersesatan Muhammad yang buta huruf yang
sudah jauh masuk kedalam alur akal-akalan penetapan puasanya, yang tidak
dipermasalahkan oleh Muslim sedikitpun. Muhammad tentu tidak berkenan
dengan Ashura Quraishy yang pagan, dan lebih memujikan puasa Ashura
Yahudi yang dianggap “non-pagan”, satu dan lain hal karena ini lebih
dianggap lebih shahih karena berkaitan dengan adanya Kitab, adanya
nabi-nabi Allah yang dikaguminya, yang dirinya sendiri sedang memimpikan
menjadi seorang nabi pula,
“Diriwayatkan Abu Musa: Hari 'Ashura' dianggap sebagai 'Hari Id’ oleh kaum Yahudi. Maka Nabi memerintahkan, “Aku memujikan kepada kalian (Muslim) untuk berpuasa pada hari ini.” (Bukhari 3.31.No. 223)
Nah,
dalam benak Muhammad, beliau memujikan dan memerintahkan puasa “Ashura
Hari Id Yahudi” (Yom Kippur) itu dengan pengertian bahwa harinya adalah
10 Muharram yang sama dengan puasa orang-orang Quraisy (dan itulah yang
di-sunnahkan Islam sampai sekarang ini). Padahal hari Ashura (10
Muharram) itu bukan harinya Yom Kippur yang dikira “Ashura’ hari Id-nya
Yahudi. Penanggalannya beda. Tanggal 10 bulan Tishri misalnya jatuh pada
tanggal 14 September tahun 2013 ini, sedangkan puasa Ashura pagan 10
Muharram jatuh pada tgl 24 November 2013. Begitu pula tata ibadah Yom
Kippur juga berbeda, karena pokok ibadahnya terpusat pada pengampunan dan penebusan dosa, dimana puasa berjalan selama sehari-semalam non-stop, bukan menggeser jam makan siang ke jam malam. Kenyataannya menjadi serba tambal sulam, serta kacau yang tak terselesaikan!
Fakta-6. Puasa Ramadhan lahir dari kemarahan Muhammad dengan dasar alasan yang ngawur.
Perintah
wajib berpuasa Ashura yang sudah dijalankan Muslim bersama Muhammad
sejauh itu bukanlah puasa Islamik yang datang dari pencerahan atau
otoritas Allah. Itu hanyalah sebentuk plagiat terbuka untuk merangkul
sana (Quraishy) dan sini (Yahudi). Puasa ini sudah terlanjur
dipraktekkan secara publik, namun tidak dihargai apalagi dikalangan
Yahudi yang sempat dihina terlebih dulu oleh Muhammad dengan berkata,
“Kami lebih berhak dengan Musa ketimbang kalian.” Kaum Yahudi yang lebih
tahu tentang agamanya justru mengolok-olok semua rekayasa dan bualan
Muhammad. Mereka menolak kenabiannya. Menyatakan tidak ada utusan Tuhan
yang mengangkat kenabiannya. Mesias yang ditunggu-tunggu juga tidak
berciri seperti Muhammad. Ajarannya beda – rohnya beda. Mujizat Muhammad
tidak ada, tak bisa diperlihatkannya. Dia dituduh pendusta, karena
namanya tidak tertulis dalam Taurat. Kiblat shalatnya plagiat ke
Yerusalem dengan ritualnya yang aneh. Dan kini puasanya kok hasil tiruan
Hari Id Yahudi secara mendadak…
Semua
penelanjangan Yahudi ini membuat Muhammad hilang muka dan penuh amarah.
Ia tak mampu berdebat dengan bukti-bukti. Maka dalam kehilangan harga
diri yang sebegitu mendalam sehingga ia memendam dendam yang kekal
terhadap Yahudi. Sebagai respon kemarahannya, arah kiblat shalat pun
segera dialihkannya balik ke Ka’bah Mekah. Taurat mulai dituduhnya
palsu. Puasa “Ashura” (10 Muharram) yang sempat dianutnya juga harus
digantikan. Dan dia mulai menghina dan menjahati Yahudi dengan menyebut
mereka sebagai tikus, babi dan monyet. Inilah yang menandai permusuhan
yang kekal dari Muslim terhadap Yahudi.
Allah
mengikuti apa mau Nabinya yang penuh amarah. Maka dekritNya diturunkan
untuk menciptakan landasan baru berpuasa yang “asli ilahiah”, bukan yang
plagiat-plagiatan, dan inilah dia,
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan ke atas umat-umat yang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS.2:183-184).
Namun
segera terlihat bahwa justru DASAR perintah besar dari langit itu
mengandung kesalahan fatal. Muhammad cuma melihat bahwa
kelompok-kelompok masyarakat tertentu (seperti Quraisy, Sabean, Yahudi
dan Nasrani) ada melakukan puasa, lalu berkesimpulan secara salah
seolah-olah umat-umat tersebut juga telah diwajibkan oleh Tuhannya
masing-masing untuk berpuasa sama, dan kini ditibakan giliran bagi orang
Muslim. Inilah DASAR yang salah karena berdasarkan sebuah spekulasi
Muhammad yang ngawur! Ini memberi implikasi seolah perintah langit juga
mencakup seluruh umat secara sama.
Sementara
Muhammad tidak tahu, namun orang orang lain tahu bahwa puasa orang
Kristen misalnya tidak pernah diwajibkan oleh perintah Yesus. Tema
puasanya juga tidak sama. Yesus sendiri memang berpuasa satu kali saja
secara teramat khusus (40 hari - 40 malam tanpa makan minum), namun
tidak memerintahkan murid-muridNya untuk berpuasa menurut waktu/bulan
khusus. Malahan murid-murid-Nya pernah dikritik karena tidak berpuasa,
dan Yesus membela mereka dengan berkata: “Selama mempelai itu (Yesus)
bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang
mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan
berpuasa” (Markus 2:19, 20).
Jadi
bagaimana sebuah wahyu yang salah pada dasar pendalilannya dapat
berasal dari Allah yang Mahatahu dan Mahabenar? Bagaimana sebuah hukum
tiang ibadah Islam dapat dihasilkan dari kemarahan-kemarahan nabiNya?
Fakta-7. Allah masa-bodo terhadap Puasa Ashura yang diprakasai oleh NabiNya.
Lucu
bahwa Allah memberi dasar alasan yang salah (telah diperlihatkan
diatas) untuk mewajibkan puasa Ramadhan kepada umatNya. Tapi lebih lucu
lagi bahwa Allah hanya menurunkan kewajiban baru dalam ayatNya
(QS.2:183) itu TANPA sedikitpun menyinggung bagaimana nasibnya puasa
Ashura yang telah diwajibkan oleh NabiNya yang sebelumnya! Memang
Muhammad telah bertindak lancang mewajibkan puasa
Ashura secara dadakan tanpa konsultasi dengan Allahnya. Dan itu sudah
terjadi dan berlaku. Jadi, apakah sebagai balasan Allah yang mungkin
kecewa, maka kini Ia masa bodo dan berdiam diri? Atau tidak mau tahu?
Bukankah seharusnyalah Allah juga sekaligus menetapkan bagaimana nasib
atau status baru bagi puasa Ashura yang sedang berlaku itu sebelum
dihadirkan puasa Ramadhan? Bukankah penggantian arah kiblat shalat juga
telah Allah tuntaskan status lamanya yang dinyatakan putus arang, TAK
BERLAKU lagi? (QS 2:142-145)
Tapi
kini Muhammad tidak mendapat petunjuk tentang nasib puasa Ashura.
Muhammad kembali harus berakal-akalan, dan akhirnya menetapkan sendiri
secara rancu bahwa bulan Ramadhan sebagai bulan wajib puasa, sedangkan puasa Ashura ditinggalkan.
Diriwayatkan oleh Ibn 'Umar: Nabi menunaikan puasa pada 10 Muharram ('Ashura),dan memerintahkan (Muslim) untuk puasa pada hari itu, tetapi ketika puasa pada bulan Ramadhan ditetapkan, maka puasa 'Ashura' ditinggalkan” (Bukhari 31.no 116).
Diriwayatkan Aisha bahwa Rasul Allah telah memerintahkan untuk melaksanakan puasa (Ashura) sebelum mewajibkan puasa dibulan Ramadhan. Setelah mewajibkan itu, maka barangsiapa yang mengingininya biarlah ia berpuasa pada hari Ashura, dan barangsiapa yang tak ingin biarlah ia menanggalkannya” (Hadis Muslim 6 no. 2502).
Disini
kita menyaksikan betapa Muhammad membodohi umat Arabnya yang mau dibawa
berputar-putar untuk melaksanakan puasa pagan, puasa ahli kitab (yang
salah kaprah dibenak Muhammad), hingga mengesahkan sebuah
“puasa-ilahiah” (yang terus salah), sambil mengebiri Ashura yang kelak
dianggap berbau Yahudi-Nasrani. Kini hukumnya puasa Ashura dari wajib
menjadi sunnah, dan puasa Ramadhan-lah yang bersifat wajib.
Fakta-8. Menghadapi puasa Ashura yang belum tuntas, Muhammad bingung dan guilty-feeling.
Akan
tetapi dalam diri Muhammad, kini terjadi semacam pertentangan antara
rasa “rindu” dan “benci” terhadap puasa Ashura. Ini mungkin sebuah “rasa
bersalah” (guilty feeling) yang mendalam terhadap tindak plagiat DAN
pengebirian puasa Ashura yang dulu diperintahkannya. Hati Nabi ternyata
masih getol (rindu) melakukan puasa Ashura disamping puasa Ramadhan
lebih daripada hari puasa lain manapun.
Diriwayatkan oleh Ibn 'Abbas: “Saya tak pernah melihat Nabi begitu getol memilih hari untuk berpuasa selain hari ini, yaitu hari 'Ashura', atau bulan ini, yaitu bulan Ramadhan” (Bukhari 3. 31.no.224).
Bahkan
hingga kepada setahun sebelum wafatnya, puasa Ashura ini
ditunaikannya, sehingga beliau mendapat sejumlah kritikan dari para
sahabatnya karena dianggap berbau “Ahli-Kitab”. Ketegangan ini memaksa
beliau untuk lebih membuat jarak terhadap puasa Ashura, sehingga
mengharuskannya untuk berakal-akal lagi memperkenalkan jenis puasa baru
lagi (!) – apa yang kini disebut “puasa hari Tasu’a”-- demi meninggalkan hari Ashura itu lebih jauh lagi,
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, “Ketika Rasulullah saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa padanya, mereka menyampaikan
[keluhan], ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang
diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.’ Lalu beliau saw bersabda, ‘Kalau begitu,
pada tahun depan insya Allah kita berpuasa pada hari kesembilan’. Dan
belum tiba tahun yang akan datang, namun Nabi saw sudah wafat.” (HR.
Muslim, no. 1916).
Rasulullah saw bersabda: “Puasalah kamu pada Hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqy r.a.)
Kedua
Hadist ini menjelaskan betapa beliau sudah mempraktekkan puasa Ashura
10 Muharram itu dengan setia selama bertahun-tahun sampai akhir
hidupnya, walau sudah TIDAK DIGUBRIS oleh Allah. Tetapi karena kritikan
para sahabatnya yang tidak senang melihat Nabinya memplagiati Yahudi dan
Nasrani, maka beliaupun mengambil jalan pintas yang bertujuan untuk menyelisihi kebiasaan puasanya Yahudi dan Nashrani! Dan dia menyatakan niatnya
untuk “mendandani” Ashura lagi dengan puasa baru yang kini oleh para
ulama terkenal sebagai puasa hari Tasu’a, hari ke-9 Muharram, sehari
sebelum hari Ashura. Tetapi sambil menganak-tirikan sehari sesudahnya,
yaitu 11 Muharram yang tanpa diberi nama apa-apa baginya, mungkin karena
tidak yakin akan keshahihan hadits yang terakhir!
Dan
ternyata sampai disinilah Allah harus menghentikan niat Muhammad untuk
“meng-otak-atik” lebih jauh serentetan penetapan puasa sebagaimana yang
telah diperbuatnya berturut-turut! Namun para pengikut Muhammad
ramai-ramai menghidupkan “niat dan wacana insya Allah” ini (Tasu’a)
seolah-olah sudah merupakan sebuah praktek yang sudah ditunaikan oleh
Nabinya. Di sunnahkan dengan nama puasa hari Tasu’a dan dijejerkan
dengan Ashura!
Pertanyaannya,
apakah betul sang Nabi kelak akan mendekritkannya sebagai sunnah puasa
tambahan terhadap Ashura, andaikata beliau tidak keburu mati? Apakah
niat Muhammad ini bisa dipegang? Muslim tentu ngotot mengiakan. Bukankah
ia bergelar Al-Amin? Namun lihat, betapa banyaknya akal-akalan yang
direkayasakannya hanya untuk puasa saja. Dalam detik-detik terakhir yang
terpepet, dia selalu bisa membuat Allahnya untuk menurunkan “ayat
pamungkas” yang membebaskan dia dari hukum yang sedang berlaku (seperti
kawin lebih dari 4 istri, kawin dengan istri anak angkatnya Zaynab,
perang di bulan Haram dll). Muhammad bahkan bisa batalkan puasa
sesukanya tanpa perlu memberikan alasan atau harus menjaga keteladanan
dan integritas seorang Nabi!
Riwayat
Aisyah, bahwa suatu hari Nabi saw datang kepadanya dan bertanya,
“Apakah kalian punya makanan?” Lalu saya jawab, “Tidak”. Beliau berkata,
“Kalau begitu, saya akan berpuasa”. Lalu siang harinya
beliau datang kembali. Saya katakan, “Wahai Rasulullah, kami
mendapatkan hadiah hais (makanan dari kurma dan tepung)” Beliau berkata,
Bawa kemari, padahal aku sebenarnya berpuasa semenjak pagi.’ Lalu beliau memakannya.”
(HR. Muslim).
(HR. Muslim).
Pertanyaan serius: Masih jadi Al-Amin kah dia?
Fakta-9. Siapa bilang Ramadhan adalah bulan paling suci umat Islam?
Semua
Muslim akan bilang begitu. Sayangnya tak satupun Muslim yang bisa
memperlihatkan bahwa Quran ada menyebutkan begitu! Quran mencatat ada 4
bulan haram dan itu tidak termasuk bulan Ramadhan. Bulan-bulan Haram
menurut Quran adalah bulan yang disepakati Allah dan tradisi Arab
Jahiliah untuk tidak boleh ada didalamnya peperangan dan penyerangan.
Itulah bulan-bulan Muharram, Rajab, Dzul Qaidah, Dzul Hijjah (QS.9:36,
37; 2:197, 217; 5:2; 9:2-5; Shahih Bukhari 4:419).
Namun
Muhammad justru memperkosa kesucian bulan-bulan haram itu dengan
pelbagai penyergapan, penyerangan dan peperangan terhadap kafilah
kafilah ataupun musuh-musuhnya yang dicap pagan. Antara lain penyergapan
caravan Mekah di Nakhla dibulan Rajab, dimana Abdullah bin Jash dan
gang nya sengaja mencukur botak rambut mereka demi mengelabui para
rombongan caravan seolah gang ini orang baik-baik yang pulang dari umroh
di Ka’bah, bukan kawanan perampok. Para pengawal caravan percaya akan
tipu muslihat ini, dan mereka menderita akibatnya. Dan Muhammad
menyetujui semua tipu-daya ini!
Atas
kejadian itu, orang-orang Quraisy berkata, “Muhammad dan teman-temannya
telah melanggar bulan haram, mereka menumpahkan darah, menjarah barang
dan menawan orang-orang. Muhammad menyatakan bahwa ia taat mengikuti
Allah, meski ia adalah yang pertama melanggar bulan suci dan membunuh!
(Ibn Ushaq, p.288). Dan Allah dibuat oleh nabiNya untuk menurunkan ayat
yang membenarkan tindak pelanggaran Muhammad:
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:
"Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar;
tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah,
(menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari
sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah
lebih besar (dosanya) daripada membunuh…” (QS 2:217).
Sejak
perintah itulah maka berperang, merampok dan menumpaskan darah orang
dibulan-bulan haram telah dipersetankan Muhammad dan konco-konconya.
Semuanya cuci tangan dengan mengembalikan kotorannya secara SAH kepada
Allah.
Maka
sejarah Islam bergulir mencatat seterusnya hal yang sama. Lihat perang
Badr, dimana Muhammad dengan 300 pejuangnya menyerang caravan pagan pada
tanggal 17 Ramadhan 2H. Yaitu terjadi persis pada 23 hari sesudah
diturunkan wahyu yang mewajibkan “puasa suci” Ramadhan. Dan itu adalah puasa Ramadhan yang pertama dalam kalender Islam, yang “dianggap sebagai bulan suci” menurut versi baru yang ditetapkan oleh mereka sendiri.
Seterusnya kita juga diberitahu bahwa Muhammad lagi lagi merencanakan penyerangan untuk menaklukkan Mekah “dibulan suci” Ramadhan
pada tahun 8 H. Dan kota itu ditaklukkan pada hari ke-20 bulan
Ramadhan! Sungguh tak ada tindak penghormatan Muhammad dkk terhadap
perintah Allahnya untuk menguduskan bulan-bulan suci. Padahal sudah
dikatakan: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar!” Apalagi Nabi
menambahkan sendiri bahwa setan-setan dan kejahatan akan dibelenggu
dibulan SUCI Ramadhan:
“Ketika bulan Ramadhan mulai, maka terbukalah pintu-pintu Firdaus, dan pintu-pintu neraka akan tertutup, dan para setan akan dirantai” (Bukhari 4:497), …
Kini apanya yang suci? Pintu-pintu neraka apa yang tertutup? Dan para setan mana yang akan dirantai? Semuanya terbalik dan menyimpang dari slogan indah penyair ulung Muhammad yang “menghalalkan semua tipu-daya” asal demi Islam! “War is deceit” (HR Bukhari). Lihat kekerasan, intrik, serangan, dan pembunuhan yang terjadi dibulan-bulan suci Ramadhan diseluruh dunia. Atau kekerasan FPI mengobrak-abrik restoran dan rumah-rumah yang dianggap tidak sesuci dirinya. Cek satu persatu di internet, a.l. seperti:
“Ketika bulan Ramadhan mulai, maka terbukalah pintu-pintu Firdaus, dan pintu-pintu neraka akan tertutup, dan para setan akan dirantai” (Bukhari 4:497), …
Kini apanya yang suci? Pintu-pintu neraka apa yang tertutup? Dan para setan mana yang akan dirantai? Semuanya terbalik dan menyimpang dari slogan indah penyair ulung Muhammad yang “menghalalkan semua tipu-daya” asal demi Islam! “War is deceit” (HR Bukhari). Lihat kekerasan, intrik, serangan, dan pembunuhan yang terjadi dibulan-bulan suci Ramadhan diseluruh dunia. Atau kekerasan FPI mengobrak-abrik restoran dan rumah-rumah yang dianggap tidak sesuci dirinya. Cek satu persatu di internet, a.l. seperti:
- www.answering-islam.org/authors/clarke/ramadan_deaths.html
- www.thereligionofpeace.com/attacks-2012.htm
Semua
kembali keasal, yaitu menirukan Nabinya yang telah memilih bulan
Ramadhan sebagai bulan tersuci dan menslogankannya sampai ke langit,
tetapi yang melanggarnya sendiri dengan mengotorinya dengan kekerasan,
nafsu dan darah.
AKHIR KATA
Masih
banyak sekali fakta dan alasan shahih untuk berkata bahwa puasa
(Ramadhan) hanyalah sebagian dari rentetan rekayasa dimana Muhammad
sungguh berani mengklaim dan memanfaatkan nama Allah, disamping nama
Musa. Sampai berani berakrobat dan berplagiat, semula berusaha merangkul
hati para Ahli Kitab, namun berakhir dengan penolakan disana dan dendam
kesumat disini!
Nama
Daud juga dibualkan Muhammad dalam “Puasa Daud” yang dianggapnya paling
top. Ia berkata, “Tidak ada puasa diatas puasa Daud” (HR Bukhari). Tapi
jelas Muhammad tidak tahu apa isi kitab Zabur, kecuali berani klaim
saja. Maka Puasa-Daud versi Muhammad (yaitu selang-seling hari ini
berpuasa, dan besok tidak berpuasa) segera menjadi lelucon tersendiri,
karena puasa demikian tidak pernah eksis dimanapun. Sebaliknya puasa
yang paling top justru tidak disebut Muhammad, karena ia tahu ia tak
mampu berpuasa 40 hari-40 malam penuh non-stop, seperti Musa dan Yesus!
Seharusnya, bilamana Islam dianggap merupakan kepanjangan pewahyuan
Taurat dan Injil, maka Muhammad – yang dianggap nabi terbesar dan
terakhir, juga perlu berpuasa sama seperti Musa dan Yesus (puasa
Al-Wisal, Keluaran 34:28, Matius 4:2, Lukas 4:2). Apalagi Muhammad telah
ber-sesumbar tentang kedekatannya dengan Musa dan Isa, sebagai sesama
“kelompok nabi elit” yang kepadanya diturunkan Kitab-kitab Allah.
Namun
kenapa Muhammad justru tidak mampu menjalani puasa tingkat tinggi ini.
Ia bahkan dipermalukan oleh 'Abdullah b. Amr yang ternyata lebih mampu!
(Hadis Muslim no.2603).
Klaim
kedekatan Muhammad terhadap Musa, “Kami lebih berhak dengan Musa
ketimbang kalian” sungguh bombastis! Buktinya roh Musa tidak ke Arab
mengunjunginya, namun justru mengunjungi/sowan Yesus di Israel (dengan
disaksikan para murid-Nya, Matius 17:3). Sebaliknya Musa maupun Yesus
mendamprat siapapun yang mencoba menjejerkan dirinya dengan mereka tanpa
izin. Apalagi orang tersebut mengarang dusta bahwa kitab Musa dan Injil
Yesus telah menorehkan namanya “Ahmad” sebagai nabi yang akan datang
(QS 7:157).
Lihat
Kitab Taurat Ulangan 8:20-22 dimana Musa sudah menubuatkan kematian
yang kekal –sekali lagi: kematian kekal – bagi seorang nabi palsu yang
terlalu akal-akalan dengan berbismillah, dan berdusta memanfaatkan
namanya. Demikian pula Yesus (berduet dengan Musa) juga mengecam para
Farisi/ahli Taurat, dan kini tertuju sama kepada Muhammad karena
klaimnya. Yesus berkata: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah
menduduki kursi Musa” (Matius 23:2).
Lebih
jauh, Muhammad juga mengklaim kedekatannya yang teramat khusus dengan
Isa anak Maryam. Sesumbarnya sampai mencakup seluruh alam dunia dan alam
akhirat (!), dengan berkata: “Saya yang lebih dekat dengan Isa anak Maryam di dunia dan di akhirat.” (Shahih Bukhari 1501)
Perhatikan!
Disini roh dusta “bapa segala dusta” yang dituding oleh Yesus (Yohanes
8:44) tampil dan berjumpa dengan “Khairul Makiriin”, Penipu Terlicik
yang diakui sebagai Allah di Quran (3:54). Sebab Yesus justru telah
menunjuk lurus kepada para Ahli Taurat -- dan kini sama kepada Muhammad
-- dan berkata: “Aku adalah Anak Elohim”, bukan Isa anak Maryam! (lihat Yohanes 10:36)
Sungguh,
Muhammad telah mendapat tamparan balik dari Musa dan Yesus yang menolak
didekati olehnya. Penampakan Roh Yesus dan Musa ini kiranya turut
membuka mata Muslim untuk mampu melihat bahwa perjalanan puasa Islamik
serta kekacauan pengembangan yang akal-akalan yang kusut tak ketemu
ujung itu, telah memberikan gambaran betapa kampungannya sebuah “puasa
Ilahiah”. Padahal hukum Tuhan Semesta Alam seharusnya mulia, kudus,
lurus dan berwibawa, bukan berputar-putar dalam kusutnya lingkaran
“trial and error” yang penuh dusta!
by order post:
@[ev.muridtadin wawan muslimmurtad part IV]
Artikel dipetik dari: Answering-Islam.org