Jumat, 24 Agustus 2012

kesaksian Gulshan Fatima, puteri bungsu dari sebuah keluarga Islam Sayed yang merupakan keturunan langsung Muhammad SAW part 3-4


BAB 5. Getirnya Kematian

Saya tidak senang mengingat-ingat akan apa yang terjadi, walaupun dalam kepahitan dan getirnya kenangan ini tersirat adanya penghiburan. Ayah kami yang begitu kuat fisiknya jatuh sakit. Kejadiannya dibulan Desember 1968, ketika hujan turun dengan lebatnya. cuaca dingin. Ayah terlalu lama bekerja di real estatenya di pedalaman dan ketika pulang keadaannya basah kuyup dan kedinginan. Malam itu beliau demam waktu akan masuk tidur.
Keesokan paginya beliau masih juga berusaha sekuatnya ke kantor walaupun mukanya pucat dan berkeringat, untuk menjalankan perdagangannya, lalu kembali lagi kerumah. Malam harinya keadaanya memburuk dan waktu bernafas suaranya tidak enak didengar.

Dokter datang dan memberikan pengobatan. Begitu juga pemuka agama (mullah) mendoakannya. Demamnya hilang lalu Majid membawanya kembali bekerja. Tidak lama sesudah itu beliau pulang dalam keadaan pingsan dan susah bernafas. Keluarga dekat berkumpui mengelilinginya dan kami membulatkan niat dan kemauan kami membantu beliau berjuang melawan sakitnya yang kini sudah diketahui yaitu pnemonia. Seharusnya ayah masuk rumah sakit tapi beliau bersikeras untuk tinggal dirumah dan masih berusaha untuk terus bekerja dari kamar tidurnya. Selama 2 atau 3 hari beliau berjuang, kemudian datanglah perubahan yang kami takutkan akan terjadi. Beliau sedang mengalami kekalahan dalan perjuangannya dan kami tak berdaya menolongnya Beliau mulai memberi nasehat kepada kami, juga instruksi-instruksi tentang pembagian harta miliknya dan beliau menyerahkan akta kepada Safdar Shah yang mendapat kuasa dari ayah untuk maksud ini.

Walaupun keadaannya telah payah namun ayah tetap memikirkan diriku. Beliau memandangku sambil terengah¬-engah berkata: “Saya mewariskan bagimu harta yang banyak. Walaupun kau menggunakan 100 pelayan, engkau tidak akan menjadi beban bagi siapapun. Jagalah paman dan bibimu serta berikan kepada mereka apa yang dibutuhkannya”. Kami saling berpandangan dengan perasaan cemas. “Hal ini tidak akan terjadi”. Kami berseru sambil bertangis-tangisan. Beliau melepaskan diri dari rangkulan kami laksana air yang surut dari permukaan bumi dan tidak sanggup kembali lagi kecuali ada bantuan dari pengaruh matahari. Saya duduk dikursi roda disampingnya dan sambil memiringkan badan memandang beliau dengan bingung.

“Ayah jangan tinggalkan kami. Kami membutuhkanmu. Jika ayah pergi, saya ikut pergi”, tangisku tanpa menyadari apa yang kukatakan. Beliau membuka matanya dan dengan lemah menaruh tangannya diatas kepalaku :
“Keadaan ini adalah beban bagimu, tetapi sekali-kali jangan engkau bunuh diri. Janganlah lupa bahwa engkau merupakan milik keluarga Sayed, keluarga nabi Muhammad, engkau akan masuk surga, jadi jangan sekali-kali bunuh diri. karena bila engkau lakukan hal itu, engkau akan masuk neraka. Jangan hiraukan keluhan-keluhan seperti para istri tua tapi hiduplah dengan cara benar dan nanti kita semua akan berkumpul kembali bersama ibumu”. Sampai disini beliau mengangkat dirinya sedikit dan merangkul tanganku dengan gemetar. matanya memancarkan semacam cahaya yang aneh dan tetap seolah-olah mendapat suatu penglihatan. Sambil bersusah payah beliau bertutur:
“Satu hari kelak Tuhan akan menyembuhkan engkau. Gulshan. Berdoalah kepadaNya”.

Lalu beliau terkulai jatuh dengan punggungnya diatas bantal. nafasnya menjadi berat dan pelan. Matanya tertutup. Saya tetap duduk disana menangis dengan perasaan pahit.
“Bagaimana saya dapat mempunyai kekuatan iman jika ayah tidak bersamaku ?”. kataku sambil menjerit. Lalu Safdar Shah mulai menangis. “Jangan tinggalkan kami. Kami masih memerlukanmu. Engkau adalah ayah dan sekaligus ibu bagi kami”.

Saya memandang kearah kakakku. Ia seorang pedagang yang keras. Tidak kusadari bahwa ia mempunyai perasaan yang begitu lembut terhadap ayah yang telah membesarkannya serta menjaga kami melalui masa kanak-kanak dan remaja. Ayah membuka matanya. Beliau melakukan suatu usaha yang luar biasa untuk tetap bersama kami sesuai kemauannya.

“Jagalah adik perempuanmu”, katanya pada setiap anaknya dan satu demi satu bergantian mereka bersumpah untuk mematuhinya. Setelah itu kami berjaga-jaga disampingnya dan pada tanggal 28 Desember 1968 pukul 8 pagi, ketika beliau minum air, mengucapkan beberapa ayat suci Sura Ya Sin yang kami ikuti secara bersama lalu beliau menutup matanya untuk selama-lamanya.
Kawan-kawannya para Maulvi mengucapkan Sura Ya Sin:

“Dan ketika terompet berbunyi. mereka bangkit dari kuburnya dan bergegas berlari menuju ke Tuhannya. Mereka akan berseru: “Aduhai bagi kami!”, “Siapa yang telah membangkitkan kami dari tempat perhentian kami. Inilah yang dijanjikan Allah Yang Maha Pengasih: Para Rasul telah mengajarkan kebenaran”.” Dan dengan satu teriakan mereka berkumpul dihadapan kami. “Pada hari itu tidak ada jiwa yang akan menderita ketidakadilan sedikitpun. Engkau hanya akan menerima hadiah sesuai pahalamu. Pada hari itu penghuni surga tidak akan memikirkan hal yang lain kecuali kebahagiaannya. Bersama para istrmya, mereka akan berbaring dibawah pepohonan yang rindang diatas balai-balai lunak. Mereka memperoleh buah-buahan dan semua yang diinginkannya”.

Dengan berlinangan air mata kami mengucapkan bacaan tradisional ini dan percaya bahwa dengan demikian akan memudahkan perjalanan kematian ayah kami. Lalu Samina mencium wajahnya yang telah mati dan kami semua mengikutinya.
Selama beberapa jam kemudian almarhum menjadi milik anggota keluarga pria dan para tetangga yang telah terlatih dalam melaksanakan upacara kematian. Para pria dan para pelayan,membersihkan tubuhnya dan memakaikan selembar kain kafan putih khusus yang dulu dibawa almarhum sewaktu pulang dan naik haji. Pakaian itu terdiri atas sebuah kemeja panjang bersama 2 helai kain untuk dilingkarkan mengeliling pinggang dan melalui bahu. Mereka mengenakan sebuah sorban dikepalanya dan membungkusnya dengan kam putih, menempatkannya dalam sebuah peti yang penuh dengan tulisan-tulisan doa dan ayat-ayat suci Al Qur”an sekelilingnya. Peti ini dibiarkan terbuka selama 6 jam untuk memungkinkan para wanita dan keluarga datang memberikan penghormatan. Lalu peti tersebut ditempatkan diluar, dihalaman, sementara orang-orang yang berkabung berjalan mendekat dan lewat didekatnya dalam suatu aliran manusia yang tak kunjung habis
Tiap orang membungkuk dan mencium peti tersebut dan mengucapkan sebuah doa atau memberikan ciuman penghormatan dari jarak jauh.
Ayah adalah seorang yang terpandang dan dihormati, seorang guru agama, seorang pir yang memiliki murid-murid sendiri. demikian pula beliau adalah seorang tuan tanah serta pedagang terkemuka. Penguburan almarhum sore itu menjadi pusat perhatian masyarakat maupun keluarganya. Beribu-ribu orang berpartisipasi, termasuk keluarga, anggota masyarakat perdagangan, wakil keagamaan dan murid-muridnya. Penguburan ini merupakan penguburan seorang tokoh. Sebagai keluarga Sayed. kami mempunyai bagian khusus tersedia di pekuburan kota dan disitulah ayah dibaringkan dalam sebuah mouseleum ditempat mana istrinya dimakamkan. Hanya para pria yang pergi ke kuburan. Maulvi rnemimpin pembacaan doa dan setiap orang sujud sambil menaikkan doanya. Kemudian diturunkan ke liang lahat dan orang-orang yang berkabung menaburkan tanah diatasnya. Sebuah chador atau tangkai-tangkai bungan yang diikat bersama – sama ditaruh diatasnya.

Bagiku saya sudah beku dengan kedukaan, tidak bergerak-gerak. Salima dan Sema sibuk masuk keluar diawasi bibi untuk memandikan saya dan menukarkan pakaianku, membawakan bagiku susu panas seraya mengurut-urut kepalaku untuk mengurangi rasa sakit. Samar-samar saya rnenyadari bahwa ada penjaga ditempatkan diluar pintu. “Tidak, ia tidak mau menemui siapa-siapa. Pada keadaan sekarang ini sebaiknya ia dibiarkan seorang diri”. Bahkan anggota keluargapun tidak diijinkan masuk kekamarku.

Rupanya saya tertidur, karena begitu sadar jam saya menunjukkan pukul 3 pagi. Saya terbaring dengan tidak bergerak beberapa lama, mendengarkan bunyi-bunyi gemericik pelan, menandakan bahwa para pelayan telah bangun bersiap-siap untuk hari pagi. Kami sedang mengalarni kejadian yang paling buruk dalam hidup kami, namun kehidupan sehari-hari harus tetap beriangsung. “Merupakan hal yang salah, dimana saya seorang yang lumpuh, tidak berguna dibiarkan hidup sedangkan beliau meninggal”, pikirku. “Tuhan, saya tidak dapat hidup seperti ini yang mungkin masih sampai 30 tahun lagi. Tolonglah bawa saya kepada ayahku. Kenapa Tuhan begitu jauh dan berdiam diri saja?

Mungkin nenek moyangku telah melakukan dosa besar. Mungkin Tuhan ingin melihat lebih banyak kesabaran dalam diriku. Tetapi kesabaran telah kumiliki, namun saya masih saja sakit. Jadi, bagaimana? Menggantung diriku dengan sebelah tangan saja tidak mungkin melakukan hal ini. Racun? Dimana saya dapat memperolehnya? Jika saja saya mendapatkan sebuah pisau ataupun gunting, barang-barang ini disimpan terkunci. Sewaktu pikiran ini datang terdengar suatu suara lain menggantikannya: “Engkau tidak akan pernah bertemu dengan ayah atau ibumu di sorga jika engkau membunuh dirimu”. Sebagai seorang Sayed, secara otcrmatis saya mempunyai hak untuk masuk sorga walaupun saya gagal menunaikan kelima rukun Islam, tetapi membunuh diri dapat membatalkan hak ini.

Mungkin sesudah ini saya tidak pernah disembuhkan. Perasaanku rasanya seperti diremas-remas, air mata mengalir tanpa terbendung lagi. Pada waktu itulah, dalarn keadaanku yang tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan pertolongan apapun saya mulai berbicara kepada Tuhan.

Benar-benar berbicara kepadaNya, tidak sebagaimana yang selama saya lakukan dengan menggunakan serangkaian doa untuk mendekati Dia melalui suatu jalan keliling yang jauh. Tergerak oleh suatu kehampaan yang luar biasa menyelimuti diriku didalam, saya menaikkan doaku seakan-akan bercakap¬-cakap dengan seseorang yang benar-benar mengetahui keadaan dan keperluanku.
Saya mau mati , Kataku. “Saya tidak lagi mau hidup dan itulah akhir dari segalanya”. Saya tidak dapat menjelaskannya, tapi saya tahu bahwa suaraku didengar. Rasa-rasanya seakan¬-akan suatu kerudung yang selama ini menutupi diriku dengan sumber – sumber kedamaian telah diangkat. Sambil melilitkan syal lebih erat karena kedinginan, saya terbicara lebih tegas lagi dalam ungkapan doaku. “Dosa besar apakah yang telah kulakukan sehingga Engkau membuatku hidup semacam ini?” isakku. “Tidak lama setelah lahir Engkau mengambil ibuku pergi dan kemuadan Engkau membuatku lumpuh dan kini Engkau mengambil ayahky pula. Katakanlah, mengapa Engkau menghukumku dengan begitu berat?”. Suasana begitu hening dan terdapat kesunyian yang mendalam sehingga aku dapat mendengarkan debaran jantungku.
“Aku tidak mengijinkan engkau mati, aku akan memeliharamu agar hidup”. Terdengar suara yang begitu pelan dan lembut laksana hembusan angin bertiup melewati rasanya. Saya tahu ada suata yang berbicara menggunakan bahasaku dan datangnya begitu bebas lepas, suatu cara yang bebas untuk mendekati Tuhan Yang Maha Tinggi, yang sampai saat itu rasanva Dia Tidak rnemberikan suatu pertanda bahwa Dia malah tahu bahwa saya ini hidup. Dengan ragu saya bertanya: “Untuk maksud apa saya dibiarkan hidup? Saya seorang yang lumpuh. Waktu ayahku masih hidup saya dapat berbagi rasa mengenai segala sesuatu dengannya. Sekarang, setiap menit dari hidupku rasanya seperti seabad. Engkau telah membawa ayahku pergi dan meninggalkan saya tanpa harapan, tidak ada gunanya lagi hidup ini”. Suara itu terdengar lagi, bersemangat namun pelan. “Siapa yang mencelikkan mata orang buta dan siapa yang menyembuhkan orang sakit serta siapakah yang mentahirkan orang kusta dan siapa yang membangkitkan orang mati? Akulah Yesus (Isa) anak Maryam. Bacalah tentang Aku dalam Al Qur’an Sura Maryam”.

Saya tidak tahu berapa lama percakapan ini berlangsung. 5 menit? Setengah jam? Tiba-tiba azzan pagi terdengar dari masjid dan saya membuka mataku. Semuanya terlihat biasa saja dikamarku. Kenapa tidak ada orang yang datang membawakan air bagiku untuk membasuh diri. Kelihatannya saya diberi lowongan waktu damai dan sendirian, khusus bagi pertemuan yang aneh ini. Pada hari itu beberapa waktu kemudian, hampir saya dapat meyakinkan diriku bahwa saya telah bermimpi, yaitu ketika bersama-sama dengan kakak-¬kakak perempuanku dan anggota keluarga lainnva kami berziarah ke kuburan. Disana semuanya begitu tenang dan damai serta bunga-bunga segar yang telah diletakkan diatas gundukan tanah berwarna coklat. Namun dengan perasaan ngeri saya memandang kesana. Ayahku yang semasa hidupnya tidak akan mengijinkan sebutir abupun menyentuhnya kini telah dikuburkan dibawah benda kotor itu. Keadaan semacam ini begitu mengerikan untuk direnungkan.

Ketika kembali dari kunjungan yang menyedihkan ini, kami mulai masuk kemasa 40 hari perkabungan. Selama masa ini Safdar dan Alim Shah akan mengabaikan pekerjaannya dan pada waktu itu orang-orang berdatangan baik dari jauh maupun dari dekat, yang penting atau sederhana mengunjungi kami sambil memberikan penghormatan bagi kenangan ayah kami. Selama itu para tetangga akan menyediakan makanan bagi kami. Tidak diperbolehkan menyalakan api untuk memasak dalam rumah kami. Diharapkan bahwa kami dapat mengguna¬kan seluruh waktu itu untuk mengenangkan almarhum serta mempercakapkan tentang beliau dengan semua tamu yang datang. Para pemimpin duduk di lantai menunjukkan rasa hormatnya dan membicarakan hal-hal yang baik yang telah dilakukan almarhum dan dengan demikian menghormati kenangannya serta menghibur keluarga. Hal ini merupakan suatu kebiasaan yang baik, yang memungkinkan kesedihan tersalurkan sebaik-baiknya dan membawa bantuan dari masyarakat bagi keluarga yang kehilangan orang yang dikasihinya.

Waktu kami kembali dari kuburan dengan suatu keadaan tertekan yang mendalam. Terjadi sesuatu yang aneh. Salah seorang pembantu wanita tiba-tiba berteriak seraya nenunjuk-¬nunjuk kearah sebuah kursi. “Saya melihat beliau sedang duduk disana”, teriaknya. Tidak ada seorangpun yang kaget mendengarnya. Perasaan bahwa almarhum masih hadir, tidak dengan serta merta meninggaikan kami dan dalam hal semacam ini kami masih belum percaya benar bahwa beliau telah pergi. Rasanya beliau seakan-akan baru saja melangkah keluar memberikan beberapa perintah kepada tukang kebun dan sesudah itu akan masuk kembali. Saya memandang pembantu wanita tadi serta berpikir dengan heran, kenapa justru dia yang melihat ayahku. Bibi masuk kekamar tidurku dan duduk menemaniku sebentar, memijit kepalaku untuk mengurangi rasa sakit kepala yang disebabkan karena banyak menangis. “Pamanmu dan saya akan menjagamu sebagaimana layaknya ayah dan ibumu. Pandanglah kami seperti itu dan cobalah menerima kehilangan ini sebagai suatu takdir dari Tuhan. Dia telah membawa ayahmu kesurga”.

Ketika bibi telah pergi untuk melakukan suatu pekerjaan, saya teringat akan kejadian tadi pagi, saya meminta Al Qur’an bahasa Arab dan mulai membaca Sura Maryam. Namun sulit bagiku membacanya dalam bahasa Arab untuk mengerti sepenuhnya walaupun irama pengucapan ayat-ayatnya yang mengalun memudahkan untuk dihapal. Pada saat itu timbul suatu pemikiran yang berani dibenakku. Kenapa saya tidak membacanya dalam bahasaku sendiri? Saya menulis sebuah nota untuk Salima dan kuberikan kepadanya ketika ia datang untuk mengganti pakaianku. “olong berikan kepada si pembawa, terjemahan Ai Qur’an yang terbaik dalam bahasa Urdu”, demikian isi notaku/ “Bawa nota ini ke toko buku dan tanyakan tentang terjemahan Al Qur’an bahasa Urdu terbitan perusahaan Taj”. kataku. “Mintalah uang kepada bibi. Dengan hormat Salima mngangguk dan berjalan keluar. Dua jam kemudian ia muncul kembali dengan buku terbungkus surat kabar. “Bagus”, kataku. “Sekarang pergilah dan buatkan sampul untuk buku itu”. Malam itu, ketika seisi rumah te!ah sunyi sepi, saya membuka sampui sutra hijau serta mengeluarkan Al Qur’an bahasa Urdu terurai. Saya memegang kitab itu sebentar ditanganku begitu inginnya saya mendengar kembali suara itu yang memberi kepastian hahwa doaku didengar dan bahwa ada jalan kepada kesembuhan dan pengharapan. Secara naluri saya ketahui bahwa cara untuk dapat mendengarkannya lagi yaitu dengan mematuhi tatacara membacanya. Karena itu dengan penuh rasa ingin tahu, tanpa terbetik sedikitpun tentang pemikiran bahwa betapa pentingnya langkah yang kuambil ini, saya mengucapkan : “Malaikat berkata kepada Maryam : “Allah menyampaikan kepadamu sukacita dalam suatu firman dari padanya. Namanya ialah Almasih, Isa anak Maryam. Budinya tinggi baik di dunia maupun di akhirat. Dan Dia akan disenangi Allah. Dia akan mengajar arang waktu di tempat pembuaiannya serta selama masa mudanya akan memimpin kepada suatu kehidupan yang benar”.

Pada han ke 3 setelah ayah meninggal Safdar Shah datang sebagai kepala keluarga. Salah satu sorban ayah dikenakan di kepalanya dalam sebuah upacara oleh dua orang paman dan sejak itu ia bergelar pir dan Shah dalam keluarga kami. Ia diharapkan dapat menjawab pertanyaan keagamaan. Ia akan menjadi seorang pir yang baik. Beberapa arang yang menyandang gelar itu, tidak berpendidikan dan percaya akan tahyul. Selama 40 hari rumah perkabungan penuh dengan tetangga, pengunjung dan murid-murid serta para istri mereka. Mereka datang melayani kami dengan baik, membersihkan rumah dan menjamu para pengunjung iainnya dengan makanan. Mereka juga membawa pakaian dan dengan rasa hormat, kami dharuskan untuk mengenakannya. “Pakaian-¬pakaran ini adalah pakaian kematian, bukan kehidupan. Hal ini selalu mengingatkan saya akan kematiannya”, kata Anis Bibi samhil menank-narik baju shalvar kameezenya dengan perasaan tidak enak. Masa perkabungan diakhiri dengan 2 kegiatan. Kubur disemen dan sebuah batu nisan ditegakkan disana. Tiap orang diundang keperjamuan tradisional mengakhiri perkabungan itu yang dikenal dengan nama “chalisvanh”. Sebuah tenda besar didirikan dan sebuah toko setempat diserahi mengurus makanan. Mereka menempatkan tungku-tungku masak dan mengisi 150 periuk besar dengan beras. “Pilau” kacang ercis dicampur daging ayam dihidangkan bersama nasi manis dan setiap orang duduk diatas “duree” ditanah dan makan dari piring-piring baja memakai tangannya. Saya tidak menghadiri upacara ini karena saya benci menjadi pusat perhatian dan dikasihani karena keadaanku yang cacat, namun saya mendengarkan segala sesuatunya. Sekarang Safdar Shah harus kembali ke Lahore, tapi sebelumnya ia datang menjengukku dan duduk dikursi yang selalu dipakai ayah, wajahnya kelihatan cemas. Ia memegang dokumen yang berkaitan dengan hartaku yang diwariskan ayah. Saya tahu apa yang hendak dikatakannya dan saya siap dengan jawaban. Ia memulai. ”Adikku yang kekasih, saya mau mengajakmu untuk datang dan tinggai bersama kami tapi ternyata paman dan bibi ada disini menjagamu. Sebagaimana kau ketahui ayah mewariskan bagimu bagian terbesar dan hartanya. Tentu saja saya tidak berkeberatan mengenai hal ini dari segi apapun karena ayah begitu perhatian dengan keadaanmu dan beliau khusus memikirkan untuk kesenangan serta kebaikanmu. Tapi karena engkau ada!ah seorang wanita yang kaya engkau boleh memilih tinggal dimanapun yang engkau inginkan, termasuk Lahore”. "Terima kasih kakakku, tapi saya tidak akan meninggalkan rumah tempat saya dibesarkan ini, saya tidak mau ke Lahore” Kakakku memandangku dengan teliti. “Apakah cukup baik bagimu untuk tetap disini mengenai-ngenang?”. “Dapat juga saya mengenangkannya di Lahore, tapi di sini saya sudah terbiasa dengan segala sesuatu”, kataku. Saya tidak menambahkan alasan lainnya bahwa hanya di sini, di dalam suasana tenang dan sendiri saya dapat meneruskan usaha pencarianku dalam Al Qur’an tentang Isa, Nabi dan Penyembuh itu. “Baiklah, jika demikian yang engkau rasakan, jadilah”, kata Safdar Shah. Rasanya ia telihat lega. “Saya ira sudah tiba waktunya bagi kita untuk memenuhi wasiat ayah mengenai pengelolaan keuangan”. Diatur bahwa Safdar Shah yang menyimpan uang di bank di Lahore darimana saya dapat mengambilnya. Sebagai kepala keluarga saya akan menandatangani cek terhadap Muslim Commercial Bank tiap bulan untuk biaya hidup kami. Uang akan kuserahkan kepada paman untuk mengelola rumah tangga. Kakakku Safdar Shah akan mengunjungi kami 2 kali dalam sebulan guna memeriksa rekening.

“Saya tahu bahwa segala sesuatu akan beres, kata Safdar Shah. Ayah kita mewariskan banyak harta bagi keleluasaanmu selama beliau masih hidup. Jadi hal ini diurus sampai kakakky merasa puas dan kemudian meninggalkan kami. Mereka pergi satu demi satu meninggalkan saya menghadapi suatu keadaan yang suram tanpa adanya teman atau sahabat dekat bagiku untuk berbagi kesunyianku walaupun saya bukannya tidak ditemani.
Begitu kakakku pergi, bibi datang ke kamarku : “ Engkau sangat beruntung memiliki banyak harta sebagai hakmu”, katanya. “Waktu saya seumurmu, orang – orang berfikir bahwa tidak pantas bagi seorang wanita untuk mengetahui banyak hal mengenai perdagangan. tapi ayahmu telah memperlakukanmu sama halnya seperti terhadap anak lelakinya.

la keluar lagi dan begitu kesunyian menyelimutiku, saya membuka Al Qur’an bahasa Urdu dan membaca kembali bagian dari Sura Imran yang kini telah menjadi pusat perhatianku yang sungguh-sungguh : “ Dengan kehendak A1¬lah saya mencelikkan mata orang buta, menyembuhkan penyakit kusta dan membangkitkan orang mati”.
Ada begitu banyak hal yang tidak kumengerti. Banyak ahli yang pandai mencoba memberi tafsiran mereka tentang Nabi Isa (Yesus) sebagaimana yang difirmankan dalam Sura Imran ini : yaitu seorang makhluk yang dijadikan dari debu seperti nabi Adam, namun seorang yang dengan Kuasa Allah mengadakan semua mujizat ini. Saya tidak sangsi sedikitpun bahwa nabi ini penting, tapi siapakah nabi ini yang mengetahui tentang kebutuhanku dan dapat berhicara kepadaku dari sorga seolah-olah Dia hidup?

Saya telah kehilangan sahabatku yang sangat kucintai dan dihadapanku terbentang suatu kehidupan yang hampa. Namun. sebuah benih telah ditanam dan tumbuh di dalam hatiku. untuk mencari dan menimbulkan harapan baru. Saya merasa yakin bahwa suatu hari kelak saya akan menemukan rahaaia tentang nabi yang misterius ini yang terselubung didalam halaman-halaman Al Qur’an yang suci.

BAB 6. MOBIL AYAH

Setelah kematian ayah, mobilnya : Mercedez Benz berwarna biru diparkir di garasi, dibungkus dengan kain hitam, menjadi peringatan bagi kami terhadap seseorang yang telah mengisi kehidupan kami dengan kebahagiaan yang kini telah pergi laksana matahari yang bersinar dari langit telah meninggalkan kami menjadi sejuk dan kedinginan. Mobil tersebut menandakan bahwa pemiliknya adalah seorang yang kaya. Keberangkatan ayah tiap pagi dengan mobil ini untuk bekerja telah merupakan bagian dari tatacara hidup kami. Mobilnya sendiri telah cukup bagus, namun hadirnya ayah di dalamnya menambahkan keagungan tersendiri waktu beliau duduk di sebelah supirnya, Majid yang mengenakan ikat kepalanya seakan-akan mengatakan betapa bangga perasaannya mengantar seorang majikan seperti itu.

Kami anak-anaknya juga merasa bangga ketika kami dibawa kemana-mana dengan mobil oleh ayah. Putera-puteranya kesekolah atau masjid bersamanya dan saya pergi bersama ayah sewaktu beliau mencari-cari pengobatan untuk penyakitku. Kadang-kadang beliau meluangkan waktu mengajukan perjalanan melihat-lihat pemandangan ketika saya dibawanya dari kamar yang sunyi keluar ke jalanan menuju Lahore mengunjungi sanak keluarga kami.

Kini, mobilnva diam tidak bergerak-gerak. Tidak ada seorangpun yang mau mengendarainya termasuk kakakku Safdar Shah. Secara teratur Majid membuka tutupnya, membersihkanya juga perlengkapannya yang terbuat dari bahan chrome sampai semuanya menjadi mengkilap laksana kaca. Ia menggosok dashboard yang terbuat dari kayu jati dan melapiskan lilin pada alas tempat duduk dari kulit sehingga terpancar bau kemewahan. Juga ia membersihkan mesin serta menaruh gemuk pada setiap bagian yang bergerak, memasang dongkrak dibawahnya sedemikian rupa sehingga mobil itu tidak bertumpu lagi diatas roda-rodanya. Sambil bekerja Majid berbicara pelan seakan-akan ditujukan ke mobil itu. Para pelayan wanita melaporkannya padaku sambil cekikikan “Nona perlu mendengarkan si Majid. Ia kurang waras kepada mobil ia berkata : “Engkau tidak mati”. Saya menegur mereka: “Tenanglahjanganlah menertawakan hal-hal semacam itu”.

Perasaanku tidak enak. Jangan-jangan ayah dapat mendengar, lalu beliau dapat muncul dari bayang-bayang sekitar bungalow seperti keremangan senja menyusup masuk dan memberi perintah agar mobilnya disiapkan. Kemudian mengendarainya seolah-olah tidak ada apa-apa yang telah terjadi. Seakan-akan membenarkan kemungkinan ini, tiba-tiba seorang pelayan wanita datang berlari-lari kepadaku menceriterakan bahwa ia melihat tuan berjalan didalam rumah. “Apakah beliau berbicara kepadamu ?”, tanyaku. Ia menggeleng. “Tidak bibi-Ji. beliau tidak memandang kepada saya tapi langsung melewati pintu itu. Ketika saya melihat kedalamnya tidak ada orang, kamar itu kosong,"Saya tidak memarahinya karena telah berkhayal berlebih-lebihan, tetapi merasa heran kenapa justru bukan saya yang berkesempatan melihat wajah yang sangat kucintai itu. Namun mobil itu merupakan simbol dan status diriku yang tidak mempunyai arti lagi. Apakah mobil itu harus tetap ditempatkan di dalam Garasi selamanya, merupakan gema hari-hari yang telah berlalu apakah saya akan tinggal disini tanpa memiliki kemampuan, hidup dalam kenang-kenangan sepanjang sisa umur hidupku?

Kakak-kakakku telah menjalani kehidupannya masing-masing dan walaupun mereka setia memenuhi perintah ayah, saya tidak mau memiliki perasaan bahwa saya menjadi beban dan kekuatiran bagi mereka. Kesuramanku terlihat oleh kakak-kakak perempuanku. Pada suatu hari Samina menanyakan hal ini padaku. “Adikku, apa yang merisaukan pikiranmu dan membuatmu begitu sedih?” Ketika kuceriterakan kepadanya ia berkata : “Kau tidak pernah menjadi beban bagi kami. Kami sangat mencintaimu”. Jadi kalau datang suasana kelam seperti itu saya mencoba sedapat mungkin menghibur diriku. “Lihat Gulshan, engkau sangat beruntung mempunyai keluarga seperti ini. Dapat saja kau miskin seperti halnya salah seorang pembantu kita. Kau dapat saja mempunyai seorang ayah yang tidak mencintaimu begitu pula kakak-kakakmu yang tidak mempedulikanmu. Engkau cukup terpelajar, mempunyai atap tempat bernaung dan ayah telah mengatur sehingga semua kebutuhanmu terpenuhi. Sekarang manfaatkanlah situasimu sebaik-baiknya. Kenangkanlah hari-hari sewaktu di Mekkah ketika engkau begitu dekat dengan Allah dan NabiNya. Ingatlah kata-kata ayah bahwa Allah akan menyembuhkan engkau dan jika itu belum iagi cukup bagimu, ingatlah tentang suara Yang engkau dengar dalam kamar itu yang memberitahukan kepadamu tentang nabi lsa si penyembuh itu. Ketika kupertimbangkan semuanya ini, telah cukup rasanya kekuatan untuk mnenarik saya keluar dari keputusasaan. Setiap hari saya melatih diri mensyukuri berkat-berkat bagiku, melepaskan beban yang menindih satu demi satu sehingga rohku dapat bangkit. Namun dibawahnya mengalir ketakutan yang sudah berakar, yaitu mungkin saya tidak akan pernah dapat disembuhkan.

Saya melaksanakan sembahyangku, malah lebih tekun lagi dibandingkan sebelum mi. Hari-hari saya lalui dengan suatu pola hidup yang tetap, diatur dengan 5 waktu sembahyang. Saya bangun jam 3 setiap pagi dan mempersiapkan diri untuk Fajr qe namaz, sembahyang subuh, lalu membaca Al Qur’an bahasa Arab sampai tiba waktu sarapan yang saya lakukan di dalam kamar. Sesudah sarapan Salima dan Sema akan mengganti pakaianku lalu saya mengisi waktuku dengan membaca buku agama atau surat kabar, mendengar radio atau menulis surat untuk kakak-kakakku dan setelah itu makan siang. Menyusul waktu istirahat lalu sembahyang sore, Zohar qe namaz, sembahyang lohor. Waktu anak-anak bibi pulang dari sekolah, saya dibawa ke halaman dengan kursi rodaku untuk melihat mereka bermain-main. 2 jam menjelang senja, tibalah waktu Azar qe namaz, sembahyang azar, lalu kira-kira 2 jam sesudah senja Magrab qe namaz, sembahyang magrih, senja hari. Akhirnya tibalah sembahyang malam dimana banyak hal-hal baik didoakan yaitu Isha ye namas.

Para wanita tidak diharuskan ke masjid. Malahan kami melaksanakan ibadah sembahyang kami dengar tenang d! rumah. Lebih baik saya tidak makan daripada saya menghentikan permohonan doa walaupun ibadah semhahyang, ini saya lakukan tanpa sepenuhnya menyadari apa yang saya katakan. Pola hidup ini telah merupakan suatu keterkaitan dengan ayahku, suatu pertanda bahwa saya berpegang teguh pada iman kami. Beliau telah mengajarkan kepadaku bahwa jika saya setia saya akan bertemu dengannya disorga, dimana saya akan memiliki hidup baru. Semua wanita di sorga akan menjadi muda dan cantik, begitulah ajaran yang kami terima. Namun, nun jauh didalam relung-relung hatiku terdapat ketakutan yang lebih kelam dibawahnya dan sulit bagiku untuk berani menentangnya apalagi untuk dapat mengungkapkan kepada seseorang. Tentunya Allah murka kepadaku dan karena ituiah la mengambil ayahku. Timbul ketakutan dalam diriku kepada Allah yang kami sembah ini. Ia tersembunyi dariku di belakang sebuah tirai kegelapan dan tidak dikenal. Tidak ada tanda dari padaNya yang dapat saya lihat dipermukaan kehidupan ini. Dalam banyak hal, rumahku rasanya sudah merupakan sebuah surga diwaktu itu. Letaknya diatas tanah yang hijau, subur dialiri oleh 5 sungai : Jhelum, Ravi, Indus, Chenab dengan bendungannya yang baru dan Satlaj serta kota kami merupakan suatu sumber air pendukung bagi kota Lahore. Bagiku tanah ini merupakan tempat bernaung dari dunia luas, penuh dengan mata-mata yarg menatap juga pertanyaan- ¬pertanyaan yang memalukan tentang ketidakmampuanku. Tempat inipun merupakan tempat istirahat darii suatu dunia yang penuh dengan kecelakaan, pembunuhan, ke dalam dunia mana saya tidak pernah akan dapat kawin atau mencari nafkah.
Sambil mendengarkan siaran berita bahasa Urdu dari program BBC London, dari surat kabar maupun TV, saya mendengar tentang dunia diluar sana yang penuh dengan kesukaran dan dalam keadaan seperti ini betapa saya merindukan agar ayah ada bersama-sama sehingga saya dapat membicarakan dengannya tentang apa yang saya lihat atau dengar. Begitu banyak hal yang tidak dapat saya pahami sepenuhnya dan saya telah kehilangan seseorang kepada siapa dapat memperoleh penjelasan dan pengarahan agar saya dapai membentuk pendapat-pendapatku.

Tentu saja masih banyak percakapan yang berlangsung dirumah. Dengan paman, saya membicarakan tentang pengelolaan rumah tangga dan perdagangan. Dengan bibi, saya berbicara tentang anak-anaknya. Para pembantu, cuaca, bunga-bunga dihalaman, perkawinan dan penguburan di lingkungan keluarga serta teman-teman. Saya berbicara dengan kakak-kakak perempuanku tentang anak-anaknya serta desas-desus pribadi dari hidup berkeluarga dan sesekali dunia secara umum.

Begitu banyak kesulitan terjadi dibagan dunia yang lain. Disini, di Pakistan kita merasa damai. Negeri ini adalah tanah suci, demikianlah pendapat mereka mengenai situasi dunia. Di samping semuanya, secara teratur kulakukan ialah pembicaraan dengan para pembantu, Munshi, ketika ia datang kepintu kamarku yang setengah terbuka sekali setiap bulan sambil menyampaikan laporan tentang pembiayaan yang dilaksanakan dan disimpannya dengan sangat hati-hati. Paman yang mendesakku untuk menjalani prosedur ini. Uang adalah benda yang licin dan ada banyak lobang yang dapat menyebabkannya lolos dalam rumah tangga kami. Beliau tidak mau dituduh sebagai orang yang tidak mau bertanggung jawab.

Secara khusus saya berbicara dengan pembantu wanitaku yang telah begitu lama bersama-sama denganku dan sangat mencintaiku sebagaimana juga perasaanku terhadap mereka. Walaupun demikian mereka tidak menyadari tentang perubahan yang sangat rahasia yang terjadi dalam diriku selama tiga tahun ini sesudah ayah meninggal ketika saya mulai menguji tentang pendapat-pendapat yang sampai saat ini selalu diterima saja tanpa bertanya-tanya. Dimalam hari sesudah anak-anak tidur serta paman dan bibi telah beristirahat dikamarnya, ketika rumah telah menjadi sunyi dan lengang sesudah bunyi azzan berakhir, pada saat-saat seperti itulah, saya cadangkan untuk membaca terjemahan Al Qur’an dalam bahasa Urdu. Bagian-bagian yang saya cari ialah semua yang ada sangkut-pautnya dengan Nabi Isa (Yesus) namun yang kutemui malah membingungkan. Jika Dia seorang penyembuh yang begitu berkuasa, mengapa hanya begitu sedikit yang diceritakan tentang Dia dalam Al Qur’an?

Pada suatu hari saya bertanya, “Bibi, apakah bibi mengetahui sesuatu tentang nabi Isa itu? Bibi memegang ujung syalnya dan menaruhnya melewati pundaknya. Dengan tegas ia berkata seakan-akan mendeklamasikan kata-kata dari suatu pelajaran yang dipelajarinya dengan baik : “Ia adalah satu-satunya nabi dalam Al Qur’an suci yang mencelikkan mata orang buta serta membangkitkan orang mati dan Ia akan datang lagi. Tapi saya tidak tahu di dalam Sura mana hal ini ditulis”. Waktu saya menunjukkan Qur’an bahasa Urdu saya kepadanya, beliau menampik : “Kau seorang terpelajar. Kau dapat membacanya. Tapi kami akan tetap berpegang pada pendapat kami sebagaimana dianjurkan Nabi Muhammad kepada kami”, katanya. Dari sini saya melihat bahwa sebenarnya beliau tidak mau membicarakan tentang hal ini tapi tentunya beliau telah menyebarkan ceritera ini kepada anggota keluarga yang lain sebab Safdar Shah menanyakan kepadaku tentang hal ini dengan satu cara yang bijaksana. Dua kali sebulan dia datang dan tingga! sehari dua untuk mengadakan pemeriksaan terhadap hal-hal pengelolaan rumah serta menjengukku untuk mengetahui bagaimana keadaanku. Kakak perempuanku Anis, tiap bulan berkunjung dan Samina sesering mungkin datang dari Rawalpindi dan akan tinggal beberapa hari lamanya. Tidak ada seorang adik yang mendapai perhatian sedemikian besar tetapi tetap merasa kesepian. Safdar Shah mengambil A1 Qur’an berbahasa Urdu dan berkata “Saya merasa gembira karena kau tetap setia dengan agamamu. Gulshan. Apakah kau tidak lagi membacanya dalam bahasa Arab sebagaimana diajarkan ayah kepadamu?”. “Tidak, kakakku saya membaca kedua-duanya secara rutin. Bahasa Arab saya baca dipagi hari dan Urdu dimalam hari. Saya ingin dapat lebih mengerti artinya". la senang mendengar penjelasanku ini. “Bagus, cukup baik bagimu untuk membaca kedua-duanya, tapi jangan sampai kau lupa sehingga tidak lagi membaca yang ditulis dalam bahasa Arab”. Lalu ia meninggalkanku dengan kesan bahwa saya semakin dalam meyakini iman Islam.
“Dengan kehendak Allah saya mencelikkan mata orang buta, menyembuhkan orang sakit kusta dan rnembangkitkan orang mati”. Telah bertahun-tahun lamanya saya membaca Al Qur’an suci dengan setia dan tekun serta bersembahyang dengan teratur, namun lama-kelamaan saya merasa kehilangan akan semua harapan bahwa keadaan saya akan berubah.

Kini bagaimanapun saya mulai percaya mengenai apa yang tertulis mengenai Nabi Isa benar-benar dapat melakukan mujizat. Ia hidup dan la dapat menyembuhkan. “Oh Isa anak Maryam, dalam Al Qur’an suci difirmankan bahwa Engkau telah membangkitkan orang mati dan menyembuhkan orang kusta serta melakukan mujizat-mujizat. Karena itu sembuhkan juga saya, sambil memanjatkan doa ini harapanku menjadi makin kuat. Aneh rasanya selama bertahun-tahun saya melakukan sembahyang, belum pernah saya merasa yakin bahwa saya dapat disembuhkan. Tasbih yang saya bawa dari menunaikan ibadah haji saya ambil dan mengucapkan Bismillah sesudah setiap doa saya menambahkan “Oh Isa, anak Maryam sembuhkanlah saya”. Berangsur-angsur cara berdoaku berubah sampai saya berulang kali berdoa antara waktu-waktu sembahyang dan pada setiap biji tasbih. “Oh Isa anak Maryam sembuhkanlah saya”. Semakin banyak saya berdoa, semakin dekat rasanya saya ditarik kearah pribadi bayangan yang urutannya nomor 2 dalam Al Qur’an dan memiliki kuasa dimana nabi Muhammad sendiri tidak memilikinya. Dimanakah ada tersurat bahwa nabi lain menyembuhkan orang sakitdan membangkitkan orang mati? Jika saja saya dapat membicarakannya dengan seseorang, keluhku, namun tidak seorangpun yang ada. Saya terus berdoa menurut cara ini kepada Nabi Isa sampai akan ada terang yang diberikan padaku.

Sebagaimana biasanya, jam 3 pagi saya sudah terbangun dan duduk ditempat tidur membaca ayat-ayat yang telah kuhapal. Bahkan sambil mengucapkan ayat-ayat itu, hatiku telah menaikkan serangkaian doa “Oh Isa anak Maryam sembuhkanlah saya”. Lalu tiba-tiba saya berhenti dan dengan lantang saya berkata agak keras sebagai cetusan perasaan yang selama ini telah terdorong masuk menembus kedalam pikiranku : “Saya telah melakukan hal ini begita lama tapi aku masih saja lumpuh”. Saya dapat mendengar gerakan-gerakan perlahan dari seseorang yang sedang bangun untuk mempersiapkan air sembahyang subuh. Tidak lama lagi bibi akan masuk menjengukku. Walaupun saya telah mencetuskan pernyataan itu, namun pikirku terpusat pada suatu keadaan yang mendesak pada permasalahanku. Kenapa saya belum juga disembuhkan walaupun saya telah berdoa selama 3 tahun?

“Lihat Engkau hidup di surga dan dalam Al Qur’an di firmankan bahwa Engkau yang telah menyembuhkan orang-orang. Engkau dapat menyembuhkan saya tapi saya masih lumpuh seperti sedia kala”. Kenapa tidak ada jawaban kecuali keheningan yang membatu di dalam kamar yang mengolok¬-olok doaku. Saya menyebut lagi namanya dan dengan putus asa mengadukan masalahku. Masih tidak ada jawaban. Kemudian sambil gemetar menahan sakit saya mengeluh “Jika Engkau sanggup sembuhkanlah saya. Jika tidak katakanlah! Saya tidak akan melanjutkan perjalanan melalui jalan ini lagi!”. Apa yang terjadi berikutnya merupakan sesuatu yang sulit bagiku untuk melukiskan dengan kata-kata. Saya menyadari bahwa seluruh ruangan itu penuh dengan cahaya. Mula-mula saya mengira bahwa mungkin cahaya itu datang dari lampu baca disamping tempat tidurku. Lalu kulihat bahwa cahaya lampu itu malah kabur. Apakah itu sinar fajar? Masih terlalu pagi untuk itu. Cahaya tersebut makin bertambah sinarnya makin terang sehingga melebihi terangnya siang hari. Saya menutup diriku dengan syal. Saya sangat ketakutan. Lalu terpikir olehku jangan-jangan si tukang kebun menyalakan lampu diluar untuk menyoroti pepohonan. Kadang- kadang hal itu dilakukannya dengan maksud mencegah pencuri ketika buah mangga sedang masak atau untuk mengawasi penyiraman dikala sejuknya malam. Saya mengeluarkan wajahku dari syal untuk melihat-lihat. Tapi pintu dan jendela-jendela tertutup rapat, dengan tirai dan alat penutupnya terpasang baik.

Kemudian saya menyadari kehadiran sosok-sosok tubuh yang rnengenakan jubah panjang, berdiri ditengah-tengah cahaya itu beberapa meter jauhnya dari tempat tidurku. Ada 12 sosok tubuh disatu baris namun sosok tubuh ditengah yang ketiga belas lebih besar dan lebih bercahaya dibandingkan dengan yang lainnya. “Ya Allah”, teriakku dan keringat mengalir didahiku. Saya menundukkan kepala dan berdoa : “Ya Allah, siapa gerangan orang-orang ini dan dengan cara bagaimana mereka dapat memasuki kamarku sedangkan semua jendela dan pintu tertutup rapat?".

Tiba-tiba satu suara berkata, “Bangkitlah ! Inilah jalan yang telah engkau cari-cari. Akulah Isa (Yesus) anak Maryam, kepada siapa engkau telah berdoa dan kini Aku berdiri didepanmu. Berdirilah engkau dan datanglah kepadaKu!” Saya mulai menangis “Oh Yesus saya seorang yang lumpuh. Saya tidak dapat berdiri !”
la berkata “Berdirilah dan datanglah kepadaKu ! Akulah Yesus!” Ketika saya masih sangsi, la mengatakannya untuk kedua kalinya. Lalu karena saya masih ragu-ragu la mengatakan untuk ketiga kalinya “Berdirilah!” Dan saya, Gulshan Fatima yang telah lumpuh ditempat tidurku selama 19 tahun, merasakan kekuatan baru mengalir masuk kedalam tungkai-tungkai dan lengan-lenganku yang selama ini tidak berfungsi sama sekali. Saya menaruh kakiku ke lantai dan berdiri. Kemudian saya mengambil beberapa langkah dan jatuh pada kaki dari penglihatan tersebut. Saya sedang mandi didalam cahaya yang sangat murni dan sinarnya sama terangnya dengan gabungan cahaya matahari dan bulan. Cahaya itu mengalir masuk kedalam hatiku dan kedalam pikiranku, lalu banyak hal menjadi jelas bagiku pada saat itu juga.

Yesus menumpangkan tanganNya keatas kepalaku dan saya melihat sebuah lubang ditanganNya dari mana sebuah sinar masuk dan memancar ke pakaianku sehingga bajuku yang berwarna hijau itu sampai menjadi putih. Ia bersabda : “Akulah Yesus, Akulah Immanuel, Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Aku hidup dan Aku akan datang segera”. Lihatlah, mulai sekarang apa yang kau lihat harus kau saksikan kepada umatKu. UmatKu adalah umatmu dan engkau harus tetap setia menyaksikannya kepada umatKu. Ia berkata : “Sekarang engkau harus menjaga agar jubah dan tubuhmu ini tidak bernoda. Kemanapun engkau pergi Aku akan menyertaimu dan sejak hari ini hendaklah kau berdoa demikian : “Bapa kami yang ada didalam sorga, dipermuliakanlah namaMu, datanglah kerajaanMu, jadilah kehendakMu dibumi seperti disorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kesalahan-kesalahan kami sebagaimana kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami. Dan janganlah membawa kami kedalam pencobaan tetapi lepaskanlah kami daripada yang jahat, karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya, amin”. la menyuruh saya mengulang-ulang doa itu sampai benar-benar masuk tenggelam kedalam hati sanubariku. Doa yang indah dan begitu berbeda dengan doa-doa yang telah saya pelajari untuk dipanjatkan sejak masa kanak-kanakku sampai sekarang ini.

Allah dipanggil “Bapa” - itulah satu sebutan yang begitu erat menggenggam dalam-dalam dihatiku yang dapat mengisi kekosongannya. Saya ingin untuk dapat tetap tinggal disana di kaki Yesus, mengucapkan doa dan yang menyebut nama baru bagi Allah, “Bapa kami”. Tetapi Yesus lebih lanjut mengatakan Kepadaku :”Bacalah lebih lanjut dalam Al Qur’an, Aku hidup dan akan segera datang”. Hal ini telah diajarkan kepadaku dan mendengar ini timbul kepercayaan dalam diriku terhadap apa yang saya dengar. Banyak lagi yang dikatakan Yesus, saya begitu penuh dengan sukacita yang tak dapat dilukiskan. Saya melihat tangan dan kakiku sudah ada daging disitu. Tanganku belum sempurna, namun begitu terasa ada kekuatan dan tidak lagi lunglai dan lemah. “Kenapa Engkau tidak menyembuhkan saya sampai sempurna?”, tanyaku. JawabanNya datang dengan penuh kasih : “Aku mau kau menjadi saksiKu”. Sosok-sosok tubuh itu lalu naik dari pandanganku makin lama makin lenyap. Saya berkeinginan agar Yesus tinggal lebih lama lagi lalu saya menangis tersedu-sedu. Kemudian cahaya itu lenyap dan saya tinggal sendirian, berdiri ditengah-tengah kamarku mengenakan jubah putih dan mataku terasa berat karena cahaya yang mempesonakan itu. Sekarang malah cahaya lampu yang ada disisi tempat tidurku rasanya menyakitkan mataku dan alis mataku terasa sangat berat menekan diatasnya. Saya mencari-cari di dalam laci sebuah rak yang diletakkan rapat kedinding. Diatasnya saya rnenemukan sepasang kaca mata hitam yang biasa kupakai di halaman. Saya mengenakannya dan dapat membuka mataku serta melihat lebih enak. Dengan berhati-hati saya menutup laci lalu berpaling dan memandang sekeliling kamarku. Sama saja keadaannya seperti ketika saya baru bangun tidur. Jam masih berdetak diatas meja di samping tempat tidurku menunjukkan waktu hampir jam 4 pagi. Pintu terkunci rapat begitu juga jendela-jendela dengan tirai-tirainya masih tertutup seluruhnya terhadap udara dingin. Bagaimanapun saya belum lagi membayangkan tentang kejadian itu karena buktinya kumiliki di dalam tubuhku. Saya melakukan beberapa langkah lalu beberapa la,gi. Saya berjalan dari dinding ke dinding, keatas dan kebawah lagi.Tidak salah lagi, anggota-anggota tubuhku telah sehat sempurna.
Oh, betapa sukacitanya perasaanku. “Bapa” seruku. “Bapa kami yang disurga”, ini merupakan ungkapan doa yang haru dan indah sekali. Tiba-tiba sebuah ketukan terdengar di pintu. Rupanya bibi. “Gulshan”, katanya dengan tergesa-gesa. “Siapa yang ada di kamarmu berjalan-jaian?” Saya sendiri, bibi”, terdengar suatu teriakan nafas yang pendek lalu bibiku berseru lagi, “Oh, itu tidak mungkin. Tidak bisa terjadi. Bagaimana kau dapat berjalan? Engkau berdusta kepadaku”. “Baiklah, masuklah kemari dan lihatlah sendiri”. Pintu terbuka perlahan-lahan dan dengan penuh ketakutan bibi melangkah masuk ke dalam kamar. Beliau berdiri dengan tubuh menekan ke dinding dalam ketakutan dan tidak percaya, matanva terbelalak dan menatap kewajahku vang justru brseri-seri- “Kau akan jatuh”, katanya, “Saya tidak akan jatuh”, saya tertawa merasakan adanya kuasa dan kekuatan dari kehidupan baru yang menjalan melalui pembuluh – pembuluh darah saya. Bibi itu melangkah perlahan – lahan, tangannya dibentangkan kedepan seperti seorang buta meraba-raba mencari jalannya. la mengangkat lengan bajuku dan melihat tanganku, montok dan sehat seperti keadaannya sekarang. Kemudian beliau meminta saya duduk ditempat tidur memandangan ke arah kakiku yang telah sempurna seperti kakiku yang sebelah lagi.

“Aneh rasanya melihat engkau berdiri. Saya harus membiasakan diri untuk ini”, katanya. Beliau meminta kepadaku untuk menceriterakan bagaimana kejadiannya. Jadi, kuceriterakan kepada bibi dan permulaan tentang ramalan ayah lalu suara di kamarku pada malam kematian ayah. Kemudian saya ceritakan tentang masa 3 tahun membaca tentang Nabi Isa ( Yesus ) di dalam Al Qur’an, diakhiri dengan kemunculanNya padaku dan kesembuhanku. Waktu tiba pada ceritera tentang Yesus yang berkata agar saya menjadi saksinya, bibi menyela dengan berkata : “Tidak ada umat Kristen di Pakistan sini untuk kau pergi menyaksikannya dan kau tidak perlu pergi ke Amreika atau Inggris. Pada waktu orang-orang ini datang meminta makan ataupun uang kepadamu itulah yang menjadi kesaksianmu. Sampai saat itu saya belum lagi mempunyai kontak mengenai tugas yang diamanatkan Yesus kepadaku untuk pergi ke Inggriskah ataupun Amerika. Namun, dengan kata-kataNya yang masih nyata dan tetap: “Apa yang telah engkau lihat dengan matamu sendiri, haruslah engkau saksikan kepada umatKu. UmatKu adalah umatmu”, maka sebuah ungkapan doa terbentuk dalam pikiranku : “Yesus, dimanakah umatMu?”


bagian--------ke 3


BAB 7 KEMASYHURAN

Pada waktu saya lahir, orangtuaku berkonsultasi dengan seorang Najumi (peramal nasib) yang membuka telapak tanganku yang mungil untuk meneliti dan menyelidiki garis keberuntunganku. "Anak perempuanmu kelak akan menjadi terkenal,"katanya setelah meneliti dan mempelajari telapak tanganku bersungguh-sungguh selama 1 atau 2 menit. Betapa heran dan girangnya Ayah-Ibuku mendengar ramalan ini dan tentu saja ia mendapat hadiah yang baik untuk ini. Saya menceritakan hal ini karena kemudian ayah mengutuk Najumi itu sebagai seorang pencuri dan pendusta ketika pada usia 6 bulan ternyata saya haru menjadi seorang lumpuh untuk sisa hidupku.

Namun pada waktu saya mengambil langkah-langkah awal dari kehidupan pada saat fajar pagi dibulan Januari itu, saya langsung mendapat kemasyhuran sebagai suatu mujizat yang berjalan. Diwaktu kemudian tidak terpikir olehku bahwa saya sedang mengambil langkah menuju kesuatu kemasyhuran yang tidak dapat diupayakan oleh keluargaku bagiku. Para pelayan datang berlari-lari, para wanita berkumpul di mulut pintu ragu-ragu mulutnya membulat o-o-o-oh karena keheranan. "Oh bibi ji,apakah itu benar-benar ada katanya? Apakah akhirnya Allah telah menyembuhkanmu?" Yesus Immanuel yang datang padaku dikamar ini dan meyembuhkan saya, jawabku. Tidak terlihat olehku diluar para pembantu pria mendengarkan dengan penuh keheranan.

Bibi menghalau mereka dari tempat jalanan itu dan menempatkan pembantu disamping-sampingku menjaga dengan cemas langkah-langkah yang akan kuamabil waktu berjalan keluar dari kamarku melewati rumah dn terus keserambi depan. Beliau berjaga-jaga jangan-jangan saya terpeleset pada tepi-tepi permadani yang belum bisa saya injak, lantai yang licin atau kasar karena di semen. Namun pikiranku mengendalikan tubuhku dan memulai memancarkan semboyan-semboyan dengan lancarnya yang segera menolong saya menyesuaikan diri dengan dimensi dan pembidangan dari dunia fisik. Terdapat perbedaan yang luar biasa bagi seorang yang selama ini keadaannya seperti sebatang kayu terbaring disuatu tempat sambil menunggu api unggun bila dibandingkan dengan sebatang pohon hidup yang secara aktif menumbuhkan kehidupan bagi yang lain.

Saya segera mulai menemukan perbedaannya ketika berdiri, dibombardir oleh sensasi sensasi baru sebab merasa memiliki hidup, duduk diserambi sambil bercakap-cakap dengan paman. Dari balik dopatta (syalku) saya memperhatikan paman. Saya adalah kepala rumah tangga ini, tapi beliau telah mengelola semuanya untukku bagaimana beliau menghadapi kenyataan ini? Saya tidak perlu cemas, beliau ternyata bersukacita. Bagi kami engkau lahir pada hari ini katanya. Jika Ayahmu masih hidup beliau pasti melncat-loncat kegirangan. Kegembiraan seperti inilah yang kami rasakan untukmu. Ketika mengucapkannya terlihat airmatanya mengalir dipipinya. Dengan penuh perasaan terima kasih saya berkata, "Oh, terima kasih pamanku, dukunganmu ini sangat berarti bagiku."

Segera sesudahnya saya mendengar beliau menelpon kakak-kakakku. Udara pagi yang segar kering dipecahkan oleh kegembiraan yang meluap sebab setiap orang benar-benar menyambut pentingnya kegemparan peristiwa yang baru terjadi ini. Diluar saya berusaha agar kelihatan tenang ketika saya pergi sarapan bersama keluarga, suatu hal yang pertama kali kulakukan seumur hidupku tanpa dibantu seorangpun. Saya sadar bahwa banyak mata disekeliling meja maupun dari dapur yang memperhatikan waktu saya mengulurkan tangan kiriku utnuk mengambil gula atau susu serta membagikannya kepada anak-anak. Mereka terpesona tapi karena diisyaratkan oleh ibunya dengan tajam maka mereka tidak berani mengajukan sesuatu pertanyaan.

Sekarang engkau dapat berjalan-jalan dan melihat lihat sendiri rumahmu,kata paman sewaktu akan berangat kerja sambil sekalian mengantarkan anak-anaknya kesekolah.
Jadi, untuk ertam kalinya seumur hidupku saya berkeliling rumah melihat-lihat kesetiap ruangan,menikmati setiap bagiannya dan rasanya menemukan senyum disegala sudutnya. Rasanya seperti baru bangun dari tidur selama 19 tahun.

Saya ingat waktu itu saya mengambil kunci kamar ayahku dan untuk berapa lama saya sendirian disana. Kamar itu merupakan pencerminan pribadi ayah dan didalamnya tersirat beberapa petunjuk pola pemikiran almarhum yang sebenar-benarnya. Sebuah ruangan ganda dengan perlegakapan sederhana yaitu sebuah tempat tidur berkasur (Charpai), sebuah permadani berwarna coklat, abu-abu, dua kursi dan dinding yang bertirai berwarna hijau muda tipis. Pada dinding tergantung sebuah potret dirinya yang besar, diabadikan pada waktu masih lebih muda, juga beberapa gambar dari Mekah dan Medinah begitu pula senapan berburunya yang dipakai beliau bila keluar ke lapangan. Airmataku mengalir. Saya merasakan kehadiran beliau, begitu dekat rasanya seakan akan beliau baru bangun dari tempat tidur, keluar kamar sebentar lalu kembali lagi. Lihat aba Jan!.Doa-doamu telah dijawab Allah, bisikku sambil memandang keatas ke ekspresi wajah almarhum yang begitu agung, kemudian saya beralih memandang gambar-gambar Mekah dan Medinah. Ayahku telah melakukan yang yang terbaik untukku lebih baik dari apa yang rasanya dapat dan mau diperbuat oleh ayah-ayah banyak orang lain. Namun, suatu kuasa yang lebih besar dari pernah diketahuinya sedang bekerja didunia dan saya putrinya yang lemah. Sesudah menderita sakit sebegitu lamanya telah memperoleh berkah yang dijamah serta disembuhkan oleh kuasa itu.

Tapi saya tidak menemukan ibuku dikamar ini, kamar yang pernh mereka pakai bersama. Saya masuk kekamar yang lebih kecil disebelahnya, ruangan yang beliau pakai sebagai tempat penyimpanan. Kini telah digunakan menjadi ruangan tempat penyimpanan barang-barang berharga diamana uang, permata dan perhiasan-perhiasan disimpan. Saya tidak pernah mengenal ibuku dan tidak ada potret yang dapat menunjukkan padaku bagaimana wajah almarhumah karena pada waktu itu tidak terpikir oleh seorangpun untuk mengambil potret para wanita keluarga kami, tapi saat ini saya merasakan beliau begitu dekat dengan diriku dan dengan perasaan pedih saya menangis untuknya," Oh Ma-Ji, jika saja ibu ada disini. Kenapa ibu diambil dariku dalam usia sebegitu muda?. Sekarang saya tidak memeiliki baik ayah maupun ibu untuk membagi sukacitaku. Namun, kakak-kakakku datang bersukacita bersama saya. Tiap orang harus mendengarkan ceritra itu semuanya. Bagaimana pada malam sesudah kematian ayah,suatu suara mengatakan padaku untuk membaca tentang Isa (Yesus) dalam Al-Quran. Bagaimana saya telah melaksanakan selama 3 tahun dan berdoa kepada nabi Isa (Yesus) ini makin hari semakin sungguh-sungguh, sampai IA muncul dikamarku, menjamah dan menyembuhkan saya."

Waktu inilah : Terasa adanya sukacita yang benar dan sejati didalam rumah kami sejak ayah meninggal dunia. Kita harus merayakannya dan mengundang para tetangga serta sahabat-sahabat dari kota kata Anis, tentu saja kata Safdar Shah ktika usul itu diajukan kepadanya. Kita harus menguap syukur kepada Allah yang telah mendengarkan doa kita. Selama ini kita mengira bahwa perjalanan ke Mekah tidak ada gunanya. Sepanjang waktu sebenarya sudah merupakan kehendak Allah untuk menyembuhkanmu.

Dihari pertama tersebut, bagiku merupakan untuk belajar ketika otakku harus mengolah hal-hal yang masih asing. Saya akan lupa bahwa saya telah berjalan sendiri sehingga saya meminta tolong pada Bibi untuk mengambilkan sesuatu bagiku misalnya Syal dipinggir kursi panjang.Secara spontan beliau akan berdiri mengambilkannya pada saat mana tiba-tiba saya teringat bahwa saya sudah tidak lumpuh lagi dan sanggup untuk mengambilnya sendiri. Pada akhir hari pertama itu saya merasa sangat lelah. Secara fisik, perasaan sakit setelah bertahun-tahun lamanya ditempat tidur sudah dapat kuatasi, tapi saya masih memiliki cara berpikir dari seseorang yang cacat. Saya memerlukan wakt untuk menyesuaikan semua kontak yang kini harus kulakukan dengan orang-orang lain yang berada diluar dinding kamar tidurku. Sekarang saya tidak memperdulikan bila ada orang yang memandang lengan dan tanganku telah sembuh, tidak seluruhnya normal karena ada sejumlah bekas pelaksanaan uji coba dan operasi yang dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya yang mengakibatkan terhalangnya pertumbuhan ibujari dan beberapa jarinya. Perbedaan yang saya rasakan ialah bahwa kini saya harus menggunakan tungkai dan lenganku.

Selama beberapa hari pengunjung-pengunjung berduyun-duyun datang termasuk pra paman dan bibi yang datang dari tempat-tempat yang jauh begitu pula kakak perempuanku dari Rawalpindhi. Pada akhir minggu kami mengadakan suatu perayaan dengan pesta dan banyak sekali orang berkumpul. Kepada semua orang saya memberi kesaksian bagaimana Yesus (Yang mereka sebagai Nabi Isa) telah menyembuhkan saya. Karena kesaksianku yang terus menerus tentang hal ini maka timbul reaksi yang pahit terhadap seluruh kejadian ini mula-mula dari kakak-kakak lelakiku yang telah menyebabkan keresahan bagi mereka. Ketika untuk ke-6 kalinya mereka telah mendengarkan kesaksian ini, maka Safdar Shah sesuai dengan fungsinya sebagai pemuka agama dikeluarga kami, merasa perlu mengemukakan pernyataan ini : "Kami akan lebih menghormatimu jika kau katakan bahwa Nabi Muhammad yang menyembuh kan engkau, Nabi Isa itu tidak penting bagi kita." Tapi saya tidak dapat mengatakan bahwa Nabi Muhammad yang menyembuhkan saya.Yesus sendirilah yang melakukannya dan IA berpesan padaku untuk mengatakan demikian.

" Umatnya Yesus ada di Inggris, Amerika Kanada. Negeri-negeri ini ialah tempat orang-orang Kristen. Engkau kan tidak akan kesana untuk memberikan kesaksian kepada mereka bagaimana Nabi Isa telah menyembuhkanmu dan adalah bijaksana untuk tidak mengumumkan hal yang demikian itu disini." Safdar Shah mengatakan hal ini sebagai suatu pernyataan.
Mungkin dia tidak bermaksud untuk membuat pernyataan ini terdengar seperti sebah ancaman, tapi saya dapat merasakan apa yang tersirat didalamnya dimana ada kesatuan perasaan untuk mengasingkan seseorang dan memusuhinya sebab hal ini telah diajarkan kepada kami tentang umat yang menganut agama kitab lain itu. Yang dimaksudkan disini ialah Taurat dan Injil - Kitab-kitab suci orang-orang Yahudi dan Kristen yang merupakan isi Alkitab. Penganut Islam Syiah menganggap bahaya bagi Iman Islam mereka, sehingga ada usaha-usaha untuk menunjukkan bahwa Al-Quran pun diturunkan kemudian jelas lebih unggul dan benar karena mengembalikan kebenaran kepada kedua kitab suci itu. Saya telah menerima hal ini dan berakar dalam hatiku, tapi kini saya mulai berpikir. " Mengapa jika Yesus tidak penting, tapi IA sanggup menyembuhkanku? Kenapa jika Al-Quran dinyatakan sebagai tuntunan tertinggi bagi setiap segi kehidupan kami,namun namun hanya begitu sedikit menceritakan tentang Yesus ? Apakah kuasa penyembuhan ini benar-benar kuasa yang dinyatakan dalam Al-Quran?. Apakah kuasa ini datangnya dari Allah ?" Jadi, setahap demi setahap saya didorong mencari kebenaran tentangNYA. Saya ingin membaca Injil iu sendiri agar dapat belajar dan mengetahui lebih banyak tentang Yesus.

Jika saya akan menemukan kuasa yang berbeda sebagaimana yang telah diketahui oleh keluargaku selama ini, maka mereka akan menjumpai hal-hal baru tentang saya begitu pula akan terjadi hubungan yang baru dengan saya. Sebagai seorang adik, perempuan, tidak berdaya lalu selama ini sakit, saya adalah makhluk tanpa kemauan bagi mereka. Mereka tahu dimana menemukanku dan bagaimana mengurusku. Mereka tahu bahwa saya akan selalu setuju dan menerima saran-saran mereka. Saya tidak memiliki kemampuan pribadi - saya bergantung sepenuh penuhnya pada mereka. Tapi sekarang, saya merupakan pribadi yang bebas dan lebih lagi saya menemukan pribadi dan keadaanku sebagai putri ayahku dan mempunyai perasaan sendiri yang telah di bina melalui suatu pendidikan yang tidak mungkin dapat saya miliki sekiranya dari dulunya saya sehat dan normal. Kadang-kadang saya dapat memenangkan perdebatan dengan Safdar Shah. Ia sadar bahwa akan sulit sekali baginya untuk berdebat dengan sebuah mujizat berjalan karena didalamnya ada dorogan moral tersendiri pula.

Sejak semula Bibi telah berulang kali mengatakan bahwa Visi Yesus itu berarti bahwa saya harus memberikan sedekah kepada orang-orang miskin dan selanjutnya mereka akan pergi memberitahukan kepada orang lain mengenai Yesus. Bagaimana saya dapat berpikir bahwa ada cara lain lagi? Dalam batas-batas pengalaman Bibi seacra sederhana, tidak ada cara bagi seorang wanita Muslimat untuk meningkatkan rumah tangganya, keamanan dalam lingkungan keluarganya utnuk pergi keluar untuk memberitakan kesaksian kepada orang lain.

Saya bawa pertanyaan-pertanyaan ini kehadapan Yesus, tentang bangsaNYA, umatNYA, dan dimanakah mereka ? Bagaimana saya dapat datang menemui mereka sambil menghadapi larangan dan tantangan keluargaku. Jauh didalam lubuk hatiku saya mengetahui jawabannya. Melalui suatu suara DIA berbicara kepadaku : " Jika engkau takut karena keluargamu, AKU tidak akan menyertaimu. Engkau harus tetap setia kepadaKU agar dapat bertemu dengan umatKU." Pernyataan ini muncul bagiku dari kegelapan sewaktu saya berlutut diatas tikar sembahyangku dimalam hari seketika anggota-anggota keluarga lainnya telah beristirahat. "UmatKU adalah umatmu. Engkau harus menyampaikan firmanKU kepada mereka," kata suara itu. Saya tidak menceritakan kepada keluargaku tentang suara ini namun mereka merasakan terjadinya perubahan terhadap sikapku, secara teratur memperhatikan saya dan menghindari mengajukan pertanyaan kepadaku. Engkau kan tidak akan meninggalkan rumah ini? Apakah engaku akan ke Inggris atau ke Kanada ? Masih ingatkah kau mengenai apa yang kau ceritakan tentang Inggris sewaktu kembali dari sana dulu? Kenapa engkau tidak memberi Zakat saja kepada orang miskin daripada harus ke Inggris. Mereka toh akan berceritra lebih lanjut kepada orang lain tentang Yesusmu?. Saya telah mempersebahkan Zakat tahunanku sebesar 50.000 rupee bagi peminta-minta dipintu. Kini, dalam beberapa waktu ini saya telah memberi tambahan Zakat sebesar 10,000 rupee. Lalu Paman datang kepadaku," Sekarang kau akan berbahagia, engkau telah melaksanakan perintah Allah kepada kita. Engkau telah melakukannya dengan penuh kemurahan." Namun saya tidak merasa bahagia. Dengan pelan saya berkata, " Tapi saya belum mempersembahkan diriku padahal inilah yang DIA maksudkan." Pikirku beliau tidak mendengarnya, tapi beliau menarik napas panjang dan dalam, " Dengar Gulshan, saya pikir kini saya berbicara kepadamu seolah olah ayahmu (kiranya jiwanya beristirahat dengan tenang di surga), apapun yang dikehendakiYesus berikanlah kepadaNYA - tanah atau uang, tapi sekali sekali jangan tinggalkan negerimu, agamamu dan jangan serahkan dirimu sendiri !"

Setiap hari yang berlalu, saya mulai menyadari tumbuhnya tuns-tunas hidup yang baru di dalamku. Waktu Muazin mengumandangkan panggilan beribadah dari menara mesjid, maka sebagaimana biasanya saya masuk ke kamarku, bersyukur dapat menutup pintu dan terhindar dari pengawasan bibi dan sayapun tidak membutuhkan bantuan pelayan. Saya menyendiri, bukan melaksanakan upacara yang lama, tapi kini berdoa telah merupakan hal yang mendalam dan Khusuk waktu kupanjatkan doaku kepada Allah dari lubuk hatiku selama dua jam menaikan doa Bapa Kami yang telah kutuliskan kata-katanya. Setiap kata memenuhi dan menjawab satu kebutuhan. Terasanya seolah-olah doa ini khusus untukku dan saya belum tau bahwa doa ini adalah sebuah doa keluarga yang selalu dipanjatkan oleh orang-orang Kristen.
Diwaktu lain pada hari yang sama, saya mengucapkan kata-kata doa itu dengan metode lama, mengambil tasbihku satu demi satu dan menelusurinya dengan jari-jariku, klik-klik-klik dan pada setiap klik seluruh doa itu kuucapkan. Dengan cara demikian saya dapat mengucapkan doa itu dimana saya dan kapanpun saya kehendaki bila ada orang yang melihat, kelihatannya saya sedang melaksanakan Namaz (Sembahyang). Tentunya saya telah mengucapkan doa itu seribu kali selama beberapa hari ini dan setiap kali saya merasakan lebih mudah mengucapkannya.

Bagiku rasanya telah diberikan sebuah kamus baru untuk memohon dan berbicara kepada Allah.

BAPA KAMI YANG ADA DIDALAM SURGA - oh, kata-kata ini membuat saya melihat Allah dalam sinar yang baru IA adalah oknum yang Maha Tinggi, ya,tapi IA adalah juga ayah yang dulunya hilang dariku. Betapa baiknya Engkau menjadi ayahku, saya menangis di malam hari dan merasakan suatu kesukacitaan, cinta kasih yang tak terlukiskan dan masuk dalam dalam ke-sanubariku. Rasa ketakutan lama yang kelam dan merasukku seakan-akan Allah murka kepadaku, kini benar-benar berlalu.

DIPERMULIAKANLAH KIRANYA NAMAMU.- Saya memahami pujian ini karena sebagai seorang muslimat saya telah dididik untuk memuja-muja nama Allah yang Maha suci yang ada dalam Al-Quran. Kami menggunakan sebutan-sebutan bagi Allah dengan penuh rasa hormat, menambahkan kata-kata pemujaan misalnya :Terpujilah kiranya namaNYA. Sebutan-sebutan khusus bagi Allah ini memiliki kuasa-kuasa yang kelihatan dalam alam pikiran umat Islam dan merupakan salah satu dari bentuk-bentuk dekorasi tulisan yang diizinkan didalam mesjid, padahal izin untuk membubuhkan dekorasi semacam ini sangatlah ketat. Perbedaan yang kurasakan sekarang ialah bahwa saya telah meilhat sesuatu dari kemuliaan yang luar biasa itu dengan mata kepala sendiri.

DATANGLAH KERAJAANMU, KEHENDAKMU JADILAH DIBUMI SEPERTI DIDALAM SURGA. - Sekarang saya melihat Yesus bukannya sebagai seorang Nabi miskin yang nomor dua, tetapi IA adalah Raja yang Kekal dan akan datang lagi membawa kerajaan Surga didunia seperti di surga.

BRIKANLAH KEPADA KAMI MAKANAN YANG SECUKUPNYA.... Tidak pernah terpikir olehku untuk meminta makanan kepada Allah sebab semua yang kuperlukan sudah tersedia lebih dari cukup, tapi ditunjukkan bahwa Allahpun memperhatikan kebutuhan materi umatNYA dan IA menghendaki kita bergantung kepadaNYA sebagai Bapak bagi kita.

DAN AMPUNILAH SEGALA KESALAHAN KAMI SEBAGAIMANA HALNYA KAMI MENGAMPUNI ORANG YANG BERSALAH KEPADA KAMI. Pengampunan? Doa-doa yang saya panjatkan dulu merupakan keinginan permohonan bagi pengampunan yang sangat dalam. Dalam pemikiran kami Allah lah yang memberi pahala bagi umatNYA yang setia demikianpun hukuman bagi orang-orang yang melakukan kejahatan atau tidak percaya. Dulunya saya pernah merasa yakin bahwa saya telah melakukan dosa-dosa besar sehingga dihukum dengan penyakit yang saya derita serta kehilangan kedua orang tuaku. Satu-satunya yang menjadi dasar pengharapanku ialah agar saya dapat menunaikan dengan tepat dan terperinci segala syariat-syariat ibadah dan sembahyang setiap hari dan melaksanakan ibadah haji untuk mendapakan berkat-berkat khusus dan juga memunaikan empat rukun Islam lainnya.

Didalam doa ini tidak disebutkan tentang upacara membersihakn diri yang ada malah kepastian bahwa kita perlu mengakui dosa kita dihadapan Allah untuk mendapatkan pengampunanNYA dan bagi seseorang yang mengharapkan pengampunan juga berkewajiban untuk memberi ampun kepada orang lain yang bersalah padanya. Saya dengan seluruh pembinaan agamaku yang teratur, tertib dan tak tercela sebelum ini belum pernah tahu akan kepastian pengampunan seperti ini.

JANGANLAH MEMBAWA KAMI KEDALAM PERCOBAAN MELAINKAN LEPASKANLAH KAMI DARIPADA YANG JAHAT.... Saya mengucapkan doa ini karena dengan permohonan ini saya mendapatkan kekuatan untuk tetap setia kepada visi saya mengenai Yesus. Hanya DIAlah yang menyelamatkan saya dari tarikan - balik yang begitu kut dari Imanku sebelumnya dan malah makin keras datangnya dari keluargaku.

KARENA ENGKAULAH YANG EMPUNYA KERAJAAN DAN KUASA DAN KEMULIAAN SAMPAI SELAMA-LAMANYA, AMIN. Kata-kata yang agung itu sederhana tapi penuh kuasa. Saya telah menyaksikan sendiri kuasa itu dan saya telah mengalami perubahan untuk selamanya. Kami tidak mempunyai perantara khusus dengn Allah - walapun Nabi Muhammad memegang posisi ini - itulah sebabnya maka kami bersikap begitu merendahkan diri waktu bersembahyang. Namun kurasakan bagi saya telah diberikan seorang perantara yang dapat memberikan jawaban, menunjukkan padaku suatu cara baru untuk berbakti kepada Allahku. Sebagai seorang Muslimat, saya bertanggung-jawab atas semua tindakanku, buruk atau pun baik dan akan menanggung akibatnya. Tapi kini saya mendapatkan suatu pandanga yang baru tentang Allah. Untuk memeperoleh hak memnggil Dia "Bapa" memberi pengertian bahwa Dia bertanggung-jawab juga terhadap kehidupan dan kebahagiaanku sebagaimana halnya ayahku didunia telah melakukannya.

Demikianlah yang saya pikir dan rasakan dan begitulah kupanjatkan doaku, karena merasakan kebahagiaan sebagaimana layaknya perasaan seorang anak yang hilang pada suatu bazaar yang ramai dan penuh sesak dengan manusia kemudian diketemukan kembali oleh ayahnya. Saya rindu untuk dapat lebih memahaminya, mungkin dengan jalan memperoleh sebuah Alkitab orang Kristen itu.

Jika saya memandang ke arah jalan yang sedang kutempuh ini, langkah demi langkah, rasanya saya telah melihat awan badai bertiup di atas kepalaku. Sepuluh hari setelah peristiwa kesembuhanku yang menakjubkan diwaktu saya sedang beristirahat dikamarku, badai tersebut akhirnya pecah. Keluargaku telah menemukan kembali kekuatannya dan kini berkumpul di ruangan tamu para pria dengan pintu tertutup untuk mengadili saya - setidak-tidaknya begitulah yang kurasakan. Tentu saja mereka melakukannya dengan cara dan metoda yang lain. Safdar Shah memulai pertemuan itu dengan berkata :"Kami telah mengumpulkan kepala keluarga untuk meyakinkan engkau dan membujukmu agar menghentikan pemikiran ekstrim yang belum lama ini kau alami. Kami dapat menerima bahwa Nabi Isa telah menyembuhkan engkau. Tapi bila berita ini sampai keluar, maka akibatnya tidak akan baik bagi keluarga kita terhadap kami."

Para paman dari kedua belah pihak orang tuaku dan para istrinya menyokong pernyataan Safdar Shah juga kakak-kakakku yang lainnya dengan istri/suaminya. Demikianlah para sepupuku bersama paman dan bibiku, yang kemudian kuketahui dipersalahkan karena telah menjadi penyebab terjadinya peristiwa ini padaku. Saya tidak berkata apa-apa untuk waktu yang cukup lama dan membiarkan mereka berbicara sebelum saya berkata:"Apakah anda sekalian tidak merasa gembira bahwa saya telah disembuhkan?." "Oh ya",kata mereka serempak, "kami sangat berkepentingan dengan kesembuhanmu, tapi sekarang setelah semua terjadi janganlah menyebarkan berita bahwa Nabi Isalah yang menyembuhkan engkau". Semuanya terdiam sebentar lalu Safdar Shah menambahkan, " Demi Islam, kami dapat membunuhmu. Begitulah yang di Firmankan dalam kitab suci."

Saya memandang kesekeliling ruangan itu, kakak-kakak perempuanku meneteskan air mata. Paman dan bibiku kelihatannya pucat karena terkejut dan takut. Jenggot-jenggot para pamanku berkibas-kibas ketika menganggukkan kepala dengan penuh semangat. Mata kakak-kakak lelakiku tertuju padaku laksna burung elang yang bertengger disarangnya. Saya merasakan terciptanya jarak antara diriku dengan mereka dan jarak ini makin bertambah dari saat ke saat. Bagaimana mungkin agama dapat menimbulkan kebencian seperti itu? sehingga mereka lebih baik melihat saya mati daripada saya harus mengatakan suatu kebenaran yang mereka tidak setujui?.

AMPUNILAH SEGALA KESALAHAN KAMI, SEBAGIMANA KAMI MENGAMPUNI ORANG YANG BERSALAH KEPADA KAMI..Disini terdapat suatu kebenaran yang lebih kuasa yang lebih besar dari setiap hukum Islam manapun. Saya tidak merasakan suatu perasaan benci pada mereka disaat itu, yang ada hanyalah suatu perasaan kasih yang ingin sekali kusalurkan kalau saja saya dapat memecahkan penghalang-penghalang ini.

Setelah terdiam sejenak, kakakku berkata lagi," Jika engkau meneruskannya, engkau akan dibuang dari keluarga dan dari segala kesenangan yang pernah kau miliki disini. Jika kau pergi kepada orang-orang Kristen kami malah akan menyusahkan mereka juga, tentu saja mereka tidak ada di Pakistan." Waktu itu saya juga berpikiran demikian. Selama ini saya selalu diam, saya tidak berlagak menurut terhadap kaum keluarga dan orang-orang yang lebih tua dan kini mereka menggertak saya. Bagi si Gulshan yang lama tentu ia akan menyerah karena tidak sanggup menonjolkan dirinya. Tetapi sekarang si Gulshan yang baru ini merasakan suatu kuasa didalam dirinya dan kuasa ini memberikan kepadanya suatu keberanian yang baru, saya tidak merasa takut kepada mereka, kata-kata yang tidak saya cari-cari ataupun pikirkan malah datang ke bibir saya. "Saya telah cukup mendengarkan dan tentu saja saya mengerti tentang keprihatinan anda sekalian, kataku, saya tidak menjawb semua pertanyaan yang diajukan, karena saya harus menunggu jawaban dari Yesus padaku. Ia akan memberitahukan padaku apa yang harus kulakukan berikutnya. Bila saya mendapat perintah maka saya akan mematuhinya dan bila bahkan bila anda sekalian membunuhku saya akan menjalaninya." Terdengar tarikan-tarikan napas disekeliling ruangan itu, alangkah kurang-ajarnya kata para paman seorang kepada yang lain dan kelihatan seolah-olah mereka tidak mempercayai pendengaran telinganya, atas jawaban yang lancang itu. Sayapun sendiri terperanjat terhadap diriku yang begitu berani menantang kekuatan keluargaku dengan cara demikian. Sekarang apa yang akan mereka lakukan? Saat itu adalah saat yang berbahaya. Saya segera menambahkan ," Saya berjanji saya tidak akan mempermalukan keluarga kita dalam segala hal yang akan saya lakukan, tapi saya masih harus menunggu sampai Yesus memberitahu padaku, bagaimana saya menyatakan kesaksian itu. Saya belum lagi bertemu dengan seorang Kristenpun, saya malah tidak tu dimana menemui mereka."

Para pria saling mendekatkan kepala, kakak-kakak perempuanku serta bibi menghindar untuk memandangku. Mereka tidak berkata apa-apa sebab para wanita tidak diharapkan untuk ikut campur ketika para pria sedang membuat keputusan-keputusan penting. Dalam hatiku saya bertanya-tanya apakah keluargaku merecanakan untuk membunuhku nantinya?, mereka mempunyai hak untuk melakukannya. Tidak ada yang mempersoalkannya kecuali bahwa saya ini dikenal serta dicintai oleh banyak orang disekitar kami. Kematianku secara mendadak tentunya memerlukan suatu usaha guna menyembunyikan atau menutupinya dan pekerjaan ini rumit. Safdar Shah memberikan keputusannya, "Oke, kami akan menunggu apa yang akan kau lakukan nanti, kamipun akan berdoa untukmu mungkin saja kau telah menjadi gila karena peristiwa ini."

Untuk saat itu selesailah badai tersebut buat sementara, namun saya tau bahwa mereka tidak akan berhenti sampai saya benar-benar diam tentang subjek dari penyembuhanku. Tapi bagiku, untuk mematuhi perintah mereka akan berarti saya mengingkari apa yang telah diyakinkan dan ditunjukkan padaku oleh Bapaku disurga.

"Apa yang engkau kehendaki untuk saya lakukan?" saya berdoa kepadanya dalam kebingungan. Jawabnya datang dua malam kemudian, dengan suatu desakan perasaan yang nyata, saya berdoa menggunakan kata-kata yang sederhana, "Tunjukkanlah padaku jalanMU,oh tunjukkanlah kepadaku jalanMU." Saya memandang keatas dan terlihat sebuah tiang kabut tipis yang berdiri dari lantai sampai ke-langit-langit kamarku. Yesus ada didalam kabut tipis tersebut. Cahaya terang yang pernah kusaksikan sebelum ini terselubung dikabut tipis itu. Saya tidak tertidur ataupun bermimpi, Yesus berkata, " Datanglah kepadaKU !" Dengan penuh sukacita saya bangkit datang kepadaNYA, Ia mengulurkan tanganNya dan ada semacam kain diatasnya, tanganku saya ulurkan kepadaNYA. Saya merasakan diriku diangkat dari kakiku seolah-olah melayang diudara. Saya menutup mataku kemudian dengan lembut saya ditaruh diatas sesuatu yang lunak dan ketika saya melihat, saya sedang berdiri diatas suatu lapangan terbuka yang membentang sampai jauh, berwarna hijau dan sejuk serta kulihat orang-orang baik didekat maupun dikejauhan. Mereka semua mengenakan Mahkota dikepalanya masing-masing dan pakaiannya gemerlapan dan cahayanya menyilaukan mataku. Terdengar suara seperti lagu-lagu orang-orang itu menyanyikan "Suci & Haleluyah". Kata-kata ini merupakan ungkapan-ungkapan baru bagiku yang tidak saya gunakan sebelumnya. Mereka berkata, "Dialah Domba yang disembelih, Dia hidup." Saya menyadari bahwa mereka semua memandang kepada Yesus.

Yesus berkata :"Inilah umatKU, inilah orang-orang yang mengatakan kebenaran, mereka inilah yang tau bagaimana caranya berdoa. Orang-orang ini yang percaya kepada anak Allah. Saya melihat sebuah wajah muncul dari antara kerumunan orang-orang itu, saya memandang orang itu baik-baik, ia sedang duduk. Yesus berkata, " Pergilah sekitar 18 km kearah Utara dan orang ini akan memberikn kepadamu sebuah Alkitab. Begitu saya memandang orang tersebut yang sama halnya dengan lainnya yang juga sedang kuperhatikan, kelihatannya mereka tidak menyadari akan kehadiranku lalu orang-orang ini semakin menghilang dan akhirnya saya kembali pada diriku sendiri lagi, berlutut didalam kamarku diantara semua milikku yang kukenal.

Saya merenungkan apa yang telah kulihat lalu suatu perasaan sukacita yang sangat besar mengalir dengan cepat keseluruh jiwa dan rohku. Saya telah bertanya untuk ditunjukkan apa yang patut kuperbuat selanjutnya dan inilah jawabannya. Untuk pergi dan memberikan kesaksian kepada orang ini tentang visi saya, tentang Yesus dan meminta daripaanya sebuah Alkitab. Tapi dimanakah saya akan menjumpainya?.

Kemudian saya teringat sesuatu, Razia tinggal di Jhang Sadar yang letaknya kira-kira kearah utara dari tempat tinggal kami. Pada waktu pesta saya telah bersepakat dengannya dan mengatur untuk mengunjunginya dalam waktu dekat. Jadi, demikianlah jadinya. ada seseorang yang tinggal disuatu tempat didekat rumahnya yang dipersiapkan untuk memberikan padaku sebuah Alkitab. Saya harus pergi sendiri, jika keluargaku mengetahui mereka akan berusaha untuk menghentikanku.

Keputusan telah kuambil, saya memepersiapkan rencanaku dengan hati-hati masih belum menyadari benar bahwa langkah yang saya ambil ini tidak dapat saya ambil kembali dan bagaimana langkah ini kemudian merubah seluruh hidupku.

BAB 8 : ALKITAB

Tiga minggu sesudah kesembuhanku, saya mendapatkan keberanian untuk melaksanakan rencanaku untuk memperoleh sebuah Alkitab. Saya memberitahukan Bibi bahwa saya mau pergi mengunjungi Razia. "Engkau akan membawa serta Salimah?" tanya bibi yang belum terbiasa sepenuhnya dengan cara hidupku yang baru dan menyesuaiannya dengan keadaanku sekarang. " Tidak bibi ", jawabku tersenyum. Saya kira saya telah cukup dewasa sekarang untuk bepergian tanpa ada seorangpun yang memikirkan bahwa akan terjadi hal lebih buruk terhadap saya di jalanan, tolong mintakan Munshi menyiapkan mobil untukku. Bibi membuka mulutnya seolah-olah hendak membantah, tapi menutupnya lagi dengan ketat. Gulshan yang baru ini telah mememiliki kecenderungan untuk tidak lagi terlalu mempertimbangkan apa yang dipkirkan oleh orang lain dibandingkan dengan Gulshan yang lama.

Majid membawa Marzedes biru yang mengkilap itu berputar dan membukakan pintu belakang sambil tersenyum. Tirai-tirai didalamnya diturunkan agar melindungiku terhdap lirikan orang lain. Begitu kami meluncur ke gerbang utama, terlihat kepuasan pada dirinya waktu melaksanakan tugas yang dibebankan padanya sesudah kejadian yang berganti-gantian ini. Seorang chowkedar menutup pintu dengan tersenyum dibelakang kami dan selanjutnya mobil meluncur maju.

Razia telah siap-siap unuk kunjunganku. Apa yang tidak diketahuinya ialah bahwa saya mempunyai sesuatu keperluan untuk mengunjungi orang lain lagi. Saya menyuruh Majid kembali dan meminta kepadanya untuk datang menjemputku sesudah jam makan siang. Lalu saya berpaling untuk menemui guruku yang sangat gembira melihat saya begitu sehat dan mengajukan beberapa pertanyaan. Ia kecewa dan sedikit penasaran waktu kukatakan bahwa saya hendak menemui seseorang lain untuk suatu keperluan penting dan mendesak di bagian lain kotanya.

"Tidak, saya tidak perlu ditemani" kataku, "hanyalah sedikit urusan transaksi dagang yang perlu kulakukan". Saya meninggalkannya berdiri kebingungn diberanda rumahnya, pandangannya mengikutiku begitu saya bergegas menuruni lorong lalu menuju ke jalan besar. Saya merasa kurang enak. Belum pernah saya mencoba berlaku curang terhadap seseorang sebelumnya selama hidupku, tapi rasanya ini merupakan cara satu-satunya bagiku untuk memperoleh Alkitab. Setelah tiba di jalan besar barulah kusadari bahwa kurk {Penutup kepala)ku telah tertinggal - kelihatannya seluruh kejadian ini merupakan lambang dari kemerdekaan yang sedang bertumbuh di dalam diriku.

Sebuah tonga (dokar) yang ditarik kuda menghampiriku dan saya menghentikan si tonga-walah (sais) yang agak tua itu. "Saya sedang mencari seorang pria beragama Kristen yang tinggal di Kachary road. Apakah anda kenal seseorang seperti itu?" Ia memandang lurus kedepan di antara telinga kudanya seolah-olah tidak mendengar dan segera saya tambahkan, "Ada satu tugas yang harus kukerjakan". Ia menunjuk kearah utara. "Ada sebuah tempat disana. Tempat itu amat tua dan sudah ada sebelum negara Pakistan lahir. Saya tidak tahu apakah ada seseorang Kristen tinggal di sana, tapi jika anda mau saya akan membawamu kesana." Tolong bawa saya ke sana". Saya naik ke tonga itu. Saisnya mencambuk kudanya yang kurus lalu kami bergerak dengan langkah cepat dan tenang. Sepanjang perjalanan selama 1/2 jam itu banyak waktu bagiku untuk merenungkan apa yang sedang kulakukan. Apa yang akan dikatakan kakak-kakak perempuanku jika mereka melihat Gulshan-nya tercinta dengan ceria berjalan-jalan di jalanan umum sendirian di atas tonga?. Tindakan seperti ini sama sekali tidak akan ditiru oleh wanita manapun dalam keluargaku. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Yesus telah mengirimkan saya untuk melakukan perjalanan ini dan saya mempercayakan kepadaNYA akan apahasilnya nanti. Kami tiba di sebuah gedung besar kemudian kuketahui adalah sebuah kapel (gereja kecil) orang Kristen. Di sebelahnya berdiri sebuah bungalow dibelakang pagar tinggi. Tonga itu berhenti di depan salah satu pintu pagar tersebut. "Inilah tempatnya" kata si tonga wallah. Saya membayar sewanya dan lewat pintu saya masuk ke sebuah halaman yang banyak pohonnya. Saya berjalan menuju rumah itu dan melihat seorang pria duduk di bawah sinar matahari dengan setumpuk buku di atas meja kecil di sampingnya. Ketika saya mendekat, pria itu memandang ke atas. Hatiku melonjak penuh kekaguman. Itulah wajah yang telah kulihat dalam visiku. Yesus berkata: "Orang ini akan memberikan padamu sebuah Alkitab". Dengan sopan sambil setengah berdiri pria itu berkata : Jika anda datang untuk menemui istriku, maaf, ia sedang tidak di rumah. Ia telah pergi ke Lahore. Dengan cepat saya berkata: "Saya bukanlah datang mencari istri anda tapi datang menemui anda untuk memperoleh sebuah Alkitab. Saya telah melihat anda dalam sebuah visi". Pria itu terkejut dan menatapku dengan cermat, mencoba menembus dopattaku yang secara naluri telah kutarik menutupi wajahku waktu melewati halaman. Kini saya membiarkan syal itu terjatuh dari wajahku dan memandang padanya. "Siapakah anda? Apakah agamamu? Anak perempuan siapakah anda? "Saya tinggal 18 km dari sini, berasal dari keluarga Islam". Saya dapat melihat bahwa ia takut mendengarkan keteranganku. Bahaya apakah yang akan didatangkan wanita Muslimat yang masih asing ini terhadapnya dengan permintaannya untuk mendapatkan sebuah Alkitab? Ia berkata, "Jika saya adalah anda, saya akan kembali ke rumah dan terus membaca Al-Quranmu. Apa yang ada disana baik bagimu dan apa yang ada di dalam Alkitab baik bagiku. Janganlah anda risaukan dirimu dengan Alkitab itu". Ia bangkit dengan maksud mengantarkan saya keluar. Tapi saya tetap berdiri, hatiku tenggelam ketika perasaan sukacitaku surut. Saya telah membayangkan bahwa ia akan menyambutku, malah mungkin telah bersiap-siap untuk kunjunganku, "Yesus Immanuel mengirim saya kepadamu. Percayalah kepadaku!" Ia mempelajari saya sebentar, lalu menyilahkan saya duduk. Saya menceritakan riwayatku, mula-mula agak malu, lalu menghangat menjelaskan padanya sedikit tentang betapa hidupku selama 19 tahun sebagai seorang lumpuh. Kuceritrakan perjalanan ke Mekkah, begitu pula tentang doa-doa kami yang dipanjatkan dengan penuh pengharapan dan di sana hasilnya masih mengecewakan. Saya singgung tentang kematian ayahku yang tragis dan dampaknya yang mengagumkan - Yesus berbicara kepadaku dan menunjukkan pembacaan tentang Dia di dalam Al-Quran. Dengan bersunguh-sungguh Ia menatap ke depan, matanya ditujukan kewajahku. Saya belum pernah ditatap sedemikian cermat oleh pria asing sebelumnya - namun saya merasakan bahwa dia bukanlah orang asing bagiku. Saya lanjuntukan dengan memberikan kesaksian tentang visinya Yesus di dalam kamarku serta penyembuhanku. "Kemudian" kataku, "saya melihat anda". "Yesus menampakkan diriNya lagi dan menunjukkan umatNya kepadaku dan anda ada diantara mereka. IA menyuruh saya datang kepadamu untuk memperoleh sebuah Alkitab. Dan jika anda masih juga belum percaya padaku, dengarkanlah doa yang diajarkan Yesus kepadaku untuk berdoa. Lalu saya mengulangi kata-kata dari Dia "Bapa Kami".

Ketika selesai, suasana menajdi hening. Temanku duduk, tangannya diletakkan dilengan kursi, kepala ditundukkan kearah dada sambil berpikir keras. "Apakah mungkin?. tanyanya, lebih banyak ditujukan kepada dirinya sendiri daripada kepadaku. Ia menarik napas dalam-dalam dan sesudah itu berdiri. "Duduklah disini sebentar, saya harus pergi dan berdoa unuk ini karena langkah ini adalah hal yang serius bagi kita jika saya harus memberikan sebuah Alkitab padamu." Ia masuk kerumahnya dan saya duduk di bawah sinar matahari sementara burung-burung kolibri terbang dengan cepatnya diantara pepohonan, sayap-sayapnya yang mungil mendesing begitu cepat, terlihat seperti tidak bergerak-gerak di udara. Setelah memakan waktu yang lama sekali rasanya, tapi mungkin tidak sampai 1/2 jam, temanku keluar dari rumah dan berkata, "Saya telah berdoa dan bertanya kepada Allah apa yang harus saya lakukan dan saya merasa Ia menyuruh saya memberikan padamu apa yang kau perlukan. Tapi ketahuilah bahwa apa yang engkau pikirkan untuk beralih dari kepercayaanmu itu merupakan sesuatu yang sulit dan anda dapat saja diusir dari keluargamu. Anda akan banyak menanggung beban yang berat dan banyak kehilangan, tapi jika anda tetap setia, anda akan menerima hidup yang kekal". "Saya mengetahui dan menyadari semuanya itu, "kataku. Saya mau mengiring Yesus Immanuel yang telah menyembuhkanku dan menunjukkan padaku jalan kasih". Ia tersenyum dan berkata, "Sekarang pikirkanlah lagi tentang hal itu. Apabila anda harus menyerahkan apa yang patut anda persembahkan kepada Yesus maka si jahat akan menyerangmu. Ia akan menimbulkan banyak rintangan dan hambatan bagimu sehingga sukar bagimu untuk menerobos dan melampauinya."Tantangan besar akan anda hadapi. Bahkan mungkin orang Kristen sendiri malah yang akan menimbulkan hambatan-hambatan itu bagimu". Air mataku berlinang. "Saya tidak memikirkan tentang hambatan-hambatan ini. Yang kuketahui hanyalah Yesus Immanuel yang telah menunjukannya kepadaku. IA telah membangkitkan saya dan memberikan terang padaku. "Saya ingin mengetahui lebih banyak tentang DIA dan kini DIA mengirim saya kepadamu untuk mendapatkan bantuan. Tolonglah saya. Sesudah inilah ia memberikan padaku sebuah kitab perjanjian baru dalam bahasa Urdu serta sebuah buku lain bernama :"Orang-orang yang mati syahid dari Carthage". Lalu ia memanjatkan doa yang indah dimana dengan kata-kata dan perasaan sederhana ia mengungkapkan tentang persaudaraan dan kasih yang membuat saya merasa kuat.

Dari rumah ini saya naik tonga lagi kembali ke Razia tepat sebelum makan siang, saya tidak menjelasakan padanya tentang perjalananku tapi hanya mengatakan apa yang kuperlukan telah kuperoleh. Tapi masalahnya belum terpecahkan, lalu saya mengalihkan percakapan yang kami tertawa serta mengobrol seolah-olah tidak ada hal-hal aneh yang terjadi sampai Majid datang menjemput saya pulang. Bibi telah mengamat-amati saya, dengan sunguh-sungguh beliau menatapku, tapi saya memalingkan muka karena merasa yakin bahwa apa yang saya alami baru-baru ini pasti tergambar diwajahku. Bagimana khabar Razia, tanya Bibi. Baik, dia mempunyai beberapa orang murid yang lain dan merasa bahagia karena saudara perempuannya kini telah menikah. Sayang sekali ia sendiri belum menikah tapi saya pikir keluarganya tidak mempunayi mas-kawin yang cukup untuknya. "Benar, ia masih menerima murid-murid untuk membantu ayahnya karena hanya memiliki usaha dagang kecil-kecilan saja.

Membicarakan gosip seperti itu akan cukup membuat kami tidak sibuk sampai sekurang-kurangnya 2 jam seperti yang kami lakukan diwaku-waktu sebelum ini, tapi si Gulshan baru telah mempunyai perhatian pada hal-hal lain yang jauh lebih penting. Saya memohon diri masuk ke kamar tidurku dan menutup pintu. Lalu saya berbaring dan beristirahat, rasa-rasanya fisik dan emosiku telah terkuras. Malam itu saya mulai membaca perjanjian baruku secara sembunyi-sembunyi, bagaimanakah rasanya?. Tanyakanlah kepada seseorang yang haus betapa artinya air itu. Tanyakanlah pada seorang bayi betapa berartinya air susu ibu itu. Padaku telah diberikan makanan yang sulit kucernakan dan sekarang saya memperoleh roti untuk mengenyangkan laparku serta memebaca tentang kebenaran kehidupan manusia dan tujuan hidup manusia yang tertulis dalam halaman-halamannya. Yesus telah berkata kepadaku:,"Akulah Jalan, kebenaran dan hidup. kata-katanya dalam Injil menumbuhkan pengertianku, belum pernah benar-benar saya dapat memahami isi kitab suci, tanpa bimbingan. Tapi Alkitab ini lain daripada yang lain, Ia membuka mata rohaniku, cerita-ceritanya menjadi hidup ketika saya membacanya. Saya menemukan 12 belas rasul yang telah menemani Yesus dalam visi saya yang menakjubkan dulu, saya menemukan kata demi kata Doa telah kupelajari dikaki Yesus Immanuel. Saya menemukan arti dari nama Yang Indah yang diberikan padaku dalam Visi itu: AKULAH YESUS, AKULAH IMMANUEL...... ALLAH BESERTA KITA!.

Saya telah dibesarkan dengan pola berpkir bahwa Allah adalah sesuatu yang terpisah dan tak dapat dicapai. Disini akhirnya saya menemukan penjelasan mengenai kuasa-kuasa Ilahi serta misi Yesus. IA dapat membangkitkan orang mati karena IA adalah Tuhan atas kehidupan. Ia akan datang lagi karena IA hidup selamanya. IA memiliki hidup. Kini saya mengerti tentang hal ini sebagai suatu kesimpulan yang benar tentang Manusia Yesus itu. Dalam pembacaanku saya menemukan perikop tentang Baptisan. Dalam Markus 1 : 9-11 saya baca bahwa Yesus dibaptiskan. Pada Roma 6 : 4 "Sebagaimana halnya Kristus dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemulian Bapa, maka begitu pula Kristus telah dibangkitkan kepada pembaharuan hidup". Pembaharuan Hidup..... Itulah yang saya rasakan - seolah-olah saya telah dibenamkan kedalam mata air segar dan mengalir begitu cepat membawa kehidupan yang menyebar ke setiap bagian hidupku. Jadi Baptisan ini ialah satu tanda dan satu materai terhadap pengalaman tersebut. Sewaktu saya merenungkannya, muncul sebuah gambaran didepanku, yaitu gambaran seorang gadis muda duduk dengan sedih diatas kursi ketika para pelayannya menyiram dan memandikannya dengan air zamzam. Zamzam air kehidupan tidak dapat membasuh dosa-dosku ataupun memberikan kehidupan pada dagingku yang lumpuh. Yesus telah memberikan kepadaku air kehidupan rohani bagi tubuhku yang tidak berdaya demikian pula untuk jiwaku. Sekarang, kehendakku adalah agar dapat membenamkan diriku dengannNYA dalam baptisan. Saya pikirkan mengenai hal itu tanpa menyadari sepenuhnya akan apa yang bakal saya jalani, begitu pula perubahan-perubahan apa yang kelk dapat terjadi nantinya di dalam hidupku.

"Saya telah bersaksi", kataku dalam hati. "Saya dapat dibaptis dan kemudian dapat kembali lagi kemari menjalani hidup selanjutnya, bukankah demikian jadinya?"

Pertanyaan ini mengambang, tanpa ada sesuatu suara yang mengiyakan atau tidak membenarkannya. Tapi, wajah ayahku muncul di hadapanku dan saya merasakan suatu perasaan sakit laksana sebuah pisau yang dihujamkan kedalam jantungku. "Oh ayah, ampunilah saya, tapi saya harus mengikut Yesus yang telah menyembuhkan saya".

Saya berbicara dengan keras dalam kepedihanku. Tiba-tiba terasa suatu perasaan damai yang mendalam menyelimutiku dan saya merasa yakin bahwa inilah jalan yang benar dan harus kutempuh. Besoknya saya singgah dirumah Razia lagi dan dari sini saya melanjuntukan ke tempat keluarga Major seperti sebelum ini. Pada kesempatan ini nyonya Major ada dirumah. "Lihat" kataku. disini dikatakan bahwa saya harus dibaptiskan, dapatkah saya dibaptiskan? Beliau menggeleng-geleng kepala. "Anakku, kami tidak melayani Baptian dalam denominasi kami". Baliau memandangku dengan ekspresi yang aneh. "Apakah anda sadar apa yang akan terjadi jika anda sampai melakuka hal ini - mungkin anda tidak dapat kembali ke rumahmu lagi. Bahkan keluargamu dapat mencoba membunuhmu. Oh ya, walaupun keluarga yang begitu saling menyayangi seperti keluargamu, dapat saja mereka berubah jika dilihatnya salah seorang dari anggota keluarganya meninggalkan iman Islam.

Hening sebentar. Saya mencoba membayangkan keadaan seperti itu. Dibuang dari keluargaku, bahkan dibunuh.....,teringat olehku sidang keluarga....,wajah-wajah seakan-akan elang semuanya menatapku. Lalu saya pikirkan tentang pesan terakhir ayahku kepada kakak-kakak lelakiku - "jagalah adikmu baik-baik". Tentu saja pada akhirnya, mereka akan mematuhi perintah keramat yang terakhir itu. Namun walalaupun mereka tidak juga mematuhinya dan benar-benar mau menyakitiku, saya masih tetap harus mengikuti jalan ini. Kata-kata Yesus telah berakar dalam hidupku dan kini saya merasakan kesegaran dimana ada tenaga dan daya tumbuh sedangkan dulu hanyalah keadaan diam dari tatacara agama yang telah tersusun sedemikian untuk dipatuhi dan ditaati. Supaya mereka tidak sangsi lagi dengan pernyataanku, saya berkata dengan tegas, "Yesus Immanuel telah mengatakan padaku bahwa saya harus menjadi saksiNYA dan Baptisan merupakan langkah berikutnya bagiku. Saya harus mematuhi sebab bila tidak berarti saya akan melenyapkan perasaan damai yang kini telah saya miliki. Lebih bak mati dengan Kristus daripada hidup tanpa DIA.

Bapak dan Nyonya Major saling berpandangan dan istrinya mengangguk perlahan. Suaminya berpaling keadaku. "Kalau begitu, baiklah. Jika Yesus telah berkata begitu jelas kepadamu maka janganlah anda melawan KehendakNYA. Namun bukanlah hal yang bijaksana bila ada orang melihat anda pergi bersamaku ke Lahore. Istriku akan pergi bersamamu dengan bus. Ia harus singgah mengambil anak kami di sekolah. Saya akan menyusul" -Tentu saja saya senang menemanimu Gulshan" kata nyonya Major". maju kedepan dan memegang tanganku. Saya merasakan adanya sentuhan manusiawi, menyambut saya datang masuk ke keluarga dalam kepercayaanku yang baru.

Jadi, saya menyusun rencanaku dengan sedikit perasaan emosi. Mungkin saya sedang membuang kehidupan dari seseorang lain. Islam, sebagaimana sering dikatakan, dilahirkan di gurun dan para pengikutnya menempuh pelajaran memalui suatu sekolah yang keras dan kasar, belajar selalu taat agar dapat tiba dan mencapai suatu akhir yang lebih tinggi marifatnya dari yang sekarang. Perasaan-persaan pribadi tidak dipertimbangkan untuk dapat digunakan sebagai dasar alasan yang cukup kuat guna melakukan suatu perubahan atau deviasi. Jadi, dengan mengiring Yesus saya dapat menerapkan rasa ketaatan yang telah mendarah-daging, sewaktu perasaan-perasaan manusiawi mungkin telah mengingkari saya.

Tapi dalam menyusun rencanaku, saya tidak dapat menempatkan diriku pada sutu keadaan dimana pintu bagiku untuk keluargaku sampai harus tertutup. Secara jujur, saya sangat mengharapkan bahwa saya dapat menjalani baptisan dan kemudian kembali kerumah meneruskan hidupku lagi. Sebagai seorang percaya yang belum cukup mendapatkan pengajaran, saya membayangkan bahwa langkah-langkah yang sedang kutempuh merupakan semua yang dituntut Yesus daripadaku-bertemu dengan orang-orang Kristen dan menyaksikan kepada mereka tentang kesembuhanku lalu dibaptiskan. Namun, bapak Major telah dapat melihat lebih jauh lagi kedepan dibandingkan dengan saya, "Janganlah membawa uang atau sesuatu perhiasan apapun. Jika anda membawanya, sesudah pembaptisanmu mungkin seseorang akan menuduh umat Kristen". Dengan bersungguh-sungguh beliau mengatakannya dan saya memandangnya mencoba mengartikan apa yang dimaksudkannya dengan benar. Beliau berbicara tentang pemutusan terhadap sesuatu dangan cara semurni-murninya, seakan-akan saya harus meninggalkan segala sesuatunya dibelakangku. Semuanya? - uang, permata, rumah, tanah, cinta-kasih dan bantuan keluarga? Apakah Yesus dapat meminta hal seperti ini daripadaku? Apakah DIA mengaruniakan padaku kesembuhan ini dengan maksud hanya untuk menarik kembali segala sesuatu lainnya yang telah dapat membuat hidupku menjadi sebegitu mesra?

Sewaktu saya kemabali ketempat Razia hari itu, saya bertanya padanya: Bolehkah saya datang mengunjngimu dalam waktu dua hari lagi?. "Tentu saja", jawabnya. "Saya menunggu". Di rumah, kepada paman dan bibi kukatakan bahwa saya hendak tinggal bersama Razia dua hari lagi dan mungkin kami akan ke Lahore. Saya akan menanda tangani sebuah check sebear 75.000 rupee sehingga paman dapat membayar semua tagihan selama saya pergi" kataku kepada paman.

"Dimanakah kau akan tinggal selama di Lahore"? tanya bibi agak merengut menandakan ketidak senangannya terhadap rencana ini. Tapi beliau tidak berdaya untuk mencegah saya. Sekarang saya seorang yang bebas dan lebih dari itu, adalah orang yang menanda-tanani check-check. "Oh mungkin saya akan tingal bersama kakak-kakakku" jawabku secara sembarangan. "Akan kutulis surat".

Besoknya saya meminta bibi menemaniku berziarah ke kuburan ayah. Beliau sepakat dengan tanda baktiku ini. Kami memetik bunga-bungaan di halaman dan saya menaruhnya disana disertai perasaan-perasaan yang sukar kulukiskan. Ingatan terhadap senangannya bercampur dengan kenyataan bahwa kekekalan bukanlah seperti apa yang telah beliau ajarkan kepadaku yaitu suatu surga yang penuh dengan kesenangan melainkan kehadiran Yesus Kristus.

Pada malam terakhir saya pergi ke pekaranganku ditempat mana saya telah begitu sering duduk selama masa-masa saya tidak memiliki kemampuan. Sambil berdiri diatas tempat dimana peti mati ayahku pernah diletakkan, saya mengenangkan kembali ayahku dengan penuh kesedihan untuk waktu yang lama. Matahari terbenam dalam suatu pancaran sinar merah yang memberi pengaruh terhadap warna dinding-dinding bungalow. Saya berjalan diantara bunga-bungaan serta buah-buahan dan dedaunan menghirup bau harum yang merupakan campuran bunga mawar dan kembang jeruk. Angin sepoi-sepoi senja berdesir di dedaunan pohon mangga dan jeruk sewaktu langit ditasku disapu oleh warna ungu dan biru malam. Bulan muncul, besar bentuknya seperti buah semangka sedangkan bintang-bintang bertaburan laksana butir-butir berlian dalam lipatan beludru malam. Di bungalow dibelakangku, lampu-lampu telah dinyalakan dan cahanyanya berpancaran, hangat dan aman rasanya. Saya masih terpana disitu. Seolah-olah baru pertama kali saya melihatnya, kini sewaktu saya hendak meinggalkannya malah saya tidak memperkenankan bayangan yang merayap dipepohonan menakut-nakuti saya. "Kenapa kau lakukan hal sedemikian ini? Engkau akan menjdi seorang pengikut Kristus dan kehilangan semua ini? Suatu pikiran datang merayap muncul dari kegelapan. seakan-akan merupakan jawaban, sebuah ayat yang pernah kubaca menyelinap masuk kepikiranku seperti sebuah suara yang lembut:

"Seseorang yang mencintai ayahnya dan ibunya lebih daripadaKU, maka ia tidak layak bagiKU. ia yang tidak memikul salibnya serta tidak mengikut AKU, tidak layak bagiKU. (Mat.10:38).

Saya memandang kearah rumahku lagi dan teringat olehku bahwa bukan hanya waktu-waktu bahagia, tapi juga waktu-waktu dimana saya merasakan seolah-olah rumah ini merupaka sebuah penjara bagiku dimana saya, si narapidana berharap didalam hati bahwa saya sedang dalam perjalanan ke surga. Saya mengungkapkan isi hatiku dengan suara keras: "Segala sesuatu berubah. Tapi saya akan selalu mengenangkan tempat ini dihatiku". Kemudian saya meninggalkan pekarangan dan masuk kerumahku berkemas-kemas. Besok pagi saya menanda-tangani 2 check - satu lembar 75.000 rupee, saya berikan pada paman untuk biaya rumah tangga sehingga beliau tidak akan kekurangan uang dan berusaha mencari saya - satunya lagi 40.000 rupee kumaksudkan untuk diberikan kepada Razia untuk mengamankan kerjasamanya dalam recanaku. Dengan cara itu pintu masih terbuka sedikit bagiku bila saya ingin kembali kerumah lagi.

Pada tanggal 15 maret saya melepas paman berangkat kerja, kemudian saya mencium bibi dan para pembantuku Salima dan Sema sambil menahan airmata. Bibi berkata :"Kenapa kau pergi dengan cara seperti ini? Bawalah mobil dan sopir bersamamu ke Lahore. Apakah kau dapat kemana-mana sendiri? Apakah kau yakin akan pergi tanpa pembantumu? Pamanmu sama sekali tidak menyenangi hal ini."

"Bibi jangan kuatir" sahuntuku, "saya akan menulis surat padamu". Beliau harus puas dengan pernyataanku itu. Kemudian Majid memutar mobil dan saya masuk ke dalamnya. Kembali saya memandang ke rumah putih yang penuh kedamaian itu ketika kami mengelilingi sebuah tikungan lalu hilang dari pandangan. Si penjaga pintu terakhir melihat lambaian tanganku dari balik tirai jendela Mercedes itu.

Saya menemui sedikit kesulitan waktu membujuk Razia berperan-serta dalam rencanaku ketika kuberitahukan padanya uang itu, tetapi saya tidak mengatakan hal yang sebenarnya tetang kelakuanku yang aneh --- bahwa saya sedang mengulur-ulur waktu sehingga tidak ada yang dapat menghalangi pelaksanaan baptisanku.

"Ini untukmu karena anda telah mejadi guruku serta berlaku begitu baik padaku. Saya akan ke Lahore untuk tinggal bersama beberapa kawanku. Sekarang saya sudah dapat berjalan sendiri dan saya harus menjelaskan segala sesuatunya pada paman dan bibi tentang apa yang saya lakukan. Kepada keluargaku kukatakan bahwa saya pergi bersamamu sehingga mereka tidak kuatir."

Wajah Razia yang cantik kelihatan sangsi: "Tentu saja saya akan melakukan apa yang dapat kuperbuat untuk menolongmu, tapi bagaimana jika keluargamu mencarimu dan menjumpai saya disini?- Dengan cepat saya berkata: "Tolonglah, jika ada dari mereka menanyakan kemari, sudilah anda berlaku seolah-olah anda ada bersamaku di Lahore?"

Biarkanlah ibumu keluar menemui mereka dan anda tinggal didalam. Saya mohon maaf, sebab saya tidak dapat menjelaskannya lebih jauh."

Razia kelihatanya terkejut, tapi ia segera berkata : "Tentu saja Gulshan. Jadilah seperti yang kau kehendaki. Saya kira kita cukup saling-mengenal satu dengan yang lain dan kita saling percaya-mempercayai. Saya berpikir-pikir, apa kiranya yang akan dilakukannya jika saja ia mengetahui tentang maksudku yang sebenarnya. Saya meninggalkan dia seperti cara sebelumnya dan mengendarai sebuah tonga kerumah di Kachary Road. Bapak dan nyonya Major menyambuntuku dengan hangat dan pada hari itu juga saya dibawa dengan mobil ke Lahore kesebuah rumah yang diurus oleh seorang pendeta dengan istrinya yang bersedia menampung orang-orang yang sungguh-sungguh mau menjadi orang Kristen dan disana saya bertemu juga dengan pendeta dan nyonya Aslam Khan. Jadi, dimulailah satu fase baru dalam hidupku sebagai seorang Kristen yang baru ditengah-tengah umat Kristen. Sama sekali bukanlah seperti yang saya harapkan sebelumnya.

Cari artikel Blog Ini

copy right