Rabu, 15 Agustus 2012

Lolos Dari Kerusuhan Sampit



Pemuda ini adalah seorang guru agama, sebut saja namanya Nur, tinggal 17 km dari Sampit, Kalimantan Tengah. Dia adalah seorang pendatang dari sebuah pulau di Jawa Timur. Pada waktu itu dia sangat benci orang Kristen. Dia sering mengerjai orang-orang yang akan berangkat beribadah pada hari Minggu. Lubang-lubang got dibuka dan ditutupi dengan rumput kering atau jerami, sehingga orang yang menginjak lubang itu akan terperosok, memar-memar, keseleo, atau bisa-bisa patah tulang.

Kalau melihat orang-orang celaka yang terjebak lubang sehingga tidak jadi beribadah, ia dan teman-temannya sangat puas dan senang sekali. Tidak jarang ia dan teman-teman mengumpulkan batu-batu dan mereka melempari gedung-gedung gereja. Saking fanatiknya, apabila ia tanpa sengaja berkunjung ke rumah seorang kristen, maka ia akan mandi kembang di rumah untuk menyucikan diri.

Nur ini rupanya ingin belajar gitar. Di desa itu ada seorang pria yang mahir sekali bermain dan mengajarkan gitar. Ia berguru gitar sekitar sebulan lamanya dan ia juga mengenal puteri gurunya, Eva. Selama belajar gitar di rumah gurunya, Nur tak menduga bahwa keluarga Eva adalah orang Kristen, karena di rumah itu tak ada tanda salib, atau kalender kristiani yang memuat gambar Tuhan Yesus.


Pada suatu hari Eva, puteri gurunya, mengajak ngobrol serius. Setelah berbasa-basi ngalor ngidul, Eva memberanikan diri bilang, "Mas, saya ini senang sama mas Nur. Eva cinta sama sampean." Nur kaget sekali mendengar pengakuan polos dan spontan dari gadis Dayak ini. Nur tersanjung. Wah, selama ini tak ada gadis yang berani lebih dahulu menyatakan cinta kepada dirinya. Namun, karena gengsi, Nur cuma berkata, "Yah,lihat nanti deh..." Dia tidak berani menanggapi cinta Eva karena ia belum mengenal gadis manis ini.


Beberapa hari kemudian Nur bertemu dengan seorang gadis, yang rupanya adalah kenalan Eva juga. Mereka mengobrol, dan Nur yang ingin kenal Eva lebih lanjut bilang kepada gadis teman Eva ini, "Gimana ya kalo Eva naksir saya?" Temannya kaget, "Lho, 'kan kalian beda agama?" Nur juga kaget karena baru tahu bahwa Eva adalah orang Kristen. Padahal selama ini ia sangat fanatik dan tidak mau berkunjung ke rumah mereka.


Pada kesempatan berikutnya Nur latihan main gitar lagi. Eva juga mencoba mendekati Nur. Ia mencoba meyakinkan Nur bahwa cintanya itu sungguh-sungguh, sehingga ia bilang, "Mas, kalau saya harus meninggalkan iman saya, saya rela asal bisa bersatu dengan mas Nur..." Dengan perkataan Eva ini, Nur mulai luluh hatinya karena ia juga mulai jatuh cinta pada gadis berkulit kuning langsat ini.


Akhirnya mereka menikah di depan penghulu. Eva menyatakan diri memeluk agama suaminya. Mereka membina rumah tangga yang baru dengan penuh harapan dan impian sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Namun kebahagiaan dan bulan madu itu tidaklah berlangsung lama, karena pada suatu hari Nur memergoki Eva menyenandungkan lagu kristiani dan membaca Alkitab.


Nur marah sekali. Nur merasa ditipu. Eva dihajar. Eva dipukuli. Eva ditendangi. Wajah Eva berdarah-darah, sekujur tubuhnya memar. Lehernya sampai kaku dihajar Nur, sehingga kalau Eva mau menengok, ia harus menggerakkan seluruh tubuhnya. Pada hari pertama Nur menghajar Eva dari pukul 12 siang sampai pukul 12 malam. Tiada hari tanpa siksaan. Nur ingin membakar Alkitab yang dibaca Eva, tapi Eva mempertahankan buku itu. Eva bilang, "Eva boleh dihajar, Eva boleh dipukuli, tapi jangan bakar Alkitab ini. Eva boleh disiksa, tapi jangan pisahkan Eva dari Tuhan Yesus. Eva boleh diapain aja, tapi jangan ceraikan Eva...." Eva memang rela membayar harga apapun untuk mempertahankan imannya.


Hari-hari Eva dilalui dalam siksaan dan layaknya rumah tangga itu seperti neraka. Selama 11 bulan kemudian Eva harus menanggung amarah dan kebencian Nur yang merasa tertipu Eva. Keadaan itu berlangsung terus hingga suatu hari di tahun 2001 terjadi kerusuhan etnis di Sampit dan seluruh Kalimantan Selatan. Apa yang terjadi setelah itu?


Kerusuhan Sampit dan di Kalimantan Tengah pada tahun 2001 merupakan kerusuhan yang paling sadis di dunia. Mayat-mayat tanpa kepala berserakan di jalan-jalan. Kepala-kepala manusia diperlakukan tidak manusiawi, ditancapkan di pagar, dijadikan tontonan. Banyak tengkorak kepala sudah tidak ada otaknya lagi karena bagian itu dimakan orang-orang yang sudah kerasukan iblis. Kengerian menyebar kemana-mana, khususnya bagi saudara-saudara suku pendatang tertentu.


Nur yang menikahi gadis Dayak tetap terancam jiwanya, karena keluarga Dayak inipun tidak dapat melindungi Nur dari ancaman suku Dayak yang baru turun dari gunung dan hutan belantara. Rupanya suku Dayak itu beraneka ragam, ada clan atau keluarga-keluarga yang berbeda-beda. Orang-orang sesama suku Nur dari pulau di Jawa Timur itu sudah pada mati dibantai. Yang dibantai bukan hanya pria dewasa, tetapi kakek-kakek, perempuan, anak-anak, bayi-bayi. Bau kematian ada dimana-mana.


Nur minta tolong kepada isterinya, sebagai sesama orang Dayak, apakah dapat menolong Nur? Eva katakan, "Kami tidak dapat menolong mas, yang dapat menolong hanya Tuhan Yesus!" Kalau dalam keadaan normal, perkataan isterinya itu pasti mengundang amuk dan amarah Nur. Tapi pada saat itu Nur sudah ketakutan sekali. Kematian nampaknya sudah di depan mata. Tinggal menunggu giliran saja. Bahkan orang-orang Dayak keluarga Eva menganjurkan Nur untuk memakai mandau (pedang) mereka. Artinya, kalau Nur diserang, daripada tidak membela diri sama sekali, lebih baik bertahan atau menyerang dengan mandau itu. Tapi Nur tidak tertarik dengan ide ini.


Orang Dayak dari pedalaman mempunyai keistimewaan tertentu. Kalau hidung mereka sudah diolesi minyak tertentu yang sudah diberi mantera, maka mereka dapat mengendus dan melacak orang-orang dari suku seberang yang diburu mereka dari jarak 500 meter. Nur sebagai orang seberang yang sedang diburu tidak dapat bersembunyi. Pasti keberadaan Nur mudah dilacak mereka.


Pada suatu pagi ada pengumuman dari aparat negara (TNI) yang mengumumkan bahwa pagi itu akan ada pengungsian terakhir dari desa itu ke Sampit. Empat anggota TNI akan mengawal mereka menempuh jarak 17 km ke Sampit. Mereka semua harus tiarap di bak truk untuk menghindari serangan dalam bentuk tembakan sumpit. Di Kalimantan, kalau ada orang disumpit, tergores sedikit saja, tidak usah tembus ke jantung, maka racun dari sumpit itu akan cepat bekerja dan membunuhnya.


Dalam keadaan tergesa-gesa Nur mengajak anak dan isterinya untuk pergi mengungsi. Isterinya menolak. Nur tidak berdaya. Ia merasa dibiarkan sendirian. Dengan segera Nur hendak pergi, tapi ia ingat bahwa ia belum membawa bekal pakaian atau makanan. Ia meminta Eva, isterinya, menyiapkan segala keperluannya. "Ini, mas! Semua kebutuhan mas ada di dalam tas ini!" kata Eva sembari menyodorkan sebuah tas tenteng kecil. Dalam keadaan darurat dan sangat menegangkan, tanpa berpikir panjang Nur segera meraih tas kecil itu lalu meninggalkan anak dan isteri yang dicintainya di desa itu.


Di dalam truk itu ada sekitar 20 orang pengungsi yang berasal dari suku yang sama dengan Nur, yang menjadi korban dan incaran suku setempat. Ada diantara mereka sepasang suami isteri yang membawa seorang bayi. Aparat TNI mengingatkan mereka semua agar tidak memunculkan kepala atau anggota badan, semua harus tiarap selama perjalanan karena bisa-bisa tembakan sumpit mengenai mereka dan fatal akibatnya.


Di tengah jalan truk itu dicegat ratusan orang Dayak yang baru keluar dari hutan. Anggota TNI mengatakan, "Jangan ganggu, pengungsi ini sudah menyerah, mau diungsikan!" "Tidak bisa, kami belum dapat jatah makan orang!" "Jangan ganggu, nanti kami tembak!"


Orang-orang Dayak itu kebal dari tembakan senjata api. Mereka tidak takut, mereka maju merangsek mengepung truk itu. "Berhenti!" kata anggota TNI yang gagah berani itu yang siap menembakkan senapannya.


Gedebuk! Itu bunyi sesosok tubuh yang jatuh. Bukan orang Dayak yang jatuh, tapi anggota TNI itu jatuh, mati disumpit. Tiga anggota TNI yang lain segera lari tunggang langgang meninggalkan truk itu, lari ke hutan. Para pengungsi ditinggalkan. Para pengungsi yang berjumlah 20 orang, termasuk Nur, menunggu apa yang akan terjadi. Kematian sudah di depan mata. Orang-orang itu mengepung truk, mereka mengitari truk itu sambil meneriakkan pekik peperangan. Mereka mengelilingi truk itu dengan kepastian bahwa mereka pasti akan membantai habis semua orang yang ada di bak truk itu. Mereka menikmati ketegangan yang dialami korban mereka.


Sepasang suami isteri itu mulai gelisah sekali. Isterinya berkata, "Mas, ayo kita lari ke luar! Kalau kita lari, masih ada kesempatan. Kalaupun mati, kita sudah berusaha, tidak pasrah dipenggal di sini. Ayo!" Isterinya secepat kilat bangkit, hendak turun dari bak truk itu. Secepat itu pula berkelebat mandau menebas leher perempuan itu. Kepala perempuan ini jatuh menggelinding di bak truk, lehernya memancarkan darah kemana-mana. Suaminya juga bangkit hendak melarikan diri. Kali ini sebatang tombak menembus dadanya, mati seketika. Lalu bayi yang digendongnya diambil. Para pengungsi ini mengira orang-orang ini akan berbelas kasihan kepada bayi yang tak berdaya. Namun apa yang terjadi? Bayi itu dilempar keatas setingggi-tingginya dan dibiarkan jatuh membentur tanah atau bebatuan. Kepala bayi yang masih lembut itu pecah berantakan.


Semua pengungsi berdoa menurut keyakinan agama mereka. Semua tegang. Semua ketakutan. Semua menunggu nasib. Nur tiarap di pojokkan bak truk, tak berdaya. Ia juga tak dapat berdoa. Mulutnya terkunci melihat pemandangan mengerikan di depan mereka. Kematian tinggal selangkah di depan hidungnya. Satu persatu pengungsi dipenggal. Satu per satu otak mereka dimakan. Banjir darah ada di truk itu. Nur tinggal menunggu giliran.


Nur sangat ketakutan sekali. Ia lihat teman-teman sedaerahnya satu per satu dibunuh. Mereka berdoa dengan sungguh-sungguh menurut keyakinan mereka. Apakah ia harus mengaku orang Kristen yang kawin dengan orang Dayak agar diselamatkan? Nur tidak mau murtad. Nur tidak mau mengingkari imannya. Lagi pula tak ada jaminan, kalau ia mengaku Kristen dan kawin dengan orang Dayak, tidak akan dipenggal lehernya. Orang-orang Dayak yang dihadapinya saat ini lain dengan orang Dayak yang sudah bersosialisasi dengan peradaban modern. Mereka yang ada di hadapannya adalah orang-orang yang baru keluar hutan, yang tidak peduli soal-soal agama.


Pada saat terpojok itu Nur sepertinya mendengar suatu suara di hatinya. "Tuhan Yesus itu hidup." Nur ingat apa yang dikatakan isterinya, "Mas, kalau mas kesulitan dan tidak berdaya, minta tolonglah kepada Tuhan Yesus. Ia adalah Pembuat Mukjizat. Ia memberi jalan keluar di saat tiada jalan. Ia senang melakukan perkara-perkara yang mustahil!" Nur melihat, meskipun teman-temannya sudah berdoa menurut keyakinan mereka, mereka tidak tertolong. Kalau Nur berdoa yang sama, pasti nasibnya akan sama seperti teman-temannya. Ia mulai berdoa sesuai dengan nasihat isterinya, namun ia tidak mau memanggil 'Tuhan Yesus!". Ia berdoa begini, "Tuhannya isteri saya! Engkau adalah Tuhan yang membuat mukjizat, Engkau senang melakukan perkara-perkara mustahil. Tolong saya! Kalau Engkau benar-benar Tuhan, selamatkan saya!"


Tiba-tiba, hati Nur diliputi dengan damai sejahtera yang melampaui segala akal. Ia tenang sekali. Badannya terasa ringan. Badannya terasa ada yang menyelimuti. Ia bangkit. Tak ada tebasan mandau memotong lehernya, padahal orang-orang Dayak masih mengepung truk itu. Ia dengan tenang turun dari truk, berjalan ke arah hutan. Ia tergesa-gesa lari. Ajaib sekali, tak ada seorangpun dari mereka yang melihat kehadirannya. Ia seperti hilang dari pandangan mereka. Dari kejauhan tampak tiga orang Dayak berlari ke arahnya. Wah, gawat!


Di jalan setapak menuju hutan itu dikiri kanannya dilalui sungai kecil. Ia cepat-cepat menceburkan diri ke sungai yang di sebelah kiri. Ia menyelam untuk beberapa saat. Ketika ia tak tahan menahan nafas, ia menyembulkan kepalanya sedikit. Ia melihat dari jarak yang cukup jauh, ketiga orang Dayak itu rupanya menemukan teman sesukunya di sungai sebelahnya. Mereka memotong-motong orang itu di depan matanya. Tragis sekali. Mengerikan sekali. Lalu ketiga orang itu berlalu, menuju truk tadi. Nur menunggu sampai semua orang-orang Dayak itu pergi.


Nur berfikir, "Kalaupun aku lolos dari mereka sekarang, bagaimana caranya pergi dengan selamat ke Sampit?" Perjalanan masih sekitar delapan kilometer lagi. Kalau ia berjalan kaki, di sepanjang jalan itu bahaya mengancam dimana-mana. Kalau ia lewat hutan, sama saja, bahaya juga ada di sana. Akhirnya Nur memutuskan untuk berdoa lagi. "Tuhannya isteri saya, Engkau adalah Tuhan yang senang melakukan perkara-perkara mustahil. Saat ini mustahil bagi saya untuk pergi dan sampai di Sampit dengan selamat. Bagi-Mu tidak ada yang mustahil. Tolong saya!"


Nur keluar dari sungai itu setelah keadaan sepi. Ia menuju jalan raya. Bekas-bekas keganasan orang-orang Dayak itu masih ada di sana. Mayat-mayat tanpa kepala bergelimpangan. Darah berceceran di mana-mana. Bau amis dan bau anyir memenuhi udara di sana. Namun di hati Nur sekarang sudah ada damai. Hatinya dikuasai damai yang datang dari tempat mahatinggi. Begitu ia menjejakkan kaki di jalan raya, dari kejauhan tampak sebuah truk TNI melintas di tempat itu. Nur melambaikan tangan, minta tumpangan. Truk itu berhenti.


"Pengungsi?" "Ya, pak!" "Ayo, naik cepat!" Nur sangat bersyukur kepada Tuhannya Eva. Untuk kedua kalinya ia ditolong dan diselamatkan Tuhannya Eva. Akhirnya Nur dan teman-teman di truk itu sampai dengan selamat di Sampit. Apakah perjalanan Nur sudah aman?


Ternyata kehidupan di tempat pengungsian Sampit tidaklah aman. Ada orang-orang sesukunya yang sudah tinggal di pengungsian ini diculik, diserang, dan menderita kelaparan. Pada saat kerusuhan semua toko, warung, restoran, warung nasi tutup. Bahan makanan menjadi sangat mahal. Satu dus mie instan dan satu dus air mineral harus ditukar dengan satu buah sepeda motor! Tiga dus mie instan dan tiga dus air mineral berani ditukar dengan satu mobil minibus! Mereka punya uang, tapi tidak ada barang. Semua orang berpikir bagaimana untuk bertahan hidup. Uang sepertinya tiada arti lagi kalau mereka mati kelaparan.


Nur ingat, sebelum berangkat isterinya membekali dirinya dengan satu tas kecil. Ia berharap isterinya ingat memasukkan makanan ke dalam tas itu. Dengan gemetar karena lapar ia membuka tas kecil itu. Astaga! Ia marah dan kecewa berat karena di dalam tas itu ia hanya mendapati satu buah Alkitab! Ia ingat Eva, isterinya, berkata, "Apa yang mas butuhkan ada di dalam tas ini!" Apaan? Tak ada makanan di tas ini. Tak ada pakaian di tas ini. Sekarang ia membutuhkan makanan, minuman, dan pakaian. Gimana sih?


Dalam keadaan lapar dan mendongkol di Pengungsian Sampit, Nur berdoa lagi. “Tuhannya isteri saya, Engkau adalah Tuhan yang senang melakukan perkara-perkara mustahil! Saat ini saya kelaparan dan kehausan. Kalau Engkau benar-benar Tuhan, tolong saya!” Setelah berdoa, hatinya tenang lagi. Di hatinya penuh damai, walaupun perutnya lapar.


“Eh, Nur! Nur! Sampean kemana saja? Saya cari-cari kemana-mana, gak tahunya ada di sini!” demikian kata-kata dari seseorang. Ternyata orang itu adalah teman lamanya, teman satu daerah. Mereka ngobrol mengisahkan perjalanan masing-masing, betapa bersyukurnya mereka. Tapi Nur tidak cerita-cerita tentang mukjizat yang diterima dari Tuhannya Eva, Tuhan isterinya, kepada teman lama ini.


“Nur, ayo makan, ayo minum nih!” kata temannya sambil mengulurkan makanan kering dan botol air mineral. Nur, kaget sekali. Di tempat pengungsian yang langka bahan makanan dan minuman ini ia mendapatkan makanan dan minuman yang tak terduga. Ia makan dan minum sepuasnya. Padahal ia tidak mempunyai uang sepeserpun. Juga tidak ada bekal makanan dan minuman, namun ia dipelihara sempurna tangan kasih-Nya. Ia tidak kekurangan sesuatu apapun. Sejak ia berdoa kepada Tuhannya Eva, Tuhan isterinya, ia menerima mukjizat demi mukjizat.


Hari itu juga diumumkan bahwa nanti malamnya akan diberangkatkan para pengungsi ke pelabuhan untuk dipulangkan ke Jawa Timur dengan kapal TNI AL – Teluk Ende. Karena kapal itu hanya memuat 3000 orang penumpang, maka para pengungsi yang jumlahnya ribuan di tempat itu berebutan menaiki truk-truk yang akan membawa mereka keluar dari neraka kerusuhan ini. Yang ada di situ sekitar 7000 orang pengungsi, rombongan malam ini hanya berangkat 3000 orang. Semua orang ingin diberangkatkan malam ini. Semua orang mencari selamat sendiri-sendiri. Mereka berebutan menaiki truk. Namun Nur tenang saja. Di hatinya ada damai yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Ia tidak panik. Ia tidak khawatir. Orang-orang berebutan, ia tinggal tenang. Orang-orang memenuhi truk itu sehingga bak truk sepenuhnya tertutup tubuh orang-orang yang bergelayutan.


Nur berdiri melihat-lihat saja. Ia berdoa lagi di dalam hati. “Tuhannya isteri saya, Engkau adalah Tuhan yang senang melakukan mukjizat, senang melakukan perkara-perkara mustahil. Bagi saya mustahil mendapatkan angkutan ke pelabuhan, tapi bagi Engkau tidak ada yang mustahil. Kalau Engkau benar-benar Tuhan, tolong saya!” Ketika ia masih di situ melintaslah sebuah truk yang kosong. “Eh, Nur! Nur!” Terdengar teriakan dari dalam truk. Nur mendekat ke arah truk itu. Dilihatnya penumpang dan sopir truk itu. Ternyata di dalamnya ada adik ayahnya dan saudara-saudara lain. “Ayo, naik!”


Nur tidak perlu berdesak-desakkan naik truk menuju pelabuhan. Di sepanjang jalan yang dilalui, Nur melihat banyak teman-teman sedaerahnya yang menumpang truk di depannya berjatuhan, mati disumpit penembak gelap. Mereka yang berjejalan dan bergelayutan di bak truk itu menjadi sasaran empuk sumpit-sumpit beracun dan banyak jatuh korban di sepanjang jalan menuju ke pelabuhan.


Akhirnya Nur dan saudara-saudaranya selamat sampai di pelabuhan. Di dermaga tampak kapal Teluk Ende sedang menaikkan para penumpang yang berebutan. Begitu mereka tiba, pintu kapal ditutup karena jumlah 3000 orang sudah terpenuhi. Banyak orang-orang yang tidak dapat terangkut malam itu harus kembali lagi ke camp pengungsian.


Nur melihat pemandangan yang sangat memilukan. Seorang ibu meminta dengan sangat kepada penjaga yang akan menutup pintu kapal agar ia diizinkan naik. Ibu itu menangis meraung-raung karena suami dan anak-anaknya sudah naik, tapi dirinya sendiri ketinggalan. Petugas tetap berkeras melarang ibu ini naik. Meskipun ibu ini bersimpuh dan memohon-mohon, petugas kapal dengan tegas menolak permintaan ibu ini.


Saat itu juga Nur iba. Ia berdoa, “Tuhannya isteri saya, kalau Engkau memang benar-benar Tuhan, izinkan ibu ini naik, juga kami yang tertinggal boleh naik.” Sementara itu tambang kapal mulai dilepas dan pintu sudah ditutup.


Jika mereka pulang kembali ke camp pengungsian, jiwa mereka belum tentu selamat. Di perjalanan bahaya maut mengintai setiap saat. Kalau ada penghadangan, aparat militer sekalipun tidak dapat melindungi mereka. Andaikan mereka selamat sampai di camp lagi, mereka juga belum tentu selamat, karena di camp sering terjadi penculikan dan pembunuhan secara gerilya.


Tiba-tiba dari dalam kapal terdengar pengumuman, “Semua pengungsi yang ada di dermaga boleh naik kapal. Segera!” Pintu kapalpun dibuka kembali. Ibu yang tadi menangis meraung-raung segera melompat ke jembatan yang menghubungkan dermaga dengan kapal Teluk Ende. Nur dan kerabatnyapun masuk kapal dengan tenang. Doanya sekali lagi dijawab Tuhan secara ajaib.


Saat ini Nur berkeliling menyaksikan keajaiban yang dialaminya bersama Tuhan. Ia sudah percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Ia belum menceritakan bagaimana pertobatannya dan bagaimana ia diadili di kampung halamannya karena iman kepada Tuhan Yesus. Saat ini ia telah berkumpul kembali dengan keluarganya di Sampit.


Setelah Nur menceritakan kesaksiannya, Eva – isterinya, menyanyikan lagu “Mukjizat Itu Nyata” dengan merdu dan penuh penghayatan karena mereka mengalami sendiri betapa tidak terbatas kuasa Tuhan, semua dapat Dia lakukan, apa yang kelihatan mustahil bagi kita, itu sangat mungkin bagi Tuhan. Di saat Nur dan Eva tidak berdaya, kuasa Tuhan yang sempurna menolong mereka. Ketika Nur berdoa, mukjizat itu nyata. Ketika Nur percaya, mukjizat itu nyata.

Cari artikel Blog Ini

copy right