Indonesia
adalah bangsa yang besar, dengan adat dan kebudayaan yang bernilai
tinggi. Di jaman Majapahit, bangsa kita telah mampu membuat maha karya
dunia semacam Candi Borobudur. Bahkan di jaman Majapahit pula, wilayah
Nusantara meluas hingga mencakup sebagian
selat Malaka. Namun kebesaran
Nusantara perlahan terkikis dengan hancurnya Majapahit.
Silahkan lihat artikel mengenai kebesaran Nusantara dilink;
SUMPAH PALAPA, CIKAL BAKAL NKRI
Sejarah
mencatat bahwa hancurnya Majapahit adalah akibat pengaruh agresi
kerajaan Islam Demak. Tak banyak jejak untuk melacak bagaimana sejarah
penghancuran Budha Nusantara oleh Islam. Tak banyak pula informasi
sejarah mengenai kapan dan bagaimana masuknya Islam ke bumi Nusantara
ini. Kehancuran Majapahit, serta perebutan kekuasaan antar para wali
setelah runtuhnya Majapahit, menyebabkan penjajah Eropa dengan mudah
menguasai Indonesia.
Hanya
sedikit informasi sejarah mengenai bagaimana penyebaran Islam di
Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, karena dimana Islam berhasil
menguasai suatu bangsa, baik dengan cara peperangan ataupun propaganda
mereka akan MENGHANCURKAN SIMBOL2 DAN TULISAN2 YANG MENYANGKUT
IDENTITAS BANGSA YANG MEREKA KUASAI. SEHINGGA SATU2NYA IDENTITAS YANG
DIKETAHUI HANYALAH ISLAM. Lihatlah bagaimana Islam menghancurkan
perpustakaan Alexandria Mesir, yang berisi jutaan buku ilmu pengetahuan
serta sejarah Mesir. Karena begitu banyaknya, diperlukan waktu enam
bulan untuk membakar habis buku2 tersebut. Lihatlah bagaimana Islam
menghancurkan Universitas Nalanda, universitas Budha terbesar di dunia.
Begitu pula pemusnahan terhadap simbol2 dan budaya Persia (Iran), Turki,
serta negara2 lain yang telah dikuasai agresor Islam. Pembakaran
terhadap buku2 peninggalan sejarah itu adalah kekejaman Muslim yang
paling besar terhadap ilmu pengetahuan dunia, yang tidak dapat
dimaafkan.
Hal
yang sama juga terjadi di Indonesia, tak banyak informasi sejarah
mengenai bangsa kita, karena kemungkinan sebagian besar bukti sejarah
tersebut telah dihancurkan oleh Islam. Sehingga yang diketahui generasi
kita sekarang hanyalah cerita2 tentang kehebatan Islam.
Menurut
para intelektual Islam, terdapat 3 teori mengenai asal muasal datangnya
Islam ke Indonesia. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang
mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua
India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut
sebagai asal masuknya Islam di Nusantara. Teori kedua, adalah Teori
Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di
Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh
beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Teori ketiga,
adalah Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk
ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu
kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal
abad ke-7.
Menurut
para pakar, Islam masuk Indonesia secara DAMAI, bukan dengan
peperangan. Islam masuk melalui para pedagang dan pendakwah Arab yang
bermigrasi ke bumi Indonesia. Benarkah demikian?
Saat
ini team kami sedang melakukan riset untuk menggali sejarah penyebaran
Islam, dan kemunduran Budhisme di Indonesia. Namun sebelum itu marilah
kita melihat beberapa tulisan kuno yang mungkin bisa sedikit membuka
mata kita mengenai penyebab kemunduran agama Budha, dan upaya2 para wali
untuk menyebarkan Islam di Indonesia.
Terdapat
tulisan sejarah yang sedikit membuka mata kita mengenai seperti apa
sesungguhnya cara Islam masuk ke Indonesia. Teks sejarah ini bernama DARMOGANDHUL.
Tulisan ini adalah karya sastra Jawa klasik, berbahasa jawa baru,
berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran
tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh Ki Kalamwadi (nama samaran,
kemungkinan besar adalah Ronggo Warsito), waktu penulisan hari sabtu
legi, 23 ruwah 1830 Jawa. Isi teks menceritakan jatuhnya kerajaan
Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu para wali.
Kita
tentu saja tidak dapat mempercayai keakuratan sejarah DARMAGANDHUL
100%, tapi bagaimanapun juga isi suluk ini mengagetkan kita yang selama
ini mengira bahwa masuknya agama Islam di Indonesia dilakukan dengan
cara damai tanpa muncratan darah, terpenggalnya kepala dan tetesan air
mata. Namun kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke berbagai wilayah,
misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba, adalah
salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian massal
oleh sekelompok orang yang ingin menggulingkan kekuasaan berkedokkan
agama.
Berikut ringkasan dari Darmo Gandul
Pada
suatu hari, Darmogandul bertanya kepada Ki Kalamwadi tentang asal mula
orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti agama Islam. Lantas, Ki
Kalamwadi pun menjawab:
"Aku
tidak mengerti. Tetapi guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul
orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti memeluk agama Islam. Ini memang perlu dikatakan, agar orang yang belum tahu menjadi tahu."
Pada
zaman dulu Majapahit (1292-1478) bernama Majalengka. Majapahit hanyalah
kiasan. Bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama
kerajaan. Prabu Brawijaya V adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia
menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang
membuat Brawijaya tertarik Islam. Ketika sedang beradu asmara, sang
putri selalu membeberkan keutamaan agama itu.
Setiap
dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa kecuali
kemuliaan agama Islam. Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri
Campa bernama Sayid Rahmad ( Sunan Ampel ). Ia
mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu
mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya. Banyak
ulama Arab kemudian datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu mohon
izin tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya
berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam tinggal di daerah Bonang, termasuk wilayah Tuban. Sayid Kramat ( Sunan Bonang ) namanya. Ia maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah.
Orang-orang
Jawa banyak yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di
pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama
Islam. Di wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun
banyak yang mengikuti ajaran Islam. Agama Buddha telah mengakar di tanah
Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat
Tuhan. Sedangkan Hawa adalah minat hati.
Sang
Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di
Palembang dari rahim Putri Campa. Sejak kecil Raden Patah telah dididik
secara Islam. Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap kepada ayahnya
bersama saudara lain ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden Kusen
(Husein / Raden Arya Pecattanda ).
Sang
Prabu bingung memberi nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah,
beragama Buddha, keturunan raja yang lahir di pegunungan. Dari jalur ibu
disebut Kaotiang. Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan
Sayid atau Sarib. Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk
dimintai pertimbangan. Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti
leluhur kuno, putra sang Prabu itu dinamakan Bambang. Tetapi karena
ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya lahir di
tempat lain. Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain. Sang Prabu pun
berkata kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama Babah Patah.
Sampai
saat ini, keturunan pembauran antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski
tidak menyukai nama pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk
menentangnya. Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia
memimpin para bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan
dengan cucu Kyai Ageng Ngampel. Babah Patah tinggal di desa Bintara,
Demak. Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia
diminta untuk menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi
Adipati di Terung, dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.
Ajaran
Islam makin berkembang. Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan.
Sunan artinya budi. Sumber pengetahuan tentang baik dan buruk. Orang
yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin.
Pada waktu itu para ulama baik budinya. Belum memiliki kehendak yang
jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur. Sang Prabu Brawijaya
berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan. Mengapa
juga masih mengurangi makan dan tidur.
Pada
waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di
utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai
Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang. Tiba
di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat. Sudah
Islam atau masih beragama Budha . Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat
daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso. Menganggap
Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah
hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan
bergembira ria.
Kata
Sunan Bonang, " Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah.
Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Untuk itu tempat ini kusebut Kota
Gedhah." Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota
Gedhah.
Kutukan Sunan Bonang terhadap Seorang Wanita
Hari
terik. Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air
wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang
meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah
satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud. Sesampai
di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya
ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun. " Hai Gadis, aku minta
air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu. Perawan itu
terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham.
Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya. Ia menjawab kasar :
"Kamu
baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada
orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang
jernih bila kamu mau meminumnya."
Mendengar
kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit.
Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di
hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.
Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata
keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak
akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum
jejakanya. Tidak akan kimpoi sebelum menjadi jejaka tua.
Terkena
ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut. Aliran sungai
berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun. Prahara
datang diterjang arus sungai yang menyimpang. Dan setelah itu kering
seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air. Perempuan-perempuannya
menjadi perawan tua. Begitu juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat
berumah tangga.
Kemudian,
Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada
demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani
yang sedang dikerumuni anak cucunya. Mereka lapor, bahwa ada orang
bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan
kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan
Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak
suka mengganggu lagi.
Mendengar
usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat
menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa
mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar.
Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke
Kediri menemui rajanya.
Raja
mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis.
Buta Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia
dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya memerintah
daerah ini, namanya diminta untuk nama negara.
Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya.
Buta sendiri artinya bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya.
Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat
dipercaya.
Ketika
Prabu Jayabaya muksa ( mati bersama raganya hilang ) bersama Ni Mas
Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut muksa. Ni
Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa. Tinggal di laut Selatan dan
bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin. Semua mahluk halus yang ada di laut
selatan tunduk dan berbakti kepada Ni Mas Ratu Angin-Angin ( Nyi Loro Kidul
). Buta Locaya menempati Selabale. Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal
di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar tidak merusak desa
sekitar.
Ketika
Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas
kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung
dan anaknya, Paji Sektidiguna dan Panji Sarilaut. Ia amat terkejut
melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.
Ia
melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan
ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga
memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu. Mendengar
laporan Nyai Plencing, Buta Locaya murka.
Tubuhnya
bagaikan api Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan
Bonang. Para setan dan jin itu bersiap berangkat. Lengkap dengan
peralatan perang. Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum.
Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai
Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak
menampakkan diri.
Menghadang
perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara. Sebagai orang sakti,
Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang menghadang
perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara api. Para
setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan menghadapi
wibawa Sunan Bonang. Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan
Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan dan demam.
Debat Soal Tuhan dan Kebenaran
Debat
sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan Bonang
dengan tegas menyatakan bahwa, daerah tersebut dikatakan Gedah karena
tidak jelas agamanya. Sunan Bonang berkata;
"Kusabdakan
sulit air karena ketika aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah
alirannya agar kesulitan mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan
kusabdakan sulit mendapat jodoh karena yang kuminai air itu perawan
desa."
Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang.
“Salah
yang tak seberapa, apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi
penderitaannya dirasakan oleh banyak orang. Bila dilaporkan kepada
penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman berat karena merusak daerah.”
(Lihat
peristiwa Muhammad menyuruh pengikutnya menyerang suku Yahudi di
Medinah, Bani Qaynuqa, gara2 seorang wanita Muslim diganggu oleh
seseorang anggota Bani Qaynuqa. Ini dipakai Muhammad sebagai alasan
untuk menyerang dan mengusir Bani Qaynuqa dari tanah nenek moyang mereka
itu. Sifat Muhammad ini dicontoh Sunan Bonang : cepat naik darah, tidak
seimbang, tidak memiliki maaf, sombong, selain licik dan haus
kekuasaan.)
Sunan
Bonang menjawab, ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka. Ketika
Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah. Buta Locaya berkata
masygul :
"
Ucapan tuan bukan ucapan yang paham aturan negara. Itu pantas diucapkan
oleh orang yang tinggal di rumah madat, mengandalkan kesaktian.
Janganlah sombong. Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan
malaikat, lalu berbuat sekehendak hati. Tidak melihat kesalahan,
menganiaya orang lain tanpa sebab.”
Meskipun
di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat dari pada tuan, tapi mereka
baik budi dan takut kepada laknat dewa. Tuan akan dijauhi orang2 baik
budi bila tetap berbuat demikian. Apakah tuan termasuk orang seperti Aji
Saka murid Ijajil ? Aji Saka menjadi raja di Jawa hanya tiga tahun,
lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air di Medang. Ia Hindu. Suka
membuat sulit air.
Tuan
mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak,
tetapi ternyata tidak demikian. Tuan layak seperti setan yang
menampakkan diri, tidak tahan digoda anak kecil. Lekas naik darah. Sunan
apakah itu ?
Jika
memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat
kebajikan. Tuan menyiksa orang tanpa dosa. Itulah jalan celaka, tanda
bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam. Bila telah jadi lalu tuan
tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih."
Hamba
ini bangsa mahluk halus, tidak selam dengan manusia, tetapi hamba masih
memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak itu tuan
kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah yang
terlanda banjir hamba mohon agar dikembalikan. Semua orang Jawa yang
beragama Islam akan hamba teluh supaya mati. Hamba akan meminta bantuan
Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut Selatan."
Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya. Ia berkata,
"
Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku. Aku hanya
bisa membatasi saja. Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini
dapat kembali seperti semula."
Buta Locaya mendengar kesediaan Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya.
" Kembalikan sekarang juga. Bila tidak, tuan akan hamba ikat."
Sunan Bonang menjawab:
"
Sudah, jangan berbantah lagi. Aku mohon diri akan berjalan ke timur.
Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil
yang sedang berkelahi. Setan dan manusia saling berebut kebenaran
tentang kerusakan yang ada di daerah dan kesedihan manusia dengan setan.
Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging buahnya
menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang
masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di
sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan
kuberi nama Kawanguran."
Setelah
berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai. Terkenal
sampai kini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan
Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah
kemudian menemukan akal. Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang,
yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun.
Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang
parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.
Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah kemarahannya.
"
Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai lambang tekad wanita. Kelak
di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan
mengetahui tekat para wanita Jawa.”
Sunan Bonang pun berkata,
" Kau ini bangsa jin. Jadi kalau berani berdebat dengan manusia, namanya jin yang sombong.”
Kata Buta Locaya,
" Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu Jin,"
Sunan Bonang berkata,
“Trenggulun
ini kuberinama Kentos sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua debat
dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.”
Sunan
Bonang kemudian berjalan ke utara. Ketika menjelang salat asar, beliau
akan bersiap salat. Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba. Sumur itu
kemudian digulingkan. Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci untuk
bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling."
Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen,
ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga.
Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan
merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan.
Melihat
patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat besar.
Arca itu tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya
10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali
dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi.
"Tuan
ternyata orang jahil, patung yang masih baik dirusak tanpa alasan. Kini
menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya. Apakah
hasilnya bila tuan merusak patung itu ?"
Sunan Bonang :
"Patung
itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi sesaji
dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir
batin."
Kata Buta Locaya,
"Orang
Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya dan
berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani. Diberi nyala kemenyan, diberi
sesaji, agar para hantu tidak menempati tanah dan kayu yang dapat
menghasilkan untuk manusia. Para hantu mereka tempatkan di patung itu,
lalu tuan usir ke mana ? Telah lazim setan tinggal di gua, arca, dan
makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa
nyaman. Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di tempat
sepi dan rindang atau di bawah pohon besar.Mereka menyadari bahwa alam
halus berbeda dengan alam manusia."
Sunan Bonang Khilaf. Buta Locaya berkata,
"
Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan ? Mendapat wahyu agar pandai dan
cermat penglihatannya. Sedangkan yang membuat arca Batu adalah Prabu
Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan wahyu mulia. Dia pun pandai
dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum
terjadi. TUAN BERPEDOMAN KITAB, ORANG JAWA PUN BERBEDOMAN PETUAH DARI
PARA LELUHURNYA. SAMA2 MENGHARGAI KABAR, LEBIH BAIK MENGHARGAI KABAR
DARI LELUHUR SENDIRI DENGAN PENINGGALAN YANG MASIH BISA DISAKSIKAN.
Pulau
Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah
berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh. Pria tampak tampan,
wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin
melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan ukur.
Seandainya tidak benar, pukullah.
Yang
membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan menebak
sesuatu yang belum terjadi ? Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari
sini. Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud.
Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang ? Lalu akan hamba bawa ke
dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah ? Inginkah tuan
tinggal di Batu seperti hamba ? Mari ke Selabale menjadi murid hamba."
Sunan Bonang :
" Tak sudi mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan."
Buta Locaya berkata,
"
Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum
tentu seperti hamba. Tekat tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya.
Tampak di sini masih sering melakukan kesalahan, MENENTANG ADAT, MENENTANG AGAMA, MERUSAK KEBAIKAN, MENGGANGGU AGAMA LELUHUR. Tuan dapat disiksa dan dibuang ke Menado."
Sunan Bonang tak menggubris. Ia berkata :
"
Dadap ini bunganya kunamai celung, buahnya bernama kledung, karena aku
kecelung ( sesat ) pemikiran dan salah bicara. Jadi saksi ketika aku
berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan dan pemikiran. Sudah, aku akan
pulang ke Bonang."
Buta Locaya berkata,
"
Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas.
Bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal
air, dan mengurangi air."
PEMBUNUHAN SYECH SITI JENAR
Prabu
Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang patih tentang adanya
surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah
terjadi kerusakan di wilayah itu akibat ulah Sunan Bonang. Segera ia
mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya. Setelah tiba,
sang patih melaporkan semua yang telah terjadi. Namun, ia tak bisa
menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu kemana.
Saking
murkanya, Prabu Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di
Pulau Jawa pergi. Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang
diperbolehkan tinggal dan menyebarkan agama Islam. Apabila menolak akan
dibunuh.
Pernyataan
tersebut juga dibenarkan oleh patihnya, karena ulama Giripura telah
tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan
kerajaan sendiri. Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi
sang Prabu. Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.
Menyadari
kekeliruannya karena tidak menghadap Prabu Brawijaya di Majalengka,
Sunan Bonang mengajak Sunan Giri ke Demak. Di sana, mereka menyatu
dengan pasukan Adipati Demak (putera PB alias Raden Patah) dan mengajak
menyerbu ke Majalengka.
Kata Sunan Bonang (Muslim tulen yg penuh akal bulus itu),
"Ketahuilah,
kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur 103
tahun. Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja. Rusaklah
Kraton Majalengka dengan cara halus. Jangan sampai ketahuan.
Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata
perang. Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya."
(Baca cerita2 Modus Operandi Jihad Islam diseluruh dunia Inilah cara Muslim mengakali musuh mereka : dengan cara tipu daya.)
Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti saran Sunan Bonang.
"
Saya takut merusak negeri Majalengka. Melawan ayah, apalagi melawan
seorang raja yang telah memberikan kebahagian dan kebaikan di dunia.
Kata kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski
beragama Budha atau pun kafir."
Mendengar jawaban demikian, Sunan Bonang berkata,
" Meskipun melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya kerena dia kafir. Merusak kafir tua kamu akan masuk surga.
Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak bernalar. Seberapakah
pengetahuan santri Ngampelgading. Anak kelahiran Campa tak mungkin
menyamaiku, Sayid Kramat, Sunan Bonang yang dipujikan manusia sedunia,
keturunan rasul anutan semua umat Islam. Meski
kamu dosa, toh hanya kepada satu orang. Tetapi, semua manusia se Jawa
masuk Islam. Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.
Tuhan
masih cinta kepadamu. Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan
dirimu. Buktinya, kamu diberi nama Babah. Babah itu artinya tidak baik.
Hidup hanya untuk mati. Benih Jawa yang dibawa Putri Cina. Maka ibumu
diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, orang keturunan raksasa.
Itu memutus cinta namanya. Ayahmu tetap berhati tidak baik. Karena itu, balaslah dengan halus. Pokoknya jangan kelihatan. Dalam hati, isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya."
Kemudian, Sunan Giri (juga seorang Muslim tulen yang penuh dengan akal bulus) menyambung,
"
Aku tidak berdosa, dicari ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku
tidak menghadap ke Majalengka. Katanya, bila aku tertangkap akan diikat
rambutku dan disuruh memandikan anjing. Banyak orang Cina yang datang
ke Jawa. Di Giri banyak yang ku-Islamkan. Sebab, menurut Qur-an, bila
meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan surga. Kedatanganku ke sini
untuk minta perlindunganmu. Aku takut kepada patih dan ayahmu yang
sangat benci kepada santri yang suka berzikir. Katanya, sakit ayan pagi
dan sore. Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini."
Jawab sang Adipati Demak,
"
Ayahanda memburu tuan itu betul. Karena tuan Sunan mendirikan kraton.
Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja yang lebih
berkuasa. Maka, sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena Sunan
tidak menyadari makan minum di Pulau Jawa."
Namun, Sunan Bonang berkata lagi,
"Jika
tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi. Setelah ayahmu turun, tahta
itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan kepada Adipati Pranaraga
karena dia putra paling tua. Atau kepada menantunya, Ki Andayanigrat di
Pengging. Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja. Mati melawan kafir
mati sabilillah, mati menerima surga. Sudah biasa bagi orang Islam dalam
melawan orang kafir. Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi
raka, merestui kedudukanmu sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan menghilangkan agama Budha."
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pelindung-pelindungmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran
atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
pelindung-pelindungmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS
9:24)
Panjang
lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan
mau merusak Majalengka. Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau
melawan orang tuanya karena kafir.
Singkat
cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara datang
semua ke Demak. Berkumpul untuk mendirikan masjid. Kemudian sembahyang
bersama di masjid yang beru didirikan. Usai sembahyang pintu masjid
ditutup. Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa
Bupati Demak akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit.
Bila semua setuju akan segera dimulai. Semua setuju dan para bupati pun
setuju.
Hanya Syech Siti Jenar yang tidak setuju. Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar. Yang disuruh membunuh adalah Sunan Giri.
(Satu
lagi tindakan Islami para Sunan yang mencontoh kelakuan nabi! Bunuh
mereka yg tidak sepaham denganmu, karena itu dianggap melawan nabi dan
melawan Islam)
Setelah
sepakat, Adipati Demak diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa
bergelar Senopati Jimbuningrat dengan patih dari atas angin bernama
Patih Mangkurat. Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan
perangkat senjata perang berangkat menuju Majapahit diiringkan para
sunan dan bupati. Berjalan berarakan seprti Grebeg Maulud. Semua pasukan
tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para tumenggung, para sunan
dan para ulama.
Sunan
Bonang dan Sunan Giri tidak ikut dengan alasan telah lanjut usia.
Keduanya hanya akan salat di dalam masjid dan merestui perjalanan.
Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.
PERANG BUDHA MAJAPAHIT VS ISLAM DEMAK
Alkisah,
sepulang dari Giri, sang patih melaporkan hasil penaklukan terhadap
Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama Setyasena. Ia
membawa senjata pedang bertangkai panjang. Pasukannya berjumlah tiga
ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang berkepala gundul,
berpakaian serba seperti haji.
Dalam
berperang mereka lincah seperti belalang. Sementara pasukan Majapahit
menembaki. Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak
mampu menerima peluru. Senapati Setyasena menemui ajal.
Pasukan
Giri melarikan diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan
lari ke Bonang dan terus diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan
Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri ke Arab
dan tidak kembali ke Majapahit.
Maka
Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu
Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah
Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak mau menghadap
raja, bertekat melawan dengan perang.
Sang
Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan
dikirim ke Demak. Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati
menyerahkan surat terkenal (Menak Tanjangpura), mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.
Sedangkan
yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Para
Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam
mendukung. Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
Pasukannya
berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang, terserah
kepada Patih cara menghadap kepada raja. Surat dari Pati itu bertanggal 3
Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan wuku Prabangkat. Kyai Patih
sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.
Sangat heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja. Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat itu.
Mendengan
laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama tak
berkata. Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan yang
memiliki kemauan seperti itu. Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.
Sang
raja tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka.
Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak
masuk akal akan perbuatan jelek mereka itu.
Pikiran
sang raja sangat gelap. Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau
yang habis dimakan kutu babi hutan. Sang Prabu juga bertanya kepada sang
Patih, apa alasan Adipati Demak dan para ulama serta bupati tega
melawan Majapahit. Patih pun menjawab tak mengerti. Ki Patih juga heran,
pemikiran orang Islam ternyata tidak baik, diberi kebaikan membalas
dengan kejahatan.
Kemudian,
Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya sendiri.
Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan begitu mudah
terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para ulama
menyebarkan agama Islam.
Dari kebingungan hatinya, ia menyumpahi orang-orang Islam.
"
Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah kesedihan hamba.
Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya, menjelma menjadi
orang-orang kucir, karena tak tahu kebaikan. Kuberi kebaikan membalas
dengan kejahatan."
Sabda
sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad.
Terbukti dengan adanya suara menggeletar membelah bumi. Terkenal sampai
sekarang, ulama terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.
Tentang
kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan, Sang Prabu
meminta pertimbangan dari Patih. Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk
menguasai Majapahit harus dengan cara peperangan. Seumpama diminta
dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan karena Raja telah lanjut
usia.
Patih
menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja.
Jangan sampai merusak bala pasukan. Patih diminta memanggil Adipati
Pengging dan Adipati Pranaraga karena putra yang ada di Majapahit belum
saatnya maju berperang.
Setelah
memerintahkan demikian, sang Prabu meloloskan diri pergi ke Bali
diikuti Sabdopalon dan Nayagenggong. Ketika memberi perintah itu,
Pasukan Demak telah mengepung istana. Maka Sang Raja segera pergi dengan
terburu-buru.
Wadya
Demak kemudian perang dengan pasukan Majapahit. Patih Majapahit
mengamuk di tengah peperangan. Para Bupati Nayaka Majapahit delapan
orang juga ikut mengamuk. Perang itu sangat ramai. Pasukan Demak tiga puluh ribu, pasukan Majapahit hanya tiga ribu.
Karena Majapahit digulung musuh yang jumlahnya sekian banyak itu,
prajuritnya banyak yang tewas berguguran. Hanya Patih dan Bupati Nayaka
yang mengamuk semakin maju. Setiap prajurit Demak yang diterjang pasti
mati tegelempang. Putra Sang Prabu bernama Raden Lembu Pangarsa mengamuk di tengah peperangan, bertanding dengan Sunan Kudus. Ketika sedang ramai-ramainya perang tanding itu, Patih Mangkurat dari Demak
meluncurkan tombaknya. Putra raja terluka dan semakin hebat mengamuk.
Ia menerjang bagaikan banteng terluka, tidak ada yang ditakuti.
Patih
Majapahit tidak mempan senjata apapun, seperti tugu baja, tidak ada
senjata yang bisa menggores tubuhnya, siapa pun yang diterjang bubar
berlarian, yang menghadang terjungkal mampus. Bangkai manusia tumpang
tindih. Patih diberondong (peluru) dari kejauhan. Jatuhnya peluru
seperti hujan jatuh di batu watu. Sunan Ngundung
menghadang kemudian memedangnya tetapi tidak mempan. Sunan Ngundung
balas ditombak, tewas. Patih lalu dikerubuti prajurit Demak. Pasukan
Majapahit lama-lama habis. Seberapa kuat satu orang sendirian, akhirnya
Patih Majapahit gugur. Tetapi raganya musnah dan meninggalkan suara, “Ingat-ingat
orang Islam, kalian diberi kebaikan oleh rajaku tetapi membalas
kejahatan, tega merusak negara Majapahit, merebut negara melakukan
pembunuhan. Kelak kubalas, kuajari kalian benar salah, kutiup kepala
kalian, kucukur rambut kalian bersih-bersih.”
Setewasnya
Patih Majapahit, para Sunan kemudian masuk ke istana. Tetapi Sang Prabu
sudah tidak ada, yang ada hanya Ratu Mas, yaitu putri Campa, Sang Putri
diajak menyingkir ke Bonang. Para prajurit Demak kemudian masuk ke
istana. Mereka merampok sampai bersih. Orang kampung tidak ada yang
berani melawan. Raden Gugur yang masih kecil melarikan diri. Adipati Terung kemudian masuk ke dalam istana, membakari semua buku-buku ajaran Buddha. Orang-orang di sekeliling istana bubar, beteng dan bangsal dijaga anak buah Adipati Terung. Orang
Majapahit yang tidak mau takhluk kemudian mengungsi ke gunung dan
hutan-hutan. Adapun yang mau takhluk, kemudian dikumpulkan dengan orang
Islam, disuruh bersyahadat. Mayat para keluarga istana dan pamong praja
dikumpulkan, dikubur di sebelah tenggara istana. Kuburan tadi dinamakan Bratalaya. Menurut suatu riwayat disitu juga kuburan Raden Lembu Pangrasa.
NASEHAT NYAI AGENG KEPADA RADEN PATAH
Sesudah
tiga hari, Sultan Demak berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan
menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung.
Mereka diperintahkan menjaga keamanan keadaan dan segala kemungkinan
yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Sang Prabu. Di
Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus, setiap malam mereka
shalat hajat serta tadarus Al Qur’an. Sebagian pasukan dan para Sunan
ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat,
hanya tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja.
Setelah wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel.
Sang Prabu Jambuningrat (Raden Patah) sesampainya di Ampel, kemudian
menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Para Sunan dan para Bupati
berganti-ganti menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat
berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan
hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia juga melaporkan kematian Patih
Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh tanah
Jawa bergelar Senapati Jimbun. Beliau meminta restu, agar langgeng
bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memotong.
Nyai
Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul
Sang Prabu. Hati Nyai Ageng tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata “Cucuku,
kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi
kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa
tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan
dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi
kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat
berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini mati
hidupnya beliau pun tidak ada yang tahu.”
Nyai
Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, “Angger ! Aku akan
bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya, ayahandamu yang benar itu
siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa dan siapa
yang mengizinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?”
Raden
Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar
ayahandanya yang mengangkat dirinya menjadi raja memangku tanah Jawa dan
semua bupati pesisir, dan yang mengizinkan para Sunan. Mengapa
negara majapahit dirusak, karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan
masuk agama Islam, masih mempercayai agama kafir, Buda kawak dawuk
seperti kuwuk.
Nyai
Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya
merangkul Sang Prabu, dengan berkata, “Angger! Ketahuilah, kamu itu dosa
tiga hal mestinya kamu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan
Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugrah
kepada kamu. Kamu beran-beraninya mengganggu orang tanpa dosa. Adanya
Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya Gusti Allah
sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari
keinginan diri sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati
itu utama. Apabila Gusti Allah sudah mengizinkan, tidak usah disuruh,
sudah pasti dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat
rahman, tidak memerintahkan dan tidak menghalangi kepada orang beragama.
Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.
Gusti
Allah tidak menyiksa orang kafir yang tidak bersalah, serta tidak
memberi ganjaran kepada orang Islam yang bertindak tidak benar, hanya
benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah
asal-asalmu, ibu-mu Putri Cempa menyembah Pikkong, berwujud kertas atau
patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Buddha. Matamu
itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar
dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega menelan kepada
ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tata
krama. Berbeda matanya orang Jawa. Orang Jawa matanya hanya satu, maka
ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti
hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib
dijunjung tinggi.
Ikhlasnya
hati bakti kepada ayah, tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah
kewajiban manusia berbakti kepada orang tuanya. Kamu aku dongengi, Wong
Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci
kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar
menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat menjunjung
tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi
kekafirannya, tetapi posisinya sebagai orangtuanya. Maka Wong Agung
selalu menjunjung hormat kepaa mertuanya itu. Itulah angger yang
dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda
disia-siakan, mentang-mentang kafir Buddha tidak mau berganti agama. Itu
bukan patokanmu. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon
kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai
kamu rusak itu bagaimana?
Prabu
Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di
Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan
berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi di jaman kuno, ia berani
kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah
agama, bahkan sudah ditunjukkan mukjizat kepadanya, tetapi tidak
berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam,
tetapi ajakan tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka
kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua,
lahir batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mukjizatmu apa?
Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan
apa mukjizatmu, aku lihat?”
Prabu
Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mukjizat apa-apa, hanya menurut
perkataan buku, katanya apabila mengislamkan orang kafir besok akan
mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. Kata-kata saja kok dipercayai, pun bukan buku dari leluhur. Orang mengembara kok dituruti perkataanya,
yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih
mentah pengetahuanmu. Berani kepada orang tua, karena keinginanmu
menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu
itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan surban
putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam merah.
Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak
Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh
jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat,
wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya? Kini kamu minta izin
kepadaku, untuk menjadi raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang
mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya perempuan, nanti buwana balik
namanya. Karena kamu yang semestinya memberi izin kepadaku, karena kamu
Khalifutullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang tahu, seluruh
kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedangkan jika kamu nanti
tia, akan tetap menjadi tuanya seorang raja.”
Nyai
Ageng Ampel berkata lagi, “Cucu! Kamu aku ceritakan sebuah kisah, dalam
Kitab Hikayat diceritakan di tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya
menginginkan tahta ayahandanya. Nabi Dawud sampai mengungsi dari negara,
putranya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tidak lama kemudian
Nabi Dawud bisa kembali merebut negaranya. Putranya naik kuda melarikan
diri kehutan, kudanya lepas tersangkut-sangkut pepohonnan, sampai ia
tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.
Ada
lagi cerita Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu-buru tahta
ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi
raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmara
dari tanah seberang datang ke Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan
ilmu sulap di tanah Jawa. Orang jawa banyak yang cinta kepada aji Saka,
dan benci kepada Dewata Cengkar. Ajisaka diangkat menjadi raja, Dewata
Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut, dan berubah
menjadi buaya, tidak lama kemuian mati. Ada lagi cerita di Negara
Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya,
hukumnya masih seperti yang kuceritakan tadi, semua menemui sengsara.
Apa lagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa tata susila, kamu
pasti celaka, matimu pasti masuk neraka, yang demikian itu hukum Allah”.
Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat
menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.
Nyai Ageng Ampel masih meneruskan, “Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati.
Tapi kamu koq mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri,
lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang
tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha
Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh pengampunan. Pertama memusuhi ayah
sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak
negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Penging pasti
tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan membela kepada
ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu.”
Nyai
Ageng tumpah-ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu,
Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar
mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang
kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi
apabila tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia
akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.
PRABU JIMBUN (RADEN PATAH) KEMBALI KE DEMAK
Setelah
Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan
gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana dan berdzikir,
mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan
Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah.
Sunan
Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun. Sang Raja kemudian
melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku
agama Buddha sudah dibakari semua, serta melaporkan kalau ayahandanya
dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri
Cempa sudah diajak menugungsi ke Bonang.
Pasukan
Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam. Sunan Bonang
mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil
mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan
batinnya. Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta
(pesantren Ampel Gading) untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada
Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit,
serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di
Ampel ia malah dimarahi dan diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu
membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya
mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng
Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.
Mendengar
hal itu Sunan Bonang, dalam batin merasa menyesal dan bersalah karena
khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. (masak sih??) Tetapi (karena
gengsi dan sudah kepalang tanggung) rasa yang demikian tadi ditutupi
dengan pura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya dan Patihnya, karena tidak
mau pindah agama Islam.
Sunan
Bonang mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan
benar, karena pertimbangan wanita pasti kurang sempurna, lebih baik
penghancuran Majapahit dilanjutkan. Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldanta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun berjanji kepada Sunan Bonang untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.
Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang
Prabu Brawijaya diperintahkan menghadap dan meminta ampun akan semua
kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan di
tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah ke agama
Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar Jawa. (Benar2 Sunan
yang tau berbalas budi, persis seperti nabinya)
Sunan Giri kemudian menyambung, agar tidak menganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya lebih baik di tenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya.
Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri
yang demikian tadi. (Masak Islam mau tenung Budha, ga mampu lah)
SOLI DEO GLORIA
www.alfa-ome.ga