Etnis Tionghoa, terutama kaum perempuannya, adalah target paling lemah dan mudah dituju. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan perempuan Amoi etnis Tionghoa menjadi korban Pelecehan Seksual dan perkoasaan yang terjadi ketika rumah-rumah atau toko-toko mereka dibakar dan dijarah pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 dulu di Jakarta. Begitu biadabnya para pelaku Fankui, seolah mereka sudah tidak memiliki rasa perikemanusian sedikitpun.
Etnis Tionghoa, terutama kaum perempuannya, adalah target paling lemah
dan mudah dituju. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan perempuan Amoi
etnis Tionghoa menjadi korban pel3ceh@n s3ksu*l dan p3rk0saan yang
terjadi ketika rumah-rumah atau toko-toko mereka dibakar dan dijarah
pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998 dulu di Jakarta. Begitu biadabnya para
pelaku Fankui, seolah mereka sudah tidak memiliki rasa perikemanusian
sedikitpun.
Para korban Amoi tidak saja dilecehkan atau diperkosa, tapi ada pula
yang dicekik dan dibunuh, bahkan dimutilasi dan dibakar. Sebagian korban
mengalami gangguan jiwa sangat serius. Mengingat para korban sangat
trauma dan ketakutan untuk mengungkapkan peristiwa yang menimpa mereka,
maka para relawan bersikap pro aktif, dengan mencari para korban,
mengunjungi rumah sakit dan membuka hotline. Sejauh ini, tim sudah
mengidentifikasi sekitar 50 kasus.
Setiap harinya sekitar dua puluh lima perempuan Amoi menelepon hotline
tersebut. Berikut sejumlah kasus p3lec3han s3ksu*l dan p3rk0saan yang
telah diidentifikasi oleh Divisi Perempuan, yaitu kelompok relawan dari
berbagai LSM yang peduli terhadap nasib korban, dituturkan oleh
koordinatornya Ita Nadia.
Ketika para pegawai pulang naik bis didalam bis, penumpang di
pilah-pilah. Para penumpang bis yang kebanyakan perempuan Tionghoa
disuruh turun, disuruh membuka baju, dan kemudian disuruh jalan
berbaris. Mereka digiring ke padang ilalang dipinggir jalan dan di
pilah-pilah lagi. Yang berparas cantik diperkosa. Sedangkan yang
berparas tidak begitu cantik disuruh berjalan telanjang. Kasus
berikutnya, perempuan-perempuan Tionghoa secara ramai-ramai ditelanjangi
dijalan raya, kemudian tubuhnya digerayangi. Kami menemukan putingnya
ada yang sobek dan seluruh badan memar.
Ada lagi kasus lain, seperti insiden pemerkosaan pegawai bank swasta.
Sebanyak sepuluh orang memasuki bank dan menutup bank tersebut. Para
pegawai perempuan yang Tionghoa disuruh menari-nari dengan telanjang.
Kemudian kasus lain, ada tiga anak gadis dari keluarga Tionghoa miskin
yang diperkosa. Mereka berumur sepuluh sampai delapan belas tahun,
diperkosa oleh tujuh orang disebuah tempat di Jakarta Utara.
Yang berikutnya, adalah sebuah keluarga Tionghoa yang kebetulan kakak
perempuan para korban mengaku kepada Ita Nadia bahwa dua adik
perempuannya diperkosa di lantai tiga rumah mereka oleh tujuh orang
pula. Setelah diperkosa, dua adik perempuan itu didorong ke lantai dua
dan satu dimana api telah berkobar, sehingga dua adik tersebut
meninggal. Itu beberapa kasus. Pada kasus-kasus lain, mereka biasanya
diperkosa kemudian dicekik.
Tetapi ada juga yang ketika diperkosa, korban Amoi kemudian membunuh
diri. Para korban ini tidak hanya diperkosa di vagina tetapi juga di
dubur, juga diikuti pula dengan pengrusakan vagina. Itu dilakukan secara
sistematis karena tidak dilakukan oleh orang biasa. Secara politis,
bisa dikatakan bahwa ini adalah perbuatan untuk menunjukkan, “Kalau kamu
menuntut reformasi dan demokrasi, ini adalah bagian yang harus kamu
bayar. Dan bagian yang harus kamu bayar adalah mengorbankan etnis
Tionghoa. Dalam hal ini perempuan dijadikan sebagai target untuk
membangun sebuah teror atau ketakutan di masyarakat untuk mengintimidasi
masayarakat. Jadi dipilihlah etnis Tionghoa (terutama perempuan) dan
komunitas non Muslim, karena merekalah yang paling lemah.”
Tim relawan untuk kemanusian Divisi Perempuan sesungguhnya adalah tim
relawan untuk kemanusiaan yang lebih besar, yang dipimpin Romo
Sandyawan. “Tim sudah melakukan identifikasi korban-korban kerusuhan
yang jumlahnya mencapai 1333 orang, hampir sebagian besar adalah orang
Tionghoa. Sekarang, kami sungguh-sungguh sangat marah karena perempuan
dijadikan target atau obyek untuk mengintimidasi masyarakat lewat
kekerasan s3ksu@l. Ini adalah state vi0lence.” demikian kata Sandyawan.
SOLI DEO GLORIA
www.alfa-ome.ga