Jumat, 24 Agustus 2012

kesaksian Gulshan Fatima, puteri bungsu dari sebuah keluarga Islam Sayed yang merupakan keturunan langsung Muhammad SAW part 5-6


BAB 9 : BAPTISAN

Pendeta Aslam Khan adalah seorang yang baik sekali, rasanya beliau dapat mengerti akan semua masalah yang sedang saya hadapi. Dalam waktu singkat beliau menjadi Aba-Ji (Ayah) bagiku. Ama-ji yaitu nyonya Aslam Khan dengan caranya sendiri juga seorang yang baik. Beliau keras pendiriannya, kurus, selalu sibuk dirumah dan mengharapkan agar saya juga sibuk.
Ketika saya tiba, beliau menunjukkan padaku kamar tamu dengan tempat tidurnya yang sederhana dan segera teringat olehku tempat tidur (palungku dirumah dengan alas tali anyam-nya lebar serta dilengkapi dengan "gada" atau kasur katun lunak diatasnya. Katanya "Inilah kamarmu. Laci-laci untuk pakaianmu ada disin, kamar mandi disana. Ada banyak pekerjaan yang harus kulakukan sebab begitu banyak tamu yang datang. Maafkan saya. Saya harus mengatur beberapa pekerjaan dengan para pembantuku. Apapun yang anda perlu mintalah kepada pembantuku." Kemudian beliau berlalu.

Saya berusaha sedapat mungkin untuk menyenangkan hati pendeta dan nyonya Aslam Khan, tapi saya belum pernah melakukan sesuatu pekerjaan rumah-tangga sebelumnya, jadi saya begitu bodoh dan kikuk serta rasanya tidak senang bila mendapat kritikan terhadap kesalahan waktu melaksanakan tugas-tugas kecil yang diberikan padaku. Ketika tuan rumahku datang dibelakangku dan meraba-raba hiasan yang barusan saya bersihkan dari debu, saya merasa malu dan marah tapi perasaanku saya tekan didalam hati, bergejolak sehingga merusak suasana hari-hari permulaanku dirumah itu. Saya ingin berpaling padanya dan berkata,"Anda benar Ama-ji, saya tidak melaksanakan dengan benar, tapi ketahuilah bahwa sebelum kemari, saya belum pernah mengerjakan sesuatu pekerjaan apapun sendiri. Saya belum pernah mencuci piring, menyapu ruangan, mengatur tempat tidur, mencuci pakaianku, menyisir rambuntuku bahkan mengenakan pakaianku sendiri masih dibantu. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh banyaknya pembantu dirumahku, tapi karena saya terbaring ditempat tidur, tidak berdaya selama bertahun-tahun lamanya."

Tapi maksud seperti itu TIDAK ku utarakan. Kedengarannya seolah-olah mencari-cari alasan dan yang buruk lagi ialah kalau di matanya terlihat perasaan bangga. Beliau dapat menjawab bahwa kini saya sudah sembuh oleh sebab itu seharusnya berusaha belajar atau bahwa sebenarnya saya sangat malas. Jadi, beberapa malam saya menahan diri, kurang tidur dan suatu bisikan mencemooh rasanya terdengar dalam ruangan yang gelap. "Belum terlambat" kata suara itu. Kakak-kakakmu sedang menangis. Kenapa anda tidak kembali saja. "

Terlihat wajah-wajah paman dan bibi memandang padaku dengan sedih. Karena tidak dapat tidur, saya bangun merayap-rayap dalam kamar sampai pergumulan untuk mengenyahkan bisikan-bisikan itu menjadi sebegitu meningkat sehingga saya berseru kepada Yesus, "Saya telah menyerahkan diriku padaMU dan saya rasa bahwa saya berada pada jalan yang benar sebagaimana yang telah ENGKAU tunjukkan kepadaku. Mengapa wajah-wajah itu bermunculan mengejek saya?" Kemudian terdengar suatu suara yang tenang dan halus,"Aku selalu menyertaimu, mereka tidak dapat mencelakakanmu." Lalu saya merasakan kedamaian, begitu kata-kata Yesus memenuhi pikiranku serta mengenyahkan bisikan-bisikan yang mengejekku.

Setelah kira-kira seminggu berlalu, kesulian-kesulitan itu mulai dapat kuatasi. Saya lebih aktif dibandingkan dengan waktu dirumah sendiri sehingga saya dapat tidur lelap dan rasanya tempat tidur "charpai" itu tidak keras lagi. Saya membaca sesuatu yang merubah sikapku seluruhnya dalam melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. "Lalu Ia berdiri dari meja makan, mengambil baju luarNYA dan menyandang sebuah handuk dibahuNYA. Setelah itu ia menuangkan air kedalam sebuah baskom dan mulai membasuh kaki murid-muridNYA, mengeringkannya dengan handuk yang dililitkan sekeliling pinggangNYA. (Yoh. 13:4,5). Hal seperti ini merupakan yang baru bagiku. Didepanku disini dipertunjukkan suatu contoh kerendahan hati dan pelayanan yang tidak pernah akan kulupakan, yang menyentuh sampai kelubuk hatiku yang terdalam dari perasaan keangkuhanku. Sambil melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadaku, saya bentangkan dihadpanku contoh dan teladan yang sempurna dari Yesus yang menjadi seorang pelayan bagiku. Kemudian rasanya tidak sulit bagiku untuk melayani orang lain bagiNYA.

Saya tinggal di rumah itu 5 minggu sebelum pembaptisanku. Waktu saya menanyakan kepada Pendeta Aslam Khan tentang pengunduran waktu itu, beliau berkata
"Oh, saya harus mengurus beberapa hal." Kemudian kuketahui bahwa beliau ingin mengawasi saya beberapa waktu untuk meyakinkan bahwa saya bersungguh-sungguh mau dibaptiskan.

Adalah suatu hal yang tidak baik, bila telah menempuh langkah ini kemudian mundur lagi daripadanya. Tapi saya bertambah gelisah karena takut dipergoki. Saya ingin tahu apakah keluargaku melakukan penyelidikan kepada Razia, jadi saya menulis surat kepadanya "Saya masih mempunyai beberapa transaksi dagang disini sebelum saya kembali, tolong jangan beritahukan keluargaku dimana saya berada. Dalam waktu secepatnya saya akan menerangkan semua ini kepadamu. Kemudian kuketahui bahwa Razia dan ibunya benar-benar memegang janjinya dan berhasil menyembunyikan rahasiaku, walalupun hal ini menimbulkan banyak kesulitan pada mereka. Dengan perasaan girang kini dapat kuceritrakan bahwa ia telah menikah - seorang kawan yang setia, jujur yang pada waktu itu membelaku mati-matian walaupun tidak memahami akan apa yang sedang kulakukan. Selama menumpang dengan keluarga Pendeta dan Ibu Aslam Khan, saya mengikuti ibadah di Gereja Methodist Warris Road. Diantara jemaah itu saya menemukan suatu kemerdekaan yang tidak kuketahui sebelumnya dalam menjalankan ibadahku. Begitu banyak hal yang berbeda disini. Hal pertama kuperhatikan waktu masuk ialah dekorasi. Didalam tempat ibadah dulu dekorasinya abstrak murni ayat-ayat Al-Quran dengan ubin, kubah serta permadaninya bercorak-corak. Cahaya dan bayangannya juga dipakai untuk efeknya. Tidak terlihat olehku gambar manusia atau gambar Tuhan, karena bagaimanakah makhluk yang diciptakan dapat membayangkan Penciptanya. Disini terdapat kaca berwarna dijendela-jendela dengan sebuah gambar Yesus sedang berdoa, ada bunga-bunga diatas meja dan bunyi musik. Pada lengkungan dinding gereja bukan huruf-huruf lain yang tertulis melainkan Firman ini:"LIHATLAH AKU BERDIRI DIMUKA PINTU SAMBIL MENGETUK" .

Saya merenungkan Firman ini. Di Pakistan, bila orang mengetuk pintu atau gerbang dilakukan berkali-kali dan dengan keras, tetapi Yesus telah mengetuk kedalam hatiku dengan begitu lembut rasanya. Hal berikut yang ku perhatikan ialah cara yang indah sekali, dimana para keluarga dapat duduk bersama-sama - pria, wanita dan anak-anak. Orang-orang bujangan diikut-sertakan kedalam kumpulan kekeluargaan ini. Dirumah, biasanya hanya para pria yang dapat pergi kerumah ibadah. Para wanita melaksanakan ibadah sembahyangnya dirumah. Saya menyadari bahwa betapa sedikitnya pengajaran yang diterima bagian terbesar dari mereka, tapi dikatakan bahwa derajad wanita lebih rendah dari pria, walaupun ditekankan bahwa mereka haruslah diperlakukan dengan adil dan mempunyai hak yang sama. Para pria mewakili kaum perempuannya di mesjid. Betapa berbeda keadaannya dibandingkan dengan disini, dimana Allah berhubungan dengan masing-masing pribadi melalui Yesus, yang mati bagi setiap orang. Firman Tuhan dalam Alkitab berkata bahwa tidak ada perbedaan golongan (Yahudi atau Yunani), kelas (budak atau yang merdeka juga jenis kelamin pria atau wanita). Disini terjalin cara perlakuan sama derajad yang baru dan indah rasanya. Allah menerima ibadatku sama halnya dengan penerimaanNYA terhadap ibadat saudara-saudaraku seiman yang lain di dalam Kristus dan persekutuan bersama yang dinyatakan sebagai tubuh Kristus. Saya merasakan adanya tali pengikat yang tidak kelihatan ini menjalin dengan erat semua gereja secara bersama dalam persekutuan Kristen yang baru ini dalam doa yang dipanjatkan bagi orang-orang sakit dan tua serta bagi mereka yang mempunyai masalah/mengalami kesulitan. Hal ini saya rasakan ketika mereka menyambutku masuk kedalam persekutuannya. Lama kelamaan saya mulai merasakan seolah-olah persekutuan dalam gereja ini telah mengambil-alih tempat keluargaku yang kutigggalkan. Disini saya mempunyai banyak saudara lelaki dan wanita. Saya perhatikan bahwa khotbah pendeta berkisar pada hal-hal yang sederhana tapi menyangkut pokok-pokok yang amat mendalam yang diambil dari sebuah kitab yang begitu berarti bagiku. Melalui pengajaran-pengajarannya saya mendengar Tuhan Yesus berkata-kata, tidak secara langsung seperti yang dilakukanNYA kepadaku dikamarku, tapi dengan suatu cara dimana Alkitab diaplikasikan kedalam hidupku.

Saya juga memperhatikan bahwa pendeta itu berkhotbah seolah-olah mau meyakinkan kepada beberapa pendengarnya. Saya mulai menyadari bahwa beberapa orang yang menyebut dirinya "orang-orang Kristen" tidaklah memiliki niat yang sungguh-sungguh seperti saya. Saya telah dibesarkan disuatu lingkungan keluarga orthodoks yang ketat sejak lahirku dan mungkin tidak menyedari bahwa keadaan semacam ini juga terjadi pada orang-orang non-Kristen juga. Tuan rumahku telah mengingatkan saya agar tidak banyak berceritera tentang diriku. Bagaimanapun saya menceritakan sedikit tentang penyembuhanku dan pengalihan imanku, dan jemaat di gereja itu keheranan, "Apakah anda maksudkan bahwa Yesus menampakkan diriNYA kepadamu didalam kamarmu dan menyembuhkanmu?" Saya heran kenapa pengalaman seperti yang terjadi atas diriku itu jarang. Tentu saja Yesus dapat berkarya seperti yang dilakukanNYA padaku dalam setiap kehidupan umatNYA yang percaya. Apakah demikian? "Tergantung pada Imanmu" kata Aba-Ji ketika saya menanyakan hal ini padanya. Pernyataan ini kedengarannya berlaku secara umum. Disana saya melihat adanya suatu prinsip yang dilibatkan - bahwa iman merupakan kunci bagi kesinambungan pengalaman Kristiani yang indah ini, begitu pula kehidupan mujizat yang telah kualami. Saya berpikir kembali dan mengenang betapa imanku telah bertumbuh tanpa saya harapkan sejak kegagalan untuk mendapat kesembuhan di Mekkah. Iman ini telah datang seakan-akan suatu karunia, iman ini yang sanggup memindahkan gunung. Saya telah dibesarkan dalam keadaan tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan. Tangisan dan seruanku telah sampai kependengaran Allah yang tidak saya kenal, tetapi yang mengenal saya dan Dia telah mengisi hidupku. Dalam kesunyian malam, saya berikrar untuk tetap mempertahankan kekuatan imanku, tanpa memperdulikan rintangan apapun yang harus kuhadapi.

Akhirnya tibalah hari pembaptisanku, tanggal 23 April. Dilaksanakan dalam ruangan disebuah rumah dimana sebuah tanki air minum khusus ditempatkan bagi keperluan seperti ini. Bapak dan Ibu Major serta beberapa kawan kami berkumpul. Pendeta dari Warris road memimpin upacara tersebut yang berlangsung sederhana namun sempurna. Begitu saya dibenamkan kedalam tanki itu saya merasakan bahwa saya meninggalkan si Gulshan yang lama beserta dengan keinginannya yang lama dan muncul Gulshan yang baru,"dikuburkan bersama DIA didalam baptisan lalu bangkit kedalam pembaharuan hidup". Para tua-tua yang hadir memberikan nama baru bagiku : Gulshan Esther. Saya membaca kemudian bahwa Esther adalah seorang saksi pada rajanya tentang umat Allah, orang Yahudi dan karena itu ia menghadapi bahaya. Rasanya, keadaa ini cocok dengan kasus yang terjadi padaku.

Sesudah pelayanan itu para wanita datang memberikan ciuman didahi dan para pria menjabat tanganku ketika mereka menyambuntuku masuk kedala gereja Kristus. Saya merasakan kehangatan aliran Kasih yang Kristiani yang sejati dari mereka. Setelah mereka pergi bapak Aslam Khan menanyakan bagaimana perasaanku :"Baik" jawabku,"tapi sekarang saya mau menyaksikan apa yang telah terjadi". Beliau menganggukkan kepalanya. "Anda dapat memberikan kesaksian dengan perilakumu". Tidak perlu memberi kesaksian hanya dengan mulutmu." Namun teringat olehku akan kata-kata Yesus padaku, "Engkau adalah saksiKU. Saksikanlah kepada umatKU".

Saya memandang padanya, kepala menengadah seolah-olah menolak untuk dihalang-halangi. "Tapi saya merasakan bahwa Yesus menghendaki agar saya bersaksi. Bolehkah saya berbicara di gereja?"."Saya rasa anda belum siap untuk itu. Anda harus menjadi saksi dirumah untuk dapat memenuhi panggilan ini. Allah akan menerimanya."

Tapi beliau tidak mengenal tentang Gulshan Ester ini. Saya berkata: "Baik, jika saya tidak dapat bersaksi disini, saya harus pulang dan menyaksikan-nya kepada keluargaku. Bagaimanapun saya ingin melakukannnya".

Beliau kelihatannya benar-benar cemas mendengarnya, "Tidak, tindakanmu itu membahayakan dirimu. Mereka sama sekali tidak akan senang dengan pembaptisanmu dan mereka akan mencelakakan engkau".

"Saya tidak percaya bahwa keluargaku akan melakukan sesuatu tindakan yang mencelakakan saya, namun saya tidak akan pergi sebelum waktu yang memungkinkan. Sebagai gantinya dapatkah bapak mengirim saya ke Sekolah Alkitab sehingga saya dapat belajar lebih banyak untuk bersaksi pada mereka?"

Cukup lama beliau menatapku dan saya bertanya-tanya apa gerangan yang dipikirkannya. Saya mulai merasa agak malu dengan caraku yang lancang memaksakan kehendakku. Saya masih muda dan memiliki perasaan menggelora ingin melakukan sesuatu tugas yang saya yakini telah diperuntukkan Allah bagiku, namun saya belum menyadari ketika itu betapa belum berpengalaman dan mentahnya diriku ini. Saya baru saja melangkah masuk memulai masa bakti ibadah(kehidupan rohani)ku. "Saya rasa hal inipun belum dapat kita lakukan" kata bapak Aslam Khan dengan tegas. "Anda masuh muda sekali dalam iman ini,tapi jika anda harus mendapatkan sesuatu tugas Kristiani maka kami dapat mengirimkan anda untuk bekerja di "SUNRISE SCHOOL FOR THE BLIND (SUNRISE, SEKOLAH UNTUK ORANG BUTA)". Beliau memberikan sedikit penjelaan tentang sekolah itu dan bagaimana mereka melayani anak-anak buta yang tidak dapat dididik dengan sistim normal. Beliau merasa bahwa ia dapat mencarikan pekerjaan bagiku disana sebagai salah seorang ibu pengasuh. Saya setuju dan sambil memikirkannya timbul perasaan gembira dihatiku. Saya telah menghadap kepala sekolahnya dan dalam waktu yang sangat singkat telah diatur bahwa beliau datang menjempuntuku dengan mobilnya. Ketika keesokan harinya kami mengendarai mobil melewati jembatan Old Ravi dengan air sungainya yang agak kotor lalu masuk ke halaman sekolah "Sunrise" yang berbentuk empat persegi, rasanya saya sedang melepaskan diri dari hidupku yang lampau. Mulai dari sekarang saya adalah manusia baru dengan nama baru dan mempunyai tujuan yang baru. Masa-masa yang saya lalui sebagai seorang ibu pengasuh di Sunrise school for the blind Lahore, menandakan suatu tahapan pertumbuhan. Dari keadaan tergantung pada orang lain, saya mendapatkan suatu perubahan yang drastis, tiba-tiba diserahi tanggung-jawab untuk mengasuh sekolompok anak-anak kecil yang buta dan harus melayani kebutuhan-kebutuah fisik mereka. Dalam suatu dunia yang sama sekali baru bagiku, saya harus belajar mengatasi permasalahan, berdiri diatas kaki sendiri. Hal ini bukanlah tugas yang mudah. Memang tidak gampang, tapi masih lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.

Bangunan berbatu bata merah yang kokoh ini telah mengalami banyak perubahan sejak dibangun oleh pendirinya, seorang India, Sir Ganga Ram sebagai sebuah rumah sakit kusta. Abunya ditempatkan di rumah di bagian dalam sebuah ‘ samedhi ‘ yang keadaaanyya sudah menyedihkan. Nona Fyson mengambil alih lembaga tersebut pada tahun 1958 dan merubahnya menjadi sekolah Kristen bagi orang – orang buta, dan beliau pensiun taun 1969. Saya mengenangnya dengan perasaan sedih yang mendalam. Bagiku bangunan ini merupakan bangunan yang terlindung untuk belajar hidup dalam dunia yang berada di luar kerudungku.

Sebagai suatu tanda pemutusan terhadap cara hidupku yang lama, saya memotong rambutku menjadi pendek dan menjahitkan dua baju putih yang saya pakai bersama ‘shalwar kameeze’ waktu ke luar. Di sini, dengan perasaan girang saya menerima upahku yang nyata – bukan dalam bentuk mata uang rupee karena gajiku hanya 40 rupee per bulan, tapi dalam curahan kasih sayang yang luhur dari anak-anak asuhanku yang masih kecil-kecil. Umur anak-anak di sekolah itu berkisar antara 5 – 16 tahun, separuh beragama Islam dan separuhnya beragama Kristen, dan mereka bekerja sama serta bermain bersama dengan sangat bahagia. Satu-satunya yang memisahkan mereka hanyalah pengajaran agama serta waktu pelaksanaan sembahyang.

Ada 40 anak dalam seksiku di sekolah itu. Tugasku ialah menjaga anak-anak lelaki yang lebih kecil, menemani mereka makan, menuntunnya waktu bermain di halaman sekolah dan tidur di asrama mereka. Saya juga bertugas mengurus pakaian-pakaian mereka dan beberapa kerja cuci – mencuci, membantu mereka muncici sendiri, mengatur tempat tidurnya dan mengawasi pelaksanaan sesuatu tugas yang belum dapat mereka kerjakan dengan baik ; mencuci piring-piringnya sesudah makan. Saya juga bertugas membersihkan jendela-jendela dan meja-meja. Di samping itu saya harus mengajarkan pelajaran Alkitab kepada anak-anak dan setiap dua minggu sekali saya mendapat giliran membawa mereka ke gereja.

Ada dua ibu pengasuh lagi, mereka bersaudara bersepupu, beraga Kristen. Mulanya bereka tidak ramah, hanya berbicara di antara mereka saja dan tidak menyapa saya walaupun kami sama-sama bekerja secara dekat serta menunjukan perasaan ketidak-senangannya dengan cara yang tidak menyenangkan. Namun, sesudah beberapa hari mereka menjadi hangat terhadapku dan mulai membantuku menyelesaikan pekerjaan yang sukar bagiku serta menjadi penterjemah bagiku terhadap kepala sekolah yang hanya berbicara Inggris dan tidak berbicara bahasa Urdu.

Sekarang, jika mereka pergi mengambil pasta atau sabun di kantor Kepala Sekolah, mereka juga meminta bagianku. Mereka membantuku bila saya menemui kesulitan karena kempampuanku yang terbatas. Pekerjaan-pekerjaan itu lebih kasar dari apa yang biasa saya lakukan sebelum ini padahal tangan-tanganku halus. Pada minggu pertama, tanganku menjadi begitu berkeriput karena sabun yang kami gunakan ketika mencuci pakaian. Lalu sebelah tanganku melepuh waktu bekerja di dapur. Akhirnya sewaktu sedang membersihkan meja, tanganku terluka dan berdarah. Sangat tidak enak rasanya.

Rosina, salah seorang mereka, menemaniku menghadap Kepala Sekolah sebagai penterjemahku. Beliau sangat simpatik, namun sewaktu memberikan salep kepada Rosina untuk lukaku beliau berkata, "Saya tidak dapat melakukan sesuatu apaun untuk membebaskanmu dari tugas ini. Maafkan saya, tapi bila anda tidak dapat melaukannya maka anda terpaksa harus berhenti bekerja. Coba lihat, apakah kawan-kawanmu yang lain dapat membantumu."

" Jangan kuatir, kami akan menolongmu," kata Rosina menghiburku waktu kembali ke asrama dan saya memberikan senyuman terima kasih untuknya.

Kembali di kamaru saya mengeluhkan kesukaran-kesukaran kepada Sumber Penghiburanku yang tidak pernah mengecewakanku. Segera saya sadari, bahwa tanganku hanya terluka saja – itu pun mungkin karena keteledoranku sendiri – tangan – tangan Kristus telah dipakukan ke kayu salib untukku dan penderitaan-penderitaanku sama sekali tidak ada bandingannya dengan penderitaaNya.

Bagaimana pun secara tidak terlihat, saya sedang dan akan menghadapi perjuangan-perjuangan yang lebih serius. Begitu tiba di Sunrise saya menelpon kakaku laki-laki yang lebih muda, Alm Shah. Kukatakan padanya, " Saya rasa kaka perlu tahu bahwa dengan sesungguh-sungguhnya saya telah menjadi seorang Kristen dan kini saya bekerja di sebuah sekolah untuk anak-anak yang buta di Lahore." Terdengar sebuah tarikan napas panjang di ujung telepon itu, " Apa-apaan yang telah kau lakukan ini ?" kata Alim Shah, " Mari, pulanglah ke rumah dan lupakan semuanya ini."

"Sekarang saya telah menemukan Jalan, Kebenaran dan Hidup, bagaimanakah saya dapat melupakan semua ini begitu saja ?"

Ia berkata, "Apakah kau sudah menjadi gila ? Jika kau tetap mengatakan hal semacam ini padaku maka pintu rumahku akan tertutup selamanya untukmu. Sepanjang yang menyangkut diriku, bagiku, kau sudah mati."

"Baiklah, coba katakan kepadaku tentang hal ini : bagaimana saya dapat meninggalkan kebenaran dan kembali kepadamu? Saya tidak dapat melakukannya, betapa pun harganya !"

Nada suaranya kecut dan datar, "Baiklah, bila demikian pintu rumahku akan tertutup bagimu, kau sudah mati ! Saya tidak mau melihat mukamu lagi dan kaupun tidak akan melihat mukaku lagi!

Saya tersenyum karena pernyataan itu, "Baiklah, jika pintu rumahmu tertutup maka pintu rumah Bapaku di Surga terbuka untukku. Jika bagimu saya telah mati, hal itu karena saya telah mati di dalam Yesus Kristus, dan jika kakak pun mati di dalam Yesus Kristus maka kakak juga akan hidup dan kemudian kakak akan berjumpa denganku." Ia menjawab dengan membantingkan gagang teleponnya.

Pada hari yang sama, saya menulis usrat untuk pamanku, mengatakan bahwa saya telah menjadi seorang Kristen dan telah dibaptiskan. Saya juga menulis untuk Safdar Shsh, mengatakan hal yang sama. Saya menunggu-nunggu untuk melihat apa reaksi yang akan mereka lakukan melalui suatu penantian yang cemas, dengan perasaan rindu akan pengertian mereka agar mau menerima saya sebagaimana keadaanku sekarang dan mengijinkan saya tinggal bersama mereka lagi. Tapi jauh di lubuk hatiku saya tahu bahwa keadaan ini kelihatannya tidak mungkin menjadi kenyataan. Mereka tidak akan pernah memberikan kemerdekaan padaku untuk beribadah sesuai dengan keinginanku bila saya pulang.

Selama ini saya tidak percaya terhadap seorang pun di sekolah itu. Hal ini sejalan dengan nasihat pendeta Aslam Khan. Saya berada dalam suatu posisi yang sulit, di mana begitu banyak tantangan sedang berkembang dan menunggu waktu ; dan pendeta yang baik hati itu benadr-benar khawatir terhadap keselamatanku serta orang-orang Kristen lainnya yang tersangkut denganku. Jadi ketika anak-anak menanyakan padaku tentang diriku, saya menghindar untuk menjawabnya secara langsung. Tapi ada banyak bahan yang dapat saya ceritakan pada mereka. Mereka senang mendengarkan bila saya menceritakan pada mereka tentang kisah-kisah Alkitab.

" Oh Ba-ji", serunya kalau sudah tiba waktunya untuk tidur, "ceritakan satu cerita lagi."

" Baiklah, hanya satu cerita lagi dan sesudahnya lampu akan dipadamkan. Lalu saya akan membacakan pada mereka cerita-cerita yang diajarkan Tuhan Yesus tentang 99 domba yang selamat di dalam kandangnya, sedangkan seekor lagi hilang di bukit-bukit. Saya ceritakan pada mereka tentang si anak bungsu yang memintakan semua harta warisan dari ayahnya lalu memboroskan semuanya sampai tidak ada seorang pun juga yang mau berkawan dengannya dan tidak orang tua yang mau mengambilnya sebagai menantu. Saya ceritakan juga tentang kisah yang ada di dalam Al Quran mengenai Abraham dan Ishak serta Ismail juga Sarah dan hagar. Umat Islam percaya bahwa Abraham ( yang dkenalnya sebagai nabi Ibrahim ) mempersiapkan anaknya Ismail untuk dikurbankan. Menurut Alkitab yang hendak dikurbankan ialah Ishak, yaitu anak perjanjian.

Di sekolah itu ada peraturan yang melarang untuk menonjolkan perbedaan pada ajaran agama ( warna agama ) apabila kami mengisahkan cerita Alkitab kepada anak-anak Islam, jadi saya patuh akan ketentuan ini. Saya menceritakan kedua versi tersebut pada mereka lalu bertanya, " Mana yang benar ?" Tentu masing-masing kelompok akan berkata bahwa versi merekalah yang benar. Setidak-tidaknya, mereka mengetahui dari saya tentang kedua versi cerita itu.

Kami menyanyi bersama-sama. Saya mengajarkan nyanyian-nyanyian rohani serta koor-koor pada mereka dan semua anak ini menyukainya. Sebuah lagu yang paling digemari dan dinyanyikan dengan penuh semangat ialah :

" Nyanyikanlah kepadaku berulang-ulang, kata-kata kehidupan yang ajaib, biarlah saya dapat melihat lebih banyak lagi keindahannya, kata-kata kehidupan yang ajaib."

Kira-kira sesudah jam 9 malam kegiatan harian kmai berakhir lalu saya memperoleh waktu untuk membaca dan mempelajari Alkitab seorang diri. Setiap kali saya membukanya, saya menemukan hal yang sama terjadi : rasanya seakan-akan ada seorang penterjemah bagiku yang membantuku untuk mengerti. Jika saya bertanya pada diriku di suatu malam : " apa artinya ini ?", maka saya dapat memastikan bahwa sebelum beberapa hari berlalu saya telah dapat mengerti tentang hal tersebut. Kesadaran rohani sedang bertumbuh. Cara belajar semacam ini sama dengan apa yang saya dapatkan dari anak-anak yang buta itu. Mereka menghadapi semua rintangannya dengan sabar dan sukacita. Untuk itu saya mencintai mereka dan sambil mengawasi mereka, saya juga mendapatkan pelajaran-pelajaran. Mungkin saya begitu memahami situasi mereka karena sewaktu memperhatikan mereka bermain-main saya merasa bahwa sayu pun buta terhadap Kasih Allah, sekarang saya sudah dapat melihat.

Lalu rekasi dari keluargaku datang. Saya menerima sepucuk surat dari Safdar Shah. Saya telah menunggu-nunggu suratnya dengan perasaan takut. Sebagaimana biasa, ia memulai suratnya dengan kata-kata sopan dengan mengatakan bahwa ia tidak pernah mengira untuk mendengar berita semacam itu dariku : " Kau adalah adik perempuanku yang tercinta. Selama ini kau sangat mencintai Allah dan selama ini ayahku juga sangat mencintaimu dan kau banyak belajar tentang Isalm dari beliau. Sebenarnya saya tidak perlu mengatakan hal ini kepadamu – kau paham tentang hal itu. Kau seharusnya tahu bahwa anak perempuan dari keluarga Sayed tidak diperbolehkan melakukan seperti apa yang kau lakukan sekarang. Kau harus kembali, adikku Alim Shah telah memberitahukan kepadaku bahwa kau telah memeluk agama Kristen dan percaya pada Yesus sebagai Anak Allah. Hal ini adalah suatu tindakan yang salah baik bagi keluarga maupun agama kita. Kusarankan padamu agar segera setelah membaca surat ini kau datang ke rumahku dan dengarlah nasihatku. Kau sendiri tahu bahwa saya memegang semua akte dari seluruh kekayaan/harta yang dimiliki atas namamu. Harta ini tidak dapat diberikan kepada seorang Kristen yang sebelumnya adalah seorang Sayed." Ia menambahkan bahwa seluruh Pakistan telah mengetahui bahwa sekarang saya telah menjadi seorang Kristen dan karena itu tidak mempunyai hak atas harta ini. Surat itu ditutupnya, " Jika kamu tidak meninggalkan Kekristenanmu maka saya tidak akan berdiam diri dan akan mengerahkan segala kemampuanku untuk menarikmu kembali. Agamaku memperkenankan saya untuk membunuh seorang adik perempuan yang telah murtad dan menjadi pemeluk agama lain."

Saya terkenang akan bungalowku denga dindingnya yang bercat putih dan saya mau menangis. Apa yang saya hadapi ini tidak adil rasanya. Tapi sambil berdoa untuk keadaan ini saya menemukan Firman dalam Yohanes 14 :1-4 :

" Janganlah gelisah hatimu. Percayalah kepada Allah, percayalah juga kepadaKu. Di rumah BapaKu ada banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu."

Kata-kata ini memberikan penghiburan bagiku. Untukku telah dijanjikan mendapat sebuah tempat tinggal di atas ( Surga ). Saya merobek surat itu dan membuangnya ke keranjang sampah. Lalu saya pergi berkumpul dengan yang lainnya. Ikut menyanyi bersama sambil menghayati kata-kata nyanyian : " Yesus Kawan yang Sejati."

Tiga hari kemudian datang rekasi ketiga – sebuah surat dari pamanku, dari rumah. Panjangnya 10 halaman, ditulis di atas kertas blok note putih di dalam amplop biru. Di dalamnya beliau mengatakan bahwa mereka sangat rindu kepadaku, menyebutkan nama Salima dan Sema – " Siapa yang akan mereka layani sekarang ?" Berita ini cukup memukul perasaanku. Di dalam surat itu beliau meminta padaku untuk kembali ke rumah dengan kata-kata yang penuh dengan kasih sayang dan ditutup dengan:" apakah anda telah menjadi kafir ? Kami berdoa semoga anda kembali lagi ke ke-islaman-mu dan ke rumahmu !"

Cahaya matahari menyinari anak-anak yang sedang bermain di rerumputan di tengah-tengah halaman asrama itu, tapi di tempat saya berdiri sambil memegang surat itu terasa adanya suatu bayangan ketakutan dan kebimbangan yang kelabu sedang menggenggamku dengan tangannya yang basah dan berkeringat. Saya melipat surat itu seraya berdoa," Oh Tuhan Yesus, saya tidak pernah melakukan suatu kesalahan pun terhadap mereka, kenapa mereka memperlakukan saya sedemikian ?Kini saya benar-benar dikelilingi mereka, dapatkah Tuhan memberikan kepadaku, jawaban yang harus saya utarakan kepada mereka ?

Ketika ada waktu tersedia bagiku untuk memikirkan hal itu lagi, saya melihat suatu sudut pandang yang berbeda sekarang. Mereka tidak mau memberikan harta milikku kepadaku, jadi setidak-tidaknya saya terbebas dari beban-beban yang disebabkan olehnya. Saya dapat membaktikan diriku untuk melayani di sekolah bagi orang-orang buta, pergi ke gereja serta beribadah. "Bukankah keadaan ini lebih baik bagiku bila dibandingkan dengan hidupku yang tanpa daya, tanpa guna yang kujalani selama ini, lumpuh di atas tempat tidurku ?"kataku kepada diriku sendiri. Sehari penuh saya berpikir dan berdoa untuk jawabanku dan ketika menjawabnya saya menjawabnya, saya menuliskannya di atas secarik kertas putih dari buku catatan :

Paman Yang Kekasih,
Surat Paman telah saya terima dan saya menyadari akan semua yang telah paman utarakan. Dengan rasa hormat saya yang sedalam-dalamnya saya ingin menunjukan lima kenyataan :

Saya telah menemukan jalan yang adalah jalan lurus kepada Allah. Yesus berkata : "Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput. (Yohanes 10:9) Jika paman pergi ke suatu rumah manapun, paman tidak dapat masuk kecuali melalui pintunya. Ada satu pintu menuju kepada Allah dan pintu itu ialah Yesus. Siapapun yang tidak menerima jalan Kristus, tidak dapat mengetuk pada pintu itu. Para Nabi adalah penjaga-penjaganya (chowkedars).

Saya telah menemukan Kebenaran. "Tetapi karena Aku mengatakan kebenaran kepadamu, kamu tidak percaya kepada-Ku. Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku? "

Saya telah menemukan Kehidupan. Yesus berkata, "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, (Yoh 11:25) Saya telah menerima pengampunan atas dosa-dossaku.

Saya telah memperoleh kehidupan yang kekal. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.(Yoh 3:16)

Paman menyebut saya seorang kafir, marilah datang dan saksikanlah melalui kelima kenyataan yang telah saya temukan. Bila paman tidak dapat menunjukan sesuatu bukti tentang tuduhan ini, saya peringatkan untuk jangan menyebut saya seorang kafir.

Saya tidak menyinggung sama sekali tentang harta – benda atau hal-hal lainnya. Sejak saat itu sampai sekarang saya belum lagi mendapat jawaban atas suratku ini. Sesudah itu, selama beberapa bulan saya dibiarkan tanpa gangguan, tapi kemudian saya mengetahui bahwa beberapa minggu setelah menerima jawaban suratku, paman dan bibi mengemasi barang-barangnya, kabarnya pergi menuju Karachi dan meninggalkan rumah kami, ada yang mengatakan bahwa mereka pergi ke Iran karena mereka adalah penganut Muslim Shiah. Hal ini mereka lakukan karena merasa takut terhadap kemarahan Safdar Shah yang menuduh mereka sebagai penyebab, sehingga harus mempertanggung-jawabkan semua yang telah terjadi.

BAB 10 HUBUNGAN PERSAUDARAAN

Bulan Desember tiba bersamaan dengannya datanglah masa persiapan untuk hari Natal. Bagian terbesar anak-anak itu akan pulang ke rumahnya, tapi ada beberapa yang tinggal. Jadi kami membuat dekorasi di ruangan makan dengan menempatkan sebuah pohon dengan menghiasinya dan membuat sebuah palungan sehingga terpancar rasa ingin tahu mengenai ceritera yang sederhana perihal bayi Kristus yang datang bagi wajah-wajah yang berbahagia dan bersukacita. Bagiku peristiwa ini juga merupakana suatu pengalaman - cicipan pertama bagiku untuk pesta Kristiani ini. Rasanya sesuai dengan bunyi nyanyian yang telah sering saya nyanyian waktu itu.

"Betapa tenangnya, betapa tenangnya, anugerah yang ajaib dikaruniakan, demikianlah Allah menanamkan kedalam hati manusia berkat-berkat Surgawi."

Tidaklah mengherankan bila orang-orang yang belum menjadi Kristen karena belum lagi diperkenalkan kepada sumber imannya juga mendapatkan berkat dengan nyanyian natal ini, apakah dalam bentuk hidangan ayam kalkun dan puding buah prem atau ayam pilau atau nasi manis. Kesukacitaan Natal menerobos semua batas penghalang.

Segera sesudah hari Natal saya mendapat kunjungan dari seorang tamu yang tidak kuharapkan membawa berita yang sangat buruk. Iparku, Blund Shah dari Rawalpindi datang ke sekolah menemui saya. Ia berdiri di ruang tamu, kelihatan lelah dan hancur hatinya serta memberitahukan padaku bahwa kakakku Anis sakit keras di Gujarat, di tempat mana ia telah tinggal selama 3 bulan di sebuah bungalow yang disewa, karena mendapatkan perawaan dokter keluarga selama masa mengandungnya yang menemui kesulitan lalu dari sana telah dimasukkan ke rumah-sakit. Bayinya meninggal dan para dokter di rumah-sakit tidak dapat menghentikan pendarahannya.

"Ia sedang dalam keadaan yang mendekati kematian dan berulangkali selalu memanggil-manggil namamu. Dapatkah kau langsung pergi kesana bersamaku sekarang? Saya membawa mobil diluar."

Permintaan ini merupakan suatu panggilan pulang yang tidak dapat kutolak. Sebuah pintu yang kukira tertutup untuk selamanya kini terbuka. "Oh Kakakku yang malang, tentu saja saya mau datang, tapi pertama-tama saya harus minta ijin dulu". Saya mohon diri dan meninggalkan ruangan itu. Suatu bisikan kecil terdengar di dalam telingaku berkata: "Ia telah mati waktu kau tiba disana nanti. Percuma saja membuang-buang waktu kesana. Mereka tidak memperkenankan kau memberi kesaksian. Malah bisa saja mereka mencegahmu kembali kesini."

Sebelum menghadap kepala sekolah, saya pergi kekamarku dan berdoa. Jawabannya kuterima dengan jelas: "Pergilah menjumpainya. Ia tidak akan mati. Aku akan memeliharanya agar hidup". Saya meminta ijin untuk 2 hari, diperkenankan, lalu kumasukkan beberapa barang kecil kedalam tasku. Kami berangkat jam 5 sore. Setelah berkendaraan selama 3 jam, kami tiba dirumah di Gujarat dimana kami disambut dengan berita yang sangat mendukacitakan. "Ia telah meninggal", kata dokter kakakku, ny.Khan. "Ia meninggal pada jam 7 malam. Ia telah banyak kehilangan darah. Saya masuk keruangan dimana kakakku dibaringkan. Terlihat wajahnya menjadi kuning kelabu, kurus dan bibirnya biru. Suaminya berderai air mata dan dengan penuh simpati dipapah keluar ruangan itu oleh salah seorang keluarga. Ruangan itu penuh dengan orang-orang berkabung anggota keluarga dan tetangga - berita kematian itu menjalar dengan cepat dan orang-orang segera berdatangan untuk memberi penghormatan bagi almarhumah.

Saya berlutut dan menangis disisi tempat tidur itu. "Yesus". kataku dalam hati. Engkau berkata bahwa ia akan hidup. Apa yang harus kulakukan? Ia sudah meninggal.

Saya melanjuntukan doaku, Yesus, Engkaulah jalan, Kebenaran dan Hidup. Perbuatlah Mujizat ini dan bangkitkanlah dia". Saya berdoa seperti ini sampai timbul keyakinan dalam diriku yang sangat kuat bahwa Yesus telah berkata: "Ia tidak akan mati". Aku akan memeliharanya dan hidup". Jadi saya berdoa: Tuhan, hidupkanlah dia sehingga saya dapat bercakap-cakap dengannya sebentar tentang Engkau". Kemudian, sesudah beberapa waktu lamanya saya mendengar suatu suara berkata :"Ia tidak mati. Ia hidup. Aku telah memberikan kehidupan padanya".

Mendengar ini saya berdiri dan berkata kepada orang-orang disitu, "Kenapa anda semuanya menangis? Ia tidak mati - ia hidup". Mereka menjadi ketakutan. "Ia gila. Masukkan dia kedalam kamar yang satu disana. Pintunya dikunci dari luar".

Mereka mendorongku keluar dan lalu dimasukkan kedalam sebuah kamar tidur kosong. Saya mendengar pintu itu dikunci dari luar. Kini, saya benar-benar mejadi seorang yang dipenjarakan. Saya selanjutnya berdoa:"Tuhan bagkitkanlah kakakku, sehingga mereka dapat percaya bahwa ia hidup." Waktu itu mereka mulai melakukan tahap-tahap akhir mempersiapkan jenazah. Tubuh kakakku telah dimandikan dan pakaiannya sudah diganti. Dia akan dimandikan lagi tapi tidak pada malam hari. Jadi kira-kira jam 8 pagi barulah terdengar bunyi anak kunci, palang pintu dibuka dan saya dibebaskan untuk memberi penghormatan terakhir bagi kakakku. Saya berdiri disamping tempat tidurnya bersama wanita-wanita lainnya. Istri "Maulvi" membacakan "Kalmas" bagi jenazah itu lalu bersama 3 wanita lainnya maju kedepan untuk mengangkat jenazah itu agar dimandikan buat terakhir kalinya. Saya melihat ada tanda kemerah-merahan pada tangan dan kakinya.....tanda kehidupan, tanda adanya darah.......Sesudah itu mereka hendak membalut tubuh kakakku dengan sehelai kain lalu menempatkannya kedalam sebuah peti.

Tiba-tiba kakakku menggerakkan lengannya, membuka matanya, langsung duduk dan memandang sekelilingnya dengan heran. "Apa yang terjadi? Orang-orang berteriak, berjatuhan. Beberapa orang mencoba lari keruangan itu. Terjadi kepanikan luar biasa. Saya memeluk Anis dan ia bergantungan padaku. Orang-orang datang kembali. Lalu mereka semua memandang kepadaku. "Apa yang telah kau lakukan? Bagaimana mungkin seorang yang sudah mati duduk kembali? Hatiku penuh diliputi dengan sukacita serta suatu perasaan dalam kebesaran Allah, lalu saya berkata sambil tersenyum: "Tanyakan padanya apa yang telah terjadi". Lalu Anis berceritera dengan lembut yang merupakan ciri khasnya. "Jangan takut padaku. Saya hidup".

Suaminya bersama imam mauvi serta muazin dari mesjid datang berlari-lari masuk karena mendengar kejadian yang menggemparkan itu. Mauvi menumpangkan tangannya keatas kepala kakakku dan bertanya," Batti, ceritakanlah yang sebenarnya padaku. Apa yang terjadi? Apa yang berlaku padamu? 14 jam yang lalu anda meninggal !Kami sedang mempersiapkan pemakamanmu!" Ia berkata, "Saya tidak mati !" Dokter perempuan itu ada disana." Anda telah meninggal. Tidak ada tanda-tanda kehidupan padamu, "tegasnya. "Saya tidak mati, saya sedang tidur !" kata kakak perempuanku. "Dalam tidurku saya bermimpi bahwa saya sedang menaiki sebuah tangga dan pada puncak tangga itu : ada seorang laki-laki memakai jubah putih mengenakan sebuah mahkota emas dan ada satu cahaya keluar dari dahinya. Saya melihat tangannya diatas saya dan terlihat suatu cahaya memancar dari tangannya itu. Ia berkata: Aku Yesus Kristus, Raja diatas segala Raja. Aku akan mengirim engkau kembali dan pada waktu yang ditentukan Aku akan membawamu kesini lagi.

Lalu saya membuka mataku.Hal ini diceritakannya dengan wajah yang memancarkan sukacita. Tidak ada kata-kata yang dapat melukiskan kegembiraan dan sukacita dalam keluarga kami. Saya mempergunakan kesempatan ini untuk menceritrakan kepada siapa saja yang mau mendengarkan tentang Nabi yang penuh dengan pekerjaan mujizat itu. Yang lebih besar dari sekedar seorang nabi-Yesus. Bahkan suami Anis, yang merupapakan salah seorang yang dulunya sangat menentangku pada awalnya, sekarang berkata bahwa karena doakulah maka istrinya telah dapat hidup kembali.

"Siapakah Nabi Besar ini, yang telah kau lihat? "tanyanya sesudah 3 hari para tamu pulang. Saya mengambil Al-quran dan menunjukkan padanya tulisan-tulisan tentang Yesus dalam surah Maryam. Kemudian saya menunjukkan padanya dalam Alkitabku kisah tentang kebangkitan Lazarus dalam Johanes 11 : 43 - 44."Sekarang, apakah kakak percaya bahwa Yesus dapat membangkitkan orang mati?". Dikatakan disini bahwa Ia memanggil Lazarus : "Keluarlah! dan iapun keluar". Dengan perlahan ia menjawab:"Ya,Saya percaya mujizat ini dari nabi Isa anak Maryam. Istriku memperoleh kembali kehidupannya untuk yang kedua kalinya" Kelihatannya ia cukup senang dan menerima apa yang kujelaskan padanya. Pada diri Anis justru terjadi perubahan yang sangat besar. Bagiku ia selalu merupakan seorang kakak yang sangat saling mengasihi dengan saya, tapi kini dalam dirinya terlihat pancaran sukacita dan damai. Saya mendengarkan dia berceritra pada Mauvi dan istrinya segala seuatu tentang visinya dengan Yesus dan saya perhatikan bahwa mereka mendengarkannya dengan penuh perhatian. Namun sesudah itu mereka mulai melirik padaku dengan perasaan tidak senang. "Ceritakanlah lebih banyak lagi tentang Yesus". bisiknya pada salah satu kesempatan singkat waktu kami sempat sendirian saja. Jadi saya memberikan padanya sebuah kitab perjanjian baru kecil dan ia berjanji akan membacanya walaupun ia merasa bahwa ia memerlukan seseorang membantunya agar dapat mengerti. Ia memulai dengan Injil matius dan saya jelaskan bagaimana Yesus lahir demikian pula asal usulnya. "Teruslah berdoa untukku. Saya akan tetap setia terhadap apa yang telah kusaksikan sehingga saya dapat mengikut Dia yang telah memberi hidup padaku",katanya, "Saya sudah menikah, karena itu saya membutuhkan lebih banyak dukungan doa". Mataku penuh dengan airmata. Saya dapat memahami posisinya dengan sebaik-baiknya. Dengan semua kejadian ini, saya telah menempatkan "sunrise" dibelakang pikiranku, tapi tiba-tiba saya menyadari bahwa saya harus kembali. Yang sebenar-benarnya, saya begitu ingin pergi dan menceritakan kepada orang lain tentang mujizat-mujizat ini.

Ketika saya berangkat dengan bus kembali ke Lahore. Anis meremas-remas tanganku dan berkata,"Pintu rumahku terbuka untukmu. Kapan saja engkau mau, kau dapat kembali. Bahkan bila keluarga-keluarga lainnya tidak sudi lagi melihatmu, saya tetap melihatmu."

Begitu bus bergerak keluar dari stasiun Gujarat dimuati penumpang baik dari pedalaman maupun dari kota, maka saya duduk merenungkan jalannya peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kunjunganku, sekarang makin menghilang seolah-olah mimpi bahagia dibelakangku. Satu hal yang harus kugaris-bawahi - saya tetap mencintai keluarga-keluarga itu dengan dunia mereka, tapi saya tidak dapat lagi hidup didalamnya. Saya adalah seorang jemaah, bukan pada perjalanan menuju ke Mekah, tapi pada satu perjalanan yang benar-benar langsung menuju kepada Allah melalui Yesus. "Sunrise" telah merupakan bagian dari perjalanan jemaahku. Sewaktu bus bergerak dengan cepat sepanjang jalan ke Lahore saya berharap-harap untuk bertemu dengan anak-anakku yang buta itu kembali. Namun kami semua tidak menyadari bahwa saya telah melakukan satu kesalahan besar. Pihak yang berwewenang di sekolah berkata demikian ketika saya menghadap kemudian, katanya sekarang ijinku telah lewat tiga hari. "Engkau meminta ijin dua hari dan telah kau ambil selama 5 hari." Terjadi suatu tanya-jawab yang menyedihkan dan saya diberhentikan tanpa beroleh kesempatan yang layak untuk memberi penjelasan. Saya menyerahkan alasan-alasanku kepada Allah dan biarlah Dia yang menjadi hakimku.

Beberapa menit kemudian saya telah berdiri di pinggir jalan Ravi dibawah sebuah tiang listrik; masih terpukul dan heran serta bingung terhadap kejadian-kejadian yang sebegitu mendadak. Saya merasa lapar - waktu makan siang sudah lewat dan saya belum lagi makan sesuatu sejak sarapan pagi-pagi sekali. Cuaca dingin dan berawan. Mungkin saja hari akan segera gelap waktu itu. Teringat olehku bahwa tukang cuci masih menyimpan beberapa potong pakaian dan peralatan tempat tidurku yang belum sempat dikembalikannya padaku. Wajah anak-anak kecil yang buta dan sabar muncul dihadapanku dan airmataku menitik. Mereka tidak akan mendengarkan lebih banyak ceritra dari Ba-jinya. Dan sayapun mengalami kesulitan dalam hal keuangan. Saya tidak memiliki uang cukup kecuali sedikit yang diberikan kakakku tadi pagi. Saya berdiri disitu kebingungan sambil menyadari bahwa tempat itu ada di daerah sunyi dan bagi seseorang yang baru murtad dari agamanya, tidak dapat mengharapkan banyak perlindungan di sini.

"Bapa" seruku kepada Allah, menyerahkan nasibku kedalam tanganNya. "ada orang-orang baik dan jahat dikota ini. Apakah ada sesuatu tempat bagi anakMu ini? Tunjukkanlah kepadaku kemana saya harus pergi. Langsung jawabannya kuketahui: "Kembalilah ke Gujarat" Saya masih mempunyai cukup uang buat ongkosnya. Saya naik bus jam 2 sore pindah ke tonga dan membuat kakakku terkejut. Ia memelukku dan berkata dengan bahagia, "Saya begitu gembira kau kembali. Sekarang kau akan membantuku untuk mengerti tentang Alkitab itu. Bahkan Blund Shah merasa girang melihat saya kembali karena dapat menemani istrinya.

Kakakku merasa rindu dan anak-anaknya, dua putri masing-masing 8 dan 5 tahun yang tinggal di Rawalpindi bersama kakek-neneknya. Iparku juga berada disana untuk mengawasi perusahaan busnya dimana ia termasuk sebagai pemegang sahamnya. Jadi, selama satu periode waktu, kakakku dan saya mendapat kesempatan yang menyenangkan dalam satu jalinan tali-persaudaraan yang baru tanpa ada suatu hambatan. Laksana dua anak domba, kami mencari dan memakan rumput di padang hijau dari Firman Allah dan kelihatan jelas bahwa kakakku mengalami perubahan sepanjang tahap belajar yang dialaminya dalam kehidupan yang baru. Ia tidak lagi terlalu "main perintah" terhadap para pembantunya dan kadang-kadang melakukan sendiri sesuatu pekerjaan. Ia malah menyuruh para pelayan makan lebih dulu seraya berkata, "si miskin mempunyai hak lebih dahulu". Ia telah menemukan Firman, " Hargailah orang lain lebih dari dirimu sendiri." Ketika saya bertanya padanya untuk merasa yakin tentang dorongan apa yang memotivasinya,ia menjawab, " jadi bila esok saya meninggal saya akan tahu dimana saya berdiri, karena saya berusaha untuk menjadi salah seorang dari hambaNya yang setia."

Hal yang menggembirakan ialah : reaksi para pembantunya." Sejak Bibi kami hidup kembali, kelakuannya sudah seperti malaikat," kata mereka kepadaku. Mereka malah bekerja lebih giat lagi untuknya, melayaninya dengan sepenuh hati. Kepadaku mereka menunjukkan perasaan hormat yang dalam. Suatu hari ia menanyakan padaku tentang baptisan dan mendengarkan penjelasanku dengan bersungguh-sungguh mengenai artinya. Kukatakan padanya," Penting artinya bagimu agar dikuburkan bersama Yesus Kristus dalam Baptisan jika kakak benar-benar menginginkan kehidupan. Ketika kita di Baptiskan, tubuh, jiwa dan roh kita dibersihkan, disucikan dan kita menjadi umatNYA."

Lalu katanya, "Saya mau di Baptiskan karena sekarang saya sudah menjadi orang Kristen." Dalam hatiku telah berubah dan saya mau melangkah lebih jauh lagi ke depan".

Perasaanku gembira bercampur kuatir. Apakah ia menyadari sepenuhnya akan apa yang dihadapinya nanti karena mengambil langkah ini? Saya telah membayar mahal untuk pembaptisanku. Tapi Anis bersikeras, "Hatiku akan sangat berdukacita jika tidak dibaptiskan katanya, saya tidak beragama Islam ataupun Kristen." Saya akan berada diluar katanya tegas dan saya mempertimbangkan hal ini. Apakah hakku untuk menolak menolongnya? Tapi segera saya lihat bahwa saya tidak dapat mencarikan bantuan dari seorang pendeta Kristen. Karena ini akan mengundang bahaya dari keluarga Blund Shah jika tidak dari pihak lain lagi. Saya harus melaksanakan upacara itu sendiri.

Suatu sore kami meminta pembantu mengisi bak mandi dari semen yang dalam itu dengan air hangat dan menyediakan beberapa helai handuk serta pakaian bersih. Lalu kami memintanya meninggalkan tempat itu. Kulihat lirikan matanya yang penuh tanda-tanya kearah kami ketika kami mentutup kamar mandi itu. Saya berdiri bersama Anis didalam air dan bertanya padanya apakah ia mengaku percaya kepada Yesus Kristus. Ia menjawab, "Sekarang saya menguburkan tubuhku yang lama dan menjadi baru di dalam Yesus Kristus dan saya akan setia". Lalu saya membaptiskan dia dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus dan menyerahkan dia ke dalam pemeliharaan Allah. Waktu itu adalah suatu saat kemenangan. Sesudah itu Anis berkata kepadaku bahwa ketika ia berdoa rasanya seperti diangkat ke atas seakan-akan memakai sayap malaikat dan melihat dalam sebuah visi orang-orang berdiri mengelilingi dan memuliakan Yesus.

Bagaimanapun saya mulai belajar bahwa bila saya merasakan sukacita atas sesuatu maka saya harus berhati-hati dan berjaga-jaga terhadap aktivitas kuasa-kuasa gelap yang jahat dan peristiwa inipun tidak terkecuali. Iparku mendengar tentang baptisan itu, Saya kira si pembantu itu yang memberitahukan sesuatu padanya dan ia menanyakan pada kakakku tentang apa yang kami lakukan. Anis kelihatan takut, "Ia menanyakan tentang hal itu semalam dan kujelaskan padanya apa arti Baptisan itu. Sekarang ia marah ia tidak menghendaki ataupun mau mengerti tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan salib itu. Saya tidak dapat menjelaskan padanya saya kira ia mencari kesempatan untuk beragumentasi denganmu. Tolong, janganlah membuatnya marah sebab bila demikian ia dapat mengusirmu."

Saya mencoba menunjukkan pengertianku yang mendalam terhadap iparku namun akhirnya saya tidak dapat menghindari terjadinya sesuatu perdebatan dengan dia.

Ia menantangku untuk menjelaskan padanya perbedaan antara pembaca Al-quran dengan Alkitab. Tentu saja saya harus mengatakan padanya bahwa Yesuslah yang merupakan perbedaannya Ia adalah Jalan, kebenaran dan hidup. " Membaca alkitab itu baik, tetapi tentang salib itu tidak baik!", kata Blund Shah. Bahkan dalam alkitabmu dikatakan bahwa seseorang yang terkutuk saja yang akan mati disalib, jadi bagaimana mungkin seseorang yang dikutuk dapat memberi hidup pada orang lain !" Ia terlihat memandang kearahku dengan perasaan menang. Ia merasa bahwa saya terperangkap. Justru inilah merupakan pembukaan yang kuperlukan, saya membacakan kepadanya 1 Kor 1 : 18, Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. Ia tidak berkata apa-apa dengan berapi-api saya bacakan untuknya Joh 1 : 29, Lihatlah Anak Domba Allah, Yang menghapus dosa dunia. Kakakku duduk mendengarkan, matanya menatap jauh ke depan, tidak ikut campur. Saya menjelaskan pada iparku mulai dari Taurat. Dari akar-akar keislamannya dan menjelaskan bagaimana korban-korban darah sebagai pengganti manusia telah diperintahkan Allah kepada Nabi Ibrahim tapi setelah Yesus. Korban-korban ini tidak lagi diperlukan. Saya menunjukkan padanya mengenai hal ini dari kejadian 22 : 11-12." Jangan Bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia". Lalu dari Johanes 12 : 32, dan Aku, apabila Aku ditinggikan dari bumi, Aku akan menarik semua orang datang kepadaKU". Saya katakan kepadanya bahwa karena pengorbanan Yesus dikayu salib maka dosa-dosa kita diampuni. Penebusan yang sempurna dan lengkap.

Kujelaskan padanya bahwa mulanya saya menemukan pembacaan tentang hal ini dalam Al-quran lalu memperoleh pengertian yang lebih mendalam di Alkitab. Kuceritakan padanya mengenai para Nabi yang menubuatkan tentang kedatangan Kristus. Kepadanya juga saya utarakan bahwa Alkitab bukannya hanya sebuah buku melainkan firman Allah yang Hidup dan bahwa apapun yang saya hadapi dalam hidup ini dapat saya jumpai pertolongan untuknya dalam Alkitab. Saya menutupnya dengan Kisah Para Rasu 4 : 11-12 Yesus adalah batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan--yaitu kamu sendiri--,namun ia telah menjadi batu penjuru. Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan."

Di ruangan duduk depan waktu menunjukkan jam 10 pagi dan ia duduk disana kelihatannya terpesona. Kemudian ia sadar akan dirinya dan menatapku dengan seksama. "Apakah kau bermaksud menjadikan saya seorang Kristen juga? Kau tinggal disini dan makan dari mejaku, lalu memandang rendah akan kepercayaan Islam dengan cara sedemikian ini? Sekarang keluar dari sini dan kali ini jangan kembali lagi!"

Kakakku menyelipkan sedikit uang padaku seraya berbisik, "Jangan kembali ke Lahore. Pergilah ke Rawalpindi dan saya akan menemanimu bila saya datang kesana". Ia memberikan sebuah alamat sahabat keluarga kami yang penting padaku, juga anggota Syiah, dimana suaminya adalah seorang pejabat tinggi pemerintah. Wanita ini memegang beberapa posisi penting dalam lembaga-lembaga sosial, perhubungan dengan perbaikan nasib wanita agar dapat memberikan pada mereka kedudukan yang lebih baik lagi. Mungkin ada lowongan pekerjaan padanya yang diberikan bagiku.

Ini merupakan kabar baik. Saya harus mendapatkan sesuatu pekerjaan. Jadi saya kembali ke stasiun bis dengan naik tonga dan pindah kesebuah bis menuju Rawalpindi. Tiga setengah jam kemudian saya sudah naik sebuah tonga lain lagi dan saya diturunkan di depan gerbang sebuah rumah tinggal yang mengesankan di jalan Peshawar. Saya mengirim sebuah nota menyebut namaku dan nama ayahku sehingga nyonya yang saya cari itu dapat mengetahui bahwa saya adalah sahabat dekat keluarga dan dapat mengingat siapa saya ini sebenarnya. Sesudah dipersilahkan saya masuk melewati gerbang tinggi yang dikelilingi dinding sambil merasa bahwa ini adalah langkah yang benar dan percaya akan hasilnya yang baik nanti.

bagian-----6

BAB 11 TERPERANGKAP

Saya berdiri diruangan duduk rumah wanita yang kucari itu yang menatapku secara seksama. Beliau seorang wanita yang sangat cantik, perawakannya lebih tinggi dari saya, berkulit putih, rambut pendek. Ia mengenakan sebuah "Shalwar kameeze" merah muda serta sebuah baju dingin lengkap dengan syal bersulam disekeliling bahunya. Beliau tersenyum manis padaku. "Betapa baiknya anda meluangkan waktu mengunjungi saya. Rasanya kita belum pernah berjumpa sebelumnya! Suamiku sedang tidak dirumah sekarang. Ia di Islamabad sampai malam nanti. Ia seorang yang baik". Saya katakan bahwa saya telah mendengar tentang suaminya yang adalah seorang yang penting. Nyonya menundukkan kepalanya yang anggun lalu meminta teh buat kami. Sambil menikmati teh dari mangkuk cina bercorak bunga-bungaan beliau melayani saya dengan percakapan yang sangat menyenangkan dan sopan, menanyakan tentang kesehatanku dan bagaimana perjalananku dari Gujarat. Beliau sangat prihatin mendengarkan keadaan Anis. Saya tidak meneruskan percakapan tentang hal ini secara terperinci karena merasa bahwa mungkin beliau tidak menghendaki para pelayan mendengarkan tentang apa yang akan kukatakan.

Selesai minum teh beliau mempersilahkan saya mengikutinya. Saya dibawa kekamar tidurnya, menutup pintunya, mempersilahkan saya duduk lalu mulai mengajukan pertanyaan yang sejak tadi belum diutarakan diantara kami,"Kenapa anda datang tanpa memakai kerudung? Dan mengapa seorang diri? Dalam keluargamu gadis-gadis tidak keluar rumah seperti ini. Apa yang terjadi atasmu? Apakah kau menemui sesuatu kesulitan?"

Saya mengenakan sebuah baju putih dengan Shalwar Kameeze dan ada sebuah selendang yang dililitkan sekeliling kepalaku. Sudah lama saya berhenti mengenakan Burka. Namun, saya tidak berkeinginan untuk bersoal jawab tentang hal itu sekarang.

Saya menjawab, "Nyonya merasa terkejut waktu melihat saya tidak memakai kerudung. Apakah nyonya tidak terkejut waktu melihat saya dapat berjalan? Nyonya kan tahu bahwa saya ini seorang yang lumpuh dan sakit ditempat tidurku selama 19 tahun !"

"Saya tahu tentang hal itu. Sekarang ceritakan padaku, siapakah dokter yang mengobatimu sampai engaku dapat sembuh sempurna seperti itu?"

"Akan kutunjukkan dokterku kepada nyonya". Saya membacakan baginya ceritra tentang seorang lumpuh diangkut oleh 4 orang dan disembuhkan Yesus dalam Markus 2 : 9-11. Kemudian kuberikan padanya Alkitab bahasa Urdu agar dibacanya sendiri. Diambilnya buku itu seolah-olah akan memegang seekor ular, memandangnya sekejap lalu mengembalikannya kepadaku. "Buku ini milik orang-orang Kristen" katanya ketus.

"Benar, dan saya juga seorang Kristen" jawabku.

Beliau memegang lengan kursinya erat-erat,"Apakah tidak salah pendengaranku?"

"Itulah yang sebenarnya, sekarang saya telah menjadi milik pribadi yang memberikan kesembuhan padaku."

"Sebenarnya apa yang kau maksudkan dengan hal itu?"

Maka saya menceritakan padanya cerita itu tanpa menyebut sesuatu nama Kristen. Tuan rumahku berusaha menenangkan dirinya. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan dengan langkah-langkah pendek di sekeliling ruangan itu lalu duduk berhadapan dengan saya lagi sambil condong ke depan, memandang padaku dengan sangat prihatin tapi lantas katanya, "Jika Yesus menyembuhkanmu, apakah merupakan suatu keharusan untuk menjadi Kristen ?"

"Dalam kasus saya, Ya. Saya telah menemukan hidup yang baru dan kini saya menjadi milik Pribadi itu yang telah memberikan padaku suatu hidup baru. Oleh sebab inilah saya telah diusir dari rumahku. Namun, saya tidak datang kemari untuk mendiskusikan agama dengan Nyonya. Saya datang untuk memohon bantuan Nyonya, sekiranya dapat membantuku mendapatkan pekerjaan pada salah satu lembaga kewanitaan yang Ibu pimpin. Dapatkah Ibu membantu ? Pekerjaan yang sederhanapun boleh, saya tidak mengharapkan pekerjaan dengan gaji besar".

Terdiam sebentar. Beliau memperhatikan corak-corak permadani yang bagus itu. "Demikian rupanya, tidakkah kau tahu bahwa sebenarnya saya berpikir ada seseorang telah menculikmu dari rumahmu dan kau dapat lolos kemari untuk mencari pertolongan." Beliau tertawa kecut. "Baiklah, kau akan bermalam di sini semalam dan besok saya akan mengatur sesuatu bagimu."

Saya mendapat kamar sendiri dan makan malam yang dihidangkan oleh salah seorang pembantunya. Hubungan keluarga, walaupun sebegini jauh, bagaimanapun lebih erat dari yang saya perkirakan. Besok paginya sesudah saya sarapan sendirian di ruangan-makan, saya bertemu dengan suaminya. Beliau segera menegurku dengan sopan dan meminta saya meninggalkan Kristen. Tentu saja saya dengan cara yang sopan, saya menolak permintaannya. Di dalam diriku saya menggigil karena kini saya berhadapan dengan seseorang yang berpengaruh dalam pemerintahan. Baginya akan mudah sekiranya beliau mau menyikat saya seperti menghadapi seekor nyamuk yang mengganggu, walaupun saya adalah sahabat dekat keluarganya.
Beliau berkata, "Pikirkanlah tentang apa yang kau katakan. Masih ada waktu bagimu untuk kembali lagi ke Islam dan saya akan mengatur agar kau dapat berdamai lagi dengan keluargamu.

Apakah secara tidak langsung tersirat di dalamnya sesuatu ancaman? Saya menarik napas dan menenangkan syarafku. Saya mempunyai suatu kesempatan kali ini yang tidak boleh kubiarkan berlalu.

"Terima kasih, namun maaf, tidak" jawabku, "Saya tidak bertengkar dengan mereka, saya tidak bermusuhan dengan siapapun, Pribadi yang saya percayai ialah Raja Damai dan Dia juga memberi Damai kepada Bapak." Kata-kata itu keluar dari mulutku sebelum saya menyadarinya.

"Kenapa anda tidak meninggalkan kekristenan itu? katanya dengan nada yang agak menunjukkan kehilangan kesabaran, "Jika anda tidak mau tinggal dengan kakak-kakakmu, mari tinggal bersama kami selama hidupmu."

Tawaran ini baik sekali dan saya yakin beliau mengutarakan dengan tulus.

"Terima Kasih, tapi kekristenanku bukan hanya sekedar agama dimana seseorang dapat melepaskannya bila dia merasa bosan, melainkan merupakan suatu perubahan hidup bagiku. Jika saya berhenti hidup dalam Kristus maka saya akan mati." Lalu saya menambahkan, "Sekiranya bapak tidak dapat membantu untuk mendapatkan sesuatu lowongan kerja bagi saya, katakanlah lalu saya akan pergi dan tidak akan mengganggu bapak lagi".

"Oh ya kami akan mengatur sesuatu untukmu". Beliau mengerdipkan matanya kepada istrinya sambil berjalan keluar. Saya mendengar istrinya memanggil sopir untuk menyiapkan mobil.

"Mari", katanya dan kami masuk kedalam mobil dan berangkat menuju arah kota. Mobil itu berhenti diluar sebuah pintu gerbang besi yang besar dikelilingi dinding-dinding yang tinggi. Di atasnya saya dapat melihat sebuah bangunan beton yang besar. Sebuah tanda menyebutkan bahwa tempat itu ialah Penjara Pusat Rawalpindi. Jadi rupanya disinilah tempat saya bekerja.

Si sopir memanggil penjaga yang membuka pintu gerbang itu. Kawanku, Nyonya tersebut membawaku masuk ke kantor pengawas dan berbicara sebentar dalam bahasa Inggris, jelas rasanya tentang saya. Lalu pengawas membunyikan lonceng dan seorang wanita setengah baya muncul dengan setumpuk kunci yang bergemerincing bunyinya. Pengawas itu mengatakan sesuatu kepadanya yang tidak dapat kudengar dan mengangguk kearahku lalu wanita itu berkata "Mari". Nyonya, kawanku yang baik hati itu berkata,"Anda pergi bersama wanita ini. Tempat ini akan lebih baik buat anda."

Saya berterima kasih padanya dengan hangat dan mengikuti wanita itu keluar melewati serambi. Sebuah gerbang yang dipalang dibuka lalu wanita itu membawa saya kedalam sebuah ruangan yang panjang seperti aula dengan langit-langitnya yang tinggi dan tidak berjendela. Cahaya yang masuk kesana datangnya dari gerbang berjeruji besi yang dipasangkan kesalah satu dinding. Ada satu lagi gerbang tertutup diseberangnya. Ada kira-kira 10 wanita berjongkok diatas tikar-tikar anyaman daun palem yang kotor, ada yang berbaring atau bersandar di dinding dengan sikap-sikap merengut atau acuh tak acuh. Saya mendengar bantingan pintu tertutup di belakangku lalu dikunci dan tanpa daya memandang ke arah wanita yang paling dekat denganku.

"Apa yang terjadi? Dimanakah pekerjaan yang akan kulakukan?.

"Pekerjaan? Tidak ada pekerjaan disini. Kau berada di penjara, sama seperti kami. Apakah yang telah kau lakukan sehingga dijebloskan kesini?"

Saya memerlukan waktu satu-dua menit untuk menyadarinya. Apa yang dinamakan sahabat dekat keluarga ini telah menjebloskan saya ke penjara dengan alasan karena saya seorang Kristen. Saya telah dikelabui dan terperangkap. Saya berlalari ke pintu gerbang dan menggoncang-goncangkan palangnya. Tidak ada seorangpun yang datang, saya memanggil manggil, tidak ada yang menjawab, kecuali wanita muda yang telah berbicara padaku tadi.

"Engkau dapat berteriak-teriak sekuat-kuatmu tidak akan menolong untuk membuatmu keluar dari sini." Saya berpaling padanya, "Tempat apakah ini?"

"Anda harus tahu, oh orang yang masih hijau, tempat ini ialah Penjara penitipan, tempat seseorang ditahan menunggu untuk diadili atau jika kau dapat menemukan seseorang yang akan menebusmu keluar". Cara mengutarakannya lebih keras lagi, kedengarannya dari yang diucapkannya.

Saya berusaha untuk tetap tenang dan berpikir. Berapa lamakah saya akan di tahan disini? Kejahatan apa yang akan mereka tuduhkan padaku? Apakah menjadi pemeluk Kristen merupakan kejahatan? Jelas, menurut undang-undang dasar, menjadi kelompok minoritas bukanlah sesuatu kejahatan. Namun, menurut hukum Islam, saya telah melakukan sesuatu kejahatan yang sangat besar dan bagi keluargaku tindakanku telah menjadi suatu kenajisan. Pikiran itu mengingatkan saya, akan janji Anis untuk datang menemui saya. Saya yakin kakakku akan segera datang. Kemudian mataku tertuju kearah tasku-merupakan suatu keuntungan bagiku tas itu tidak mereka sita dariku. Dan Alkitabku ada didalamnya bersama beberapa potong pakaian yang merupakan harta kekayaan tidak ternilai di tempat seperti itu.

Saya melihat sekelilingku lebih teliti lagi. Dimana saya dapat beristirahat disini? Panjang ruangan itu kira-kira 25 meter, ada tiga atau empat kamar disamping-sampingnya dimana diletakkan tempat-tempat tidur besi ditutup dengan selimut tebal berwarna gelap. Udara disini dingin karena aliran udara malam Himalaya, yang masuk melalui lobang berjeruji dari gerbang yang dipalang itu. Namun, sepintas lalu saya berkata kepada diriku bahwa saya tidak akan dapat tidur disini.

Kamar-kamar itu sangat gelap, tanpa aliran udara, tanpa jendela seperti kuburan-kuburan saja layaknya. Dan saya tidak mau di gigit hidup-hidup oleh seranga-serangga yang menghuni selimut-selimut itu. Diluar, dilantai yang dingin, keras dan kotor itu, wanita-wanita lainnya membuangkus diri mereka seluruhnya dengan seprei dan bertiduran di atas tikar-tikar kotor. Sambil membungkus diriku dengan kain sebanyak mungkin yang tersedia dan dapat dipakai, sepanjang malam saya duduk terus sambil terkantuk-kantuk memandang lewat jeruji-jeruji penjara ke langit malam yang bersih disinari bulan dan bintang-bintang. Kebersihan makanan merupakan, suatu masalah yang terus menerus menyakitkan hatiku, begitu juga yang dirasakan wanita-wanita lainnya.

Bau yang tidak sedap yang tercium didalam ruangan itu menunjukkan bahwa ada kamar kecil didekatnya sedangkan air untuk menyiram tidak cukup begitu juga peralatan untuk mencuci yang layak - yang ada hanya sedikit air sebanyak satu ‘muntuka’ atau ember dan merupakan jatah untuk dibagikan diantara kami selama sehari penuh oleh tukang air. Ada sebuah mangkuk yang dipasangkan rantai diikatkan pada bagian atas ember, dua gelas untuk minum dan sebuah ‘lotha’ untuk keperluan air wudhu. Saya tidak pernah melihat seorangpun yang menggunakannya selama saya disana. Bersembahyang merupakan hal yang sangat jauh dari pikiran mereka. Tiga kali sehari seorang penjaga penjara masuk membawa sesuatu yang merupakan makanan roti kering dan teh untuk sarapan serta pada waktu makan lainnya, sup miju-miju (lentil) encer, ‘chapatti’ yang kurang dimasak dan sesekali terong tawar. Rupa dari makanan ini- yang tidak akan saya berikan bahkan bagi para pengemis dirumahku - menyebabkan para narapidana naik pitam kadang-kadang mereka menyiramkan teh keatas penjaga yang jatuh, menyumpah-nyumpahinya begitu juga koki, polisi, pengadilan juga satu terhadap yang lain menggunakan kata-kata yang membuat saya menutup telingaku rapat-rapat.

Melewati gerbang berpalang itu, di kejauhan kami dapat melihat pada selang-seling waktu para anggota keluarga atau kawan-kawan dari narapidana datang memberikan penghiburan. Gerbang akan dibuka dan satu atau dua dari para wanita itu akan dibawa keluar ke kamar tamu untuk waktu singkat lalu kembali membawa oleh-oleh yang agak dapat memperbaiki keadaan hidup - seprei-seprei bersih, makanan. Segera nasi manis dan pilau serta potongan-potongan ayam dibagi-bagikan keliling tapi saya tidak mendapat bagian.

Tidak ada yang meberi perhatian atas kehadiranku atau berkeinginan untuk menuduhku dengan sesuatu tuduhan. Namun saya ketahui bahwa tempat ini hanyalah tempat tahanan sementara bagi mereka yang menunggu untuk di adili. Berapa lama gerangan seseorang dibiarkan merana ditempat ini tanpa diadili?

Saya bertanya pada petugas penjara, wanita setengah baya, "Kenapa saya berada disini?"

"Saya tidak tahu kenapa, pengawas penjara memerintahkan saya, katanya acuh, saya hanya menuruti perintah saja".

Dari arah barat penjara yang satunya untuk pria yang dapat mendengarkan jeritan orang-orang yang sedang dipukul kuat-kuat. Wanita-wanita lainnya - sebagian terlibat dengan geng-geng dikota mengatakan bahwa cara ini dilakukan agar seseorang mengaku dan dapat dibuatkan tuduhan yang wajar atasnya. Saya juga mengetahui bahwa perempuanpun dipukuli oleh petugas wanita untuk maksud yang sama. Saya menunggu bertanya-tanya apakah hal semacam ini juga akan menimpa saya.

Selama seminggu pertama saya tidak dapat tidur dilantai keras itu atau memakan makanan penjara. Sekali menghirup bau sup saja telah menghilangkan napsu makanku. Saya tidak suka akan keadaan kotor atau caplak, bau atau pada mulanya para wanita bersamaku disitu. Namun, ketika diombang-ambingkan oleh kesangsian dan gelombang ketakutan maka saya akan mengambil Alkitab ku yang sangat berharga, dan saya mengalami bahwa lama kelamaan saya mulai dapat menyesuaikan keadaan dan perasaan damai mulai mengalir laksana sungai di hatiku. Saya membaca tentang Petrus dan Yohanes dalam penjara di Kisah Rasul 12 : 6-8. Terasa olehku bahwa bagi mereka pun hal ini merupakan suatu pukulan karena diperlakukan sebagai penjahat seperti halnya dengan saya. Namun keduanya mengucap syukur dan menyanyikan puji-pujian. Begitu juga Rasul Paulus, menulis dari dalam penjara: "Dalam segala hal aku mengucap syukur". Baiklah bila demikian, saya akan mengucap syukur karena dapat membuktikan pada Allah ketabahanku waktu menghadapi hal yang sama. Pada mulanya saya menggunakan waktu lowong utuk dimeditasikan atas Firman Allah, saya mengasingkan diriku dari kawan-kawan seselku. Jelas bagiku kebanyakan dari mereka adalah penjahat-penjahat yang mencintai kejahatan. Anggota-anggota geng dan kelompok penjahat kota besar, pencuri, pencopet, penculik dan seorang yang melakukan pembunuhan di propinsi perbatasan barat laut yang membunuh suaminya. Oh. perasaan sombong yang bercokol dalam diri "penjara" ini merupakan obat mujarab untuk melenyapkannya. Karena hanya berdiam diri dan tenang sewaktu saya mencurahkan perhatian pada Alkitabku maka timbullah rasa hormat dan ingin tahu mereka terhadapku.Saya merupakan teka-teki yang pada akhirnya memerlukan penjelasan.

"Apa yang sedang kau baca dengan penuh perhatian itu ?"

Saya memandang keatas pada sipenanya, seorang wanita muda yang pada wajahnya terlukis segala bentuk kejahatan.

"Kau telah membaca buku itu berhari-hari tanpa menghiraukan bahwa kami hadir disini. Pastilah itu sebuah buku yang bagus. Tentang apakah gerangan isinya?"

"Apakah anda benar-benar mau tahu tentang buku ini?"

"Yah, sesuatu untuk mengisi waktu lowongku," katanya (kuketahui namanya: Kalsoum). Wanita-wanita lainnya menghentikan kasak-kusuk mereka untuk mendengarkan percakapan kami. jadi saya mulai bercerita tentang Dia kepada wanita-wanita ini.

"Ini adalah sebuah cermin".

"Bagaimana mungkin itu cermin? Saya kira itu buku" ujar seorang lain (kuketahui namanya Khatoon) sambil memandang sekeliling pada kawan-kawannya untuk mendapatkan dukungan terhadap pendapatnya.

"Baiklah, inilah sebuah buku yang juga adalah Cermin karena disini kita melihat diri kita sendiri waktu menghadap Allah yang akan menghakimi seluruh umat manusia."

"Tidaklah merupakan suatu gambaran yang bagus," kata salah seorang dari mereka sambil tertawa kasar.

"Anda benar", jawabku, cermin ini menunjukkan pada kita apa yang kita lakukan yang disebut ‘ Dosa ‘, dosa-dosa kita adalah hal yang buruk di mata manusia apalagi di mata Allah. Manusia mengutuk dosa-dosa kita dan akan menghukum kesalahan yang kita perbuat.

Tapi Allah itu suci dan Dia akan lebih mengutuk kita lagi karena dosa kita. Dosa tidak membuat Allah senang. Dosa menentang Dia, Dia harus mangukum dosa dengan kematian. Wanita-wanita malang ini memperhatikan benar-benar penjelasanku, seperti menunggu hukuman baginya. Saya lanjuntukan, "Anda tentunya berpikir, ‘Jadi, tidak ada jalan keluar bagi kita. Kita harus menanggung hukuman bagi kita,’ Tapi cermin ini menunjukkan pada kita bahwa Allah mempunyai dua jalan untuk berurusan dengan dosa kita. Jalan yang satu menuju kematian dan jalan yang lainnya memimpin kita kepada kehidupan dan kita dapat memilih jalan mana yang akan kita ambil.

Suasana hening dipecahkan oleh Kalsoum yang bertanya,"Bagaimana caranya cermin itu melakukan semuanya ini?"

Ditunjukkannya bahwa Allah sendiri telah menyediakan satu jalan untuk mengampuni dosa kita. Dia sendiri memanggil kita orang-orang berdosa datang kepadaNya mengakui dosa dan kesalahan kita untuk diampuni. Buku ini memberitahukan kepada kita, "Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu."(Mat 11:27-30).

Saya terkejut atas reaksi mereka atas firman ini mereka mendengarkan penjelasan ini dengan cermat. Seorang dari mereka berkata, "Kami tidak menyangkal bahwa kami dibebani oleh dosa. Itulah sebabnya kita dimasukkan ketempat ini. Tidak ada yang dapat melepaskan kita dari tanggung-jawab terhadap apa yang kita lakukan."

Saya jelaskan padanya doktrin pengampunan sebagaimana difirmankan dalam 1 Joh 1 :8-9 : "Jika kita mengaku dosa kita, maka Dia adalah setia dan adil untuk mengampuni dosa kita dan membersihkan kita dari segala dosa kita". Beberapa dari antara mereka sangat tergerak oleh firman ini, terlihat ada airmata dimatanya.

Mereka meminta padaku untuk mengajar mereka lebih jauh lagi. Jadi diatur, bahwa setiap pagi saya akan melakukan suatu penelahan Alkitab bersama mereka. Dalam waktu singkat saya mulai melihat suatu perubahan terjadi pada mereka yang terpancar melalui kerudung yang kotor. Mereka tidak hanya membagikan daging dan ‘pilaunya’ padaku atau memberi sehelai selimut bersih untuk tidur. Hasil terbaik ialah tujuh dari mereka mengaku dosanya dihadapan Allah dan membenarkan tuduhan yang selama ini disangkalnya didepan para petugas yang berwajib termasuk si pembunuh dari propinsi perbatasan barat laut dan dua pencopet. Mereka meyakinkan kepadaku bahwa mereka tidak akan melakukan kejahatan lagi. "Inilah pekerjaan yang diperuntukkan bagimu sehingga dimasukkan ke penjara," kataku pada diriku sendiri setelah waktu sebulan berlalu dengan berbagai pengalamannya. Tiga dari mereka dibawa kepengadilan dan pergi dengan bercucuran air mata karena perpisahan denganku.

Namun kemudian sayapun dipanggil, pintu penjara dibuka, dan saya dibawa keruang duduk pimpinan penjara dimana saya bertemu dengan Anis yang sangat kuatir menunggu bersama teman kami yaitu Nyonya yang saya percayai itu-
beliau berusaha agar sedapat-dapatnya tidak kelihatan terlibat. Anis segera datang dan memelukku yang masih dalam keadaan kotor. Lalu ia berpaling ke Nyonya tersebut dan bertanya, "Apa yang telah dilakukan adikku sehingga dimasukkan kedalam penjara? Apakah ia membunuh seseorang?"

Adikmu telah berpindah agama. Ia telah murtad dari Islam. - Tindakan itu, suaranya dipertegas,- merupakan suatu dosa yang lebih berat dari membunuh!.

"Itu adalah keyakinan dia pribadi. Ia menemukan kebenaran dan tidak merasa takut untuk menyaksikannya dan nyonya tidak berhak menjebloskan seseorang karena alasan itu, kecuali tidak ada lagi undang-undang di Pakistan."

Kawan kami tidak berkata apa-apa. Ia mengangkat bahunya, "Baiklah, jika anda mau membawanya pulang, silahkan". Anis berpaling padaku, "Gulshan, sekarang kau harus pulang bersama."

"Saya tidak suka melakukannya. Untuk apa saya harus pulang kerumah. Penjara ini lebih baik bagiku dari dirumahmu."

Kelihatannya, perasaannya terluka.

"Kenapa kau berkata begitu?"

"Karena suamimu menyalah-artikan tentang Yesus dan SalibNya dan saya tidak mau mendengarkan hal semacam itu. Di penjara ini para wanita itu telah mendengarkanku dan menerima Yesus. Saya dapat melakukan pekerjaan yang bermanfaat."

Dengan berlinang air mata kakakku mengelus-elusku. "Engkau sangat mencintai Yesus, saya rela memberikan hidupku untuk Yesus." Perasaan itu benar, semua yang telah terjadi hanyalah semakin menambahkan ketetapan iman dan percayaku. Saya telah ditempatkan pada keadaan putus asa yang kelam dan mengacaukan perasaanku. Namun, dalam kegelapan ada sinar cahaya.

Anis berkata, "Saya juga mencintai Yesus. Saya mau belajar lebih banyak tentang Dia darimu". Lalu ia menceritrakan padaku apa yang terjadi dengan suaminya. Tidak lama setelah saya meninggalkan rumah, pada hari yang sama, suaminya mengalami kecelakaan lalulintas lalu masuk rumah-sakit selama sebulan. Saya tidak dapat dihubungi waktu itu karena jelas kewajibannya yang utama sebagai istri ialah mengurus suaminya. Ia melanjutkan," Sekarang ia tidak akan melakukan sesuatu terhadapmu. Ia telah mengijinkan saya untuk menjemputmu pulang."

Betapa cepatnya keberuntungan itu berbalik. Pada suatu ketika saya berada dengan sampah masyarakat dari kelompok wanita di penjara dan memperoleh kenyataan betapa manisnya pengalamanku bersama mereka. Dalam waktu satu jam atau lebih sedikit setelahnya, saya sudah mandi didalam kamar mandi dirumah kakakku yang indah dikota satelit Rawalpindi, dengan para pelayan yang siap menunggu permintaanku - sambil mengira-ngira, berapa lama saya gerangan akan menikmati keadaan ini sebelum saya menerima perintah untuk keluar karena ketidak sanggupanku untuk berdiam diri tentang iman percayaku.

BAB 12 GODAAN

Bila kukenangkan kembali maka rasanya masa yang kualami ketika tinggal bersama kakak dan iparku di Pindi merupakan salah satu dari waktu paling bahagia di dalam hidupku setelah menjadi Kristen. Anis selalu menyenangkan hatiku, suaminya berlaku baik dengan cara yang lemah lembut. Sekali lagi saya menjadi bagian dari keluargaku dan diperlakukan dengan kasih dan perhatian.

Ada pembantu di rumah itu, 2 atau 3 pembantu wanita, masing-masing seorang klerk, koki, dan sopir. Anak lelaki koki bekerja di kebun. Saya tidak perlu lagi menjahit atau membersihkan meja. Kini saya dibutuhkan menjadi pengasuh gadis-gadis cilik dan saya lakukan hal ini seperti dilakukan Anis terhadapku dahulu – menceritakan kisah-kisah kepada mereka. Peranan yang sangat menyenangkan. Pada waktu yang sama saya merasakan bahwa saya memperhatikan para pembantu dengan simpati - bagaimana mereka melaksanakan tugas rumah tangga – mencuci piring, lantai, pakaian, menggosok, menyetrika, membersihkan, mengkilapkan, mengeluarkan debu, mengangkat-angkat, menyusun, memisah-misahkan dan menata kembali. Saya merasa berterima kasih pada semua orang atas pelayanan mereka. Saya tidak merasa rugi karena perasaan ini malah menyebarkan kebahagiaan.

Kakakku dan saya makin dekat satu sama lain, kini bersaudara dalam Kristus. Tiap hari kami menggunakan waktu 2 atau 3 jam mempelajari Alkitab. Dalam waktu singkat Anis mendapatkan satu fakta sebagai kesimpulannya : dia dapat memahami isi Alkitab padahal sulit baginya untuk memahami Kitab Suci lainnya. Ditulis di dalam bahasa sendiri dan tidak ada misteri tentang Alkitab itu. Seseorang dapat membacanya sebagaimana halnya dengan membaca buku biasa, mengenal dari sudut pandangan lain tentang beberapa kejadian yang dikenal baik oleh umat Islam maupun umat Yahudi, tapi di sini ada satu kelebihan, yaitu kuasa Kebenaran yang sejati. Kakakku berkata, "Kata-katanya indah sekali, kata-kata ini mendatangkan penghiburan." Ia mengenang anaknya yang telah meninggal. Saya berkata, "Kata-kata ini nyata dan merupakan Firman dari Bapa kita yang di surga. Apapun yang anda rasakan, kita akan mendapatkannya di sini, apakah itu susah atau senang. Yang terutama adalah kita yakin bahwa dosa-dosa kita sudah diampuni dan agar kita mengikut Yesus dari hari ke hari. Katanya, "Saya rasa Dia ada di sini bersama kita sewaktu kita berbicara tentang Dia." Kutunjukan padanya ayat , "Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." ( Matius 18:20 ) Waktu kita berdoa Dia mendengarkan. Guru kita selalu menyertai kita. Kita dapat mengerti karena RohNya memimpin kita.

Blund Shah tidak merasa gembira atas perhatian baru dari isterinya ini. "Jangan kau katakan kepada setiap orang bahwa Kristus telah membangkitkan engkau dari mati, kau diam saja !" pesannya kepada kakakku. Kelihatannya kakakku tidak begitu memperdulikan peringatan suaminya. Demi kepentingannya saya menjaga untuk tidak sembarangan bercerita kepada orang lain bahwa saya seorang Kristen, walaupun bila langsung ditanyakan kepadaku biasanya saya bercerita tentang visi dan penyembuhanku, dan kisah ini umumnya tidak memancing pertanyaan mereka lagi.

Anis dan suaminya mempunyai banyak kaum keluarga atau teman, dan setiap hari ada saja tamu yang berjamu di bungalownya yang menyenangkan itu. Dalam sebuah rumah tangga Shiah, diatur dengan keras agar apapun yang terjadi di bagian lain dari dunia Islam, di sini pembagian mendasar atas jenis kelamin tetap dipatuhi. Tamu pria dan wanita walaupun tiba bersama-sama harus duduk di bagian serambi yang terpisah atau ruangan tamu yang berbeda. Adakalanya bagiku sebagai seorang Kristen, merasa tidak sabaran ats pemisahan hubungan manusia seperti ini, terutama sebagaimana yang kuketahui bahwa di dalam suatu persekutuan di mana Kristus mempersatukan umatnya maka kehidupan dapat berjaland engan baik sekali tanpa aanya pemisahan seperti ini. Tetapi di negara kami yang didirikan atas ajaran agama, maka setiap segi kehidupan sosial kami menggunakan tolak ukur ajaran-ajaran agama dan tafsiran-tafsirannya.

Dalam kehidupan kota, dampak pemisahan ini lebih banyak dirasakan dan makin jelas bagiku dibandingkan dengan yang kurasakan di Jhang, karena Jhang terletak di pedalaman dan masih jauh lebih terbelakang dibandingkan dengan kota. Sebahagian dari diriku berfungsi sebagai penilai, bagiannya yang lain menikmati kesenangan-kesenangan masa lalu bersama teman-teman wanita, bercakap-cakap sesama wanita tanpa diganggu oleh kehadiran seorang pria pun.

Hatiku tenang rasanya mendengarkan semua ceritera yang terperinci mengenai siapa yangkawin dengan siapa, anak mana yang sakit dan yang mana yang sehat, apa yang dipelajari mereka di sekolah serta jurusan pekerjaan apa yang mereka ambil. Kini gadis-gadis juga mengikuti pendidikan, beberapa diantaranya malah ke perguruan tinggi, namun kemudian menghadapi kenyataan bahwa bidang pekerjaan bagi mereka tidaklah mudah diperoleh dan tidak selamanya disenangi.

Seorang anak perempuan nantinya dapat menjadi seorang dokter wanita atau guru bagi anak-anak perermpuan atau pun menjadi perawat. Makin sulit bagi mereka untuk masuk ke lingkungan kerja bersama para pria seperti di kantor. Namun untuk menahan agar anak-anak perempuan tetap belajar di rumah, makin sulit rasanya bagi para keluarga karena begitu banyak pemuda yang menunda-nunda perkawinannya selama mengikuti pendidikan di luar negeri.

Selalu ada kontradiksi antara syariat agama dengan kepentingan duniawi, seperti yang terjadi sebelum ini. Nah, masalah-masalah ini sekarang dihadapi oleh banyak keluarga – mereka menyalahkan pengaruh barat yang telah mengikis tolak ukur yang telah ada dan mengalihkannya sehingga berubah menjadi cara yang lebih dipilih untuk mendapatkan kebahagiaan – memetik impian yang paling muluk, masa depan yang terbaik bagi anak-anak lelaki mau pun perempuannya.

Saya mendengarkan dengan lebih sadar daripada dulu bahwa impian-impian seperti itu merupakan kuncup-kuncup yang mudah retak, dengan mudah dapat diterbangkan dengan angin kencang. Tekanan-tekanan semacam itu tidak akan mudah terhapus. Waktu itu kami menyadari betapa sulapan logika kehidupan dapat berproses menjadi suatu ledakan terhadap logika agamawi bila keadaan seperti ini terjadi berkali-kali dalam skala yang besar.

Anis menyatakan jalan pikiranku ini dalam kata-katanya yang sederhana, "Mereka cemas tentang masa depan anak-anaknya, tapi bagi mereka sendiri kemanakah tujuan hidupnya ?" Baginya, suatu kehidupan yang tidak memiliki tujuan yang pasti tanpa Kristus seringkali merisaukannya. Merasakan kembali duduk-duduk pada kedua sisi ‘prudah’ menujukan kepadaku betapa kuat dan mantapnya dasar yang tealh kutemukan dalam hidupku. Kebahagiaanku kini tidaklah tergantung pada terpenuhinya ambisi pribadiku, tapi terletak pada melakukan kehendak Allah. Karena itu tidak sesaatpun saya membiarkan diriku membayangkan bahwa masa tenang ini akan berlangsung terus, dan memang begitulah yang terjadi.

Dalam bulan Nopember kuketahui bahwa iparku untuk periode tertentu akan pergi ke Lahore, karena urusan dagangnya.

"Kita semua harus pergi," kata Anis, "dan kita harus tinggal di rumah Alim Shah."

Saya kaget mendengar berita ini, " Baiklah tapi maaf, saya tidak dapat ke Lahore bersamamu, saudara kita Alim Shah berkata kepadaku bahwa pintu rumahnya tertutup bagiku karena saya telah mengingkari agama Islam."

Wajah kakakku merengut seperti seorang anak yang mau menangis, " Saya memerlukan doamu dan saya juga memerlukan bantuanmu. Jika Alim Shah tidak mau menerimamu maka saya akan menyewa bungalow lain dan saya akan tinggal bersamamu."

"Dan apa tindakan suamimu nanti, saya rasa ia akan menceraikanmu." Saya memeluknya dan setuju untuk pergi bersama mereka. Kami akan melihat bagaimana penerimaan kakak lelakiku nantinya terhadapku.

Jadi, pada tanggal 28 Nopember jam 4 sore, kami berangkat dengan sebuah mobil dan abrang – barang diangkat dengan truk.

"Saya sangat senang berjumpa denganmu. Kau diterima dengan senang di rumahku, selamat datang." Yang berbicara ini adalah kakakku Alim Shah. Saya tidak mempercayai pendengaranku, seolah-olah pembicaraan yang tidak menyenangkan hati di telepon tidak pernah terjadi.

Keluarga itu menumpang sementara bersama Alim Shah sampai mereka mendapatkan sebuah rumah. Saya mendapat sebuah kamar enak dan seorang pembantu diberikan kepadaku untuk membantuku. "Saya tahu kamu mempunyai kawan-kawan di sini", kata kakak lelakiku dengan tak terduga sama sekali, "kepada sopirku sudah kukatakan agar membawamu ke mana saja yang kau kehendaki."

Saya mengucapkan terima kasih kepadanya dengan hangat, tapi dalam hatiku saya merasa tidak tenang, hal itu rasanya terlalu baik untuk menjadi kenyataan. Ketika hari Minggu tiba, saya meminta sopir membawa saya ke gereja Methodeist di jalan Warris. Pendeta menjabat tanganku di depanku dan jemaat menyambutku dengan cukup ramah, tetapi tidak ada yang menyapa, Apa Kabar ? Kemana saja selama ini ? Apakah anda memerlukan sesuatu ? Karena itu saya tidak menceritakan pada seorang pun tentang kesulitanku tetapi mempercayakannya kepada Allah seperti biasa untuk pemecahannya.

Empat bulan kemudian, pada suatu malam di bulan Mei, saya sedang berdoa di kamarku sambil duduk di kursi dengan Alkitab terbuka di lututku. Saya mendengar bunyi gerakan kaki dan membuka mataku. Di seberangku, Almin Shah sedang memperhatikanku dengan tersenyum. Ada suatu tekanan perasaan terbersit padaku dan entah mengapa saya sampai membayangkan Harimau pada waktu itu.

"Kuharap engkau merasa bahagia di rumahku," katanya dengan suara yang sangat mengasihi."Kuharap engkau merasa cocok dengan Istriku dan senang dengan anak-anakku. Kuharap para pembantu tidak menyebabkan suatu masalah apapun atasmu."

"Saya sangat bahagia di sini ," jawabku sepenuh hati.

"Kami sangat mencintaimu, dan kami mau kau tinggal bersama kami untuk kebaikan kita. Sebenarnya saya sedang mengurus pembangunnan sebuah bungalow bagimu di Goldberg (tempat ini adalah bagian tepi kota yang modern bagi golongan yang cukup kaya, letaknya kira-kira 10 km dari sini). Ia melanjutkan, "Dan saya ingin agar kau turut berlibur denganku. Bulan depan saya akan berkunjung ke tempat-tempat bagi umat Islam… Mekah, Medinah. Maukah kau turut bersamaku ?

Ia sedang menggodaku, saya teringat akan …….." Semua ini akan kuberikan kepadamu jika,…." ( Matius 4 :8-9 ).

"Saya tidak berkeberatan pergi bersamamu, tetapi hal ini tidak akan merubah iman percayaku," jawabku.

Seakan-akan saya tidak berkata apa-apa, ia mengambil Alkitab dari pangkuanku dan melihat ke halaman-halamannya yang terbuka, "Yang kuhendaki darimu untuk semua yang akan kuberikan kepadamu ialah buku ini. Berikanlah Alkitab itu padaku dan saya akan membawanya ke depot Lembaga Alkitab sehingga kau tidak dapat membacanya lagi, dan berhentilah ke gereja, maka akan kuberikan kepadamu apapun yang kau kehendaki."

Dengan nyaring saya menjawab, "Mazmur 119 : 115, "FirmanMU itu pelita bagi kakiku dan terang pada jalanku". Inilah adalah Firman Allah dan Ia memberitahukan padaku perbedaan antara yang benar dan yang salah, saya tidak akan memberikannya kepadamu......ini adalah bagian dari hidupku." Saya melihat bahwa ia menjadi marah. Dengan cepat kutambahkan, "Saya tidak dapat berhenti untuk pergi ke gereja karena disitulah rumah Tuhan. Pengantin wanita sudah hampir siap sebab mempelai lelaki sudah hampir datang. Dan barangsiapa menyangkal Aku didepan manusia, Aku juga aka menyangkalinya didepan Bapakku yang di Sorga (Mat. 10:33)."

Ia melompat berdiri. Dilemparkannya Alkitab itu padaku, "Sebelum matahari terbit, tinggalkan rumahku, aku tidak sudi melihat mukamu lagi."

Perangkap telah diberi umpan dan disentuh, tidak ada seorangpun yang datang mendekatiku malam itu, saya berbaring dengan perasaan berat, besok paginya tercipta suatu suasana yang tidak menyenangkan sama sekali. Kakak lelakiku tidak kelihatan, tidak ada berita tentang Anis atau suaminya. Pelayan hanya meletakkan sarapan begitu saja lalu pergi diam-diam. Dengan sedih saya mengemasi koporku dengan 4 atau 5 baju yang dijahit Anis untukku, pakaian-pakaian yang indah-indah yang dihadiahkan Alim Shah kutinggalkan karena ia telah berpesan, ‘jangan membawa sesuatu apapun dari rumah ini’. Koporku ada dig ang dan saya berjalan kesana ketika saya melihat Safdar Shah datang. Saya belum lagi berjumpa dengannya sejak saya meninggalkan Jhang, tapi ungkapan kata-kata bagi pertemuan yang membahagiakan langsung sirna ketika saya melihat apa yang dibawanya adalah sebuah bedil. Dia memegangku dipergelangan tangan dan menarik saya ke lantai dasar rumah itu.

"Duduk disitu dan jangan bergerak," perintahnya.

Saya mematuhinya. Jika dirangsang, Safdar Shah dapat menjadi kasar. Ia pergi memanggil Alim Shah. Dirumah itu keadaan sunyi sekali, suasana diliputi ketakutan, kakak-kakakku lelaki turun kebawah, wajah mereka keras dan mantap. Jantungku berdebar-debar dan kakiku lemah seperti jerami rasanya, tetapi saya tetap duduk diatas sebuah sofa, berusaha untuk tetap tenang. Kakak-kakakku duduk menghadapi saya pada seberang meja. Saya mencoba memandang kearah matanya yang penuh kebencian, tetapi mereka sedang melihat ke bagian dalam dirinya seakan-akan tidak sadar akan pandanganku.

Safdar Shah mengoperkan bedil itu kepada Alim Shah, "Selesaikan kutuk keluarga ini!" perintahnya. Alim Shah menggenggam popor bedil dua laras itu dan dengan perlahan mengangkatnya dan dibidikkan ke kepalaku. Ia berkata dengan suara putus asa yang lemah, "Mengapa kau mau mati? Yang perlu kau perbuat hanyalah mengatakan bahwa kamu tidak lagi mengakui nabi Isa itu sebagai Anak Allah dan bahwa kau akan berhenti ke Gereja. Kau akan kubiarkan hidup, karena aku tidak akan menembakmu!"

Wajahnya kelihatan tegang dan kurus dibalik laras bedil itu dan saya melihat betapa ia ditempatkan pada suatu keadaan terpaksa - cintanya kepadaku berperang melawan segala sesuatu yang telah diajarkan ayahku kepadanya. Bagikupun merupakan suatu saat yang sangat tidak menyenangkan. Saya telah dididik untuk menghormati kakak-kakak lelakiku sebagaimana diajarkan pada gadis-gadis Islam. Saya belum pernah membantah mereka sampai Yesus masuk dalam kehidupanku dan saya berusaha untuk tidak berkata kasar pada mereka karena saya tahu bahwa saya dapat menyadarkan diriku pada cinta kasih mereka, kesopan-santunannya serta perlindungan mereka jika kuperlukan. Dalam hal inipun Ayahku telah memberikan pada mereka suatu perintah keramat untuk menjaga saya. Tapi tentu saja beliau tidak memperhitungkan kemungkinan terjadinya suatu krisis seperti ini. Saya sedang mengoyakkan semua ini dengan pertentangan-pertentangan antara tugas dan cinta. Tapi saya tidak boleh mundur. Saya tidak dapat berpaling lagi, juga pada saat ini.

"Dapatkah kakak menjamin bahwa jika kakak tidak menembak saya maka saya tidak akan mati? Dalam Al Qur’an ditulis bahwa begitu seseorang dilahirkan kedunia, dia pasti akan mati. Jadi, silahkan tembak saya tidak takut bila saya mati dalam nama Yesus Kristus. Dalam Alkitabku tertulis, "Ia yang percaya padaku, walaupun ia mati, namun ia akan hidup" (Joh. 11:25).

Safdar Shah berkata dalam keheningan, "Kau tidak mau membunuh si murtad ini dan bertanggung jawab atasnya. Ia telah menjadi suatu kutuk bagi kita. Lemparkan dia keluar!"

Mereka mendorong saya kedepan sambil menaiki tangga. Saya mengambil koporku di gang dan berjalan menuju pintu. Kakak-kakak lelakiku berjalan kembali dengan gontai menuju ke bungalow. Setiap senjata yang ditempa terhadap engkau tidak akan berhasil, dan setiap orang yang melontarkan tuduhan melawan engkau dalam pengadilan, akan engkau buktikan salah. Inilah yang menjadi bagian hamba-hamba TUHAN dan kebenaran yang mereka terima dari pada-Ku, demikianlah firman TUHAN". Saya tahu dimana saya pernah membacanya (Yes.54:17), tapi saya tidak menyadari kalau Firman itu begitu tepat pada kenyataannya.

Cari artikel Blog Ini

copy right