Orang-orang Muslim terbungkus rapat
dalam kebohongan. Karena berbicara menentang Islam adalah sebuah
kejahatan yang harus dihukum mati, maka tidak ada seorangpun yang berani
mengatakan kebenaran. Mereka yang mengatakan kebenaran, tidak akan
hidup lama. Mereka langsung dibungkam. Jadi bagaimana anda bisa tahu
kebenaran kalau semua yang anda dengar hanyalah kebohongan?
Diposkan oleh Ali Sina
pada tanggal 12 Juni 2012
Setelah membaca Qur’an, perspektif saya
terguncang. Saya mendapati diri saya berhadapan muka dengan kebenaran
dan saya takut untuk melihatnya. Itu bukanlah sesuatu yang ingin saya
lihat. Saya tidak dapat menyalahkan siapapun, mengutuk dan mengatainya
sebagai pendusta. Dengan membaca Qur’an saya menemukan absurditas Islam
dan tidak manusiawinya pengarangnya. Dan saya syok. Namun syok ini
menyadarkan saya dan menghadapkan saya pada kebenaran. Sayangnya, ini
adalah sebuah proses yang sangat sulit dan menyakitkan. Kita tidak dapat
terus membungkus kebenaran dengan gula. Kebenaran itu pahit, dan itu
harus diterima. Kenyataan itu ‘keras kepala’ dan tidak mau pergi. Hanya
dengan begitu proses pencerahan bisa dimulai.
Lembah 1: SYOK
Tetapi oleh karena kadar kepekaan tiap
orang berbeda, apa yang mengejutkan orang lain belum tentu juga akan
mengejutkannya. Bahkan sebagai seorang pria saya terkejut ketika saya
membaca bahwa Muhammad memerintahkan para pengikutnya untuk memukuli
istri-istri mereka dan ia menyebut kaum wanita sebagai makhluk yang
“kurang kecerdasannya”. Padahal saya telah berjumpa dengan banyak wanita
Muslim yang tidak mengalami kesulitan untuk menerima pernyataan yang
merendahkan ini yang disampaikan oleh nabi mereka. Bukan karena mereka
setuju bahwa mereka memiliki inteligensi yang rendah atau mereka percaya
bahwa mayoritas penghuni neraka adalah kaum wanita hanya karena nabi
berkata demikian, namun hanya karena mereka dihalangi untuk mendapatkan
informasi itu. Mereka membacanya, tapi tidak menghayatinya. Mereka
menyangkalinya. Penyangkalan adalah sebuah perisai yang menutupi dan
melindungi mereka, yang menyelamatkan mereka agar mereka tidak usah
menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Jika perisai itu disingkirkan,
tidak ada yang dapat mengembalikannya lagi. Pada titik ini iman mereka
harus diserang dari berbagai arah yang berbeda. Kita harus membombardir
mereka dengan pengajaran Qur’an lainnya yang mengejutkan. Pastilah ada
salah-satu yang menjadi kelemahan mereka. Itulah yang mereka butuhkan:
sebuah kejutan yang baik. Kejutan itu sangat menyakitkan, tapi dapat
menyelamatkan hidup. Kejutan biasa digunakan para dokter untuk
menghidupkan kembali pasien yang sudah mati.
Untuk pertama kalinya, internet telah
mengubah keseimbangan kekuatan. Kini kekuatan brutal dari senjata api,
penjara dan laskar kematian tidak berdaya dan pena berkuasa. Untuk
pertama kalinya, orang Muslim tidak dapat membunuh kebenaran dengan
membunuh utusan kebenaran. Kini sejumlah besar orang Muslim terhubung
dengan kebenaran dan mereka merasa tidak berdaya. Mereka ingin
membungkam suara ini, namun tidak sanggup. Mereka berusaha melarang dan
menutup situs-situs yang mengekspos kepercayaan mereka yang mereka
agungkan; kadang untuk sementara waktu mereka berhasil, tapi banyak kali
mereka gagal. Saya menciptakan sebuah situs untuk mendidik orang Muslim
mengenai Islam yang sejati. Saya mengalamatkannya di Tripod.com. Para
penganut Islam memaksa Tripod untuk menutupnya dan para eksekutif Tripod
bersikap pengecut dengan menuruti orang-orang Muslim itu. Saya
mendapatkan tempat saya dan situs itu kembali lagi setelah beberapa
minggu. Oleh karena itu, cara-cara lama dengan membunuh orang-orang yang
dianggap sesat, membakar kitab-kitab mereka, dan membungkam mereka
dengan teror tidak akan berhasil. Mereka tidak dapat menghentikan orang
agar tidak membaca. Walaupun situs saya dilarang di Arab Saudi, Uni
Emirat Arab dan di banyak negara Islam lainnya, sejumlah besar orang
Muslim yang tidak pernah tahu kebenaran tentang Islam terekspos dengan
kebenaran untuk pertama kalinya, dan mereka terkejut.
Saya bertemu dengan seorang wanita di
internet yang berpaling pada Islam dan mulai mengenakan jilbab. Dia
memiliki sebuah situs yang memuat gambar dirinya tertutup dari ujung
kepala sampai ujung kaki dengan pakaian hitam dan kerudung hitam, dan
juga kisah bagaimana ia menjadi seorang Muslim. Ia sangat aktif dan ia
selalu menasehati orang agar tidak membaca tulisan-tulisan saya. Namun,
ketika ia membaca tulisan saya mengenai Safiyah, wanita Yahudi yang
ditawan dan diperkosa Muhammad setelah nabi membunuh suaminya, juga
ayahnya dan banyak kerabatnya, ia pun terkejut. Ia bertanya pada
orang-orang Muslim lainnya mengenai hal itu, namun sia-sia. Lalu pintu
itu terbuka dan ia diusir dari surga ketidakpedulian. Ia terus menulis
kepada saya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Akhirnya, ia melewati
tahap berikut dari iman yang buta kepada pencerahan dengan sangat cepat
dan berterimakasih pada saya karena telah membimbingnya menjalani jalan
yang sulit ini. Kemudian ia mengundurkan diri dari klub-klub islami
Yahoo!
Ketika orang mengetahui kehidupan
Muhammad yang tidak suci dan absurditas Qur’an, mereka terkejut. Saya
ingin mengekspos Islam; menulis kebenaran mengenai kotornya hidup
Muhammad, perkataan-perkataannya yang penuh kebencian,
gagasan-gagasannya yang tidak masuk akal; dan membombardir orang Muslim
dengan kenyataan-kenyataan. Mereka akan jadi marah. Mereka akan mengutuk
saya, menghina saya, dan mengatakan pada saya bahwa setelah mereka
membaca artikel-artikel saya iman mereka pada Islam semakin “dikuatkan”.
Tapi itu terjadi ketika saya tahu bahwa saya telah menabur benih
keraguan dalam benak mereka. Mereka mengatakan semua itu karena mereka
terkejut dan telah masuk ke tahap penyangkalan. Benih keraguan telah
ditanamkan, dan akan bertunas. Untuk beberapa orang hal itu membutuhkan
waktu bertahun-tahun, namun jika diberi kesempatan tunas itu pada
akhirnya akan berkembang.
Keraguan adalah karunia terbesar yang
dapat kita berikan pada sesama kita. Keraguan adalah karunia pencerahan.
Keraguan akan membebaskan kita, akan mengembangkan pengetahuan, dan
akan menyingkapkan misteri alam semesta ini.
Salah-satu rintangan yang harus diatasi
adalah tradisi dan nilai-nilai palsu yang dicekokkan pada kita melalui
pendidikan agama selama ribuan tahun. Dunia ini masih menghargai iman
dan menganggap keraguan sebagai sebuah tanda kelemahan. Orang
membicarakan tokoh-tokoh iman dengan hormat dan menghina orang-orang
yang imannya sedikit. Kita terbelit kusut dalam nilai-nilai kita.
Keraguan di lain pihak berarti,
kebalikan dari yang di atas. Keraguan berarti mampu berpikir secara
mandiri, mempertanyakan, dan bersikap skeptis. Kita berhutang sains dan
peradaban modern yang saat ini kita miliki pada para pria dan wanita
yang mempunyai keraguan – bukan pada orang-orang yang beriman. Mereka
yang ragu adalah para pelopor; merekalah para pemimpin pemikiran. Mereka
adalah para filsuf, para pencipta dan penemu. Mereka yang beriman
menjalani hidup dan mati sebagai pengikut-pengikut, dan hanya sedikit
berkontribusi, atau bahkan tidak sama sekali, terhadap kemajuan sains
dan pemahaman manusia.
Lembah 2: PENYANGKALAN
Setelah dikejutkan, atau juga terus
menerus dikejutkan, orang akan menyangkal. Mayoritas orang Muslim
terperangkap dalam penyangkalan. Mereka tidak mampu dan tidak ingin
mengakui bahwa Qur’an adalah sebuah cerita bohong. Mereka berusaha keras
menjelaskan apa yang tidak dapat dijelaskan, menemukan mujizat di
dalamnya, dan dengan rela membengkokkan semua aturan logis untuk
membuktikan bahwa Qur’an itu benar. Tiap kali mereka diperhadapkan
dengan suatu pernyataan yang mengejutkan di dalam Qur’an atau suatu
perbuatan tercela yang dilakukan Muhammad, mereka mengundurkan diri ke
dalam penyangkalan. Inilah yang saya lakukan dalam tahap pertama
perjalanan saya. Penyangkalan adalah tempat yang aman. Penyangkalan
adalah ketidakmauan untuk mengakui bahwa anda telah ditendang keluar
dari surga ketidakpedulian. Anda mencoba untuk kembali, enggan mengambil
langkah maju. Dalam penyangkalan anda menemukan zona nyaman anda. Dalam
penyangkalan anda tidak akan disakiti, semuanya oke, semuanya baik-baik
saja.
Kebenaran itu teramat sangat
menyakitkan, terutama jika orang sudah terbiasa berbohong selama
hidupnya. Tidaklah mudah bagi seorang Muslim untuk memandang Muhammad
sebagaimana adanya dia. Itu seperti mengatakan pada seorang anak bahwa
ayahnya adalah seorang pembunuh, seorang pemerkosa dan pencuri. Seorang
anak yang memuja ayahnya tidak dapat menerima hal itu sekalipun semua
bukti yang ada di seluruh dunia diperlihatkan padanya. Kejutan itu
terlalu keras sehingga yang dapat dilakukannya adalah menyangkal. Ia
akan menyebut anda seorang pembohong, ia akan membenci anda karena anda
telah menyakitinya, mengutuk anda, menganggap anda sebagai musuhnya, dan
bahkan meledak dalam kemarahan dan akan menyerang anda secara fisik.
Ini adalah tahap penyangkalan. Ini
adalah mekanisme pertahanan diri. Jika terlalu menyakitkan, penyangkalan
akan membuang rasa sakit itu. Jika seorang ibu diberitahu bahwa anaknya
telah meninggal dalam sebuah kecelakaan, seringkali reaksi pertamanya
adalah menyangkal. Dalam masa kekacauan besar, orang biasanya terhanyut
dalam perasaan bahwa semua ini hanyalah sebuah mimpi buruk dan pada
akhirnya ia akan terbangun dan semuanya akan baik-baik saja. Sayangnya,
kenyataan itu keras dan tidak mau pergi. Orang dapat hidup dalam
penyangkalan untuk sementara waktu, namun cepat atau lambat kebenaran
harus diterima.
Orang-orang Muslim terbungkus rapat
dalam kebohongan. Karena berbicara menentang Islam adalah sebuah
kejahatan yang harus dihukum mati, maka tidak ada seorangpun yang berani
mengatakan kebenaran. Mereka yang mengatakan kebenaran, tidak akan
hidup lama. Mereka langsung dibungkam. Jadi bagaimana anda bisa tahu
kebenaran kalau semua yang anda dengar hanyalah kebohongan? Di satu
pihak Qur’an mengklaim dirinya sebagai sebuah mujizat dan menantang
setiap orang untuk menghasilkan sebuah Surah seperti itu:
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu, dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.
Sura 2:23.
Lalu Qur’an memerintahkan para
pengikutnya untuk membunuh siapapun yang berani mengkritik atau
menantang Qur’an. Jika anda berani menanggapi tantangan itu dan membuat
sebuah Sura yang ditulis seburuk Qur’an, anda akan dituduh
telah mengolok-olok Islam, dan harus dihukum mati. Dalam atmosfir
ketidaktulusan dan penipuan ini, kebenaran dikorbankan.
Rasa sakit yang dialami saat berhadapan
muka dengan kebenaran dan menyadari bahwa semua yang kita percayai
selama ini ternyata hanyalah kebohongan adalah sesuatu yang sangat
menyakitkan. Satu-satunya mekanisme dan cara alamiah untuk mengatasinya
adalah dengan menyangkal. Penyangkalan mengusir kepedihan. Penyangkalan
adalah angin yang menyejukkan, walau sesungguhnya bagai menyembunyikan
kepala di dalam pasir.
Tidak ada seorangpun yang dapat tinggal
dalam penyangkalan selamanya. Malam akan segera tiba dan angin dingin
kenyataan akan berhembus membekukan tulang, lalu anda akan menyadari
bahwa anda tidak lagi berada di dalam surga ketidakpedulian. Pintu itu
telah tertutup dan kuncinya sudah dibuang. Anda tahu terlalu banyak.
Anda adalah orang yang terbuang. Dengan rasa takut anda menatap
kegelapan dan jalan berkelok hampir-hampir tidak dapat anda lihat dalam
temaram ketidakpastian anda, dan memantapkan hati anda mengambil
langkah-langkah pertama menuju takdir yang tidak anda ketahui. Anda
bergulat dan meraba-raba, dengan hati enggan berusaha untuk tetap fokus.
Tetapi ketakutan menyelubungi anda dan setiap kali anda mencoba berlari
kembali ke taman itu, anda sekali lagi diperhadapkan dengan pintu yang
tertutup.
Mayoritas besar orang Muslim hidup dalam
penyangkalan. Mereka tinggal di balik pintu-pintu yang tertutup. Mereka
tidak dapat kembali dan juga tidak berani untuk berpaling. Mereka yang
ada di dalam taman adalah orang-orang yang tidak pernah meninggalkannya.
Pintu taman itu hanya akan mengeluarkan anda. Anda tidak dapat masuk.
Taman yang indah itu adalah taman ketidakpastian. Taman itu disediakan
untuk orang-orang yang setia, bagi mereka yang tidak pernah ragu, bagi
mereka yang tidak berpikir. Mereka mempercayai apa saja. Mereka percaya
dan akan tetap percaya bahwa malam itu siang, dan siang adalah malam.
Mereka percaya bahwa Muhammad naik ke langit ke-7, bertemu dengan Tuhan,
membelah bulan, dan bergumul dengan jin-jin.
Orang-orang beriman ini tidak akan
melihat kebenaran jika mereka terbungkus rapat dalam kebohongan secara
permanen. Sejauh ini apa yang telah mereka dengar adalah dusta yang
mengatakan bahwa Islam itu baik dan jika saja orang-orang Muslim
mempraktekkan Islam yang sejati, maka dunia akan menjadi surga; bahwa
semua permasalahan yang dihadapi Islam adalah kesalahan dari orang-orang
Muslim semata. Ini adalah kebohongan. Banyak orang Muslim yang baik.
Mereka tidak lebih buruk dan tidak lebih baik dari orang lain. Islamlah
yang membuat mereka melakukan kejahatan-kejahatan. Orang Muslim yang
melakukan hal-hal yang buruk adalah mereka yang mengikuti Islam. Islam
memicu insting kriminal dalam diri manusia. Semakin kuat keislaman
seseorang, semakin ia haus darah, penuh kebencian, dan semakin menjadi
zombie.
Saya ingin menyangkali apa yang telah
saya baca. Saya ingin percaya bahwa makna Qur’an yang sesungguhnya
bukanlah seperti yang saya baca, tapi saya tidak bisa. Saya
tidak dapat lagi membodohi diri sendiri dengan mengatakan bahwa
ayat-ayat yang tidak manusiawi ini telah dikeluarkan dari konteksnya.
Qur’an tidak mempunyai konteks! Ayat-ayat dikumpulkan secara acak, dan
seringkali tidak berhubungan satu dengan yang lainnya.
Orang-orang yang membaca artikel saya
dan tersakiti oleh apa yang saya katakan mengenai Qur’an dan Islam
adalah orang-orang yang beruntung. Mereka dapat menyalahkan saya. Mereka
dapat membenci saya, mengutuk saya, dan mengarahkan semua kemarahan
mereka pada saya. Namun, ketika saya membaca Qur’an dan mempelajari
isinya, saya tidak dapat menyalahkan siapapun. Setelah menjalani tahap
syok dan penyangkalan, saya bingung dan menyalahkan diri sendiri. Saya
membenci diri saya sendiri karena saya berpikir, meragukan, dan karena
saya menemukan kesalahan dari apa yang saya percayai sebagai
perkataan-perkataan Allah.
Seperti halnya semua orang Muslim, saya
diperhadapkan dan menerima begitu banyak kebohongan, absurditas, dan
hal-hal yang tidak berperikemanusiaan. Saya dibesarkan sebagai orang
yang religius. Saya mempercayai apa saja yang dikatakan kepada saya.
Kebohongan-kebohongan itu diberikan pada saya dalam dosis yang kecil,
secara bertahap, sejak saya masih kanak-kanak. Saya tidak pernah
diberikan pilihan lain sebagai pembanding. Itu seperti vaksinasi. Saya
jadi kebal terhadap kebenaran. Tetapi ketika saya mulai membaca Qur’an
secara serius dari depan sampai belakang dan memahami apa yang dikatakan
kitab ini, saya merasa mual. Semua kebohongan ini tiba-tiba muncul di
hadapan saya.
Saya telah mendengar semuanya itu dan
telah menerimanya. Pemikiran rasional saya mati rasa. Saya telah menjadi
tidak peka terhadap absurditas Qur’an. Ketika saya menemukan sesuatu
yang tidak masuk akal, saya menyingkirkannya dan mengatakan pada diri
saya sendiri bahwa saya harus melihat “gambar besarnya”. Namun gambar
besar yang indah itu tidak dapat saya temukan dimanapun kecuali dalam
pikiran saya sendiri. Saya menggambarkan Islam yang sempurna; sehingga
semua absurditas itu tidak mengganggu saya karena saya tidak
memperhatikannya. Ketika saya membaca Qur’an secara menyeluruh, saya
menemukan gambaran yang berbeda dari apa yang ada dalam pikiran saya.
Gambaran yang baru mengenai Islam timbul dari halaman-halaman Qur’an
yang kejam, tidak bertoleransi, tidak rasional, sombong; jauh dari
gambaran Islam sebagai agama yang damai, yang mengajarkan kesetaraan dan
toleransi.
Di hadapan banyak absurditas ini, saya
harus menyangkalinya agar saya tetap waras. Namun demikian, berapa lama
saya dapat terus menyangkali kebenaran sedangkan kebenaran itu bersinar
dengan terang benderang di hadapan saya? Saya membaca Qur’an dalam
bahasa Arab, jadi saya tidak dapat menyalahkan penerjemahan yang
buruk/tidak tepat. Di kemudian hari saya membaca terjemahan-terjemahan
lain. Saya menyadari bahwa banyak terjemahan dalam bahasa Inggris tidak
sepenuhnya tepat. Para penerjemah telah berusaha keras untuk
menyembunyikan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan dan kekejaman di
dalam Qur’an dengan memutar-balikkan kata-kata di dalam Qur’an dan
menambahkan perkataan mereka sendiri, kadang-kadang dalam tanda kurung,
untuk memperhalus kekerasan. Qur’an dalam bahasa Arab lebih mengejutkan
dari pada terjemahan-terjemahan Qur’an dalam bahasa Inggris.
Lembah 3: BINGUNG
Saya bingung dan tidak tahu kemana harus
bertanya. Iman saya telah digoncangkan dan dunia saya runtuh. Saya
tidak dapat lagi menyangkali apa yang saya baca. Namun, saya tidak dapat
menerima kemungkinan bahwa semua ini hanyalah kebohongan besar. Bagaimana
bisa? Saya terus bertanya pada diri sendiri, begitu banyak
orang yang belum pernah melihat kebenaran sedangkan saya dapat
melihatnya? Bagaimana mungkin orang berhikmat seperti Jalaleddin Rumi
tidak melihat kalau Muhammad adalah seorang penipu dan bahwa Qur’an
adalah sebuah kebohongan, sedangkan saya dapat melihat semua itu? Maka
kemudian saya memasuki tahap rasa bersalah.
Rasa bersalah itu berlangsung selama
berbulan-bulan. Saya membenci diri saya sendiri karena memiliki
pikiran-pikiran ini. Saya merasa Tuhan sedang menguji iman saya. Saya
merasa malu. Saya berbicara dengan orang-orang terpelajar yang saya
percayai, orang-orang yang tidak hanya berilmu namun juga yang saya
anggap bijaksana. Saya hanya mendapatkan sedikit jawaban yang dapat
memadamkan api yang menyala-nyala dalam diri saya. Salah seorang dari
kaum terpelajar itu mengatakan agar saya berhenti membaca Qur’an untuk
sementara waktu. Ia menganjurkan agar saya berdoa dan hanya membaca
buku-buku yang dapat menguatkan iman saya. Saya melakukannya, tapi itu
sama sekali tidak menolong. Pikiran-pikiran mengenai absurditas, kadang
kekerasan dan ayat-ayat aneh dalam Qur’an terus berdentam dalam kepala
saya. Setiap kali saya menatap rak buku saya dan melihat kitab itu, saya
merasa sakit. Saya mengambilnya dan menyembunyikannya di balik
buku-buku lain. Saya berpikir jika saya tidak memikirkannya untuk
sementara waktu, pikiran-pikiran negatif saya akan pergi dan saya akan
memperoleh iman saya kembali. Ternyata tidak. Saya menyangkal dengan
segenap kemampuan saya, sampai saya sudah tidak sanggup lagi. Saya
terkejut, bingung, merasa bersalah, dan semua itu menyakitkan.
Lembah 4: RASA BERSALAH
Periode merasa bersalah ini berlangsung
sangat lama. Suatu hari saya memutuskan bahwa ini cukup sampai disini
saja. Saya mengatakan pada diri saya sendiri bahwa ini bukanlah
kesalahan saya. Saya tidak ingin membawa rasa bersalah ini
selamanya, memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal bagi saya. Jika
Tuhan memberi saya otak, itu karena Ia ingin saya menggunakannya. Jika
apa yang saya terima sebagai sesuatu yang benar dan salah telah
dibengkokkan, maka itu bukan kesalahan saya.
Ia mengatakan pada saya bahwa
membunuh adalah perbuatan yang jahat dan saya sadar bahwa membunuh itu
jahat, karena itu saya tidak mau dibunuh. Lalu mengapa utusan-Nya
membunuh begitu banyak orang yang tidak berdosa dan memerintahkan para
pengikut-Nya untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman? Jika
memperkosa adalah perbuatan yang jahat, dan saya tahu bahwa itu jahat,
karena saya tidak mau hal itu terjadi pada orang yang saya kasihi,
mengapa Nabi Allah memperkosa wanita-wanita yang menjadi tawanan
perangnya? Jika perbudakan itu jahat, dan saya tahu itu jahat karena
saya tidak suka kehilangan kebebasan saya dan menjadi seorang budak,
mengapa nabi Allah memperbudak begitu banyak orang dan memperkaya
dirinya sendiri dengan menjual mereka? Jika pemaksaan agama adalah hal
yang jahat, dan saya tahu itu jahat karena saya tidak suka ada orang
yang memaksakan agamanya pada saya sedangkan saya tidak menginginkannya,
lalu mengapa nabi menyanjung jihad dan mendorong para pengikutnya untuk
membunuh orang-orang yang tidak beriman, merampok mereka, dan
mendistribusikan kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai rampasan
perang? Jika Tuhan mengatakan pada saya bahwa sesuatuhal itu
baik, dan saya tahu bahwa itu baik karena mendatangkan kebaikan pada
saya, lalu mengapa nabi-Nya melakukan hal yang sebaliknya?
Lembah 5: KECEWA
Ketika rasa bersalah itu telah diangkat
dari pundak saya, kecemasan, kekecewaan dan sinis pun datang. Saya
menyesal karena telah menyia-nyiakan begitu banyak tahun dalam hidup
saya, dan bagi semua orang Muslim yang masih terperangkap dalam
kepercayaan-kepercayaan yang tolol ini, bagi semua yang telah kehilangan
hidup mereka atas nama doktrin-doktrin yang palsu ini, bagi semua
wanita di negara-negara Islam yang menderita segala macam penyiksaan dan
penindasan. Mereka bahkan tidak tahu kalau mereka sedang disiksa.
Saya memikirkan semua perang yang
dilakukan atas nama agama – begitu banyak orang mati sia-sia. Jutaan
orang beriman meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk berperang
dalam nama Allah, tidak pernah kembali, mereka mengira mereka sedang
menyebarkan iman kepada Allah. Mereka membantai jutaan orang tidak
berdosa. Peradaban-peradaban dihancurkan, perpustakaan-perpustakaan
dibakar, dan begitu banyak pengetahuan hilang sia-sia. Saya teringat
suatu kali ayah saya bangun waktu hari masih gelap sebelum fajar tiba
dan ia mempraktekkan voodoo di air yang sangat dingin di musim salju.
Saya ingat bagaimana dia pulang dengan lapar dan haus selama bulan
puasa, dan saya memikirkan jutaan orang yang menyiksa dirinya sendiri
dengan cara ini untuk sesuatu yang sia-sia saja. Kenyataan bahwa semua
yang telah saya percayai adalah sebuah kebohongan dan semua yang telah
saya lakukan hanyalah menyia-nyiakan hidup saya, serta masih ada jutaan
orang yang tersesat di padang gurun ketidakpedulian yang gersang dan
mengejar bayangan yang terlihat oleh mereka seperti air, maka semua hal
itu ternyata mengecewakan.
Sebelumnya Tuhan selalu ada dalam
pikiran saya. Dalam imajinasi saya, saya selalu berbicara dengan-Nya,
dan percakapan-percakapan itu bagi saya adalah sesuatu yang nyata. Saya
merasa Tuhan memperhatikan saya dan menghitung semua perbuatan baik yang
saya lakukan. Perasaan bahwa ada yang yang memperhatikan saya, memimpin
langkah-langkah saya, dan menjaga saya adalah hal yang menenteramkan.
Sulit bagi saya untuk menerima bahwa Allah itu tidak ada dan seandainya
pun Tuhan itu ada, maka itu bukanlah Allah. Saya tidak berhenti percaya
kepada Tuhan, namun kemudian saya yakin bahwa jika alam semesta ini
memiliki seseorang yang menciptakannya, maka itu bukanlah sesembahan
yang diberitakan oleh Muhammad. Allah itu amat sangat tidak peduli.
Qur’an itu penuh dengan kesalahan. Tidak ada Pencipta alam semesta ini
yang sebodoh sesembahan yang digambarkan oleh Qur’an. Allah tidak eksis
dimanapun, kecuali dalam pikiran orang yang tidak waras. Saya menyadari
bahwa Allah hanyalah isapan jempol dari imajinasi Muhammad, dan tidak
lebih daripada itu. Betapa kecewanya saya ketika saya menyadari bahwa
selama bertahun-tahun saya telah berdoa kepada sebuah fantasi.
Perasaan kehilangan dan kekecewaan ini
disertai dengan kesedihan, dan juga depresi. Seakan-akan dunia saya
sudah hancur berkeping-keping. Saya merasa seakan-akan tanah tempat saya
berpijak sudah tidak ada lagi dan saya jatuh ke dalam jurang yang tidak
ada dasarnya. Tanpa bermaksud membesar-besarkannya, saya merasa seperti
berada dalam neraka.
Saya tersesat, memohon pertolongan,
namun tidak ada yang sanggup menolong saya. Saya merasa malu akan
pikiran-pikiran saya dan membenci diri saya sendiri karena mempunyai
pikiran-pikiran seperti itu. Perasaan bersalah itu disertai dengan
perasaan kehilangan dan depresi yang kuat. Saya adalah orang yang
berpikiran positif. Saya melihat sisi baik dari segala sesuatu. Saya
selalu berpikiran bahwa esok akan lebih baik daripada hari ini. Saya
bukanlah orang yang mudah depresi. Namun, perasaan kehilangan ini sangat
mencengkeram saya. Saya masih merasakan beban itu dalam hati saya. Saya
merasa Tuhan telah meninggalkan saya dan saya tidak tahu mengapa. “Inikah
penghukuman Tuhan?” Saya terus bertanya pada diri sendiri. Seingat
saya, saya tidak pernah menyakiti siapapun. Saya selalu berusaha
menolong orang yang berpapasan dengan saya dan yang meminta pertolongan
saya. Jadi, mengapa Tuhan ingin menghukum saya dengan cara seperti
ini? Mengapa Ia tidak menjawab doa-doa saya? Mengapa Ia membiarkan saya
bergumul dengan diriku sendiri dandengan pertanyaan-pertanyaan dalam
pikiran saya yang tidak ada jawabannya? Apakah Ia ingin menguji saya?
Lalu, mana jawaban untuk doa-doa saya? Apakah saya akan lulus dari ujian
ini jika saya menjadi bodoh dan berhenti menggunakan otak saya? Jika
demikian, mengapa ia memberikan otak pada saya? Apakah hanya orang-orang
bodoh yang dapat lulus dari ujian iman ini?
Saya merasa dikhianati dan dijahati.
Saya tidak dapat mengatakan perasaan apa yang palling dominan. Ada
kalanya saya kecewa, sedih dan putus asa. Walaupun iman adalah sesuatu
yang tidak benar, rasanya masih manis. Beriman itu sangat menenteramkan.
Saat saya mulai menyingkirkan perasaan
sedih dan kehilangan itu, maka saya pun merasa terbebas. Tak lama
kemudian saya tidak lagi merasa bersalah dan bingung. Saya yakin bahwa
Qur’an adalah suatu kebohongan dan Muhammad adalah seorang penipu.
Untuk mengatasi kesedihan ini saya
berusaha menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Saya bahkan belajar
menari dan mengalami apa artinya hidup, bebas dari rasa bersalah,
menikmati hidup dan menjadi normal. Saya menyadari betapa saya telah
banyak kehilangan dan betapa dengan bodohnya saya telah melewatkan
banyak kesenangan sederhana dalam hidup. Sudah barang tentu,
penyangkalan adalah cara yang digunakan bidat untuk mengontrol para
pengikutnya. Saya telah menjauhkan diri dari kesenangan-kesenangan
sederhana dalam hidup, dulu hidup dalam ketakutan yang terus menerus
terhadap Tuhan, dan saya pikir semua itu normal saja. Saya meninggalkan
nikmatnya tidur di pagi buta, menari, berkencan, atau menyeruput segelas
anggur yang baik.
Lembah 6: MARAH
Saat ini, saya memasuki tahap berikutnya
dari perjalanan saya menuju pencerahan. Saya marah. Marah karena telah
mempercayai kebohongan itu selama bertahun-tahun, marah karena telah
menghabiskan banyak tahun dalam hidup saya untuk “mengejar angsa liar”.
Marah terhadap kebudayaan saya karena telah mengkhianati saya, marah
terhadap nilai-nilai yang salah yang diberikan oleh kebudayaan pada
saya; karena orangtua saya mengajarkan kebohongan pada saya; marah pada
diri sendiri karena saya tidak berpikir sebelumnya, karena percaya pada
kebohongan, mempercayai seorang penipu; marah pada Tuhan karena telah
mengecewakan saya, karena tidak mengintervensi dan menghentikan
kebohongan yang disebarkan dalam nama-Nya.
Ketika saya melihat gambar jutaan orang
Muslim, yang dengan penuh kesungguhan pergi ke Arab Saudi untuk
melaksanakan ibadah haji, dengan menghabiskan uang tabungan mereka, saya
jadi marah terhadap kebohongan-kebohongan yang diberikan pada mereka.
Ketika saya membaca bagaimana seseorang telah berpaling kepada Islam,
hal yang selalu diiklankan orang Muslim dengan senang dan dijadikan
pemberitaan yang besar, saya jadi sedih dan marah. Saya sedih memikirkan
orang malang itu (yang telah masuk Islam) dan saya marah terhadap
kebohongan (yang diberikan padanya).
Saya marah pada seluruh dunia karena
berusaha menjaga kebohongan ini, yang membelanya dan bahkan menyiksa
anda jika anda angkat suara dan berusaha mengatakan pada mereka apa yang
anda ketahui. Bukan cuma orang Muslim, tetapi juga orang-orang Barat
yang tidak percaya pada Islam. Tidak apa-apa jika mengkritik apapun
selain Islam. Yang mengherankan saya dan membuat saya menjadi lebih
marah lagi adalah perlawanan yang saya hadapi ketika saya berusaha
mengatakan kepada orang-orang lain bahwa Islam bukanlah kebenaran.
Lembah 7: PENCERAHAN
Untunglah kemarahan ini tidak
berlangsung lama. Saya tahu bahwa Muhammad bukanlah utusan Tuhan namun
seorang dukun, seorang penghasut yang hanya berniat untuk memperdayakan
orang dan memuaskan ambisi pribadinya yang narsistik. Saya tahu semua
cerita masa kanak-kanak tentang neraka dengan apinya yang menyala-nyala,
dan surga dengan sungai anggurnya, susu dan madu yang hanyalah isapan
jempol dan buah pikiran seorang yang sakit, liar, tidak aman dan suka
melakukan kekerasan terhadap orang lain, seorang yang sangat berhasrat
untuk mendominasi dan menegaskan otoritasnya sendiri.
Saya sadar seharusnya saya tidak marah
terhadap orang-tua saya; karena mereka telah melakukan yang terbaik dan
mengajari saya apa yang menurut mereka adalah yang terbaik pula. Saya
tidak dapat marah pada masyarakat atau kebudayaan saya karena bangsaku
juga sama mengalami ketidaktahuan seperti halnya orangtua saya dan saya
sendiri. Setelah sejenak berpikir, saya sadar semua orang telah menjadi
korban. Ada satu milyar korban, bahkan lebih. Bahkan mereka yang telah
menindas orang yang tidak beriman juga adalah korban dari Islam.
Bagaimana saya dapat menyalahkan orang Muslim jika mereka tidak tahu apa
yang diperjuangkan Islam, dan sejujurnya walaupun itu salah,
mempercayai bahwa Islam adalah agama yang damai?
Bagaimana dengan Muhammad? Haruskah saya
marah padanya karena ia berbohong, menipu dan menyesatkan orang?
Bagaimana saya bisa marah pada orang yang sudah mati? Muhammad adalah
seorang yang sakit secara emosi yang tidak dapat mengendalikan dirinya
sendiri. Ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu yang diasuh oleh 5
orangtua angkat yang berbeda sebelum ia mencapai usia 8 tahun. Saat ia
dekat dengan seseorang, ia dipisahkan dari orang itu dan diberikan
kepada orang lain lagi. Tentunya ini sulit baginya dan mengganggu
kesehatan mentalnya. Sebagai seorang anak, yang kehilangan kasih dan
perasaan dimiliki, ia bertumbuh dengan rasa takut yang sangat mendalam
dan kurang percaya diri. Ia menjadi seorang yang narsistik. Orang yang
narsistik adalah orang yang mengalami kekurangan kasih pada masa
kanak-kanak, yang tidak mampu mengasihi, namun sangat ingin
diperhatikan, dihormati dan diakui. Ia melihat nilai dirinya melalui
cara pandang orang lain padanya.Tanpa pengakuan itu ia bukanlah
siapa-siapa. Ia menjadi orang yang suka memanipulasi dan seorang
pembohong besar.
Orang-orang yang narsistik adalah
pemimpin besar. Mereka ingin menaklukkan dunia dan mendominasi semua
orang. Hanya dalam lamunan megalomaniak mereka, sifat narsistik mereka
dapat terpuaskan. Beberapa narsistik terkenal adalah Hitler, Mussolini,
Stalin, Saddam Hussein, Idi Amin, Pol Pot, dan Mao. Orang-orang yang
narsistik adalah orang-orang yang cerdas namun rusak emosinya. Mereka
adalah orang-orang yang sangat sakit. Mereka menetapkan tujuan-tujuan
yang sangat tinggi bagi diri mereka sendiri. Tujuan mereka selalu
berhubungan dengan dominasi, kekuasaan, dan respek. Mereka bukan
siapa-siapa jika mereka diabaikan. Orang-orang yang narsistik sering
mencari pembenaran untuk mengontrol korbannya yang tidak waspada. Bagi
Hitler, pembenaran itu berupa pesta dan balapan. Bagi Mussolini, fasisme
atau bersatunya sebuah bangsa untuk melawan bangsa lain. Bagi Muhammad,
agama.
Tujuan-tujuan ini hanyalah alat bagi
mereka untuk mencapai kekuasaan. Alih-alih mempromosikan dirinya
sendiri, para narsistik mempromosikan sebuah tujuan, sebuah ideologi,
atau agama, sambil menampilkan diri sebagai satu-satunya pihak yang
berotoritas dan perwakilan dari tujuan-tujuan itu. Hitler tidak meminta
orang-orang Jerman untuk mengasihinya sebagai seorang pribadi, tetapi
supaya mereka mengasihi dan menghormatinya karena ia adalah Fuhrer. Muhammad
tidak dapat menyuruh siapapun untuk menaatinya. Namun, ia dapat dengan
mudah menuntut para pengikutnya untuk menaati Allah dan utusan-Nya.
Tentu saja, Allah adalah pribadi Muhammad yang kedua, sehingga pada
akhirnya semua ketaatan hanyalah kepadanya. Dengan cara ini Muhammad
dapat mengontrol hidup semua orang dengan mengatakan pada mereka bahwa
ia adalah representasi Allah dan apa yang dikatakannya adalah penetapan
Allah.
Muhammad adalah orang yang kasar dan
tidak berperasaan. Ketika ia memutuskan bahwa orang Yahudi sudah tidak
menguntungkannya lagi, ia berhenti menjilat mereka dan kemudian
memusnahkan mereka. Ia membantai semua pria dari Bani Qurayza dan
membuang atau membunuh semua orang Yahudi lainnya dan juga orang Kristen
dari Arabia. Tentulah jika Allah ingin menghancurkan orang-orang itu ia
tidak akan membutuhkan pertolongan dari utusan-Nya.
Oleh karena itu, saya tidak menemukan
alasan untuk marah pada orang yang sakit secara emosi, yang telah
meninggal bertahun-tahun silam. Muhammad sendiri adalah korban dari
kebudayaan yang bodoh yang dimiliki bangsanya, korban dari
ketidakpedulian ibunya yang alih-alih mengasuhnya pada tahun-tahun
pertama hidupnya saat ia sangat membutuhkan kasih ibunya, ibunya malah
memberikannya pada seorang wanita Bedouin untuk diasuh sehingga ibunya
dapat menikah lagi.
Saya tidak dapat mengkritik atau
menyalahkan orang-orang Arab dari abad ke-7 yang tidak peduli, karena
tidak dapat melihat kalau Muhammad adalah seorang yang sakit dan
bukanlah seorang nabi, bahwa janji-janjinya yang aneh, mimpi-mimpi yang
mengesankan berkenaan dengan menaklukkan dan menundukkan bangsa-bangsa
yang besar sementara dia hanyalah seorang miskin, yang disebabkan oleh
komplikasi emosi patologis dan tidak ada hubungannya dengan suatu kuasa
illahi. Bagaimana saya dapat menyalahkan orang-orang Arab yang tidak
peduli itu karena mereka menjadi mangsa dari seseorang seperti Muhammad
sedang pada satu abad lalu, jutaan orang Jerman menjadi mangsa dari
karisma seorang narsistik lainnya yang, sama seperti Muhammad, membuat
janji-janji yang besar, dan sama kejamnya, sama manipulatifnya, dan sama
ambisiusnya.
Setelah memikirkan hal ini dengan
mendalam, saya menyadari bahwa saya tidak dapat marah kepada siapapun.
Saya menyadari bahwa mereka semua adalah korban dan sekaligus orang yang
mengorbankan sesamanya. Penjahatnya adalah ketidakpedulian.
Oleh karena ketidakpedulian kita, kita percaya pada isapan jempol dan
kebohongan mereka, mengijinkan mereka menaburkan kebencian diantara kita
atas nama sesembahan palsu, ideologi, atau agama. Kebencian ini
memisahkan kita satu sama lain, dan menghalangi kita untuk dapat melihat
diri kita seutuhnya dan memahami bahwa kita semua adalah
anggota-anggota umat manusia, yang terhubung satu sama lain dan saling
bergantung.
Maka kemudian kemarahan saya berubah
menjadi perasaan belas-kasihan, empati dan kasih yang mendalam. Saya
berjanji pada diri sendiri untuk memerangi ketidakpedulian ini yang
telah memecah-belah umat manusia. Kita telah membayar perpecahan ini
dengan harga yang sangat mahal. Perpecahan ini disebabkan oleh
ketidakpedulian, dan ketidakpedulian adalah akibat dari kepercayaan
palsu dan ideologi yang merusak yang dibuat oleh orang-orang yang tidak
sehat secara emosi, untuk kepentingan mereka sendiri.
Ideologi memisahkan kita. Agama
menyebabkan perpecahan, kebencian, perkelahian, pembunuhan, dan
pertentangan. Sebagai anggota keluarga besar umat manusia, kita tidak
memerlukan ideologi, tujuan, atau agama untuk bisa bersatu.
Saya menyadari bahwa tujuan hidup ini
bukanlah supaya beriman, tetapi untuk meragukan. Saya menyadari bahwa
tidak seorangpun dapat mengajarkan kebenaran karena kebenaran tidak
dapat diajarkan. Kebenaran hanya dapat dialami. Tidak ada agama,
filsafat, atau doktrin yang dapat mengajarkan kebenaran kepada anda.
Kebenaran ada di dalam kasih kita kepada sesama manusia, dalam tawa
seorang anak, dalam persahabatan, dalam pendampingan, dalam kasih antara
orangtua dan anak, dan dalam hubungan-hubungan kita dengan sesama.
Kebenaran tidak ada dalam ideologi. Satu-satunya hal yang nyata
adalah kasih.
Proses beranjak dari iman kepada
pencerahan adalah proses yang sulit dan menyakitkan. Mari kita meminjam
sebuah terminologi dari Sufisme dan menyebutnya sebagai tujuh
“lembah” pencerahan.
Iman adalah keadaan bersepakat dengan
ketidakpedulian. Anda akan tetap tinggal dalam keadaan indah
ketidakpedulian hingga anda dikejutkan dan dikeluarkan dari
ketidakpedulian. Kejutan(Syok) ini
adalah lembah yang pertama.
Reaksi alamiah pertama terhadap kejutan
adalah penyangkalan. Penyangkalan bertindak sebagai
perisai. Perisai itu menahan rasa sakit dan melindungi anda dari
kesengsaraan yang akan anda alami jika anda keluar dari zona nyaman
anda. Zona nyaman adalah tempat dimana kita dapat beristirahat, dimana
kita dapat menemukan bahwa segala sesuatu yang ada disana tidaklah asing
bagi kita, dimana kita tidak harus menghadapi tantangan maupun hal-hal
yang tidak kita ketahui. Inilah lembah yang kedua.
Pertumbuhan tidak terjadi di zona
nyaman. Untuk dapat terus maju dan berkembang kita harus keluar dari
zona nyaman kita. Kita tidak akan melakukannya kecuali kita telah
dikejutkan. Menahan rasa sakit akibat syok dengan cara menyangkal juga
merupakan sesuatu yang alamiah. Saat ini kita memerlukan kejutan yang
lain, dan bisa jadi kita akan memutuskan untuk memagari diri lagi dengan
penyangkalan lain lagi. Semakin kerap orang terekspos dengan kenyataan,
semakin ia dikejutkan, semakin ia berusaha untuk menjaga dirinya dengan
lebih banyak lagi penyangkalan. Namun, penyangkalan tidak dapat
menghapus kenyataan. Penyangkalan hanya memagari kita untuk sementara
waktu. Ketika kita diperhadapkan dengan kenyataan, pada titik tertentu
kita tidak dapat lagi terus menyangkal. Tiba-tiba kita tidak mampu lagi
menegakkan pertahanan kita, lalu dinding penyangkalan akan segera roboh.
Pada akhirnya kita tidak dapat terus menyembunyikan kepala kita di
dalam pasir. Apabila keraguan telah menerobos masuk, maka keraguan akan
membawa efek domino dan kita mendapati diri kita diserang dari segala
arah oleh kenyataan yang hingga sekarang masih kita hindari dan
sangkali. Tiba-tiba semua absurditas yang telah kita terima bahkan kita
bela tidak logis lagi, dan kita menolaknya.
Kemudian kita didorong masuk ke dalam
tahap kebingungan yang menyakitkan, dan itulah lembah
yang ketiga. Keyakinan-keyakinan lama nampaknya tidak masuk akal, bodoh,
dan tidak dapat diterima, namun kita tidak mempunyai pegangan yang
lain. Saya yakin, lembah ini adalah tahap yang paling mengerikan dalam
perjalanan dari iman kepada pencerahan. Dalam lembah ini kita kehilangan
iman kita sebelum menemukan pencerahan. Kita berdiri di dunia antah
berantah. Kita mengalami jatuh/terbang bebas. Kita mencari pertolongan
namun yang kita dapatkan hanyalah sebuah pengulangan kata-kata klise
yang tidak masuk akal. Nampaknya orang-orang yang berusaha menolong kita
juga tersesat, namun mereka sangat yakin. Mereka percaya pada apa yang
tidak mereka ketahui. Argumen-argumen yang mereka sampaikan sama sekali
tidak logis. Mereka berharap agar kita percaya begitu saja. Mereka
menceritakan teladan-teladan iman orang lain. Tetapi intensitas iman
orang lain tidak membuktikan kebenaran dari apa yang mereka percayai.
Pada akhirnya kebingungan ini memberi
jalan menuju lembah yang keempat, yaitu rasa bersalah.
Anda akan merasa bersalah karena telah berpikir. Anda merasa bersalah
karena meragukan, karena mempertanyakan, karena tidak mamahami. Anda
merasa telanjang, dan malu akan pikiran-pikiran anda. Anda mengira
andalah yang bersalah jika semua absurditas yang ada di dalam kitab suci
anda tidak masuk di akal anda. Anda berpikir Tuhan telah meninggalkan
anda atau Dia sedang menguji iman anda. Di dalam lembah ini anda akan
dikoyakkan oleh emosi dan intelektualitas anda. Emosi bukanlah hal yang
rasional, namun sangat berkuasa. Anda ingin kembali ke surga
ketidakpedulian; anda sangat ingin percaya, namun anda tidak bisa. Anda
telah melakukan dosa berpikir. Anda telah memakan buah terlarang dari
pohon pengetahuan. Anda telah membuat sesembahan dalam imajinasi anda
menjadi marah.
Akhirnya anda memutuskan untuk tidak
perlu lagi merasa bersalah karena telah mengerti. Rasa bersalah itu
bukan milik anda. Anda merasa dibebaskan dan pada saat yang sama kecewa
karena semua kebohongan itu telah membuat anda tidak peduli dan telah
menyia-nyiakan waktu. Inilah lembahkekecewaan. Pada
saat yang sama anda dikuasai kesedihan. Anda merasa dibebaskan, namun
seperti baru keluar dari penjara setelah menghabiskan waktu seumur hidup
disana, anda diselimuti oleh depresi yang mendalam. Anda merasa
sendirian dan, di samping kebebasan anda, anda telah kehilangan sesuatu.
Anda memikirkan waktu yang telah hilang. Anda memikirkan orang banyak
yang telah mempercayai hal yang tidak masuk akal ini dan yang dengan
bodohnya telah mengurbankan segala sesuatu untuk kebohongan itu, bahkan
hidup mereka juga. Halaman-halaman sejarah ditulis dengan darah
orang-orang yang dibunuh dalam nama Tuhan, Allah, atau sesembahan lain.
Semuanya untuk sesuatu yang sia-sia! Semuanya untuk sebuah kebohongan!
Setelah itu anda memasuki lembah yang
keenam: marah. Anda marah pada diri sendiri, dan pada
semuanya. Anda menyadari betapa hidup anda telah terbuang percuma karena
mempercayai kebohongan-kebohongan itu.
Lalu anda menyadari bahwa anda adalah
orang yang beruntung karena telah berhasil berjalan sejauh ini,
sementara masih ada jutaan orang yang masih berusaha memagari diri
mereka dengan perisai penyangkalan, dan tidak mengembara keluar dari
zona nyaman mereka. Mereka masih mengarungi rawa di lembah pertama. Pada
tahap ini, saat anda telah benar-benar bebas dari iman, rasa bersalah,
dan kemarahan, anda telah siap untuk memahami kebenaran tertinggi dan
menyingkap rahasia-rahasia kehidupan. Anda dipenuhi empati dan belas
kasihan. Anda siap untuk mendapat pencerahan. Pencerahan
datang ketika anda menyadari bahwa kebenaran ada di dalam kasih dan di
dalam relasi kita dengan sesama manusia dan bukan dalam sebuah agama
atau bidat. Anda menyadari bahwa Kebenaran adalah dataran yang
tidak mempunyai jalan. Tidak ada seorang nabi atau guru yang dapat
membawa anda kesana. Anda sudah ada disana.