"Sebuah
negara Islam pada dasarnya adalah sebuah negara ideologis, dan oleh
karena itu secara radikal berbeda dengan sebuah
negara nasional".
Pernyataan yang dibuat oeh Mawdudi ini memberi fondasi dasar bagi sistem
politik, sosial, ekonomi dan keagamaan semua negara Islam yang
memberlakukan hukum Islam. Sistem ideologi ini bermaksud mendiskriminasi
orang menurut kelompok keagamaannya
Oleh: Samuel Shahid
PENDAHULUAN
Belum
lama ini telah ditulis sejumlah buku mengenai hak-hak non Muslim yang
harus hidup di bawah aturan hukum Islam. Kebanyakan dari buku-buku ini
mempresentasikan hal-hal yang kelihatannya baik dari pandangan Islam,
tanpa menyingkapkan sisi-sisi negatif yang terkandung dalam hukum-hukum
ini.
Studi
yang singkat ini berupaya menguji hukum-hukum ini sebagaimana yang
dinyatakan oleh ke-4 mazhab Fikih (yurisprudensi). Studi ini bertujuan
untuk menyadarkan para pembaca akan implikasi-implikasi negatif dari
hukum-hukum tersebut tanpa mengabaikan pandangan-pandangan yang lebih
toleran dari para reformis modern.
Pengharapan
kami yang mendalam adalah agar studi ini akan membukakan kepada para
pembaca kami kebenaran yang sesungguhnya dalam sisi positif maupun sisi
negatifnya.
S.S.
Konsep "Negara Islam"
"Sebuah
negara Islam pada dasarnya adalah sebuah negara ideologis, dan oleh
karena itu secara radikal berbeda dengan sebuah negara nasional".
Pernyataan yang dibuat oeh Mawdudi ini memberi fondasi dasar bagi sistem
politik, sosial, ekonomi dan keagamaan semua negara Islam yang
memberlakukan hukum Islam. Sistem ideologi ini bermaksud mendiskriminasi
orang menurut kelompok keagamaannya. Mawdudi, yang adalah seorang
sarjana Muslim Pakistan terkemuka, meringkaskan perbedaan-perbedaan
mendasar antara negara Islam dan negara sekuler sebagai berikut:
1)
Negara Islam adalah sebuah negara yang bersifat ideologis. Para
penduduknya dibagi menjadi orang-orang Muslim, yaitu mereka yang percaya
pada ideologi negara itu dan orang-orang non Muslim yaitu yang tidak
percaya pada ideologi negara.
2)
Tanggung-jawab atas kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan negara
semacam itu "terutama berada di tangan orang-orang yang percaya pada
ideologi Islam". Oleh karena itu, orang-orang non Muslim tidak dapat
diminta untuk melaksanakan atau dipercayai untuk mengambil
tanggung-jawab dalam membuat kebijakan.
3)
Suatu negara Islam harus membedakan (tepatnya: mendiskriminasi) antara
orang-orang Muslim dan non Muslim. Namun hukum Islam, yaitu Syariah
menjamin orang-orang non Muslim "beberapa hak tertentu yang membatasi
mereka agar tidak terlibat dalam urusan-urusan negara karena mereka
tidak mengakui ideologi negara tersebut". Apabila mereka memeluk Islam,
mereka "menjadi partisipan setara dalam segala perkara yang berkaitan
dengan negara dan pemerintahan".
Pandangan
tersebut diatas berasal dari Hanafiah, salah-satu mazhab yurisprudensi
Islam. Ketiga mazhab lainnya adalah Malikiah, Hanbiliah (mazhab yang
paling ketat dan paling fundamental dari semua), dan Salafiah. Keempat
mazhab tersebut secara dogmatis sepakat atas dasar pengakuan iman Islam
dalam interpretasi mereka terhadap hukum Islam yang berasal dari 4
sumber, yaitu:
a)
Qur'an (dibacakan atau diperkatakan), yaitu: kitab suci komunitas
Muslim yang berisi kutipan-kutipan langsung dari Allah yang diyakini
didiktekan oleh Jibril.
b)
Hadith (narasi), yaitu: kumpulan tradisi-tradisi Islam yang meliputi
perkataan dan perbuatan Muhammad sebagaimana yang didengar oleh para
sahabatnya, tangan pertama, kedua dan ketiga.
c)
Al-Qiyas (analogi atau perbandingan), yaitu: keputusan legal yang
diambil oleh para ahli hukum Islam berdasarkan kasus-kasus yang telah
ada sebelumnya.
d)
Ijma' (konsensus), yaitu: interpretasi terhadap hukum Islam yang
diberikan melalui konsensus para sarjana Muslim yang terkemuka di sebuah
negara tertentu.
Hukum-hukum
tekstual yang dicantumkan dalam Qur’an hanya sedikit. Ada pintu yang
terbuka lebar bagi para sarjana terkemuka untuk memberikan Fatwa (opini
legal) berdasarkan Qur’an, Hadith, dan disiplin islami lainnya, seperti
yang akan kita lihat kemudian.
Klasifikasi orang-orang non Muslim:
Dalam
artikelnya yang berjudul "The Ordinances of the People of the Covenant
and the Minorities in an Islamic State," Sheikh Najih Ibrahim Ibn
Abdullah mengemukakan bahwa para ahli hukum mengklasifikasi orang-orang
non Muslim atau kafir dalam dua kategori, yaitu: Dar-ul-Harb atau Rumah
Perang, yang dikenakan kepada non Muslim yang tidak diikat dengan
kesepakatan damai, atau perjanjian, dan yang darah dan propertinya tidak
dilindungi oleh hukum balas dendam atau pembalasan; dan Dar-us-Salam
atau Rumah Damai, yaitu mereka yang tercakup ke dalam 3 klasifikasi
berikut:
1)
Kaum Zimmi/dhimmi (orang-orang yang ditahan) yaitu orang-orang non
Muslim taklukkan yang hidup di negara-negara Muslim dan setuju untuk
membayar Jizya (pajak) untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan, dan
harus tunduk kepada hukum Islam. Orang-orang ini menikmati perjanjian
yang permanen.
2)
Kaum Hudna (damai) adalah orang-orang yang menandatangani kesepakatan
damai dengan orang-orang Muslim setelah mereka dikalahkan dalam perang.
Mereka boleh tetap tinggal di negeri mereka, namun tunduk pada
yurisprudensi legal Islam seperti kaum Dhimmi, dengan syarat mereka
tidak boleh mengobarkan perang terhadap orang Muslim.
3)
Musta'min (orang-orang yang dilindungi) adalah orang-orang yang datang
ke sebuah negara Islam sebagai utusan, pedagang, pengunjung, atau
pelajar yang ingin belajar mengenai Islam. Kaum Musta'min tidak boleh
memerangi orang Muslim dan tidak diwajibkan untuk membayar Jizya, namun
mereka didesak untuk memeluk Islam. Jika ia tidak mau memeluk Islam, ia
diijinkan untuk kembali ke negaranya dengan selamat. Orang Muslim
dilarang untuk menyakitinya dengan cara apapun. Ketika ia telah kembali
ke negaranya sendiri, maka ia diperlakukan sebagai orang yang berasal
dari Rumah Perang.
Fokus dari studi ini adalah hukum-hukum yang diberlakukan pada kaum Dhimmi.
Hukum Islam dan kaum Dhimmi
Para
Mufti Muslim (pihak otoritas legal) setuju bahwa kontrak dengan kaum
Dhimmi terutama harus diberikan pada Para Ahli Kitab, yaitu orang-orang
Kristen dan Yahudi, kemudian kepada kaum Magi atau para penganut
Zoroaster. Namun demikian, mereka tidak bersepakat mengenai apakah
kontrak apapun harus ditandatangani/dibuat dengan kelompok-kelompok lain
seperti kaum ateis atau komunis. Kelompok Hanbali dan Salafiah percaya
bahwa tidak boleh mengadakan perjanjian dengan orang-orang yang tidak
bertuhan atau orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Kelompok Hanbali dan Malikiah menegaskan bahwa Jizya dapat
diterima dari semua orang kafir, apapun kepercayaan dan keyakinan iman
mereka pada Tuhan. Namun demikian, Abu Hanifa tidak ingin jika kaum
pagan Arab mendapatkan pilihan ini karena mereka adalah sebangsa/satu
kaum dengan Nabi. Mereka hanya diberikan 2 pilihan: menerima Islam atau
dibunuh.
Jizya (pajak)
Jizya
secara harafiah berarti hukuman. Jizya adalah pajak perlindungan yang
dikenakan pada orang-orang non Muslim yang tinggal di bawah rejim Islam,
yang menegaskan status legal mereka. Mawdudi menyatakan bahwa
"penerimaan Jizya menetapkan kesucian hidup dan properti mereka, dan
oleh karena itu tidak boleh negara Islam, atau publik Muslim boleh
mengganggu properti mereka, kehormatan atau kebebasan mereka". Membayar
Jizya adalah simbol penghinaan dan penundukan karena kaum Dhimmi tidak
dipandang sebagai warga negara sebuah negara Islam walaupun mereka,
dalam banyak kasus, adalah penduduk asli negara itu.
Sikap
semacam itu mengasingkan kaum Dhimmi dari menjadi bagian penting
komunitas. Bagaimana seorang Dhimmi dapat merasa betah berada di tanah
airnya sendiri, di tengah-tengah kaumnya sendiri, dan dengan
pemerintahnya, ketika ia mengetahui bahwa Jizya yang dibayarkannya
adalah simbol penghinaan dan penundukan diri? Dalam bukunya yang
berjudul The Islamic Law Pertaining to non-Muslims, Sheikh `Abdulla
Mustafa Al-Muraghi menyebutkan bahwa Jizya hanya dapat dihapuskan dari
seorang Dhimmi jika ia menjadi Muslim atau mati. Kelompk Salafiah
menegaskan bahwa Jizya tidak secara otomatis disingkirkan ketika seorang
Dhimmi memeluk Islam. Pengecualian terhadap Jizya telah menjadi semacam
insentif untuk mendorong kaum Dhimmi agar meninggalkan iman mereka dan
memeluk Islam.
Sheik
Najih Ibrahim Ibn Abdulla menyimpulkan tujuan Jizya. Ia mengatakan,
mengutip Ibn Qayyim al-Jawziyya, bahwa Jizya ditetapkan:
...untuk
melindungi darah (kaum Dhimmi), sebagai simbol penghinaan terhadap
orang-orang kafir dan sebagai cemooh dan hukuman terhadap mereka, dan
seperti yang disebutkan oleh kelompok Salafiah, Jizya diberikan sebagai
ganti/pembayaran karena tinggal di negara Islam". Lalu Ibn Qayyim
menambahkan, "Oleh karena semua agama adalah milik Allah, (Jizya)
bertujuan untuk menghina kekafiran dan para pengikutnya, dan mencemooh
mereka. Memberlakukan Jizya terhadap para pengikut kekafiran dan
menindas mereka diwajibkan oleh agama Allah. Teks Qur’an menegaskan
pengertian ini saat Qur’an mengatakan `sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk' (Sura 9:29). Hal
yang kontradiktif dengan ini adalah membiarkan orang-orang kafir
menikmati kejayaan mereka dan mempraktekkan agama mereka sesuka hati
mereka sehingga mereka dapat memiliki kuasa dan otoritas.
Kaum Dhimmi dan praktek-praktek religi
Orang-orang
Muslim percaya bahwa kaum Dhimmi adalah orang-orang yang musyrik
(politeis) karena mereka melihat bahwa kepercayaan kepada Trinitas
sebagai keyakinan kepada tiga Tuhan. Mereka mengklaim bahwa Islam adalah
satu-satunya agama yang benar. Oleh karena itu, untuk menjaga
orang-orang Muslim dari kesesatan, terutama dari dosa yang tidak
terampuni, yaitu sirik (politeisme), praktek-prakteknya dilarang di
kalangan orang Muslim, karena hal itu dipandang sebagai kekejian besar.
Ketika orang Kristen mempraktekkannya secara terbuka, itu menjadi godaan
dan himbauan untuk murtad. Penting diperhatikan disini bahwa menurut
Muraghi, kaum Dhimmi dan orang-orang kafir adalah para penganut
politeisme dan oleh karena itu harus mendapat perlakuan yang sama.
Menurut
para ahli hukum Islam, ketetapan-ketetapan legal berikut ini harus
diberlakukan pada kaum Dhimmi (orang-orang Kristen dan juga Yahudi) yang
tinggal di tengah orang Muslim:
1)
Kaum Dhimmi tidak diijinkan membangun gedung gereja baru, kuil, atau
sinagoga. Mereka diijinkan untuk merenovasi gereja-gereja tua atau
rumah-rumah ibadah yang ada, mereka tidak diijinkan untuk menambahkan
konstruksi baru apapun. “Gereja-gereja tua” adalah gedung-gedung gereja
yang telah ada sebelum penaklukkan Islam dan termasuk ke dalam
perjanjian damai yang disusun oleh orang-orang Muslim. Gedung gereja
apapun, kuil, atau sinagoga di jazirah Arab (Arab Saudi) dilarang. Itu
adalah negeri Nabi dan hanya Islam yang boleh ada disana. Namun,
orang-orang Muslim, jika mereka menginginkannya, diijinkan untuk
menghancurkan semua rumah ibadah non Muslim di negeri apapun yang mereka
taklukkan.
2)
Kaum Dhimmi tidak diijinkan untuk berdoa atau membaca kitab-kitab suci
mereka keras-keras di rumah atau di gereja, agar orang Muslim tidak
mendengar doa-doa mereka.
3)
Kaum Dhimmi tidak diijinkan mencetak buku-buku religius mereka atau
menjualnya di tempat-tempat publik atau di pasar. Mereka diijinkan untuk
menerbitkannya dan menjualnya di kalangan mereka sendiri, dalam gereja
mereka dan kuil-kuil mereka.
4) Kaum Dhimmi tidak diijinkan untuk memasang salib di rumah atau gereja mereka oleh karena salib adalah lambang kekafiran.
5)
Kaum Dhimmi tidak diijinkan untuk menyiarkan atau mempertunjukkan
ritual-ritual upacara keagamaan mereka di radio atau televisi atau
menggunakan media untuk menerbitkan gambar-gambar seremoni religius
mereka di surat-kabar dan majalah.
6)
Kaum Dhimmi tidak diijinkan untuk berkumpul di jalanan pada
perayaan-perayaan religius mereka; namun, masing-masing mereka harus
berjalan cepat-cepat menuju ke gereja atau kuil mereka.
7)
Kaum Dhimmi tidak diijinkan untuk menjadi tentara kecuali jika ada
kebutuhan mendesak bagi mereka dalam mana mereka tidak diijinkan untuk
menduduki posisi-posisi pemimpin, namun mereka hanya dipandang sebagai
pembunuh/tentara bayaran.
Mawdudi, yang adalah anggota Hanafiah, menunjukkan pendapat yang lebih ramah terhadap orang Kristen. Ia mengatakan:
Dalam
kota-kota mereka, mereka diijinkan untuk melakukannya (praktek
keagamaan mereka) dengan kebebasan penuh. Namun di wilayah-wilayah yang
murni penduduknya Muslim, pemerintah Islam berhak penuh untuk
memberlakukan larangan terhadap praktek-praktek mereka jika dipandang
perlu.
Kemurtadan dalam Islam
Kemurtadan
berarti menolak agama Islam, baik dengan tindakan maupun perkataan.
"Oleh karena itu murtad berarti orang itu mengakhiri keterlibatannya
dengan Islam". Ketika seseorang menolak kredo-kredo fundamental Islam,
maka ia menolak iman, dan ini adalah murtad. Dalam Islam tindakan
seperti ini dipandang sebagai dosa yang sangat besar. Qur’an mengatakan:
Bagaimana
Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman,
serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar
rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah
tidak menunjuki orang-orang yang lalim. Mereka itu, balasannya ialah:
bahwasanya laknat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) laknat
para malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak
diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.
Kecuali orang-orang yang tobat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan
perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(Sura 3:86-89).
Pada
dasarnya, hukum Islam mewajibkan orang-orang Muslim agar tidak memaksa
kaum Dhimmi memeluk Islam. Adalah kewajiban setiap orang Muslim untuk
menunjukkan kebajikan-kebajikan Islam sehingga orang-orang non Muslim
akan memeluk Islam dengan sukarela setelah menemukan kebesaran dan
kebenaran Islam. Sekali seseorang menjadi Muslim, ia tidak bisa berbalik
lagi. Jika ia berpaling dari Islam, pertama-tama ia akan diperingatkan,
kemudian ia akan diberi waktu 3 hari untuk berpikir dan bertobat. Jika
ia tetap dalam kemurtadannya, istrinya harus menceraikannya, propertinya
disita, dan anak-anaknya diambil darinya. Ia tidak diijinkan untuk
menikah lagi. Melainkan, ia harus dibawa ke pengadilan dan dihukum mati.
Jika ia bertobat, ia dapat kembali kepada istri dan anak-anaknya atau
menikah lagi. Menurut kelompok Hanafiah seorang perempuan yang murtad
tidak diperbolehkan untuk menikah. Ia harus menghabiskan waktu untuk
bermeditasi untuk kembali kepada Islam. Jika ia tidak bertobat, ia tidak
akan dihukum mati, namun ia harus dianiaya, dipukuli dan dipenjarakan
hingga ia mati. Mazhab syariah lainnya menuntut agar ia dihukum mati.
Penghukuman tersebut di atas dipaparkan dalam sebuah Hadith yang dicatat
oleh Bukhari: "Dilaporkan oleh `Abaas...bahwa Utusan Allah...berkata,
‘barangsiapa mengganti agamanya (dari Islam menjadi agama lain),
bunuhlah dia".
Dalam
bukunya yang berjudul Shari`ah: The Islamic Law, Doi mengemukakan,
"Hukuman mati dalam kasus murtad telah disepakati bersama oleh keempat
mazhab yurisprudensi Islam".
Seorang
non Muslim yang ingin menjadi Muslim dianjurkan untuk melakukannya, dan
siapapun, bahkan ayah ibunya yang berusaha untuk menghentikan niatnya
itu, boleh dihukum. Namun demikian, barangsiapa melakukan usaha untuk
mentobatkan seorang Muslim kepada agama lain juga akan mendapat hukuman.
Hukum-hukum sipil
Kaum
Dhimmi dan orang-orang Muslim tunduk kepada hukum-hukum sipil yang
sama. Mereka harus diperlakukan sama dalam hal kehormatan, pencurian,
perzinahan, pembunuhan dan perusakan properti. Mereka harus dihukum
sesuai dengan hukum Islam walaupun mereka mempunyai keyakinan religi
yang berbeda. Kaum Dhimmi dan orang-orang Muslim sama-sama tunduk kepada
hukum Islam dalam hal bisnis sipil, transaksi-transaksi keuangan
seperti penjualan, sewa-menyewa, firma, pendirian perusahaan sekuritas,
hipotek dan kontrak. Sebagai contoh, tindak pencurian dihukum dengan
pemotongan tangan si pencuri, baik ia adalah seorang Muslim maupun
seorang Kristen. Tapi berkenaan dengan hak istimewa, kaum Dhimmi tidak
mendapatkan perlakuan yang sama. Sebagai contoh, kaum Dhimmi tidak
mendapatkan ijin untuk membawa senjata.
Pernikahan dan anak-anak
Seorang
pria Muslim dapat menikahi seorang gadis Dhimmi, tapi seorang pria
Dhimmi tidak boleh menikah dengan gadis Muslim. jika seorang wanita
memeluk Islam dan ingin menikah, ayahnya yang non Muslim tidak mempunyai
otoritas untuk menyerahkannya kepada pengantin pria. Ia harus
diserahkan oleh seorang wali Muslim.
Jika
salah satu orang-tua adalah seorang Muslim, maka anak-anak harus
dibesarkan secara Muslim. jika si ayah adalah seorang Dhimmi dan
istrinya memeluk Islam, istrinya harus menceraikannya; kemudian ia
mempunyai hak asuh atas anak-anaknya. Beberapa mazhab fundamentalis
mengemukakan bahwa seorang suami Muslim berhak untuk mengurung istrinya
yang Dhimmi di rumahnya dan melarangnya untuk pergi bersembahyang di
rumah ibadahnya.
Penghukuman yang berat
Kelompok
Hanafiah percaya bahwa baik kaum Dhimmi dan juga orang Muslim harus
diganjar dengan hukuman yang sama untuk tindak kejahatan yang sama. Jika
seorang Muslim dengan sengaja membunuh seorang Dhimmi, maka ia pun
harus dibunuh. Hal yang sama berlaku pada orang Kristen yang membunuh
seorang Muslim. Tetapi mazhab hukum lainnya mempunyai interpretasi yang
berbeda terhadap hukum Islam. Kelompok Salafiah berpandangan bahwa
seorang Muslim yang membunuh seorang Dhimmi tidak boleh dibunuh, karena
tidak patut mensejajarkan seorang Muslim dengan seorang politeis
(Mushrik). Dalam kasus seperti itu, uang darah harus dibayarkan. Hukuman
yang dijatuhkan bergantung pada mazhab hukum mana yang digunakan oleh
negara Islam dimana kejahatan itu dilakukan. Ini menggambarkan implikasi
dari interpretasi-interpretasi yang berbeda terhadap hukum Islam
berdasarkan Hadith.
Setiap
mazhab berusaha untuk mendokumentasikan opini legal mereka dengan
mengacu kepada Hadith atau kepada sebuah insiden yang dialami oleh Nabi
atau para Khalif "yang mendapat tuntunan yang benar".
Kesaksian kaum Dhimmi
Kaum
Dhimmi tidak dapat bersaksi menentang orang Muslim. Mereka hanya dapat
bersaksi terhadap Dhimmi lainnya atau Musta'min. Sumpah mereka tidak
dipandang valid di pengadilan Islam. Berdasarkan Syariah, seorang Dhimmi
bahkan tidak memenuhi persyaratan untuk berada di bawah sumpah. Muraghi
dengan tegas mengatakan, "Kesaksian seorang Dhimmi tidak diterima
karena Allah – terpujilah Dia – mengatakan: ‘Tuhan tidak akan membiarkan
seorang kafir mengangkat tangannya atas orang-orang’". Seorang Dhimmi,
yang dipandang sebagai orang kafir, tidak dapat bersaksi terhadap
Muslim siapapun walau ia memiliki kredibilitas moral. Jika seorang
dhimmi telah membuat tuduhan palsu terhadap seorang Dhimmi lainnya dan
pernah dihukum, kredibilitas dan integritasnya tidak dapat lagi
diterima. Satu implikasi serius dari hal ini adalah, jika seorang Muslim
telah melakukan sebuah pelanggaran yang serius terhadap sesamanya
Muslim, dan hanya disaksikan oleh seorang Dhimmi, maka pengadilan akan
mengalami kesulitan untuk menyelesaikan kasus itu oleh karena kesaksian
kaum Dhimmi tidak dapat diterima. Namun, orang Dhimmi yang sama ini yang
integritasnya cacat, jika ia memeluk Islam, maka kesaksiannya akan
diterima baik terhadap orang Dhimmi lainnya dan juga orang Muslim,
karena menurut Syariah, "Dengan memeluk Islam ia telah mendapatkan
kredibilitas baru yang memperbolehkan ia untuk bersaksi..." Yang harus
dilakukannya hanyalah mengucapkan pengakuan iman Islam (kalimat
syahadat) di hadapan para saksi, dan itu akan meninggikannya dari status
sebagai orang buangan menjadi seorang Muslim yang dihormati, dan
menikmati semua hak istimewa yang dimiliki oleh seorang Muslim yang
bertakwa.
Hukum pribadi
Dalam
hal-hal pribadi sehubungan dengan pernikahan, perceraian dan warisan,
kaum Dhimmi diperbolehkan untuk mengajukannya ke pengadilan agama mereka
sendiri. Setiap denominasi Kristen mempunyai hak dan otoritas untuk
menentukan hasil akhir dari setiap kasus. Kaum Dhimmi bebas untuk
mempraktekkan upacara-upacara keagamaan dan sosial mereka di rumah dan
di gereja tanpa campur tangan negara, bahkan dalam hal-hal seperti minum
anggur, memelihara babi, dan makan daging babi, asalkan mereka tidak
menjualnya kepada orang Muslim. secara umum kaum Dhimmi disangkali
haknya untuk mengajukan perkara keluarganya, pernikahan, perceraian dan
masalah warisan di pengadilan Islam. Namun demikian, dalam peristiwa
seorang hakim Muslim setuju untuk menangani kasus tersebut, maka
pengadilan harus menerapkan hukum Islam.
Hak-hak politik dan kewajiban-kewajiban
Negara
Islam adalah suatu negara ideologis, oleh karena itu kepala negara
haruslah seorang Muslim, karena ia wajib menjalankan syariah dan
menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan Qur’an dan Sunnah.
Fungsi dewan penasihatnya adalah untuk mendampinginya dalam
mengimplementasi prinsip-prinsip Islam dan mengacu kepada hukum
tersebut. Orang yang tidak mengakui ideologi Islam tidak dapat menjadi
kepala negara atau anggota dewan.
Mawdudi,
yang menyadari akan persyaratan-persyaratan masyarakat modern,
nampaknya bersikap lebih toleran terhadap kaum Dhimmi. Ia berkata:
Berkenaan
dengan suatu parlemen atau legislator yang modern, dan yang sangat
berbeda dengan dewan penasehat dalam pengertian tradisional, aturan ini
dapat diperlonggar untuk mengijinkan orang non Muslim menjadi anggota
oleh karena sepenuhnya telah dijamin dalam konstitusi; sehingga tidak
ada hukum yang bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah yang harus
disahkan, agar Qur’an dan Sunnah menjadi sumber utama hukum publik, dan
kepala pemerintahan haruslah seorang Muslim.
Dalam
keadaan semacam ini, luasnya pengaruh minoritas non Muslim akan
dibatasi pada hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah umum
negara tersebut atau hanya pada kepentingan kaum minoritas saja.
Partisipasi mereka tidak boleh mengancam kewajiban-kewajiban fundamental
Islam. Mawdudi menambahkan,
Adalah
mungkin untuk membentuk dewan representatif yang terpisah bagi semua
kelompok non Muslim dalam kapasitas suatu agensi sentral. Keanggotaan
dan hak-hak memilih dari dewan semacam itu akan dibatasi kepada orang
non Muslim dan mereka akan diberikan kebebasan penuh di dalam kerangka
kerjanya.
Pandangan-pandangan
ini tidak mendapatkan persetujuan dari banyak mazhab Syariah lainnya
yang berpendapat bahwa non Muslim tidak diijinkan untuk menduduki posisi
apapun yang dapat memberikan mereka otoritas atas orang Muslim. Suatu
posisi dengan kewenangan menuntut adanya implementasi ideologi Islam.
Seorang non Muslim (tanpa mempedulikan kemampuannya, ketulusannya, dan
loyalitasnya terhadap negaranya) diyakini tidak dapat dan tidak akan
bekerja dengan setia untuk mencapai tujuan-tujuan ideologis dan politis
Islam.
Dunia bisnis
Arena
politik dan sektor-sektor publik resmi bukanlah satu-satunya wilayah
dalam mana orang non Muslim tidak diijinkan untuk menduduki suatu posisi
yang memiliki otoritas. Seorang karyawan Muslim yang bekerja dalam
sebuah perusahaan menulis dalam sebuah surat "Jika diijinkan bagi
seorang pemilik (sebuah perusahaan) Muslim untuk memberikan otoritas
pada seorang Kristen terhadap orang Muslim?" (Mingguan Al-Muslim; Vol.
8; issue No. 418; Jumat 2, 5, 1993).
Sebagai tanggapan terhadap surat ini, tiga sarjana Muslim terkemuka menyampaikan opini-opini legal mereka:
Sheikh Manna` K. Al-Qubtan, profesor untuk studi-studi lanjutan di School of Islamic Law di Riyadh, mengemukakan bahwa:
Pada
dasarnya, perintah non Muslim terhadap orang-orang Muslim tidak
diijinkan, karena Tuhan Yang Maha Kuasa berkata: ‘Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir (yaitu orang Kristen)
untuk memusnahkan (terjemahan lain: mempunyai otoritas atas) orang-orang
yang beriman (Muslim)’ {Sura 4:141}. Karena Allah – terpujilah Dia –
telah meninggikan orang-orang Muslim ke tingkat yang tertinggi (atas
semua manusia) dan telah menetapkan sebelumnya bagi mereka kekuatan,
melalui kebajikan teks Qur’an dalam mana Tuhan Yang Maha Kuasa berkata:
'kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya (Muhammad) dan bagi
orang-orang mukmin’ {Sura 63:8}.
Oleh
karena itu, otoritas non Muslim atas seorang Muslim tidak sesuai dengan
kedua ayat tersebut, mengingat orang Muslim harus tunduk dan taat
kepada siapapun yang berkuasa atas dirinya. Sehingga dengan demikian,
orang Muslim menjadi lebih rendah daripadanya, dan ini tidak boleh
terjadi pada orang Muslim.
Dr.
Salih Al-Sadlan, profesor Syariah di School of Islamic Law, Riyadh,
mengutip ayat-ayat yang sama dan menambahkan bahwa tidak boleh seorang
kafir (dalam hal ini orang Kristen) berwenang atas orang Muslim apakah
itu dalam sektor pribadi maupun publik. Tindakan semacam itu:
Mengandung
penghinaan terhadap orang Muslim dan meninggikan orang kafir (Kristen).
Orang kafir ini akan mengeksploitasi posisinya untuk merendahkan dan
menghina orang-orang Muslim yang bekerja di bawah pemerintahannya.
Dianjurkan agar si pemilik perusahaan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa dan hanya memberi wewenang pada orang Muslim terhadap orang Muslim
lainnya. Juga, pemerintah harus menetapkan bahwa seorang kafir tidak
boleh menjabat apabila ada seorang Muslim yang dianggap mampu untuk
memberi perintah. Nasehat kami kepada para pemilik perusahaan adalah
agar memindahkan orang kafir ini dan menggantikannya dengan orang
Muslim".
Dalam
tanggapannya, Dr. Fahd Al-`Usaymi, profesor untuk Studi-studi Lanjutan
di Studi-studi Mengenai Islam di Teachers' College di Riyadh,
mengemukakan bahwa orang Muslim yang adalah pemilik perusahaan tersebut
harus mencari karyawan Muslim yang lebih baik daripada orang Kristen (si
Manajer), atau sama dengannya atau bahkan tidak terlalu berkualitas
namun dapat dilatih untuk memiliki keahlian yang sama dengan orang
Kristen tersebut. Tidak boleh seorang Kristen berkuasa atas orang Muslim
oleh karena adanya bukti-bukti umum yang menegaskan superioritas orang
Muslim atas orang lain. Kemudian ia mengutip Sura 63:8 dan juga Sura
58:22 sebagai berikut:
Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.
`Usaymi
mengklaim bahwa berada di bawah otoritas, seorang Kristen akan memaksa
orang Muslim untuk menyenangkan hatinya dan merendahkan diri mereka
sendiri terhadap orang kafir ini dengan harapan agar dapat memperoleh
sedikit dari apa yang dipunyainya. Sekali lagi ini mengkonfirmasi
bukti-bukti yang ada. Kemudian ia mengkaitkannya dengan kisah Umar Ibn
Al-Khattab Khalif yang kedua, yang kecewa dengan salah satu gubernurnya
yang mengangkat seorang Dhimmi sebagai bendahara, dan mengatakan:
"Apakah rahim para wanita telah menjadi mandul sehingga mereka hanya
melahirkan orang ini?" Kemudian `Usaymi menambahkan:
Orang
Muslim harus bertakwa kepada Tuhan dan saudara-saudara Muslim mereka
dan melatih mereka...karena kejujuran dan bertakwa kepada Tuhan adalah,
sesungguhnya, dalam Muslim, berbeda dengan orang kafir (Kristen) yang,
sesungguhnya tidak jujur dan tidak bertakwa kepada Tuhan.
Apakah
ini berarti bahwa seorang Kristen yang mempunyai bisnis tidak dapat
mempekerjakan seorang Muslim? Bahkan lebih buruk lagi, apakah ini
berarti bahwa seorang Dhimmi, walaupun ia mempunyai kualifikasi yang
tidak tertandingi, tidak dapat diangkat untuk menduduki posisi yang
tepat dimana ia dapat melayani negaranya dengan segenap kemampuannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawaban.
Kebebasan berekspresi
Mawdudi,
yang lebih longgar daripada kebanyakan sarjana Muslim, memberikan
sebuah opini yang revolusioner ketika ia menekankan bahwa dalam suatu
negara Islam:
Semua
orang non Muslim akan memiliki kebebasan nurani, opini, ekspresi, dan
berkumpul; sama seperti yang dinikmati oleh orang-orang Muslim, tunduk
kepada batasan-batasan seperti yang diberlakukan oleh hukum kepada orang
Muslim.
Pandangan-pandangan
Mawdudi tidak diterima oleh kebanyakan mazhab hukum Islam, terutama
berkenaan dengan kebebasan berekspresi seperti mengkritik Islam dan
pemerintah. Bahkan di negara seperti Pakistan, tanah air Mawdudi
sendiri, adalah ilegal jika mengkritik pemerintah atau kepala negara.
Banyak tahanan politik yang dipenjarakan di Pakistan dan di banyak
negara Islam. Di sepanjang sejarah, kecuali dalam beberapa kasus, bahkan
orang Muslim pun tidak diberi kebebasan untuk mengkritik Islam tanpa
mendapatkan penganiayaan atau hukuman mati. Apalagi bagi seorang
Dhimmi; ia tidak dapat lolos begitu saja setelah mengkritik Islam.
Dalam
pernyataan Mawdudi, istilah "batasan-batasan" didefinisikan secara
kabur. Jika hal itu didefinisikan secara harafiah, anda akan menemukan,
dalam analisa akhir, hal itu mengontrol ketat dan membatasi kritik
apapun terhadap iman Islam dan pemerintah.
Lebih
jauh lagi, bagaimana kaum Dhimmi dapat mengekspresikan aspek positif
dari agama mereka jika mereka tidak diijinkan untuk menggunakan media
atau mengiklankan diri di radio atau televisi? Barangkali yang
dimaksudkan oleh Mawdudi dengan proposalnya untuk mengijinkan kebebasan
seperti itu kepada kaum Dhimmi hanyalah untuk kalangan mereka sendiri.
Jika tidak demikian, mereka harus tunduk kepada hukuman. Namun,
orang-orang Muslim diijinkan, berdasarkan Syariah (hukum) untuk
menyebarkan keyakinan mereka diantara semua sekte religius tanpa ada
batasan-batasan.
Orang Muslim dan kaum Dhimmi
Hubungan
antara orang-orang Muslim dengan kaum Dhimmi dibagi dalam dua kategori,
yaitu apa yang dilarang/diharamkan dan apa yang diperbolehkan.
I. Yang dilarang:
Seorang Muslim dilarang untuk:
- Meniru pakaian dan tingkah-laku kaum Dhimmi.
- Menghadiri perayaan-perayaan kaum Dhimmi atau mendukung mereka dalam hal apapun yang dapat memberi mereka kuasa atas orang Muslim.
- Menyewakan rumahnya atau menjual tanahnya untuk pembangunan gereja, kuil, toko minuman, atau apapun yang dapat menguntungkan keyakinan kaum Dhimmi.
- Melakukan pekerjaan apapun bagi kaum Dhimmi yaitu pekerjaan yang akan menguntungkan keyakinan mereka seperti membangun gedung gereja.
- Memberikan sumbangan bagi gereja atau kuil.
- Membawa bejana apapun yang berisi anggur, bekerja di tempat yang memproduksi anggur, atau mengangkut babi.
- Menyebut kaum Dhimmi dengan gelar atau sebutan seperti: "majikan saya" atau "tuanku".
II. Yang diperbolehkan
Seorang Muslim diperbolehkan untuk:
- Mendukung kaum Dhimmi secara keuangan, memberikan uang yang tidak akan digunakan untuk melanggar hukum Islam seperti membeli anggur atau daging babi.
- Memberikan hak beli (yaitu prioritas dalam membeli properti) kepada tetangganya yang Dhimmi. Kelompok Hanbili tidak setuju akan hal ini.
- Memakan makanan yang disediakan oleh Para Ahli Kitab.
- Menghibur kaum Dhimmi yang sedang sakit atau sedang berdukacita. Orang Muslim juga diijinkan untuk menghantar dan mendampingi di upacara penguburan di pemakaman, tapi ia harus berjalan di depan peti mati, bukan di belakangnya, dan ia harus pergi sebelum jenazah dimakamkan.
- Memberi ucapan selamat pada kaum Dhimmi atas pernikahan, kelahiran seorang anak, kembali dari perjalanan panjang, atau sembuh dari sakit penyakit. Namun demikian, orang Muslim diperingatkan agar tidak mengucapkan perkataan apapun yang menandakan penerimaannya terhadap terhadap keyakinan kaum Dhimmi, seperti: "Kiranya Allah meninggikan engkau," "Kiranya Allah menghormatimu," atau "Kiranya Allah memberi kemenangan kepada agamamu".
Konklusi
Studi
ini menunjukkan kepada kita bahwa orang-orang non Muslim tidak
dipandang sebagai warga negara oleh negara Islam apapun, sekalipun
mereka adalah penduduk asli negeri itu. Jika mengatakan sebaliknya
adalah sama dengan menutupi kebenaran. Keadilan dan kesetaraan menuntut
agar orang Kristen Pakistan, Melanesia, Turki, atau Arab harus
diperlakukan sama seperti warga negara lainnya di dalam negaranya
sendiri. Ia berhak menikmati hak istimewa yang sama sebagai warga negara
tanpa memandang afiliasi religiusnya. Mengklaim bahwa Islam adalah
agama yang sejati dan menuduh agama-agama lain sebagai kafir adalah
pelanggaran sosial, religius dan legal terhadap Para Ahli Kitab.
Orang-orang
Kristen percaya bahwa agama mereka adalah agama yang sejati dari Tuhan,
dan Islam itu bukan. Apakah ini berarti bahwa Inggris Raya, yang
dikepalai oleh seorang Ratu, kepala Gereja Anglikan, harus memperlakukan
warga Muslimnya sebagai warga negara kelas dua? Terlebih lagi, mengapa
orang-orang Muslim di Barat menikmati semua kebebasan di Barat yang
diperuntukkan bagi semua warga negara negeri itu, sedangkan
negara-negara Muslim tidak mengijinkan orang-orang Kristen yang adalah
penduduk asli untuk menikmati kebebasan yang sama? Orang-orang Muslim di
Barat membangun mesjid-mesjid, sekolah-sekolah dan pusat-pusat
pendidikan dan mempunyai akses kepada media tanpa ada larangan apapun.
Dengan terang-terangan mereka mengiklankan aktifitas mereka dan
diijinkan untuk mendistribusikan bahan-bahan mengenai Islam dengan
bebas, sedangkan orang-orang Kristen yang adalah penduduk asli di negara
Islam tidak diijinkan untuk melakukan hal itu. Mengapa orang-orang
Kristen di Barat diijinkan untuk memeluk agama apapun yang mereka
inginkan tanpa dibayangi penganiayaan sedangkan orang yang memilih untuk
memeluk agama lain di negara Islam dipandang sebagai seorang yang
murtad dan harus dibunuh jika ia tetap dalam kemurtadannya?
Pertanyaan-pertanyaan ini dan juga yang lainnya silahkan direnungkan
oleh para pembaca.
Judul Dalam Bahasa Inggris: Rights of Non-Muslims in an Islamic State
REFERENSI
Abdullah,
Najih Ibrahim Bin, The Ordinances of the People of the Covenant and the
Minorities in an Islamic State, Balagh Magazine, Cairo, Egypt, Volume
944, May 29, 1988; Volume 945, June 5, 1988.
Al Muslimun, Vol. 8; issue No, 418; Friday 2, 5, 1993.
Doi, `Abdur Rahman I.; Shari`a: The Islamic Law; Taha Publishers; London UK; 1984.
Mawdudi, S. Abul `Ala', The Rights of Non-Muslims in Islamic State, Islamic Publications, LTD. Lahore, Pakistan. 1982
Muraghi, Abdullah Mustapha, Islamic Law Pertaining to Non-Muslims, Library of Letters. Egypt. Undated