Setelah membaca Quran, saya mengalami
depresi yang luar biasa besar. Ini adalah sebuah buku yang jahat dan
saya mengalami saat-saat yang sulit untuk mempercayai kejahatan yang
sedemikian banyaknya. Secara natural saya dipengaruhi oleh kasih.
Kejahatan adalah hal yang menjijikkan bagi saya. Pada mulanya saya
menyangkali pemahaman saya mengenai apa yang saya baca dan coba mencari
arti-arti esoterik dari ayat-ayat Quran yang kebanyakan merupakan
ayat-ayat yang jahat. Namun usahaku sia-sia. Di sini tak ada kesalah
pahaman! Quran itu sangatlah tidak manusiawi. Ia juga berisi banyak
sekali kesalahan ilmiah dan absurditas, namun bukan itu yang paling
memberi pengaruh. Yang memberi pengaruh paling besar adalah kekerasan
yang sedemikian banyaknya yang ada dalam buku ini, dan yang benar-benar
mengguncangkan pondasi keyakinan saya.
Oleh: ALI SINA
Saya
dilahirkan dalam keluarga religius yang moderat. Dari pihak ibu, saya
mempunyai beberapa kerabat yang termasuk dalam golongan para Ayatollah.
Walaupun kakek saya (yang tidak pernah lihat) dapat dikatakan adalah
seorang yang berpikiran bebas, kami semua adalah orang beriman.
Orang-tua saya tidak terlalu menyukai para mullah. Kenyataannya,
hubungan kami dengan para kerabat kami yang lebih fundamentalis tidak
begitu erat. Saya menilai keluarga saya sebagai orang-orang yang percaya
pada “Islam yang sejati”, bukan Islam seperti yang diajarkan dan
dipraktekkan oleh para mullah.
Saya
teringat bahwa saya pernah mendiskusikan agama dengan suami salah
seorang bibi saya ketika saya masih berusia sekitar 15 tahun. (lihat: about). Ia adalah
seorang Muslim fanatik yang sangat memperhatikan fiqh (yurisprudensi
Islam). Fiqh menjelaskan bagaimana orang Muslim seharusnya
bersembahyang, berpuasa, menjalani kehidupan pribadi dan publik mereka,
melakukan bisnis, membersihkan diri, menggunakan toilet, buang air
kecil, berpasangan dan bersetubuh. Saya berargumen, hal-hal itu tidak
ada kaitannya dengan Islam yang sejati. Menurut saya hal-hal itu adalah
rekaan para mullah, dan perhatian berlebihan kepada fiqh menghilangkan
nilai kemurnian pesan Islam, yang saya yakini adalah untuk menyatukan
manusia dengan Penciptanya. Pandangan ini sangat diinspirasi oleh
Sufisme. Banyak orang Iran, berkat puisi-puisi Rumi, hingga pada
tingkatan yang tinggi, dapat disebut Sufi berdasarkan penampilan
mereka.
Sudah
tentu Sufisme tidak benar-benar damai. Namun Sufisme lebih mistik
daripada Islam sejati yang benar-benar duniawi dan tidak spiritual.
Namun demikian, ia dapat sangat menyesatkan.
Di
awal masa remaja saya memperhatikan adanya diskriminasi dan kekejaman
terhadap anggota-anggota kelompok minoritas agama di Iran. Ini lebih
terlihat di kota-kota provinsi dimana para mullah mempunyai kekuasaan
yang lebih besar atas penduduk yang mudah dibodohi.
Oleh
karena pekerjaan ayah saya, kami tinggal selama beberapa tahun di
kota-kota kecil di luar ibukota. Suatu hari guru kami mengumumkan bahwa
ia hendak membawa kelas kami pergi berenang. Hal sederhana seperti itu
adalah sesuatu yang sangat besar bagi kami yang hidup di negara dunia
ketiga. Kami sangat senang dan sangat menantikan hari itu. Di kelas kami
ada beberapa anak yang beragama Baha’i dan Yahudi. Pada hari
keberangkatan, guru kami mengatakan pada mereka bahwa mereka tidak boleh
ikut. Ia berkata mereka tidak diijinkan berenang di kolam yang sama
dengan orang Muslim. Saya tidak dapat melupakan kekecewaan anak-anak itu
ketika mereka meninggalkan sekolah dengan berlinang air mata, sedih
dan patah hati. Pada usia seperti itu, sekitar 9 atau 10 tahun, saya
belum mengerti hal tersebut dan merasa sedih melihat ketidakadilan ini.
Saat itu saya berpikir kesalahan mereka adalah mereka bukan orang
Muslim.
Saya
percaya bahwa saya beruntung mempunyai orang-tua yang berpikiran
terbuka dan mendorong saya untuk berpikir kritis. Mereka berusaha untuk
menanamkan pada saya kasih kepada Allah dan para utusan-Nya, namun
juga menjunjung nilai-nilai kemanusiaan seperti kesamaan hak antara
pria dan wanita, dan kasih pada semua orang. Kini saya tahu mereka
tidak mengetahui apa-apa mengenai Islam yang sejati. Dapat dikatakan,
seperti itulah keluarga-keluarga orang Iran yang berpendidikan pada
umumnya. Kenyataannya, mayoritas orang Muslim percaya bahwa Islam
adalah agama yang humanis, yang menghormati hak-hak azasi manusia,
meninggikan status wanita dan melindungi hak-hak mereka. Orang Muslim
pada umumnya percaya bahwa Islam berarti damai. Tak perlu dikatakan
lagi, hanya sedikit diantara mereka yang telah membaca Quran.
Saya
menghabiskan awal masa remaja saya dalam firdaus ketidakpedulian yang
indah itu, menyanjung “Islam yang sejati” seperti yang saya bayangkan,
dan mengkritik para mullah dan penyimpangan mereka dari Islam yang
sejati. Saya mencita-citakan Islam yang bersesuaian dengan nilai-nilai
kemanusiaan saya sendiri. Islam imajiner saya adalah sebuah agama yang
indah. Sebuah agama yang menjunjung kesetaraan dan kedamaian. Sebuah
agama yang menganjurkan para pengikutnya untuk mengejar pengetahuan dan
bersikap ingin tahu. Sebuah agama yang selaras dengan sains dan nalar.
Kenyataannya, saya dibawa untuk percaya bahwa sains mendapatkan
inspirasinya dari Islam, yang pada akhirnya menghasilkan buahnya di
Barat dan memungkinkan adanya penciptaan-penciptaan dan
penemuan-penemuan modern. Dengan demikian, Islam adalah dasar utama
peradaban modern. Menurut saya, mengapa orang Muslim hidup dalam
ketidakpedulian yang parah seperti itu adalah karena kesalahan para
mullah dan pemimpin agama yang berpusat pada diri sendiri, yang demi
keuntungan pribadi, mereka telah salah menafsirkan Islam. Inilah
sesungguhnya cara berpikir semua orang Muslim. Mereka tidak bersedia
menemukan kesalahan apapun dalam Islam. Mereka menyalahkan diri sendiri
dan semua orang, untuk semua yang salah dengan agama mereka.
Orang
Muslim percaya bahwa peradaban Barat berakar dalam Islam. Mereka
menyanjung para ilmuwan Timur Tengah yang mereka anggap memberi
kontribusi sains yang penting dalam kelahiran sains modern (dalam
anggapan mereka).
Omar
Khayyam adalah seorang pakar matematika yang hebat. Ia mengkalkulasi
panjang tahun dengan ketepatan 74% per detik. Zakaria Razi dapat
dipandang sebagai salah satu pendiri pertama sains empiris yang
mendasari pengetahuannya pada riset dan eksperimen. Ensiklopedia medis
Avicenna yang ternama, diajarkan di universitas-universitas Eropa selama
berabad-abad. Masih ada banyak lagi pencerah yang mempunyai “nama
islami”, yang merupakan pionir sains modern di saat Eropa masih berada
dalam Jaman Kegelapan abad pertengahan. Seperti semua orang Muslim, saya
percaya bahwa orang-orang besar ini adalah orang Muslim dan mereka
diinspirasikan oleh pengetahuan tersembunyi di dalam Quran; dan jika
orang Muslim pada masa kini dapat memperoleh kembali kemurnian Islam
yang mula-mula, masa-masa kejayaan Islam yang telah lama sirna akan
kembali dan orang-orang Muslim akan memimpin peradaban dunia sekali
lagi.
Iran
adalah negara Muslim, tetapi juga merupakan negara yang korup.
Kesempatan untuk masuk universitas yang baik sangat kecil. Hanya satu
dari sepuluh pendaftar yang dapat masuk ke perguruan tinggi. Seringkali
mereka dipaksa memilih mata kuliah yang tidak ingin mereka pelajari
karena mereka tidak mempunyai poin yang cukup untuk mengambil mata
kuliah pilihan mereka. Hanya para mahasiswa yang mempunyai koneksi yang
baik yang diterima.
Standar
edukasi di Iran tidak ideal. Universitas-universitas kurang mendapat
dukungan dana, karena Shah Iran lebih suka membangun militer yang kuat
yang dapat menjadi kekuatan di Timur Tengah daripada membangun
infrastruktur negara dan berinvestasi pada pendidikan bangsa. Sebenarnya
ia tidak terlalu mempercayai kaum intelektual. Inilah alasan mengapa
ayah saya berpikir lebih baik saya meninggalkan Iran untuk melanjutkan
pendidikan saya di tempat lain.
Kami
mempertimbangkan Amerika dan Eropa, tetapi ayah saya, bertindak
berdasarkan nasehat beberapa teman religiusnya, berpendapat negara Islam
lainnya adalah tempat yang lebih baik untuk seorang anak laki-laki
berusia 16 tahun. Kami diberitahu bahwa moralitas di Barat rendah,
pantai-pantainya dipenuhi orang-orang yang bugil, dan mereka minum
alkohol dan mempunyai gaya hidup yang tidak mengindahkan aturan, dan
semuanya itu tidak baik untuk seorang pria muda. Jadi kemudian saya
dikirim ke Pakistan, dimana orang-orangnya religius dan bermoral.
Seorang teman keluarga kami mengatakan bahwa Pakistan itu sama seperti
Inggris, namun (biaya hidup) lebih murah.
Hal
ini sudah tentu terbukti tidak benar. Saya mendapati orang-orang
Pakistan sama tidak bermoral dan korupnya dengan orang Iran, bahkan
lebih. Ya, mereka sangat religius. Mereka tidak makan babi dan saya
tidak melihat seorangpun minum alkohol di depan umum. Tetapi mereka
berbohong, munafik, dan kejam terhadap wanita, dan lebih lagi, mereka
dipenuhi kebencian terhadap orang India. Mereka sama sekali tidak
bermoral. Mereka religius tapi tidak beretika.
Di
perguruan tinggi, alih-alih mempelajari Urdu, saya mengambil Kebudayaan
Pakistan untuk menyelesaikan level A FSc (Fellow of Science) saya. Saya
mempelajari alasan pecahnya Pakistan dari India dan untuk pertama
kalinya mendengar tentang Muhammad Ali Jinah, orang yang disebut
orang-orang Pakistan sebagai Qaid-e A’zam, sang pemimpin besar. Ia
digambarkan sebagai seorang yang cerdas, Bapak Bangsa, sedangkan Gandhi
dibicarakan dengan nada yang menghina. Namun demikian, saya memihak
Gandhi dan mengutuk Jinah sebagai orang yang arogan, ambisius, yang
menjadi penjahat yang mengakibatkan perpecahan sebuah negara dan yang
menyebabkan kematian jutaan orang. Anda dapat berkata, saya selalu
mempunyai pendapat saya sendiri dan mempunyai pemikiran yang
menakjubkan. Tak peduli apa yang diajarkan pada saya, saya selalu tiba
pada konklusi saya sendiri.
Saya
tidak melihat perbedaan-perbedaan agama sebagai alasan yang valid untuk
memecah sebuah negara. Kata “Pakistan” itu sendiri adalah sebuah
penghinaan terhadap orang-orang India. Mereka menyebut diri mereka
sendiri “pak” (bersih) untuk membedakan mereka dari orang-orang India
yang najis (tidak bersih). Ironisnya, saya tidak pernah melihat orang
yang lebih kotor daripada orang-orang Pakistan, baik secara fisik maupun
mental. Sangat mengecewakan melihat ada negara Islam lain yang
mengalami kemunduran intelektual dan moral seperti itu.
Dalam
diskusi-diskusi saya dengan teman-teman saya, saya gagal menyakinkan
mereka akan “Islam yang sejati”. Saya mengutuk kebencian, fanatisme dan
sikap mereka yang tidak toleran terhadap orang lain sementara mereka
tidak menyetujui pandangan-pandangan saya yang tidak islami. Saya
membutuhkan waktu bertahun-tahun dan banyak studi untuk menyadari bahwa
mereka sesungguhnya benar mengenai Islam dan sayalah yang bodoh.
Saya
melaporkan semua ini kepada ayah saya dan memutuskan untuk pergi ke
Italia untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Di Italia orang
minum anggur dan makan babi, tetapi saya mendapati mereka lebih ramah,
lebih bersahabat, dan tidak semunafik orang Muslim. Saya memperhatikan
orang sudi membantu tanpa mengharapkan pamrih. Saya berjumpa dengan
sepasang suami istri yang sudah lanjut usia, yang mengundang saya untuk
makan siang dengan mereka setiap hari Minggu sehingga saya tidak usah
tinggal di rumah sendirian. Mereka tidak menginginkan apapun dari saya.
Mereka hanya menginginkan seseorang untuk dikasihi. Saya sudah seperti
seorang cucu bagi mereka. Hanya orang asing di negara yang baru yang
dapat menghargai nilai pertolongan dan keramahan penduduk lokal.
Rumah
mereka bersih mengkilap dengan lantai marmer yang berkilau. Ini
bertentangan dengan apa yang selama ini dikatakan kepada saya mengenai
orang non Muslim. Menurut Islam, orang-orang yang tidak beriman itu
kotor dan tidak seorangpun boleh berteman dengan mereka (Q.9:28).
Quran berkata, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu) [awliya’ = teman, pelindung, penolong,
dsb]; sebahagian mereka adalah pemimpin [awliya] bagi
sebahagian yang lain …Q.5:
51
Saya
mengalami kesulitan memahami “hikmat” dalam ayat seperti itu. Saya
bertanya-tanya mengapa tidak boleh bersahabat dengan orang-orang yang
baik ini, yang tidak mempunyai motivasi terselubung saat menunjukkan
pada saya keramahan mereka selain dari membuat saya betah. Menurut saya
merekalah “orang-orang Muslim sejati” dan saya berusaha membicarakan
masalah agama, berharap mereka melihat kebenaran Islam dan memeluk
Islam. Mereka tidak berminat dan dengan sopan mengubah pokok
pembicaraan. Saya tidak terlalu bodoh untuk mempercayai bahwa semua
orang yang tidak beriman akan masuk neraka karena mereka bukan orang
Muslim. Saya telah membacanya dalam Quran sebelumnya tetapi tidak
pernah ingin mengetahuinya. Saya hanya melihatnya sekilas atau
mengabaikannya. Sudah tentu, saya tahu Allah akan senang jika ada orang
yang mengakui utusan-Nya tetapi tidak pernah berpikir Ia akan
benar-benar sekejam itu hingga membakar orang dalam kekekalan, hanya
karena mereka bukan Muslim. Tetapi Quran sangat jelas:
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi (akan semua semua kebaikan
spiritual). Q 3:85,
Walau
demikian, saya tidak terlalu memperhatikannya dan berusaha meyakinkan
diri saya sendiri bahwa makna ayat ini dan ayat-ayat yang serupa adalah
berbeda dari apa yang terbaca. Pada saat itu saya tidak siap untuk
menangani hal ini. Jadi saya tidak memikirkannya. Kebanyakan orang
Muslim hidup dalam penyangkalan seperti itu.
Saya
bergaul dengan teman-teman Muslim saya dan memperhatikan bahwa
kebanyakan dari mereka menjalani hidup yang sangat tidak bermoral dan
berstandar ganda. Banyak dari mereka yang mempunyai teman wanita dan
tidur dengan mereka. Itu sangat tidak islami, atau demikianlah pandangan
saya pada waktu itu. Yang sangat mengusik saya adalah kenyataan bahwa
mereka tidak menghargai gadis-gadis itu sebagai sesama manusia yang
layak dihormati. Gadis-gadis itu bukan orang Muslim dan oleh karena itu
mereka digunakan dan diperlakukan hanya sebagai obyek pemuas kebutuhan
seks. Sikap ini tidaklah umum. Mereka yang tidak terlalu menunjukkan
religiositasnya, lebih respek dan tulus kepada teman-teman wanita Barat
mereka dan bahkan ada yang mengasihi mereka dan ingin menikahi mereka.
Sebaliknya, mereka yang (kelihatannya) lebih religius, kurang setia dan
lebih munafik.
Dalam
benak saya, Islam sejati adalah semua yang benar. Jika saya melihat
ada sesuatu yang tidak bermoral, tidak etis, tidak jujur atau kejam,
menurut saya itu tidak islami. Dan sebaliknya, segala sesuatu yang baik
saya hubungkan dengan Islam. Umumnya seperti inilah orang Muslim
berpikir mengenai Islam, tetapi itu bukanlah Islam yang sesungguhnya.
Pada waktu itu saya tidak dapat melihat bahwa orang Muslim itu jahat
karena Islam.
Mereka
yang lebih bertakwa ternyata lebih tidak bermoral. Orang-orang yang
membela Islam dengan keras adalah orang-orang yang menjalani hidup yang
kurang bertakwa. Mereka cepat marah dan memulai perkelahian jika ada
orang yang mengucapkan sesuatu yang menentang Islam.
Saya
pernah bersahabat dengan seorang pria muda Iran di restoran universitas
dan mengenalkannya dengan dua orang muda Muslim lainnya yang adalah
teman-teman saya. Usia kami kira-kira sebaya. Ia terpelajar, baik hati
dan bijak. Kami selalu menantinya dan duduk di dekatnya selama jam makan
siang, dan kami selalu belajar sesuatu darinya. Kami selalu makan
banyak spaghetti dan risotto dan merindukan ghorme sabzi dan chelow
yang lezat (kuliner Persia). Teman kami itu mengatakan ibunya
telah mengiriminya beberapa sayuran kering dan mengundang kami ke
rumahnya hari Minggu depan untuk makan siang. Kami mendapati
apartemennya yang mempunyai dua kamar itu bersih. Ia membuat ghorme
sabzi yang lezat untuk kami, yang kami makan dengan rakusnya,
kemudian duduk mengobrol dan menyeruput teh. Ketika itulah kami
memperhatikan buku-buku Baha’i miliknya. Ketika kami menanyakan tentang
buku-buku itu, ia mengatakan bahwa ia beragama Baha’i.
Dalam
perjalanan pulang, kedua teman saya mengatakan bahwa mereka tidak mau
melanjutkan hubungan persahabatan dengannya. Saya terkejut dan
bertanya mengapa. Mereka berkata, dengan menjadi penganut Baha’i ia
menjadi najis dan seandainya mereka tahu ia adalah seorang Baha’i
mereka tidak mau berteman dengannya. Saya terheran dan meminta
penjelasan mengapa mereka menganggapnya najis jika kami semua memujinya
karena kebersihannya. Kami sepakat bahwa ia jauh lebih bermoral
daripada orang-orang Muslim yang kami kenal, lalu mengapa tiba-tiba ada
perubahan hati seperti ini? Mereka mengatakan, nama itu sendiri
mengandung sesuatu di dalamnya yang membuat mereka tidak menyukai agama
ini. Mereka bertanya pada saya apakah saya tahu mengapa semua orang
tidak menyukai orang Baha’i. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya
tidak tahu orang tidak menyukai orang Baha’i. Baha berarti kemuliaan.
Tidak ada yang salah dengan itu! Dan saya mengatakan saya menyukai
semua orang. Saya bertanya pada mereka karena mereka tidak menyukai
orang Baha’i, mungkin mereka dapat menjelaskan alasannya. Mereka tidak
tahu mengapa! Orang ini adalah orang Baha’i pertama yang mereka kenal
dengan sangat baik, dan ia adalah seorang yang patut diteladani. Saya
ingin tahu alasan ketidaksukaan mereka. Mereka mengatakan, tidak ada
alasan khusus untuk itu. Mereka hanya tahu bahwa orang Bahai’i itu
jahat.
Saya
senang saya tidak meneruskan persahabatan saya dengan kedua orang
fanatik itu. Dari mereka saya belajar bagaimana prasangka dibentuk dan
beroperasi. Di kemudian hari saya menyadari bahwa prasangka buruk dan
kebencian yang ditujukan orang Muslim kepada semua non Muslim adalah
karena Quran menanamkannya dalam pikiran mereka.
Orang-orang
yang pergi ke mesjid dan mendengarkan ceramah-ceramah para mullah
sudah dipengaruhi. Ada banyak ayat dalam Quran yang menghimbau orang
beriman untuk membenci orang-orang yang tidak beriman, memerangi
mereka, menundukkan mereka, menghina mereka, memenggal kepala dan
tangan mereka, menyalibkan mereka, dan membunuh mereka dimanapun mereka
dijumpai.
Selama
beberapa tahun, saya membiarkan kehidupan agama saya mati suri. Iman
saya belum hilang, tetapi terlalu banyak yang harus saya kerjakan
sehingga saya tidak punya waktu untuk urusan agama. Sementara itu, saya
belajar tentang demokrasi, hak azasi manusia, kesetaraan, kebebasan
berbicara dan hal-hal lainnya yang membentuk dunia Barat. Saya menyukai
apa yang saya pelajari. Apakah saya sembahyang? Kapanpun saya sempat,
tapi tidak secara teratur. Lagipula, saya tinggal dan bekerja di negara
Barat dan saya tidak ingin kelihatan terlalu berbeda.
Suatu
hari, saya memutuskan sudah saatnya bagi saya untuk memperdalam
pengetahuan saya mengenai Islam dan membaca Quran dari halaman pertama
hingga halaman terakhir. Saya menemukan sebuah Quran dalam bahasa Arab
dengan terjemahan bahasa Inggris dan juga menggunakan terjemahan Persia
yang saya miliki. Dulu saya hanya membaca Quran sepotong-sepotong. Kali
ini saya membacanya sampai selesai. Saya membaca satu ayat dalam
bahasa Arab; kemudian saya membaca ayat itu dalam terjemahan Inggris
dan Persia; kemudian membaca lagi ayat itu dalam bahasa Arab, dan tidak
membaca ayat berikutnya hingga saya memahami bahasa Arabnya.
Tidak
dibutuhkan waktu yang lama bagi saya untuk tiba pada ayat-ayat yang
bagi saya sulit diterima. Salah satu ayat tersebut adalah, “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” 4:48
Sulit
bagi saya mempercayai bahwa Gandhi akan dibakar di neraka selamanya
karena ia adalah seorang politeis yang tidak mempunyai pengharapan akan
penebusan, sedangkan orang-orang Muslim yang melakukan pembunuhan
dapat berharap menerima pengampunan Allah. Ini memunculkan pertanyaan,
mengapa Allah sangat ingin dikenal sebagai satu-satunya Tuhan? Jika
tidak ada Tuhan selain Dia, mengapa harus repot? Mengapa Ia harus
pusing memikirkan apakah orang mengenal-Nya dan memuji-Nya atau tidak?
Itu
kedengarannya sangat sepele. Katakanlah seorang suami yang cemburu
mengatakan pada istrinya, “Jika engkau memandang pria lain aku akan
memukulmu”. Nah, itu sangat menyedihkan. Tapi seandainya pasangan itu
tinggal di sebuah pulau dimana tidak ada pria lain selain si suami.
Bukankah itu gila jika si suami menunjukkan kecemburuan terhadap pria
yang tidak eksis? Jika tidak ada Tuhan selain Allah, mengapa Ia sangat
paranoid? Allah nampaknya bukan Tuhan yang mempunyai perasaan (emosi)
yang stabil. Syahadat Islam yang berbunyi “Tidak ada Tuhan selain
Allah”, mulai terdengar aneh. Jika Allah tahu tidak ada Tuhan selain
diri-Nya, mengapa Ia sangat terobsesi mengenai hal itu?
Saya
belajar tentang ukuran alam semesta ini. Cahaya yang menempuh
perjalanan dengan kecepatan 300.000 kilometer per detik membutuhkan 40
milyar tahun untuk mencapai kita dari galaksi-galaksi yang berada di
ujung alam semesta yang kelihatan. Alam semesta yang kelihatan hanyalah
setitik dibandingkan dengan ukuran alam semesta yang sebenarnya.
Berapa trilyun banyaknya galaksi yang ada di luar sana? Setiap galaksi
ini memuat ratusan milyar bintang. Setiap bintang mempunyai lusinan
planet. Alam semesta ini sangat besar. Mengapa Allah sangat pusing soal
apakah Ia disembah oleh makhluk-makhluk yang tidak penting di planet
sekecil ini?
Sekarang
saya tinggal di Barat, berteman dengan banyak orang Barat yang membuka
hati dan rumah mereka untuk saya, dan menerima saya sebagai sahabat
mereka. Sulit bagi saya menerima bahwa Allah tidak ingin saya bersahabat
dengan mereka. “Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian,
niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah” (Q.3:28).
Bukankah
Allah juga yang menciptakan orang-orang yang tidak beriman? Bukankah
Ia Tuhan atas semua orang? Tidakkah lebih baik jika orang Muslim
bersahabat dengan orang-orang tidak beriman dan mengajari mereka Islam
melalui teladan yang baik? Bila kita menjauhkan diri dari orang lain,
jurang kesalahpahaman tidak akan pernah terjembatani. Bagaimana mungkin
orang-orang yang tidak beriman belajar tentang Islam jika kita tidak
bergaul dengan mereka? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang selalu saya
tanyakan pada diri saya sendiri. Pada saat yang sama saya membaca
ayat-ayat seperti “Dan bunuhlah mereka di mana saja
kamu jumpai mereka” (Q.2:191).
Itu kedengarannya gila. Apakah saya lebih bijak daripada Allah?
Kelihatannya memang demikian. Bunuhlah mereka dimana saja kamu menjumpai
mereka adalah kalimat yang bodoh, tak peduli siapa yang mengatakannya.
Apakah ini perkataan Tuhan atau dengan keliru ditaruh di mulut-Nya?
Itulah pertanyaan yang selalu muncul di benak saya saat saya membaca
Quran.
Saya
memikirkan teman-teman saya, mengingat kebaikan dan kasih mereka kepada
saya, dan bertanya-tanya, bagaimana bisa Tuhan yang sejati
memerintahkan orang untuk membunuh sesamanya manusia hanya karena
mereka tidak beriman. Namun konsep ini sangat sering diulang dalam
Quran sehingga tidak ada lagi keraguan akan hal itu. Dalam Sura 8:65,
Allah berkata kepada nabi-Nya, “Hai Nabi,
kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika
ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada
orang kafir”.
Saya
bertanya-tanya mengapa Allah mengirim seorang utusan untuk mengobarkan
perang? Bukankah seharusnya Tuhan mengajari kita untuk saling mengasihi
dan bersikap toleran satu sama lain? Jika Allah sangat peduli akan
penyembahan kepada-Nya hingga Ia akan membunuh mereka dan membakar
mereka jika mereka tidak beriman, mengapa bukan Ia sendiri yang membunuh
mereka? Mengapa Ia meminta kita untuk melakukan pekerjaan kotornya?
Memangnya kita ini tukang pukul dan gengsternya Allah?
Walaupun
saya tahu tentang jihad dan tidak pernah memikirkan implikasinya,
sulit bagi saya menerima bahwa Tuhan akan memberlakukan standar yang
kejam kepada orang. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kekejaman Allah
dalam menangani orang-orang tidak beriman:
“Kelak
akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka
penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.”
8:12
Nampaknya
Allah tidak puas dengan hanya membunuh orang yang tidak beriman; Ia
menikmati menyiksa mereka sebelum membunuh mereka. Tapi pada saat yang
sama Ia tidak mampu mencederai siapapun dan bergantung pada orang Muslim
untuk melakukan pekerjaan kotor untuk-Nya. Memenggal kepala orang dari
atas leher mereka dan mencincang jari-jari mereka? Apakah ini yang
disebut atribut keilahian? Apakah Tuhan benar-benar memberikan perintah
seperti itu? Dan yang paling buruk lagi adalah, apa yang Ia telah
janjikan akan lakukan terhadap orang-orang tidak beriman di dunia yang
lain:
Inilah
dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar,
mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan
dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air
yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air
itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga
kulit (mereka). Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari
besi. Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka
lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya.
(Kepada mereka dikatakan), “Rasailah azab yang
membakar ini.” 22:19-22
Bagaimana
pencipta jagat raya ini bisa sedemikian bengisnya? Saya begitu
terkejut mengetahui bahwa Quran memberitahukan orang-orang Muslim
supaya mereka:
- membunuh orang-orang kafir dimanapun orang Muslim menemukan mereka (Q.2:191),
- membunuh dan memperlakukan mereka dengan keras (Q.9:123),
- memerangi mereka, (Q.8:65), hingga tak ada agama lain yang tersisa kecuali Islam (Q.2:193)
- menghina mereka dan memaksa mereka membayar pakaj (jizyah) jika mereka adalah orang-orang Kristen atau Yahudi (Q.9:29)
- menyembelih mereka jika mereka adalah Penyembah Berhala (Q.9:5), menyalibkan, atau memotong tangan dan kaki mereka.
- mengusir mereka dari negeri sehingga mereka merasa malu. Dan jika itu masih belum cukup,”mereka akan mengalami penghukuman yang keras di dunia yang akan datang” (Q.5:34),
- tidak menjadikan bapa-bapa dan saudara laki-laki mereka sebagai teman/wali jika mereka itu bukan orang beriman (Q.9:23), (Q.3:28),
- membunuh anggota-anggota keluarga mereka sendiri dalam peperangan di Badr dan Uhud, dan mengajak orang-orang Muslim untuk “berjihad melawan orang-orang kafir dengan jihad yang besar” (Q.25:52),
- bersikap keras terhadap mereka karena mereka (orang-orang kafir) itu adalah penghuni neraka (Q.66:9), dsb… dsb…
Bagaimana
mungkin orang yang berpikiran sehat tidak akan terganggu perasaannya
ketika membaca Quran yang mengatakan: “Apabila kamu bertemu dengan
orang-orang kafir maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila
kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka…” (Q.47:4).
Saya
pun tidak menyukainya ketika menemukan bahwa Quran menolak kebebasan
berkeyakinan bagi semua orang, dan dengan jelas menyatakan bahwa Islam
adalah satu-satunya agama yang diterima (Q.3:85). Kedengarannya
sangatlah menyedihkan mengetahui bahwa Pencipta dunia ini membakar
orang-orang karena ketidakpercayaan mereka (Q.5:11),
menyebut mereka najis, cemar, tidak boleh disentuh, tidak murni (Q.9:28)
dan berkata bahwa mereka akan dipaksa untuk minum air mendidih (Q.14:17).
Tetapi
tak ada akhir untuk kesadisan Allah. Ia berjanji, ”dengan memalingkan
lambungnya untuk menyesatkan manusia dari
jalan Allah. Ia mendapat kehinaan di dunia dan dihari kiamat Kami
merasakan kepadanya azab neraka yang membakar” (Q.22:9).
Setelah
saya membaca lebih banyak lagi, saya menemukan bahwa segala sesuatu
yang salah dengan Islam disebabkan oleh Quran. Para mullah yang kejam,
yang mulut mereka sampai berbusa saat menyerukan kebencian, bukanlah
orang-orang yang disesatkan. Mereka sesungguhnya orang-orang Muslim yang
baik, yang sedang melakukan apa yang diperintahkan oleh Muhammad untuk
mereka kerjakan. Saya sendirilah yang sebenarnya tidak tahu
(ignorant).
Kitab
Allah mengatakan bahwa para wanita lebih rendah dibandingkan pria dan
suami-suami mereka mempunyai hak untuk memukuli mereka (Q.4:34);
para wanita akan pergi ke neraka jika mereka tidak taat pada
suami-suami mereka (Q.66:10);
bahwa para pria adalah lebih superior dibandingkan wanita (Q.2:228),
dan wanita tidak mempunyai hak warisan yang sama (Q.4:11-12).
Berdasarkan Quran, para wanita adalah orang bodoh (pandir), yang jika
mereka sendirian bersaksi di pengadilan, maka kesaksian mereka itu
tidak bisa diterima (Q.2:282). Seorang
wanita yang diperkosa, tidak boleh menuduh pemerkosanya kecuali ia
bisa memberikan kesaksian dari seorang saksi pria. Ini tentu saja
sebuah lelucon. Para pemerkosa tidak melakukan perkosaan di depan para
saksi. Tetapi ayat yang paling mengejutkan adalah ketika Allah
mengijinkan orang-orang Muslim untuk memperkosa wanita-wanita yang
menjadi tawanan perang, bahkan meskipun mereka itu sudah menikah (Q.4:24
dan 4:3).
Ketika
saya membaca biografi Muhammad, saya menemukan bahwa ia memperkosa
wanita-wanita paling cantik yang ia tawan dalam penyerangan yang ia
lakukan (Lihat “Apakah
Muhammad Memperkosa Safiyah?” ), pada hari yang sama ia membunuh
suami-suami mereka. Inilah alasan mengapa setiap kali seorang tentara
Muslim mengalahkan bangsa lain, mereka menyebut bangsa itu kafir dan
kemudian memperkosa para wanitanya.
Tentara-tentara
Pakistan memperkosa lebih dari 250.000 perempuan Bengali pada tahun
1971 dan membunuh 3.000.000 orang sipil tak bersenjata, ketika para
pemimpin agama mereka mendekritkan bahwa orang-orang Bangladesh adalah
non-Muslim. Ini juga alasan mengapa para sipir penjara rejim Islam Iran,
memperkosa wanita-wanita sebelum membunuh mereka. Mereka dituduh telah
murtad dan menjadi musuh-musuh Allah sebab menentang rejim tersebut.
Hal ini juga yang persis sama, dilakukan oleh Muhammad. Siapapun yang
menentangnya, dianggap sebagai penentang Allah dan karena itu darah
mereka halal untuk ditumpahkan.
Seluruh
Quran dipenuhi oleh ayat-ayat yang mengajarkan untuk membunuh orang
tidak beriman dan bagaimana Allah akan menyiksa mereka setelah mereka
mati. Tak ada pelajaran mengenai moralitas, keadilan, kejujuran, atau
kasih, dalam kitab itu. Satu-satunya pesan Quran adalah untuk
mempercayai Allah dan utusannya. Quran membujuk orang dengan menawarkan
upah akan menikmati seks tak terbatas dengan para pelacur yang cantik
di Firdaus, dan mengancam mereka yang tidak beriman dengan api yang
menyala-nyala di neraka.
Ketika
Quran berbicara tentang kebenaran, hal itu tidak sama maknanya dengan
kebenaran yang kita ketahui. Kebenaran artinya melakukan apa yang
dikatakan dan dikerjakan oleh Muhammad, yang sesungguhnya jauh dari
esensi kebenaran itu sendiri.
Seorang
Muslim bisa menjadi seorang pembunuh dan tetap dianggap sebagai
seorang yang benar. Perbuatan baik dalam pengertian sebagaimana yang
umum kita pahami, adalah hal kedua. Pada kenyataannya itu bukanlah hal
yang penting. Percaya pada Allah dan utusannya menjadi tujuan tertinggi
dalam hidup seseorang.
Setelah
membaca Quran, saya mengalami depresi yang luar biasa besar. Ini
adalah sebuah buku yang jahat dan saya mengalami saat-saat yang sulit
untuk mempercayai kejahatan yang sedemikian banyaknya. Secara natural
saya dipengaruhi oleh kasih. Kejahatan adalah hal yang menjijikkan bagi
saya. Pada mulanya saya menyangkali pemahaman saya mengenai apa yang
saya baca dan coba mencari arti-arti esoterik dari ayat-ayat Quran yang
kebanyakan merupakan ayat-ayat yang jahat. Namun usahaku sia-sia. Di
sini tak ada kesalah pahaman! Quran itu sangatlah tidak manusiawi. Ia
juga berisi banyak sekali kesalahan ilmiah dan absurditas, namun bukan
itu yang paling memberi pengaruh. Yang memberi pengaruh paling besar
adalah kekerasan yang sedemikian banyaknya yang ada dalam buku ini, dan
yang benar-benar mengguncangkan pondasi keyakinan saya.
Dengan
menggunakan terjemahan Inggris dan Persia sebagai penuntun, saya juga
memperhatikan bahwa terjemahan Quran dalam bahasa Inggris tidaklah
akurat. Penterjemahnya mencoba sekeras mungkin menyembunyikan
pernyataan-pernyataan keras maupun yang sangat bodoh yang ada dalam
Quran. Mereka memelintirkan arti dari kata-kata tersebut dan memasukkan
penjelasan-penjelasan mereka yang telah diperhalus. Saya periksa
terjemahan Inggris lainnya, semuanya juga melakukan penipuan yang halus
dan kata-kata yang dipermanis. Tampaknya para penterjemah menyadari
bahwa karya mereka akan dibaca oleh orang-orang non-Muslim dan karena
itu mereka melakukan sebisa mungkin untuk menyesatkan orang-orang
non-Muslim itu. Para penterjemah Quran ke dalam bahasa Persia tampaknya
tidak terikat untuk melakukan hal yang sama. Oleh sebab itu mereka
menyampaikan isi Quran dalam bentuk aslinya.