Oleh: Dodi Sanjaya
Haji Sayed Hasan bin Sayed Abbas adalah seorang kakek yang berumur 75 tahun. Saat Banda Aceh diterjang tsunami yang sangat dahsyat pada 2004, ia kehilangan istri tercintanya. Sejak saat itu, ia tinggal hanya bersama seorang anaknya. Rumahnya berada sekitar 10 meter dari masjid Al Muchsinin, Gampong Jawa, Kecamatan Kutara Raja, Banda Aceh. Tahun 2010, di usia yang sudah senja itu, ia mengalami sakit jantung koroner. Dokter menyarankan ia untuk banyak istirahat.Demi kesehatannya, ia mengikuti saran dokter. Saat bulan
ramadhan, pengeras suara masjid sangat keras volumenya dan hal itu membuat dia menjadi sulit tidur. Ia sempat berpikir mungkin ini hanya sesaat, tapi pengeras suara itu ternyata terus hidup dari menjelang shalat taraweh hingga pukul 4 dini hari. Dan hal itu terus berlangsung selama bulan Ramadhan.
Karena merasa suara speaker terlalu keras bunyinya, dia menjumpai Drs. Tgk. Muchtar Tawi selaku Imam Masjid Al Muchsinin pada saat pengajian di masjid. Ia meminta agar pengeras suara itu volumenya dikecilkan dan di atas jam 12 malam dimatikan. Namun permintaan itu ditolak oleh Tgk. Muchtar Tawi. Ia mengatakan ini adalah sebuah masjid dan tidak boleh mengecilkan suara speaker masjid. Tgk. Tawi hanya mau mengecilkan suara speakernya kalau ada fatwa dari ulama. Namun, Tgk. Tawi tidak ingin mendatangi ulama, ia hanya mau ulama yang mendatanginya. Sebagai orang kecil tentunya itu hal yang sulit. Merasa permintaannya ditolak, ia pulang ke rumah dengan perasaaan kecewa.
Karena Tgk. Tawi hanya mau mengecilkan volume pengeras suara masjid jika ada fatwa ulama, akhirnya Tgk. Sayed pun mendatangi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh. Dia meminta MPU memberi fatwa, namun MPU mengatakan fatwa itu hanya bisa diberikan kalau ada anggota masyarakat lain yang juga ikut menanyakan permasalahan ini. Tgk. Sayed pun kembali ke rumahnya dan mencari dukungan orang yang mempunyai permasalahan sama dengan dia. Ia mendapat 15 dukungan dan kemudian kembali ke MPU. Ternyata itu belum cukup dan ia disuruh kembali lagi dengan dukungan yang lebih banyak.
Setelah beberapa hari berlalu, dia kembali mendatangi MPU dengan 30 dukungan. Lagi lagi MPU menolaknya. Menurut MPU, harus lebih banyak lagi. Tgk. Sayed lalu bertanya kepada MPU, “ Banyaknya itu berapa? Yang pasti jumlahnya biar saya mencarikannya lagi.“ MPU hanya berkata pokoknya banyak.
Karena kecewa dan merasa dipermainkan, dia kembali ke rumah. Kemudian dia mendengar dari tetangga bahwa yang boleh mengeluarkan fatwa adalah MPU Provinsi. Mendengar itu, dia semakin kecewa dan kesal dengan sikap MPU Kota Banda Aceh. Kenapa tidak dari awal saja mereka mengatakan bahwa mereka tidak berhak mengeluarkan MPU sehingga ia tidak perlu bolak balik ke MPU Kota.
Sebelum dia berangkat menunaikan ibadah haji, ia mengirim surat Ke MPU Provinsi Aceh. Dalam surat itu, dia meminta fatwa larangan penggunaan speaker masjid secara berlebihan. Kemudian MPU membalas suratnya. Namun isi surat MPU membuat dia kecewa, karena secara substansi sudah berubah. Dalam surat itu, MPU mengatakan bahwa “Muazzin mengumandangkan azan bukanlah suatu kedhaliman, tapi merupakan panggilan tibanya waktu shalat.” Tentu ini adalah sebuah pergeseran makna. Tgk. Sayed tidak pernah meminta pelarangan azan dengan menggunakan pengeras suara. Yang diminta untuk dilarang adalah pengajian tadarus, zikir dan ceramah tape recorder dengan menggunakan pengeras suara secara berlebihan dan pada waktu yang tidak tepat. ”Silahkan menggunakan pengeras suara , namun janganlah sampai jam 4 pagi,” ujar beliau.
Sepulang dari ibadah haji, dia kembali mendatangi imam masjid. Ia mendatangi rumah sang imam dengan harapan suasana akan berubah. Ternyata harapannya tidak sesuai kenyataan. Ia mendapat jawaban yang sama seperti sebelumnya. Kemudian ia ke Malaysia untuk mencari fatwa dari ulama Malaysia yang kemudian dia tunjukkan ke imam masjid. Imam tetap menolaknya dan berkata bahwa tulisan Arab hadist itu benar, namun terjemahannya salah. Ia sempat mengatakan, di mana pun di dunia ini hadist tetap sama, hanya redaksinya saja yang berbeda, tapi tidak dengan substansinya.
Ia juga pernah berkata bahwa ia memiliki dalil tentang larangan penggunaan pengeras suara dengan suara yang berlebihan. Dan jika ada dalil yang menyarankan penggunaan pengeras suara secara berlebihan, ia minta agar dalil itu ditunjukkan kepadanya. ”Silahkan Tgk. beri dalil yang menganjurkan penggunaan pengeras suara yang berlebihan. Namun sampai sekarang tidak ditampakan pada saya,” ungkap Tgk. Sayed.
Karena masih mengalami hal yang sama, dia menulis surat kepada aparatur desa dan juga camat, namun tak ada respon. Akhirnya saya melaporkan permasalahan ini ke Polsek Kutaraja, Banda Aceh. Jawaban yang didapat sangat mengecewakan dirinya. “Kami tidak bisa menangani kasus bapak, karena ini berhubungan dengan orang ramai,” ujar Tgk Sayed yang mengulang jawaban Polsek Kutaraja.
Pada bulan puasa di tahun 2011 dan 2012, ia menyuruh anaknya untuk bertemu kembali dengan imam masjid, namun dia mendapatkan jawaban yang sama. Akhirnya, pada suatu pagi, karena kesal, dia pergi ke masjid dan menggeser sendiri pengeras suara itu ke arah lain. Ternyata, siangnya, massa mendatangi rumah beliau. Mereka memaksa dia untuk memutar kembali speaker masjid ke arah semula. Saat itu ia merasa terancam, sehingga akhirnya dia memutar pengeras suara kembali ke arah rumahnya, bahkan dengan suara yang lebih besar.
Setelah kejadian itu, ia kembali melapor untuk kedua kalinya ke Polsek kutaraja. Dalam laporan itu, dia melaporkan perbuatan tidak menyenangkan, namun polisi juga tidak merespon laporan tersebut. Akhirnya, dia memperkarakan kasus pengeras suara ini ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Dalam laporannya, kasus ini sudah sampai pada tahap mediasi. Namun pada Rabu, 20 Februari 2013, massa mendatangi rumahnya dan ia dibawa ke masjid untuk mediasi. Di masjid ternyata sudah ada Wakil Walikota Banda Aceh, Sekda Banda Aceh, MPU Banda Aceh, Camat Kutaraja, imam masjid, Danramil, unsur Polresta dan Kapolsek Kuta Raja. Awalnya dia berpikir ini sebuah mediasi, ternyata ini adalah sebuah paksaan untuk berdamai. Tgk. Sayed setuju tetapi dengan syarat perdamaian harus sesuai dengan Sunnah Rasul. Saat itu massa sangat ramai, suara cacian dan ”bunuh” membuat ia terintimidasi. Dan tidak sampai disitu saja, Sekda sebagai utusan dari Negara mengeluarkan kata-kata penuh fitnah dan membuat Tgk. Sayed semakin terintimidasi, “ini orang yang larang mengaji dan adzan.” Padahal Tgk. Sayed tidak pernah melarang orang mengaji dan azan, tetapi yang dilarang adalah penggunaan speaker masjid secara berlebihan. Wakil Walikota yang merupakan orang kedua di Kota Banda Aceh pun mengeluarkan kalimat yang tidak menyenangkan, “Bikin malu orang Aceh saja.“ Karena merasa terintimidasi, akhirnya ia menandatangani surat di atas materai yang isinya mencabut gugatan, dan tidak akan menggugat lagi. Setelah Tgk. Sayed menandatangani surat itu, camat berkata, jika ia menggugat lagi, maka ia akan diusir dari kampong.
Sekarang masyarakat punya anggapan yang lain. Ia dianggap sesat, karena melarang orang shalat dan mengaji. Padahal ia hanya melarang penggunaaan pengeras suara secara berlebihan.
Tgk. Sayed merasa dimusuhi, namun tidak semua masyarakat berpikir seperti itu. Ia berharap pemerintah pusat menegur Wakil Walikota dan Sekda Banda Aceh, karena tidak mengormati haknya sebagai warga negara yang mencari keadilan. Mereka telah memaksanya untuk mencabut gugatan. Selain itu, ia berharap semoga hal seperti ini tidak dialami oleh orang lain lagi.