Oleh: Ali Sina
“Allah sangat tidak peduli. Qur’an penuh dengan kesalahan…
Allah tidak eksis dimanapun kecuali dalam pikiran orang yang tidak waras.
…Betapa kecewanya saya ketika saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun saya berdoa kepada sebuah fantasi”.
Memang
mudah menyebut orang yang meninggalkan Islam sebagai “orang yang sesat”,
namun tidak mudah menjalani hidup sebagai
orang yang sesat. “Proses
berjalan dari iman kepada pencerahan adalah sesuatu yang sulit dan
menyakitkan”, dan menurut Ali Sina hal itu bukanlah sebuah keputusan
yang mudah.
Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang religius, Ali menjadi sangat prihatin terhadap ajaran-ajaran fanatik dari para mullah
di mesjid keluarganya. Lebih jauh lagi, ia tidak dapat mengerti
kebencian banyak orang Muslim yang dialamatkan kepada hampir semua orang
non-Muslim. Ali juga menyaksikan bagaimana pengajaran yang ia terima
mengenai Qur’an berisi kebencian dan menganjurkan prasangka buruk.
Ketika ia merasa sulit menerima hal ini, ia mulai bertanya bagaimana
Pencipta alam semesta ini dapat begitu kejam dan berpikiran sempit,
terutama berkenaan dengan kaum wanita yang dianggap sebagai embisil
(kaum yang dipandang lebih rendah daripada idiot – Red). Dalam negara
Islam, kesaksian seorang wanita di pengadilan, dianggap tidak dapat
dipercaya, dan jika seorang wanita diperkosa ia tidak dapat menggugat
pemerkosanya. Karena menyaksikan pelecehan seperti itu terhadap kaum
wanita dan hak-hak mereka, Ali akhirnya membuka sebuah situs (www.faithfreedom.org)
untuk menjangkau orang-orang Muslim lainnya yang berhati baik, yang
mungkin mempunyai keprihatinan yang sama dengannya. Para penganut Islam
segera membungkamnya. Namun, ia mengumpulkan kekuatan yang cukup untuk
memulai lagi dan hari ini ia percaya bahwa cara-cara lama dengan
membunuh orang-orang sesat, membakar kitab-kitab mereka, dan membungkam
mereka, tidak akan berhasil. Dalam jaman modern ini, Ali percaya tidak
seorang pun dapat menghentikan orang untuk membaca dan berpikir secara
kritis, dan bahwa sekarang pintu untuk kebebasan berpikir telah terbuka
dan tidak akan ditutup lagi.
Walaupun
situs Ali dilarang di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan negara-negara
Islam lainnya, ia percaya bahwa ada sejumlah besar orang Muslim lainnya
yang tidak pernah mengetahui kebenaran, terekspos dengan kebenaran itu
dan untuk pertama kalinya dikejutkan dengan realitas. Kesaksiannya
merupakan kisah yang panjang hingga tiba pada menemukannya sendiri.
Tragedi yang tertulis di halaman-halaman sejarah ditulis dengan darah
orang-orang yang dibunuh dalam nama Allah.
Kesaksian Ali
Saya dilahirkan dalam sebuah keluarga religius moderat. Dari pihak ibu saya, saya mempunyai beberapa kerabat yang adalah para ayatollah.
Walaupun kakek saya (yang tidak pernah saya lihat) nampaknya lebih
skeptis, kami adalah orang-orang beriman. Orangtua saya tidak terlalu
menyukai para mullah. Kenyataannya, kami tidak terlalu
berhubungan dengan para kerabat kami yang fundamentalis. Kami suka
menganggap diri kami sebagai orang-orang yang percaya kepada “Islam yang
sejati”, bukan Islam seperti yang diajarkan dan dipraktekkan oleh para mullah.
Saya
teringat satu ketika saya mendiskusikan soal agama dengan suami dari
salah satu bibi saya, yaitu ketika saya masih kira-kira berumur 15
tahun. Ia adalah seorang Muslim fanatik yang sangat tertarik kepada fiqh (yurisprudensi Islam). Fiqh
menjelaskan bagaimana caranya seorang Muslim harus berdoa, berpuasa,
menjalankan hidup pribadi dan bermasyarakat mereka, membersihkan diri,
menggunakan toilet, bahkan bersetubuh. Menurut saya ini tidak ada
hubungannya dengan Islam sejati, itu hanya karangan para mullah, perhatian berlebihan terhadap fiqh mengurangi
dampak dan pentingnya kemurnian berita Islam – yaitu penyatuan manusia
dengan Penciptanya. Pandangan ini banyak diispirasikan oleh kaum Sufi.
Banyak orang Iran berterimakasih atas puisi-puisi Rumi, dalam penampilan
mereka adalah kaum Sufi pada tingkatan yang tinggi.
Di awal
masa muda, saya melihat adanya diskriminasi dan kekejaman terhadap
pemeluk agama minoritas di Iran. Ini sangat terlihat di kota-kota
propinsi yang tingkat pendidikannya rendah dan para mullah
sangat menguasai orang-orang yang mudah tertipu. Oleh karena pekerjaan
ayah saya, kami lebih sering tinggal di kota-kota kecil di luar ibukota.
Saya teringat, suatu kali guru kami ingin membawa kelas kami pergi
berenang. Kami sangat gembira dan sangat menanti-nantikan hari itu. Di
kelas kami ada beberapa anak yang menganut agama Baha’i dan Yahudi. Pak
guru tidak mengijinkan mereka untuk ikut serta. Ia berkata bahwa mereka
tidak diijinkan untuk berenang di kolam yang sama dengan orang Muslim.
Saya tidak dapat melupakan kekecewaan anak-anak itu saat mereka
meninggalkan sekolah sambil menangis, tertunduk dan hancur hati. Pada
usia itu, kira-kira 9 atau 10 tahun, saya menganggap ketidakadilan itu
sangat tidak masuk akal dan menyedihkan.Menurut saya itulah kesalahan
anak-anak itu – karena mereka bukan Muslim.
Saya
percaya bahwa saya adalah orang yang beruntung karena mempunyai orangtua
yang berpikiran terbuka dan mendorong saya untuk berpikir secara
kritis. Mereka berusaha menanamkan pada saya kasih Tuhan dan utusan-Nya,
dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan seperti persamaan hak antara
pria dan wanita, dan kasih untuk semua umat manusia. Dengan kata lain,
beginilah gambaran keluarga-keluarga Iran modern pada umumnya.
Kenyataannya, mayoritas Muslim yang berpendidikan percaya bahwa Islam
adalah agama yang manusiawi, yang menghormati hak-hak azasi manusia,
meninggikan status wanita dan melindungi hak-hak mereka. Banyak orang
Muslim percaya bahwa Islam berarti damai. Jelas bahwa hanya sedikit
diantara mereka yang sudah membaca Qur’an.
Saya
menghabiskan awal masa remaja saya dengan mimpi indah ini, mendukung
“Islam sejati” karena menurut saya memang sudah seharusnya demikian, dan
mengkritik para mullah yang telah menyimpang dari ajaran Islam
sejati. Saya memuja Islam yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang saya anut. Tentu saja Islam dalam bayangan saya adalah sebuah agama
yang indah. Islam adalah agama kesetaraan dan damai. Islam adalah agama
yang mendorong pemeluknya untuk mencari ilmu dan mempunyai sifat ingin
tahu. Islam adalah agama yang harmonis dengan sains dan akal.
Kenyataannya, saya berpikir bahwa sains terinspirasi oleh Islam. Islam
yang saya percayai adalah agama yang memancarkan sains modern, yang
akhirnya menghasilkan buah di dunia Barat, dan memungkinkan adanya
penciptaan dan penemuan-penemuan modern. Saya percaya bahwa Islam adalah
tujuan sejati peradaban modern. Menurut saya, alasan mengapa
orang-orang Muslim hidup dalam kebebalan yang sangat menyedihkan adalah
karena kesalahan para mullah yang lebih mementingkan diri
sendiri dan para pemimpin agama yang telah salah menafsirkan ajaran
Islam yang sejati hanya untuk keuntungan pribadi mereka semata.
Banyak
orang Muslim percaya bahwa peradaban Barat yang luarbiasa itu
sesungguhnya berakar dalam Islam. Mereka berpandangan bahwa
pikiran-pikiran ilmiah Timur Tengah yang luarbiasa itu, yang telah
banyak memberi kontribusi pada ilmu pengetahuan, memegang peranan
penting dalam kelahiran ilmu pengetahuan modern. Omar Khayyam adalah
ahli matematika yang luarbiasa yang dengan tepat mengkalkulasikan
panjangnya satu tahun menjadi .74% dari sedetik. Zakaria Razi dipandang
sebagai salah seorang dari pendiri mula-mula sains empiris yang
mendasarkan pengetahuannya pada riset dan percobaan. Ensiklopedia medis
bersejarah dari Avicenna diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Eropa
selama berabad-abad. Masih ada begitu banyak lagi orang-orang yang
memberikan pencerahan-pencerahan besar yang mempunyai nama yang berbau
Islam yang merupakan pelopor-pelopor sains modern ketika Eropa sedang
merana dengan Abad Kegelapan dari masa pertengahan. Seperti orang Muslim
lainnya, saya bercaya bahwa semua orang besar itu adalah Muslim, bahwa
mereka terinspirasi oleh kekayaan pengetahuan yang tersembunyi dalam
Qur’an, dan jika orang-orang Muslim jaman sekarang dapat memperoleh
kembali kemurnian Islam yang mula-mula, hari-hari kejayaan Islam yang
telah hilang akan kembali dan orang-orang Muslim akan memimpin kemajuan
peradaban dunia ini sekali lagi.
Iran
adalah sebuah negara Muslim, tetapi juga sebuah negara yang rusak.
Kesempatan untuk masuk perguruan tinggi sangat tipis. Hanya satu dari 10
orang yang mendaftar dapat masuk perguruan tinggi. Seringkali mereka
dipaksa untuk memilih mata kuliah yang tidak ingin mereka pelajari
karena mereka tidak dapat mencapai poin yang cukup untuk mata kuliah
pilihan mereka. Siswa yang mempunyai koneksi yang tepat yang seringkali
mendapatkan tempat di perguruan tinggi.
Standar
pendidikan di Iran tidaklah tinggi. Perguruan-perguruan tinggi kurang
mendapatkan dukungan biaya, karena Shah lebih suka membangun kekuatan
militer guna membangun infrastruktur negara itu dan berinvestasi pada
pendidikan rakyat. Inilah alasan mengapa ayah saya berpikir lebih baik
saya meninggalkan Iran untuk melanjutkan pendidikan saya dimana saja.
Kami
mempertimbangkan Amerika dan Eropa, tetapi ayah saya, bertindak menuruti
nasehat beberapa teman-nya yang religius, berpikir bahwa sebuah negara
Islam yang lain adalah pilihan yang tepat untuk seorang anak berusia 16
tahun. Mereka mengatakan kepada kami bahwa moralitas Barat itu terlalu
rendah, banyak orang tersesat, pantai-pantainya dipenuhi orang
telanjang, dan mereka minum minuman keras dan memiliki gaya hidup yang
tidak bermoral, semuanya itu berbahaya untuk orang muda. Jadi akhirnya
saya dikirim ke Pakistan, dimana orang-orangnya religius, maka negara
itu dinilai aman dan bermoral. Seorang sahabat keluarga kami mengatakan
bahwa Pakistan itu sama seperti Inggris, hanya biaya hidup disana lebih
murah.
Tentunya
hal itu terbukti tidak benar. Saya mendapati ternyata orang-orang
Pakistan sama jahatnya dan sama tidak bermoralnya dengan orang-orang
Iran. Betul, mereka sangat religius. Mereka tidak makan babi dan saya
tidak melihat mereka minum alkohol di depan umum, tetapi saya perhatikan
banyak diantara mereka yang mempunyai pikiran yang kotor, berdusta,
munafik dan kejam terhadap wanita, dan terlebih lagi, sangat membenci
orang India. Menurut saya, mereka tidak lebih baik daripada orang Iran
dalam hal apa pun. Mereka memang religius, tetapi tidak bermoral dan
tidak etis.
Di
perguruan tinggi, alih-alih mengambil Kebudayaan Urdu, saya mengambil
Kebudayaan Pakistan untuk menyelesaikan level A FSc (Fellow of Science).
Saya mempelajari alasan berpisahnya Pakistan dari India dan untuk
pertama kalinya saya mendengar tentang Mohammad Ali Jinah, yang disebut
oleh orang Pakistan sebagai Qaid-e A’zam, sang Pemimpin Besar. Ia
digambarkan sebagai seorang yang pandai, bapak bangsa, sedangkan Gandhi
sangat direndahkan. Namun demikian, saya lebih berpihak pada Gandhi dan
mengutuk Jinah sebagai seorang yang sombong, ambisius, penjahat yang
memecah-belah negara dan yang menyebabkan kematian jutaan orang. Saya
selalu mempunyai pikiran saya sendiri dan selalu berpikiran maju. Tak
peduli apa yang diajarkan pada saya, saya selalu mempunyai kesimpulan
saya sendiri dan tidak percaya pada apa yang dikatakan oleh orang lain
kepada saya.
Saya tidak
melihat perbedaan-perbedaan agama sebagai alasan yang kuat untuk
memecah-belah negara. Kata “Pakistan” adalah sebuah penghinaan bagi
orang India. Orang-orang Pakistan menyebut diri mereka pak (bersih) untuk membedakan mereka dari orang-orang India yang najis (tidak
bersih). Ironisnya, saya belum pernah melihat ada orang yang lebih
kotor daripada orang Pakistan, baik secara fisik maupun secara mental.
Sangat mengecewakan melihat ada negara Islam lain yang begitu rusak
secara intelektual dan moral. Dalam diskusi dengan teman-teman, saya
gagal meyakinkan mereka akan “Islam yang sejati”. Saya mengutuk sikap
keras hati dan fanatisme mereka sedangkan mereka tidak menyetujui
pandangan-pandangan saya yang tidak islami.
Saya
menyampaikan semua ini pada ayah saya dan memutuskan untuk pergi ke
Italia untuk melanjutkan studi saya di perguruan tinggi. Di Italia,
orang minum alkohol dan makan babi, tetapi mereka lebih murah hati,
ramah, dan tidak semunafik orang Muslim. Saya mendapati bahwa
orang-orang disana rela menolong sesama tanpa pamrih. Saya bertemu
dengan sepasang orangtua yang sangat ramah, mereka mengundang saya untuk
makan siang dengan mereka setiap hari Minggu, sehingga saya tidak usah
tinggal di rumah sendirian. Mereka tidak menginginkan apa-apa dari saya.
Mereka hanya menginginkan seseorang untuk dikasihi. Saya sudah seperti
cucu mereka sendiri. Hanyalah orang asing di sebuah negara lain, yang
tidak kenal siapapun dan tidak mengenal bahasa setempat, yang dapat
menghargai nilai dan makna keramahan dan pertolongan penduduk lokal.
Rumah
mereka bersih mengkilap, berlantai keramik yang berkilau. Ini
bertentangan dengan apa yang saya pikirkan tentang orang Barat. Walaupun
keluarga saya bersikap terbuka terhadap orang lain, Islam mengajarkan
saya bahwa orang non-Muslim adalah orang yang najis (Sura 9:8)
dan tidak seorangpun boleh bersahabat dengan mereka. Saya masih
menyimpan salinan Qur’an terjemahan Farsi yang biasa saya baca. Salah
satu ayat yang digarisbawahi adalah:
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi awliya (sahabat, pelindung, penolong, dsb), mereka
adalah awliya bagi mereka sendiri”. Sura 5:51.
Saya
mengalami kesulitan untuk memahami hikmat dari ayat seperti ini. Saya
tidak mengerti mengapa saya tidak boleh berteman dengan sepasang
orang-tua yang tidak punya maksud tersembunyi saat mereka menunjukkan
keramahan mereka selain dari hanya ingin membuat saya merasa seperti di
rumah sendiri. Menurut saya mereka adalah “Muslim sejati” dan saya
mencoba mengangkat masalah agama, berharap bahwa mereka akan melihat
kebenaran Islam dan kemudian memeluk Islam. Tapi mereka tidak berminat
dan dengan sopan mengalihkan pembicaraan. Saya tidaklah sebodoh itu
dalam hidup saya untuk percaya bahwa semua orang yang tidak beriman akan
masuk neraka. Saya membaca tentang hal itu di dalam Qur’an sebelumnya
namun tidak pernah ingin memikirkannya. Saya tidak menghiraukan hal itu.
Tentu saja, saya tahu Tuhan tidak akan senang jika ada orang yang
mengakui utusan-Nya tapi tidak pernah berpikir bahwa Ia akan
sungguh-sungguh bertindak kejam dengan membakar orang itu selamanya di
neraka hanya karena orang itu bukan Muslim, bahkan jika orang itu hanya
melakukan perbuatan-perbuatan baik. Saya membaca peringatan berikut ini:
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi”. Sura 3:85.
Namun saya
tidak terlalu memperhatikannya dan berusaha meyakinkan diri saya
sendiri bahwa arti sebenarnya dari ayat itu bukanlah seperti apa yang
dikatakan ayat itu. Pada waktu itu, saya tidak siap untuk menghadapi hal
semacam ini. Jadi saya tidak memikirkannya.
Saya
berkumpul bersama teman-teman Muslim saya dan saya perhatikan, pada
umumnya mereka menjalani hidup yang sangat tidak bermoral dengan standar
ganda. Banyak diantara mereka yang berpacaran dan tidur dengan
teman-teman wanitanya. Itu sangat tidak islami, begitulah menurut saya
waktu itu. Yang sangat mengusik saya adalah, mereka tidak menilai
gadis-gadis itu sebagai manusia yang harus dihargai. Gadis-gadis itu
bukanlah gadis-gadis Muslim dan oleh karena itu mereka hanya digunakan
untuk berhubungan seks. Perbuatan ini tidak umum dilakukan. Mereka yang
tidak terlalu religius bersikap lebih tulus dan menghargai teman-teman
wanita Barat mereka, dan ada pula yang mencintai dan ingin menikahi
mereka. Sebaliknya, mereka yang lebih religius tidak terlalu setia
terhadap teman wanita mereka. Saya selalu beranggapan bahwa Islam yang
sejati itulah yang benar. Jika ada sesuatu yang tidak bermoral, tidak
etis, tidak jujur, atau kejam, maka itu bukanlah Islam. Saya tidak dapat
melihat bagaimana tindakan yang tidak bermoral dan tidak berperasaan
dari orang-orang Muslim ini adalah hasil dari ajaran Islam.
Bertahun-tahun
kemudian, saya menyadari bahwa kebenaran sesungguhnya bertentangan
(dengan Qur’an). Saya menemukan banyak ayat yang mengusik dan membuat
saya mengubah seluruh pandangan saya mengenai Islam. Yang saya lihat,
tragisnya orang-orang yang hidup tidak etis dan tidak bermoral adalah
mereka yang menyebut dirinya Muslim, bersembahyang, berpuasa, dan
merekalah yang pertama-tama maju membela Islam dengan penuh kemarahan
jika ada orang yang mempertanyakan Islam. Merekalah yang panas hati dan
memulai perkelahian jika ada orang yang berani mengucapkan sesuatu yang
bertentangan dengan Islam.
Suatu
ketika saya berjumpa dengan seorang Iran di restoran kampus, kemudian
memperkenalkannya dengan 2 orang Muslim lain yang adalah teman-teman
saya. Usia kami kira-kira sama. Dia adalah seorang pria muda yang baik,
bijak dan terpelajar. Saya dan 2 orang teman saya sangat terpukau oleh
pesonanya dan nilai-nilai moralnya yang tinggi. Kami selalu menunggunya
dan duduk di dekatnya pada jam makan siang, dan kami selalu belajar
sesuatu darinya. Kami selalu makan spaghetti dan risotto yang banyak,
dan tergila-gila dengan ghorme sabzi dan chelow
(makanan Persia) yang lezat. Teman kami itu mengatakan bahwa ibunya
mengirim beberapa sayuran yang telah dikeringkan dan ia mengundang kami
untuk makan siang di rumahnya pada hari Minggu mendatang. Sesampainya
kami disana, kami melihat bahwa apartemennya yang memiliki 2 kamar itu
sangat bersih, tidak seperti rumah teman-teman lain. Ia memasak ghorme sabzi
yang sangat lezat untuk kami, dan kami menyantapnya dengan lahap,
kemudian kami duduk ngobrol sambil menyeruput teh. Kemudian saya
memperhatikan bahwa ia memiliki buku-buku Baha’i. Ketika kami bertanya
padanya soal buku-buku itu, ia menjelaskan bahwa ia adalah seorang
penganut agama Baha’i.
Itu
sama sekali tidak mengganggu saya, namun dalam perjalanan pulang kedua
orang teman saya mengatakan bahwa mereka tidak ingin lagi meneruskan
persahabatan mereka dengannya. Saya terkejut dan bertanya mengapa.
Mereka mengatakan bahwa dengan menjadi seorang penganut Baha’i membuat
teman kami itu menjadi najis dan seandainya mereka tahu
sebelumnya bahwa dia adalah seorang Baha’i, mereka tidak akan bersahabat
dengannya. Saya jadi tidak mengerti dan bertanya pada mereka, mengapa
mereka berpendapat bahwa dia adalah seorang yang najis jika
tadi kami bertiga memuji-muji kebersihan rumahnya. Kami bertiga sepakat
bahwa secara moral dia jauh lebih hebat daripada semua orang muda Muslim
yang kami kenal, lalu mengapa sekarang tiba-tiba ada perubahan sikap?
Tanggapan mereka sangat mengusik saya. Mereka berkata bahwa nama Baha’i
itu sendiri memiliki sesuatu didalamnya yang membuat mereka tidak
menyukai agama ini. Mereka bertanya kepada saya apakah saya tahu mengapa
semua orang tidak menyukai para penganut Baha’i. Saya katakan pada
mereka bahwa saya tidak tahu, dan bahwa saya menyukai semua orang.
Tetapi oleh karena mereka tidak menyukai penganut Baha’i, maka
seharusnya mereka dapat memberikan alasannya. Dan ternyata mereka juga
tidak tahu mengapa! Ini adalah penganut Baha’i pertama yang mereka kenal
dekat, dan ia adalah seorang yang memberikan teladan yang baik. Saya
ingin mengetahui alasan utama mereka tidak menyukainya. Namun mereka
mengatakan tidak ada alasan. Hanya karena menurut mereka penganut Baha’i
itu jahat.
Saya
senang karena saya tidak melanjutkan persahabatan saya dengan 2 orang
fanatik ini. Dari mereka saya belajar bagaimana buruk sangka dibentuk
dan beroperasi.
Kemudian
saya menyadari bahwa buruk sangka dan kebencian yang dialamatkan orang
Muslim kepada hampir semua orang non-Muslim bukanlah karena salah
menginterpretasi ajaran-ajaran Qur’an, tetapi justru karena kitab inilah
yang mengajarkan kebencian dan mendorong orang untuk berburuk sangka.
Orang-orang Muslim yang pergi ke mesjid dan mendengarkan ceramah-ceramah
para mullah sangat dipengaruhi oleh hal itu. Ada banyak ayat
dalam Qur’an yang mengajak orang-orang beriman untuk membenci
orang-orang yang tidak beriman, memerangi mereka, menyebut mereka najis,
menaklukkan dan menghina mereka, memenggal kepala dan tangan mereka,
menyalibkan mereka dan membunuh mereka dimanapun mereka ditemukan.
Saya sama
sekali telah meninggalkan agama Islam selama beberapa tahun. Bukan
karena pandangan saya mengenai agama telah berubah atau karena saya
tidak lagi menganggap diri saya sebagai seorang yang religius. Ada
banyak hal yang harus saya lakukan sehingga menghabiskan banyak waktu
untuk agama telah menjadi suatu hal yang sulit. Sementara itu, saya
lebih banyak belajar tentang demokrasi, hak-hak azasi manusia dan
nilai-nilai lain, seperti kesamaan hak antara pria dan wanita, dan saya
menyukai apa yang saya pelajari. Apakah saya berdoa? Kalau saya bisa,
tetapi tidak dengan sikap fanatik. Lagipula, saya hidup dan bekerja di
sebuah negara Barat dan sama sekali tidak mau kelihatan terlalu berbeda.
Suatu hari saya memutuskan bahwa sudah waktunya bagi saya untuk
memperdalam pengetahuan saya mengenai Islam dan membaca Qur’an dari
berbagai versi. Saya menemukan sebuah salinan Qur’an Arab dengan
terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sebelumnya saya hanya membaca Qur’an
sepotong-sepotong. Kali ini saya membacanya secara menyeluruh. Saya
membaca sebuah ayat dalam bahasa Arab, lalu terjemahan Inggrisnya, lalu
kembali ke bahasa Arab, dan tidak membaca ayat berikutnya hingga saya
benar-benar puas dan memahami versi Arab-nya.
Hanya sebentar saja saya sudah mendapatkan ayat-ayat yang sulit saya terima. Salah-satunya adalah:
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
besar”. Sura 4:48
Sulit bagi
saya untuk menerima bahwa Gandhi akan dibakar di neraka selamanya
karena dia adalah seorang politeis yang tidak mempunyai pengharapan akan
penebusan, sementara seorang Muslim yang adalah pembunuh dapat berharap
akan menerima pengampunan Allah. Ini memunculkan sebuah pertanyaan yang
mengusik: Mengapa Allah begitu berhasrat untuk dikenal sebagai
satu-satunya Tuhan? Jika memang tidak ada Tuhan selain Dia, mengapa Dia
sangat repot mengurusi masalah ini? Dengan siapakah Dia bersaing?
Mengapa Dia sangat ambil pusing jika ada orang yang mengenal-Nya dan
memuji-Nya dan ada pula yang tidak?
Kini
setelah saya menetap di Barat dan memiliki banyak teman orang Barat yang
baik pada saya, membuka hati dan rumah mereka untuk saya, dan menerima
saya sebagai teman mereka, sulit sekali bagi saya untuk menerima bahwa
Allah tidak ingin saya bersahabat dengan mereka.
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah…” Sura 3:28.
Bukankah
Allah juga Pencipta orang-orang yang tidak beriman? Bukankah Ia adalah
Tuhan atas semua orang? Mengapa Ia begitu jahat terhadap orang-orang
yang tidak beriman? Bukankah lebih baik jika orang-orang Muslim
bersahabat dengan orang-orang yang tidak beriman dan mengajarkan Islam
pada mereka dengan teladan yang baik? Dengan menyisihkan diri dan
menjauhkan diri dari orang-orang yang tidak beriman, jurang
kesalahpahaman tidak akan pernah terjembatani. Bagaimana mungkin
orang-orang yang tidak beriman dapat belajar tentang Islam jika kita
tidak bergaul dengan mereka? Ini adalah beberapa pertanyaan yang saya tanyakan pada diri saya sendiri.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini terdapat dalam sebuah ayat yang membingungkan. Perintah Allah adalah “bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka” (Sura 2:191).
Saya
memikirkan teman-teman saya, mengingat kebaikan-kebaikan dan kasih
mereka pada saya, dan saya tidak mengerti bagaimana bisa Tuhan sejati
memerintahkan orang untuk membunuh sesamanya manusia hanya karena
sesamanya itu adalah orang yang tidak beriman. Itu nampaknya tidak masuk
akal, namun konsep ini seringkali diulang di dalam Qur’an sehingga
orang tidak meragukannya lagi. Dalam Sura 8:65, Allah berkata pada
nabi-Nya:
“Hai
nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada
duapuluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan duaratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang
sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari antara
orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti”.
Saya tidak mengerti mengapa Allah mengirimkan seorang utusan untuk berperang. Bukankah
Tuhan seharusnya mengajarkan kita untuk saling mengasihi dan
bertoleransi terhadap para pemeluk agama yang lain? Dan jika Allah
benar-benar bergumul untuk membuat orang percaya pada-Nya sehingga Ia
akan membunuh mereka yang tidak percaya kepada-Nya, mengapa Ia sendiri
tidak membunuh mereka? Mengapa Ia menyuruh kita untuk melakukan
pekerjaan kotor-Nya? Memangnya kita ini tukang pukulnya Allah?
Walaupun saya tahu tentang jihad
dan tidak pernah mempertanyakan hal itu sebelumnya, saya sulit menerima
bahwa Tuhan dengan tegas menganjurkan tindakan-tindakan yang kejam
seperti itu. Yang lebih mengejutkan adalah kekejaman Allah dalam
menindak orang-orang yang tidak beriman:
“Kelak
akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka
penggallah kepala mereka dan pancunglah ujung-ujung jari mereka”. Sura 8:12.
Seakan-akan
Allah tidak puas hanya membunuh orang-orang yang tidak beriman, Ia juga
menikmati menyiksa mereka sebelum mereka dibunuh. Memenggal kepala
orang dan memotong ujung-ujung jari mereka adalah tindakan yang teramat
sangat kejam. Apakah Tuhan benar-benar memberikan perintah seperti itu?
Tambahan lagi, masih ada hal yang paling mengerikan yang akan
dilakukan-Nya terhadap orang-orang yang tidak beriman di akhirat.
Bagaimana
mungkin Pencipta alam semesta ini bisa begitu kejam? Saya sangat syok
saat mengetahui bahwa Qur’an memerintahkan untuk membunuh orang tidak
beriman dimana saja mereka ditemukan (Sura 2:191), membunuh mereka dan
memperlakukan mereka dengan keras (Sura 9:123), memerangi mereka (Sura
8:65), hingga tidak ada lagi agama lain yang tersisa selain Islam (Sura
2:193), menghina mereka dan memaksa mereka membayar pajak jika mereka
adalah orang Kristen atau Yahudi (Sura 9:29), membantai mereka jika
mereka adalah penyembah berhala (Sura 9:5), menyalibkan atau memotong
tangan dan kaki mereka, dan mengusir mereka dari negeri mereka dengan
rasa malu. Dan jika ini belum cukup, kepada orang Muslim diberitahukan
bahwa orang-orang yang tidak beriman “akan mendapat siksaan yang besar
di akhirat” (Sura 5:33), tidak bersahabat dengan bapak-bapak dan
saudara-saudara mereka sendiri jika mereka bukanlah orang-orang yang
beriman (Sura 3:28, 9:23), membunuh keluarga mereka sendiri di perang
Badr dan Uhud, dan “berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur’an dengan jihad yang besar” (Sura 25:52) dan bersikap keras terhadap mereka karena tempat mereka adalah di neraka (Sura 66:9).
Bagaimana mungkin orang yang waras tidak akan bereaksi ketika ia membaca apa yang ditulis dalam Qur’an: “memancung batang leher orang-orang kafir” dan setelah itu “membantai banyak diantara mereka, ikatlah mereka sebagai tawanan” (Sura 47:4)?
Saya
sangat syok ketika mengetahui bahwa Islam tidak menerima adanya
kebebasan untuk berkeyakinan bagi semua orang dan dengan jelas
mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang dapat diterima
(Sura 3:85). Allah memindahkan mereka yang tidak percaya pada Qur’an ke
neraka (Sura 5:11) dan menyebut mereka najis (kotor, tidak
boleh disentuh, tidak murni – Sura 9:28). Ia mengatakan bahwa
orang-orang yang tidak beriman akan pergi ke neraka dan minum air yang
mendidih (Sura 14:17). Lebih jauh lagi, “maka orang kafir akan
dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air
yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu
dihancur-luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga
(kulit) mereka. Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi” (Sura 2:19-21). Betapa sadisnya!
Kitab
Allah mengatakan bahwa kaum wanita lebih rendah daripada pria dan
suami-suami mereka berhak memukuli mereka (Sura 4:34), dan wanita akan
pergi ke neraka jika tidak menaati suaminya (Sura 66:10). Dikatakan
bahwa pria mempunyai keuntungan atas wanita (Sura 2:228). Qur’an tidak
hanya menyangkali kesamaan hak waris wanita (Sura 4:11-12), tapi juga
menganggap wanita sebagai embisil (lebih rendah daripada idiot –
Red) dan menetapkan bahwa kesaksian mereka tidak dianggap sah di
pengadilan (Sura 2:282). Ini berarti bahwa wanita yang diperkosa tidak
dapat menggugat pemerkosanya kecuali ia dapat menghadirkan seorang saksi
pria, yang tentu saja ini adalah sebuah lelucon. Pemerkosa tidak akan
memperkosa seseorang dihadapan saksi. Tapi ayat yang paling mengejutkan
adalah ayat yang mengatakan bahwa Allah mengijinkan seorang Muslim untuk
memperkosa wanita yang ditangkap dalam peperangan bahkan jika mereka
sudah menikah, sebelum mereka ditawan (Sura 4:3, 24). Nabi memperkosa
wanita-wanita tercantik yang ditawannya dalam penyerangan pada hari yang
sama setelah ia membunuh suami-suami mereka dan orang-orang yang
dikasihi wanita-wanita itu. Inilah sebabnya mengapa setiap kali tentara
Muslim menaklukkan bangsa lain, mereka menyebut bangsa itu kafir dan memperkosa para wanitanya.
Tentara-tentara
negara Islam Pakistan telah memperkosa sekitar 250.000 wanita Bengali
pada tahun 1971 dan membantai tiga juta warga sipil yang tidak
bersenjata ketika pemimpin agama mereka menetapkan bahwa orang
Bangladesh adalah non-Islam. Itulah sebabnya mengapa para penjaga
penjara di rejim Islam Iran memperkosa para wanita dan kemudian membunuh
mereka setelah menyebut mereka sebagai orang sesat dan musuh-musuh
Allah.
Qur’an
dipenuhi ayat-ayat yang mengajarkan untuk membunuh orang-orang yang
tidak beriman dan bagaimana Allah akan menyiksa mereka setelah mereka
mati. Tidak ada ajaran mengenai moralitas, keadilan, kejujuran, atau
kasih. Satu-satunya pesan di dalam Qur’an adalah agar percaya kepada Allah dan utusan-Nya.
Qur’an membujuk orang dengan pahala berupa hubungan seks yang tidak
terbatas di surga dan mengancam orang dengan api neraka yang
menyambar-nyambar. Ketika Qur’an berbicara tentang kebenaran, itu
bukanlah kebenaran seperti yang kita pahami, melainkan percaya pada
Allah dan utusan-Nya. Seorang Muslim dapat menjadi seorang pembunuh dan
membunuh seorang non-Muslim, dan dapat tetap menjadi seorang yang benar.
Perbuatan-perbuatan yang baik adalah nomor dua. Percaya pada Allah dan
utusan-Nya adalah tujuan utama dalam kehidupan.
Setelah
membaca Qur’an saya menjadi sangat tertekan. Sulit bagi saya untuk
menerima semuanya itu. Pada awalnya saya menyangkalinya dan mencoba
mencari makna yang lebih dalam dari ayat-ayat Qur’an yang kejam ini,
namun semuanya sia-sia. Tidak ada kesalahpahaman dalam hal ini! Qur’an
sangatlah tidak manusiawi. Sudah barang tentu Qur’an mengandung banyak
penyesatan ilmiah dan absurditas, tetapi itu bukanlah hal yang sangat
mengganggu saya. Kekejaman dalam kitab inilah yang sangat menohok saya
dan mengguncangkan dasar iman saya.
Setelah
pengalaman pahit saya dengan Qur’an, saya mendapati diri saya berkelana
di jalan yang menyakitkan dan penuh dengan siksaan. Saya ditendang
keluar dari taman indah ketidakpedulian, dimana semua pertanyaan saya
terjawab. Disana saya tidak perlu berpikir. Apa yang harus saya lakukan
hanyalah percaya. Kini, pintu masuk ke taman itu telah tertutup untukku
selamanya. Saya telah melakukan dosa yang sangat keji, yaitu: berpikir.
Saya telah makan dari pohon pengetahuan yang terlarang, dan mata saya
telah dibukakan. Saya dapat melihat ketidakbenaran dari semuanya itu dan
ketelanjangan saya sendiri. Saya tahu saya tidak lagi diperbolehkan
memasuki “surga ketidakpedulian” itu. Sekali anda mulai berpikir, anda
tidak boleh ada disana lagi. Hanya ada satu jalan untuk saya: terus
maju.
Jalan
menuju pencerahan terbukti lebih sulit dari yang saya perkirakan. Jalan
itu licin. Ada banyak gunung rintangan yang harus didaki dan
tebing-tebing curam yang harus dihindari. Saya berkelana di
daerah-daerah tak dikenal sendirian, tanpa tahu apa yang akan saya
temukan. Itu menjadi pengembaraan saya dalam alam pengertian untuk
menemukan kebenaran, yang akhirnya membawa saya ke negeri pencerahan dan
kebebasan.
Saya akan
mendaftarkan daerah-daerah ini untuk semua yang juga melakukan dosa
berpikir, mendapati diri mereka ditendang keluar dari surga
ketidakpedulian, dan berada di jalan menuju tujuan yang tidak diketahui.
Jika anda
ragu, jika jaket ketidakpedulian yang anda pakai untuk menyelubungi
diri terkoyak menjadi potongan-potongan kecil dan anda mendapati diri
anda telanjang, maka ketahuilah bahwa anda tidak dapat tinggal di surga
ketidakpedulian lebih lama lagi. Anda telah diusir dari sana untuk
selamanya. Sama seperti seorang anak yang telah keluar dari rahim
ibunya, maka ia tidak bisa kembali lagi kesana, anda tidak akan
diijinkan untuk memasuki “surga ketidakpedulian” yang indah itu.
Dengarkanlah suara orang yang pernah ada disana dan mengalaminya, dan
janganlah berusaha untuk tetap menempel di pintu gerbangnya. Pintu itu
sudah terkunci.
Tetapi
tataplah ke depan. Ada sebuah perjalanan menanti anda. Anda dapat
terbang ke tujuan anda ataupun merangkak. Saya merangkak! Tetapi karena
saya merangkak, maka saya mengenal jalan ini dengan sangat baik. Saya
akan menggambarkan jalannya, sehingga mudah-mudahan anda tidak perlu
merangkak.
Jalan dari iman menuju kepada pencerahan mempunyai 7 lembah.
Lembah pertama adalah syok.
Setelah membaca Qur’an, perspektif saya terguncang. Saya mendapati diri
saya berhadapan muka dengan kebenaran dan saya takut untuk melihatnya.
Itu bukanlah sesuatu yang ingin saya lihat. Saya tidak dapat menyalahkan
siapapun, mengutuk dan mengatainya sebagai pendusta. Dengan membaca
Qur’an saya menemukan absurditas Islam dan tidak manusiawinya
pengarangnya. Dan saya syok. Namun syok ini menyadarkan saya dan
menghadapkan saya pada kebenaran. Sayangnya, ini adalah sebuah proses
yang sangat sulit dan menyakitkan. Kita tidak dapat terus membungkus
kebenaran dengan gula. Kebenaran itu pahit, dan itu harus diterima.
Kenyataan itu ‘keras kepala’ dan tidak mau pergi. Hanya dengan begitu
proses pencerahan bisa dimulai.
Tetapi
oleh karena kadar kepekaan tiap orang berbeda, apa yang mengejutkan
orang lain belum tentu juga akan mengejutkannya. Bahkan sebagai seorang
pria, saya terkejut ketika saya membaca bahwa Muhammad memerintahkan
para pengikutnya untuk memukuli istri-istri mereka dan ia menyebut kaum
wanita sebagai makhluk yang “kurang kecerdasannya”. Padahal saya telah
berjumpa dengan banyak wanita Muslim yang tidak mengalami kesulitan
untuk menerima pernyataan yang merendahkan ini yang disampaikan oleh
nabi mereka. Bukan karena mereka setuju bahwa mereka memiliki
inteligensi yang rendah atau mereka percaya bahwa mayoritas penghuni
neraka adalah kaum wanita hanya karena nabi berkata demikian, namun
hanya karena mereka dihalangi untuk mendapatkan informasi itu. Mereka
membacanya, tapi tidak menghayatinya. Mereka menyangkalinya.
Penyangkalan adalah sebuah perisai yang menutupi dan melindungi mereka,
yang menyelamatkan mereka agar mereka tidak perlu menghadapi kenyataan
yang menyakitkan. Jika perisai itu disingkirkan, tidak ada yang dapat
mengembalikannya lagi. Pada titik ini iman mereka harus diserang dari
berbagai arah yang berbeda. Kita harus membombardir mereka dengan
pengajaran Qur’an lainnya yang mengejutkan. Pastilah ada salah-satu yang
menjadi kelemahan mereka. Itulah yang mereka butuhkan: sebuah kejutan
yang baik. Kejutan itu sangat menyakitkan, tapi dapat menyelamatkan
hidup. Kejutan biasa digunakan para dokter untuk menghidupkan kembali
pasien yang sudah mati.
Untuk pertama kalinya, internet telah mengubah keseimbangan kekuatan.
Kini kekuatan brutal dari senjata api, penjara dan laskar kematian
tidak berdaya dan pena berkuasa. Untuk pertama kalinya, orang Muslim
tidak dapat membunuh kebenaran dengan membunuh utusan kebenaran. Kini
sejumlah besar orang Muslim terhubung dengan kebenaran dan mereka merasa
tidak berdaya. Mereka ingin membungkam suara ini, namun tidak sanggup.
Mereka berusaha melarang dan menutup situs-situs yang mengekspos
kepercayaan mereka yang begitu mereka agungkan; kadang untuk sementara
waktu mereka berhasil, tapi banyak kali mereka gagal. Saya menciptakan
sebuah situs untuk mendidik orang Muslim mengenai Islam yang sejati.
Saya mengalamatkannya di Tripod.com. Para penganut Islam memaksa Tripod
untuk menutupnya dan para eksekutif Tripod bersikap pengecut dengan
menuruti orang-orang Muslim itu. Saya mendapatkan tempat saya dan situs
itu kembali lagi setelah beberapa minggu. Oleh karena itu, cara-cara
lama dengan membunuh orang-orang sesat, membakar kitab-kitab mereka, dan
membungkam mereka dengan teror tidak akan berhasil. Mereka tidak dapat
menghentikan orang agar tidak membaca. Walaupun situs saya dilarang di
Arab Saudi, Uni emirat Arab dan di banyak negara Islam lainnya, sejumlah
besar orang Muslim yang tidak pernah tahu kebenaran tentang Islam
terekspos dengan kebenaran untuk pertama kalinya, dan mereka terkejut.
Saya
bertemu dengan seorang wanita di internet yang berpaling kepada Islam
dan mulai mengenakan jilbab. Dia memiliki sebuah situs yang memuat
gambar dirinya tertutup dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan
pakaian hitam dan kerudung hitam, dan juga kisah bagaimana ia menjadi
seorang Muslim. Ia sangat aktif dan ia selalu menasehati orang agar
tidak membaca tulisan-tulisan saya. Namun, ketika ia membaca tulisan
saya mengenai Safiyah, wanita Yahudi yang ditawan dan diperkosa Muhammad
setelah nabi membunuh suaminya dan juga ayahnya, dan banyak kerabatnya,
ia pun terkejut. Ia bertanya pada orang-orang Muslim lainnya mengenai
hal ini, namun sia-sia. Lalu pintu itu terbuka dan ia diusir dari surga
ketidakpedulian. Ia terus menulis kepada saya dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan. Akhirnya, ia melewati tahap berikut dari iman
yang buta kepada pencerahan dengan sangat cepat dan berterimakasih pada
saya karena telah membimbingnya menjalani jalan yang sulit ini. Kemudian
ia mengundurkan diri dari klub-klub islami Yahoo!
Ketika
orang mengetahui kehidupan Muhammad yang tidak suci dan absurditas
Qur’an, mereka terkejut. Saya ingin mengekspos Islam; menulis kebenaran
mengenai kotornya hidup Muhammad, perkataan-perkataannya yang penuh
kebencian, gagasan-gagasannya yang tidak masuk akal; dan membombardir
orang Muslim dengan kenyataan-kenyataan. Mereka akan jadi marah. Mereka
akan mengutuk saya, menghina saya, dan mengatakan pada saya bahwa
setelah mereka membaca artikel-artikel saya, iman mereka pada Islam
semakin “dikuatkan”. Tapi itu terjadi ketika saya tahu bahwa saya telah
menabur benih keraguan dalam benak mereka. Mereka mengatakan semua itu
karena mereka terkejut dan telah masuk ke tahap penyangkalan.
Benih keraguan telah ditanamkan, dan akan bertunas. Untuk beberapa
orang hal itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, namun jika diberi
kesempatan tunas itu pada akhirnya akan berkembang.
Keraguan
adalah karunia terbesar yang dapat kita berikan pada sesama kita.
Keraguan adalah karunia pencerahan. Keraguan akan membebaskan kita, akan
mengembangkan pengetahuan, dan akan menyingkapkan misteri alam semesta
ini.
Salah-satu
rintangan yang harus diatasi adalah tradisi dan nilai-nilai palsu yang
dicekokkan pada kita melalui pendidikan agama selama ribuan tahun. Dunia
ini masih menghargai iman dan menganggap keraguan sebagai sebuah tanda
kelemahan. Orang membicarakan tokoh-tokoh iman dengan hormat dan
menghina orang-orang yang imannya sedikit. Kita terbelit kusut dalam
nilai-nilai kita.
Keraguan,
di lain pihak, berarti kebalikan dari yang di atas. Keraguan berarti
mampu berpikir secara mandiri, mempertanyakan, dan bersikap skeptis.
Kita berhutang sains dan peradaban modern yang saat ini kita miliki
pada para pria dan wanita yang mempunyai keraguan – bukan pada
orang-orang yang beriman. Mereka yang ragu adalah para pelopor;
merekalah para pemimpin pemikiran. Mereka adalah para filsuf, para
pencipta dan penemu. Mereka yang beriman menjalani hidup dan mati
sebagai pengikut-pengikut, dan hanya sedikit berkontribusi, atau bahkan
tidak sama sekali, terhadap kemajuan sains dan pemahaman manusia.
Setelah
dikejutkan, atau juga terus menerus dikejutkan, orang akan menyangkal.
Mayoritas orang Muslim terperangkap dalam penyangkalan. Mereka tidak
mampu dan tidak ingin mengakui bahwa Qur’an adalah sebuah cerita bohong.
Mereka berusaha keras menjelaskan apa yang tidak dapat dijelaskan,
menemukan mujizat di dalamnya, dan dengan rela membengkokkan semua
aturan logis untuk membuktikan bahwa Qur’an itu benar. Tiap kali mereka
diperhadapkan dengan suatu pernyataan yang mengejutkan di dalam Qur’an
atau suatu perbuatan tercela yang dilakukan Muhammad, mereka
mengundurkan diri ke dalam penyangkalan. Inilah yang saya lakukan dalam
tahap pertama perjalanan saya. Penyangkalan adalah tempat yang aman.
Penyangkalan adalah ketidakmauan untuk mengakui bahwa anda telah
ditendang keluar dari surga ketidakpedulian. Anda mencoba untuk kembali,
enggan mengambil langkah maju. Dalam penyangkalan, anda menemukan zona
nyaman anda. Dalam penyangkalan anda tidak akan disakiti, semuanya oke,
semuanya baik-baik saja.
Kebenaran
itu teramat sangat menyakitkan, terutama jika orang sudah terbiasa
berbohong selama hidupnya. Tidaklah mudah bagi seorang Muslim untuk
memandang Muhammad sebagaimana adanya dia. Rasanya seperti mengatakan
pada seorang anak bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh, seorang
pemerkosa dan pencuri. Seorang anak yang memuja ayahnya tidak dapat
menerima hal itu sekalipun semua bukti yang ada di seluruh dunia
diperlihatkan padanya. Kejutan itu terlalu keras sehingga yang dapat
dilakukannya adalah menyangkal. Ia akan menyebut anda seorang pembohong,
ia akan membenci anda karena anda telah menyakitinya, mengutuk anda,
menganggap anda sebagai musuhnya, dan bahkan meledak dalam kemarahan
serta akan menyerang anda secara fisik.
Ini adalah
tahap penyangkalan. Ini adalah mekanisme pertahanan diri. Jika terlalu
menyakitkan, penyangkalan akan membuang rasa sakit itu. Jika seorang ibu
diberitahu bahwa anaknya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan,
seringkali reaksi pertamanya adalah menyangkal. Dalam masa kekacauan
besar, orang biasanya terhanyut dalam perasaan bahwa semua ini hanyalah
sebuah mimpi buruk dan pada akhirnya ia akan terbangun dan semuanya akan
baik-baik saja. Sayangnya, kenyataan itu keras dan tidak mau pergi.
Orang dapat hidup dalam penyangkalan untuk sementara waktu, namun cepat
atau lambat kebenaran harus diterima.
Orang-orang Muslim terbungkus rapat dalam kebohongan.
Karena berbicara menentang Islam adalah sebuah kejahatan yang harus
dihukum mati, maka tidak ada seorangpun yang berani mengatakan
kebenaran. Mereka yang mengatakan kebenaran, tidak akan hidup lama.
Mereka langsung dibungkam. Jadi bagaimana anda bisa tahu kebenaran kalau
semua yang anda dengar hanyalah kebohongan? Di satu pihak Qur’an
mengklaim dirinya sebagai sebuah mujizat dan menantang setiap orang
untuk menghasilkan sebuah Surah seperti itu:
“Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan
kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al
Qur’an itu, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar”. Sura 2:23.
Lalu
Qur’an memerintahkan para pengikutnya untuk membunuh siapapun yang
berani mengkritik atau menantang Qur’an. Jika anda berani menanggapi
tantangan itu dan membuat sebuah Sura yang ditulis seburuk
Qur’an, anda akan dituduh telah mengolok-olok Islam, dan harus dihukum
mati. Dalam atmosfir ketidaktulusan dan penipuan ini, kebenaran
dikorbankan.
Rasa sakit
yang dialami saat berhadapan muka dengan kebenaran dan menyadari bahwa
semua yang kita percayai selama ini ternyata hanyalah kebohongan adalah
sesuatu yang sangat menyakitkan. Satu-satunya mekanisme dan cara alamiah
untuk mengatasinya adalah dengan menyangkal. Penyangkalan mengusir
kepedihan. Penyangkalan adalah angin yang menyejukkan, walau
sesungguhnya bagai menyembunyikan kepala di dalam pasir.
Tidak ada
seorangpun yang dapat tinggal dalam penyangkalan selamanya. Malam akan
segera tiba dan angin dingin kenyataan akan berhembus membekukan tulang,
lalu anda akan menyadari bahwa anda tidak lagi berada di dalam surga
ketidakpedulian. Pintu itu telah tertutup dan kuncinya sudah dibuang.
Anda tahu terlalu banyak. Anda adalah orang yang terbuang. Dengan rasa
takut anda menatap kegelapan dan jalan berkelok hampir-hampir tidak
dapat anda lihat dalam temaram ketidakpastian anda, dan memantapkan hati
anda untuk mengambil langkah-langkah pertama menuju takdir yang tidak
anda ketahui. Anda bergulat dan meraba-raba, dengan hati enggan berusaha
untuk tetap fokus. Tetapi ketakutan menyelubungi anda dan setiap kali
anda mencoba berlari kembali ke taman itu, anda sekali lagi
diperhadapkan dengan pintu yang tertutup.
Mayoritas
besar orang Muslim hidup dalam penyangkalan. Mereka tinggal di balik
pintu-pintu yang tertutup. Mereka tidak dapat kembali dan juga tidak
berani untuk berpaling. Mereka yang ada di dalam taman adalah
orang-orang yang tidak pernah meninggalkannya. Pintu taman itu hanya
akan mengeluarkan anda. Anda tidak dapat masuk. Taman yang indah itu
adalah taman ketidakpastian. Taman itu disediakan untuk orang-orang yang
setia, bagi mereka yang tidak pernah ragu, bagi mereka yang tidak
berpikir. Mereka mempercayai apa saja. Mereka percaya dan akan tetap
percaya bahwa malam itu siang, dan siang adalah malam. Mereka percaya
bahwa Muhammad naik ke langit ke-7, bertemu dengan Tuhan, membelah
bulan, dan bergumul dengan jin-jin.
Orang-orang
beriman ini tidak akan melihat kebenaran jika mereka terbungkus rapat
dalam kebohongan secara permanen. Sejauh ini apa yang telah mereka
dengar adalah dusta yang mengatakan bahwa Islam itu baik dan jika saja
orang-orang Muslim mempraktekkan Islam yang sejati, maka dunia akan
menjadi surga; bahwa semua permasalahan yang dihadapi Islam adalah
kesalahan dari orang-orang Muslim semata. Ini adalah kebohongan. Banyak
orang Muslim yang baik. Mereka tidak lebih buruk dan tidak lebih baik
dari orang lain. Islamlah yang membuat mereka melakukan
kejahatan-kejahatan. Orang Muslim yang melakukan hal-hal yang buruk
adalah mereka yang mengikuti Islam. Islam memicu insting kriminal dalam
diri manusia. Semakin kuat keislaman seseorang, semakin ia haus darah,
penuh kebencian, dan semakin menjadi zombie.
Saya ingin
menyangkali apa yang telah saya baca. Saya ingin percaya bahwa makna
Qur’an yang sesungguhnya bukanlah seperti yang saya baca, tapi saya
tidak bisa. Saya tidak dapat lagi membodohi diri sendiri dengan
mengatakan bahwa ayat-ayat yang tidak manusiawi ini telah dikeluarkan
dari konteksnya. Qur’an tidak mempunyai konteks! Ayat-ayat dikumpulkan
secara acak, dan seringkali tidak berhubungan satu dengan yang lainnya.
Orang-orang
yang membaca artikel saya dan tersakiti oleh apa yang saya katakan
mengenai Qur’an dan Islam adalah orang-orang yang beruntung. Mereka
dapat menyalahkan saya. Mereka dapat membenci saya, mengutuk saya, dan
mengarahkan semua kemarahan mereka pada saya. Namun, ketika saya membaca
Qur’an dan mempelajari isinya, saya tidak dapat menyalahkan siapapun.
Setelah menjalani tahap syok dan penyangkalan, saya bingung dan
menyalahkan diri sendiri. Saya membenci diri saya sendiri karena saya
berpikir, meragukan, dan karena saya menemukan kesalahan dari apa yang
saya percayai sebagai perkataan-perkataan Allah.
Seperti
halnya semua orang Muslim, saya diperhadapkan dan menerima begitu banyak
kebohongan, absurditas, dan hal-hal yang tidak berperikemanusiaan. Saya
dibesarkan sebagai orang yang religius. Saya mempercayai apa saja yang
dikatakan kepada saya. Kebohongan-kebohongan itu diberikan pada saya
dalam dosis yang kecil, secara bertahap, sejak saya masih kanak-kanak.
Saya tidak pernah diberikan pilihan lain sebagai pembanding. Itu seperti
vaksinasi. Saya jadi kebal terhadap kebenaran. Tetapi ketika saya mulai
membaca Qur’an secara serius dari depan sampai belakang dan memahami
apa yang dikatakan kitab ini, saya merasa mual. Semua kebohongan ini
tiba-tiba muncul di hadapan saya.
Saya telah
mendengar semuanya itu dan telah menerimanya. Pemikiran rasional-ku
mati rasa. Saya telah menjadi tidak peka terhadap absurditas Qur’an.
Ketika saya menemukan sesuatu yang tidak masuk akal, saya
menyingkirkannya dan mengatakan pada diri saya sendiri bahwa saya harus
melihat “gambar besarnya”. Namun gambar besar yang indah itu tidak dapat
saya temukan dimanapun kecuali dalam pikiran saya sendiri. Saya
menggambarkan Islam yang sempurna; sehingga semua absurditas itu tidak
mengganggu saya karena saya tidak memperhatikannya. Ketika saya membaca
Qur’an secara menyeluruh, saya menemukan gambaran yang berbeda dari apa
yang ada dalam pikiran saya. Gambaran yang baru mengenai Islam timbul
dari halaman-halaman Qur’an yang kejam, tidak bertoleransi, tidak
rasional, sombong; jauh dari gambaran Islam sebagai agama yang damai,
yang mengajarkan kesetaraan dan toleransi.
Di hadapan
banyak absurditas ini, saya harus menyangkalinya agar saya tetap waras.
Namun demikian, berapa lama saya dapat terus menyangkali kebenaran
sedangkan kebenaran itu bersinar dengan terang benderang di hadapan
saya? Saya membaca Qur’an dalam bahasa Arab, jadi saya tidak dapat
menyalahkan penerjemahan yang buruk/tidak tepat. Di kemudian hari saya
membaca terjemahan-terjemahan lain. Saya menyadari bahwa banyak
terjemahan dalam bahasa Inggris tidak sepenuhnya tepat. Para penerjemah
telah berusaha keras untuk menyembunyikan hal-hal yang tidak
berperikemanusiaan dan kekejaman di dalam Qur’an dengan memutar-balikkan
kata-kata di dalam Qur’an dan menambahkan perkataan mereka sendiri,
kadang-kadang dalam tanda kurung, untuk memperhalus kekerasan. Qur’an
dalam bahasa Arab lebih mengejutkan daripada terjemahan-terjemahan
Qur’an dalam bahasa Inggris.
Saya
bingung dan tidak tahu kemana harus bertanya. Iman saya telah
digoncangkan dan dunia saya runtuh. Saya tidak dapat lagi menyangkali
apa yang saya baca. Namun, saya tidak dapat menerima kemungkinan bahwa
semua ini hanyalah kebohongan besar. Bagaimana bisa? Saya terus bertanya pada diri sendiri,
begitu banyak orang yang belum pernah melihat kebenaran sedangkan saya
dapat melihatnya? Bagaimana mungkin orang berhikmat seperti Jalaleddin
Rumi tidak melihat kalau Muhammad adalah seorang penipu dan bahwa Qur’an
adalah sebuah kebohongan, sedangkan saya dapat melihat semua itu? Maka kemudian saya memasuki tahap rasa bersalah.
Rasa
bersalah itu berlangsung selama berbulan-bulan. Saya membenci diri saya
sendiri karena memiliki pikiran-pikiran ini. Saya merasa Tuhan sedang
menguji iman saya. Saya merasa malu. Saya berbicara dengan orang-orang
terpelajar yang saya percayai, orang-orang yang tidak hanya berilmu
namun juga yang saya anggap bijaksana. Saya hanya mendapatkan sedikit
jawaban yang dapat memadamkan api yang menyala-nyala dalam diri saya.
Salah seorang dari kaum terpelajar itu mengatakan agar saya berhenti
membaca Qur’an untuk sementara waktu. Ia menganjurkan agar saya berdoa
dan hanya membaca buku-buku yang dapat menguatkan iman saya. Saya
melakukannya, tapi itu sama sekali tidak menolong. Pikiran-pikiran
mengenai absurditas, kadang kekerasan dan ayat-ayat aneh dalam Qur’an
terus berdentam dalam kepala saya. Setiap kali menatap rak buku saya dan
melihat kitab itu, saya merasa sakit. Saya mengambilnya dan
menyembunyikannya di balik buku-buku lain. Saya berpikir jika saya tidak
memikirkannya untuk sementara waktu, pikiran-pikiran negatif saya akan
pergi dan saya akan memperoleh iman saya kembali. Ternyata tidak. Saya
menyangkal dengan segenap kemampuan saya, sampai saya sudah tidak
sanggup lagi. Saya terkejut, bingung, merasa bersalah, dan semua itu
menyakitkan.
Periode
merasa bersalah ini berlangsung sangat lama. Suatu hari saya memutuskan
bahwa ini cukup sampai disini saja. Saya mengatakan pada diri saya
sendiri bahwa ini bukanlah kesalahan saya. Saya tidak ingin membawa
rasa bersalah ini selamanya, memikirkan hal-hal yang tidak masuk akal
bagi saya. Jika Tuhan memberi saya otak, itu karena Ia ingin saya
menggunakannya. Jika apa yang saya terima sebagai sesuatu yang benar dan
salah telah dibengkokkan, maka itu bukan kesalahan saya.
Ia
mengatakan pada saya bahwa membunuh adalah perbuatan yang jahat dan saya
sadar bahwa membunuh itu jahat, karena itu saya tidak mau membunuh.
Lalu mengapa utusan-Nya membunuh begitu banyak orang yang tidak berdosa
dan memerintahkan para pengikut-Nya untuk membunuh orang-orang yang
tidak beriman? Jika memperkosa adalah perbuatan yang jahat, dan saya
tahu bahwa itu jahat, karena saya tidak mau hal itu terjadi pada orang
yang saya kasihi, mengapa Nabi Allah memperkosa wanita-wanita yang
menjadi tawanan perangnya? Jika perbudakan itu jahat, dan saya tahu itu
jahat karena saya tidak suka kehilangan kebebasan saya dan menjadi
seorang budak, mengapa nabi Allah memperbudak begitu banyak orang dan
memperkaya dirinya sendiri dengan menjual mereka? Jika pemaksaan agama
adalah hal yang jahat, dan saya tahu itu jahat karena saya tidak suka
ada orang yang memaksakan agamanya pada saya sedangkan saya tidak
menginginkannya, lalu mengapa nabi menyanjung jihad dan mendorong para
pengikutnya untuk membunuh orang-orang yang tidak beriman, merampok
mereka, dan mendistribusikan kaum wanita dan anak-anak mereka sebagai
rampasan perang? Jika Tuhan mengatakan pada saya bahwa suatu
hal itu baik, dan saya tahu bahwa itu baik karena mendatangkan kebaikan
pada saya, lalu mengapa nabi-Nya melakukan hal yang sebaliknya?
Ketika rasa bersalah itu telah diangkat dari pundak saya, kecemasan, kekecewaan dan sinis pun datang. Saya menyesal
karena telah menyia-nyiakan begitu banyak tahun dalam hidup saya, dan
bagi semua orang Muslim yang masih terperangkap dalam
kepercayaan-kepercayaan yang tolol ini, bagi semua yang telah kehilangan
hidup mereka atas nama doktrin-doktrin yang palsu ini, bagi semua
wanita di negara-negara Islam yang menderita segala macam penyiksaan dan
penindasan. Mereka bahkan tidak tahu kalau mereka sedang disiksa.
Saya
memikirkan semua perang yang dilakukan atas nama agama – begitu banyak
orang mati sia-sia. Jutaan orang beriman yang meninggalkan rumah dan
keluarga mereka untuk berperang dalam nama Allah, tidak pernah kembali.
Mereka mengira mereka sedang menyebarkan iman kepada Allah. Mereka
membantai jutaan orang tidak berdosa. Peradaban-peradaban dihancurkan,
perpustakaan-perpustakaan dibakar, dan begitu banyak pengetahuan hilang
sia-sia. Saya teringat suatu kali ayah saya bangun waktu hari masih
gelap sebelum fajar tiba dan ia mempraktekkan voodoo di air yang sangat
dingin di musim salju. Saya ingat bagaimana dia pulang dengan lapar dan
haus selama bulan puasa, dan saya memikirkan jutaan orang yang menyiksa
dirinya sendiri dengan cara seperti ini untuk sesuatu yang sia-sia saja.
Kenyataan bahwa semua yang telah saya percayai adalah sebuah kebohongan
dan semua yang telah saya lakukan hanyalah menyia-nyiakan hidup saya,
serta masih ada jutaan orang yang tersesat di padang gurun
ketidakpedulian yang gersang dan mengejar bayangan yang terlihat oleh
mereka seperti air, maka semua itu ternyata mengecewakan.
Sebelumnya
Tuhan selalu ada dalam pikiran saya. Dalam imajinasi saya, saya selalu
berbicara dengan-Nya, dan percakapan-percakapan itu bagi saya adalah
sesuatu yang nyata. Saya merasa Tuhan memperhatikan saya dan menghitung
semua perbuatan baik yang saya lakukan. Perasaan bahwa ada yang
memperhatikan saya, memimpin langkah-langkah saya, dan menjaga saya
adalah hal yang menenteramkan. Sulit bagi saya untuk menerima bahwa
Allah itu tidak ada dan seandainya pun Tuhan itu ada, maka itu bukanlah
Allah. Saya tidak berhenti percaya kepada Tuhan, namun kemudian saya
yakin bahwa jika alam semesta ini memiliki seseorang yang
menciptakannya, maka itu bukanlah sesembahan yang diberitakan oleh
Muhammad. Allah itu amat sangat tidak peduli. Qur’an itu penuh dengan
kesalahan. Tidak ada Pencipta alam semesta ini yang sebodoh sesembahan
yang digambarkan oleh Qur’an. Allah tidak eksis dimanapun, kecuali dalam
pikiran orang yang tidak waras. Saya menyadari bahwa Allah hanyalah
isapan jempol dari imajinasi Muhammad, dan tidak lebih daripada itu.
Betapa kecewanya saya ketika saya menyadari bahwa selama bertahun-tahun
saya telah berdoa kepada sebuah fantasi.
Perasaan
kehilangan dan kekecewaan ini disertai dengan kesedihan, dan juga
depresi. Seakan-akan dunia saya sudah hancur berkeping-keping. Saya
merasa seakan-akan tanah tempat saya berpijak sudah tidak ada lagi dan
saya jatuh ke dalam jurang yang tidak ada dasarnya. Tanpa bermaksud
membesar-besarkannya, saya merasa seperti berada dalam neraka.
Saya
tersesat, memohon pertolongan, namun tidak ada yang sanggup menolong
saya. Saya merasa malu akan pikiran-pikiran saya dan membenci diri saya
sendiri karena mempunyai pikiran-pikiran seperti itu. Perasaan bersalah
itu disertai dengan perasaan kehilangan dan depresi yang kuat. Saya
adalah orang yang berpikiran positif. Saya melihat sisi baik dari segala
sesuatu. Saya selalu berpikiran bahwa esok akan lebih baik daripada
hari ini. Saya bukanlah orang yang mudah depresi. Namun, perasaan
kehilangan ini sangat mencengkeram saya. Saya masih merasakan beban itu
dalam hati saya. Saya merasa Tuhan telah meninggalkan saya dan saya
tidak tahu mengapa. “Inikah penghukuman Tuhan?” Saya terus
bertanya pada diri sendiri. Seingat saya, saya tidak pernah menyakiti
siapapun. Saya selalu berusaha menolong orang yang berpapasan dengan
saya dan yang meminta pertolongan saya. Jadi, mengapa Tuhan ingin
menghukum saya dengan cara seperti ini? Mengapa Ia tidak menjawab
doa-doa saya? Mengapa Ia membiarkan saya bergumul dengan diriku sendiri
dengan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran saya yang tidak ada
jawabannya? Apakah Ia ingin menguji saya? Lalu, mana jawaban untuk
doa-doa saya? Apakah saya akan lulus dari ujian ini jika saya menjadi
bodoh dan berhenti menggunakan otak saya? Jika demikian, mengapa ia
memberikan otak pada saya? Apakah hanya orang-orang bodoh yang dapat
lulus dari ujian iman ini?
Saya
merasa dikhianati dan dijahati. Saya tidak dapat mengatakan perasaan apa
yang paling dominan. Ada kalanya saya kecewa, sedih dan putus asa.
Walaupun iman adalah sesuatu yang tidak benar, rasanya masih manis.
Beriman itu sangat menenteramkan.
Saat saya
mulai menyingkirkan perasaan sedih dan kehilangan itu, maka saya pun
merasa terbebas. Tak lama kemudian saya tidak lagi merasa bersalah dan
bingung. Saya yakin bahwa Qur’an adalah suatu kebohongan dan Muhammad
adalah seorang penipu.
Untuk
mengatasi kesedihan ini, saya berusaha menyibukkan diri dengan berbagai
kegiatan. Saya bahkan belajar menari dan mengalami apa artinya hidup,
bebas dari rasa bersalah, menikmati hidup dan menjadi normal. Saya
menyadari betapa saya telah banyak kehilangan dan betapa dengan bodohnya
saya telah melewatkan banyak kesenangan sederhana dalam hidup. Sudah
barang tentu, penyangkalan adalah cara yang digunakan bidat untuk
mengontrol para pengikutnya. Saya telah menjauhkan diri dari
kesenangan-kesenangan sederhana dalam hidup, dulu hidup dalam ketakutan
yang terus menerus terhadap Tuhan, dan saya pikir semua itu normal saja.
Saya meninggalkan nikmatnya tidur di pagi buta, menari, berkencan, atau
menyeruput segelas anggur yang baik.
Saat ini, saya memasuki tahap berikutnya dari perjalanan saya menuju pencerahan. Saya marah.
Marah karena telah mempercayai kebohongan itu selama bertahun-tahun,
marah karena telah menghabiskan banyak tahun dalam hidup saya untuk
“mengejar angsa liar”. Marah terhadap kebudayaan saya karena telah
mengkhianati saya, marah terhadap nilai-nilai yang salah yang diberikan
oleh kebudayaan pada saya; karena orangtua saya mengajarkan kebohongan
pada saya; marah pada diri sendiri karena saya tidak berpikir
sebelumnya, karena percaya pada kebohongan, mempercayai seorang penipu;
marah pada Tuhan karena telah mengecewakan saya, karena tidak
mengintervensi dan menghentikan kebohongan yang disebarkan dalam
nama-Nya.
Ketika
saya melihat gambar jutaan orang Muslim, yang dengan penuh kesungguhan
pergi ke Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah haji, dengan menghabiskan
uang tabungan mereka, saya jadi marah terhadap kebohongan-kebohongan
yang diberikan pada mereka. Ketika saya membaca bagaimana seseorang
telah berpaling kepada Islam, hal yang selalu diiklankan orang Muslim
dengan senang dan dijadikan pemberitaan yang besar, saya jadi sedih dan
marah. Saya sedih memikirkan orang malang itu (yang telah masuk Islam)
dan saya marah terhadap kebohongan (yang diberikan padanya).
Saya marah
pada seluruh dunia karena berusaha menjaga kebohongan ini, yang
membelanya dan bahkan menyiksa anda jika anda angkat suara dan berusaha
mengatakan pada mereka apa yang anda ketahui. Bukan cuma orang Muslim,
tetapi juga orang-orang Barat yang tidak percaya pada Islam. Tidak
apa-apa jika mengkritik apapun selain Islam. Yang mengherankan saya dan
membuat saya menjadi lebih marah lagi adalah perlawanan yang saya hadapi
ketika saya berusaha mengatakan kepada orang-orang lain bahwa Islam
bukanlah kebenaran.
Untunglah
kemarahan ini tidak berlangsung lama. Saya tahu bahwa Muhammad bukanlah
utusan Tuhan namun seorang dukun, seorang penghasut yang hanya berniat
untuk memperdayai orang dan memuaskan ambisi pribadinya yang narsistik.
Saya tahu semua cerita masa kanak-kanak tentang neraka dengan apinya
yang menyala-nyala, dan surga dengan sungai anggurnya, susu dan madu
yang hanyalah isapan jempol dan buah pikiran seorang yang sakit, liar,
tidak aman dan suka melakukan kekerasan terhadap orang lain, seorang
yang sangat berhasrat untuk mendominasi dan menegaskan otoritasnya
sendiri.
Saya sadar
seharusnya saya tidak marah terhadap orang-tua saya; karena mereka
telah melakukan yang terbaik dan mengajari saya apa yang menurut mereka
adalah yang terbaik pula. Saya tidak dapat marah pada masyarakat atau
kebudayaan saya karena bangsaku juga sama mengalami ketidaktahuan
seperti halnya orangtua saya dan saya sendiri. Setelah sejenak berpikir,
saya sadar semua orang telah menjadi korban. Ada satu milyar korban,
bahkan lebih. Bahkan mereka yang telah menindas orang yang tidak beriman
juga adalah korban dari Islam. Bagaimana saya dapat menyalahkan orang
Muslim jika mereka tidak tahu apa yang diperjuangkan Islam, dan
sejujurnya walaupun itu salah, mempercayai bahwa Islam adalah agama yang
damai?
Bagaimana dengan Muhammad?
Haruskah saya marah padanya karena ia berbohong, menipu dan menyesatkan
orang? Bagaimana saya bisa marah pada orang yang sudah mati? Muhammad
adalah seorang yang sakit secara emosi, dan orang yang tidak dapat
mengendalikan dirinya sendiri. Ia dibesarkan sebagai anak yatim piatu
yang diasuh oleh 5 orangtua angkat yang berbeda sebelum ia mencapai usia
8 tahun. Saat ia dekat dengan seseorang, ia dipisahkan dari orang itu
dan diberikan kepada orang lain lagi. Tentunya ini sulit baginya dan
mengganggu kesehatan mentalnya. Sebagai seorang anak, yang kehilangan
kasih dan perasaan dimiliki, ia bertumbuh dengan rasa takut yang sangat
mendalam dan kurang percaya diri. Ia menjadi seorang yang narsistik.
Orang yang narsistik adalah orang yang mengalami kekurangan kasih pada
masa kanak-kanak, yang tidak mampu mengasihi, namun sangat ingin
diperhatikan, dihormati dan diakui. Ia melihat nilai dirinya melalui
cara pandang orang lain padanya.Tanpa pengakuan itu ia bukanlah
siapa-siapa. Ia menjadi orang yang suka memanipulasi dan seorang
pembohong besar.
Orang-orang
yang narsistik adalah pemimpin besar. Mereka ingin menaklukkan dunia
dan mendominasi semua orang. Hanya dalam lamunan megalomaniak mereka,
sifat narsistik mereka dapat terpuaskan. Beberapa narsistik terkenal
adalah Hitler, Mussolini, Stalin, Saddam Hussein, Moammar Qadaffi, Idi
Amin, Pol Pot, dan Mao. Orang-orang yang narsistik adalah orang-orang
yang cerdas namun rusak emosinya. Mereka adalah orang-orang yang sangat
sakit. Mereka menetapkan tujuan-tujuan yang sangat tinggi bagi diri
mereka sendiri. Tujuan mereka selalu berhubungan dengan dominasi,
kekuasaan, dan respek. Mereka bukan siapa-siapa jika mereka diabaikan.
Orang-orang yang narsistik sering mencari pembenaran untuk mengontrol
korbannya yang tidak waspada. Bagi Hitler, pembenaran itu berupa pesta
dan balapan. Bagi Mussolini, fasisme atau bersatunya sebuah bangsa untuk
melawan bangsa lain. Bagi Muhammad, agama.
Tujuan-tujuan
ini hanyalah alat bagi mereka untuk mencapai kekuasaan. Alih-alih
mempromosikan dirinya sendiri, para narsistik mempromosikan sebuah
tujuan, sebuah ideologi, atau agama, sambil menampilkan diri sebagai
satu-satunya pihak yang berotoritas dan perwakilan dari tujuan-tujuan
itu. Hitler tidak meminta orang-orang Jerman untuk mengasihinya sebagai
seorang pribadi, tetapi supaya mereka mengasihi dan menghormatinya
karena ia adalah Fuhrer. Muhammad tidak dapat menyuruh siapapun
untuk menaatinya. Namun, ia dapat dengan mudah menuntut para
pengikutnya untuk menaati Allah dan utusan-Nya. Tentu saja, Allah adalah pribadi Muhammad yang kedua, sehingga pada akhirnya semua ketaatan hanyalah kepadanya.
Dengan cara ini Muhammad dapat mengontrol hidup semua orang dengan
mengatakan pada mereka bahwa ia adalah representasi Allah dan apa yang
dikatakannya adalah penetapan Allah.
Muhammad
adalah orang yang kasar dan tidak berperasaan. Ketika ia memutuskan
bahwa orang Yahudi sudah tidak menguntungkannya lagi, ia berhenti
menjilat mereka dan kemudian memusnahkan mereka. Ia membantai semua pria
dari Bani Qurayza dan membuang atau membunuh semua orang Yahudi lainnya
dan juga orang Kristen dari Arabia. Tentulah jika Allah ingin
menghancurkan orang-orang itu, ia tidak akan membutuhkan pertolongan
dari utusan-Nya.
Oleh
karena itu, saya tidak menemukan alasan untuk marah pada orang yang
sakit secara emosi, yang telah meninggal bertahun-tahun silam. Muhammad
sendiri adalah korban dari kebudayaan yang bodoh yang dimiliki
bangsanya, korban dari ketidakpedulian ibunya yang alih-alih mengasuhnya
pada tahun-tahun pertama hidupnya saat ia sangat membutuhkan kasih
ibunya, ibunya malah memberikannya pada seorang wanita Bedouin untuk
diasuh sehingga ibunya dapat menikah lagi.
Saya tidak
dapat mengkritik atau menyalahkan orang-orang Arab dari abad ke-7 yang
tidak peduli, karena tidak dapat melihat kalau Muhammad adalah seorang
yang sakit dan bukanlah seorang nabi, bahwa janji-janjinya yang aneh,
mimpi-mimpi yang mengesankan berkenaan dengan menaklukkan dan
menundukkan bangsa-bangsa yang besar sementara dia hanyalah seorang
miskin, sesungguhnya disebabkan oleh komplikasi emosi patologis dan
tidak ada hubungannya dengan suatu kuasa illahi. Bagaimana saya dapat
menyalahkan orang-orang Arab yang tidak peduli itu karena mereka menjadi
mangsa dari seseorang seperti Muhammad sedang pada satu abad lalu,
jutaan orang Jerman menjadi mangsa dari kharisma seorang narsistik
lainnya yang, sama seperti Muhammad, membuat janji-janji yang besar, dan
sama kejamnya, sama manipulatifnya, dan sama ambisiusnya.
Setelah
memikirkan hal ini dengan mendalam, saya menyadari bahwa saya tidak
dapat marah kepada siapapun. Saya menyadari bahwa mereka semua adalah
korban dan sekaligus orang yang mengorbankan sesamanya. Penjahatnya adalah ketidakpedulian.
Oleh karena ketidakpedulian kita, kita percaya pada isapan jempol dan
kebohongan mereka, mengijinkan mereka menaburkan kebencian diantara kita
atas nama sesembahan palsu, ideologi, atau agama. Kebencian ini
memisahkan kita satu sama lain, dan menghalangi kita untuk dapat melihat
diri kita seutuhnya dan memahami bahwa kita semua adalah
anggota-anggota umat manusia, yang terhubung satu sama lain dan saling
bergantung.
Maka
kemudian kemarahan saya berubah menjadi perasaan belas-kasihan, empati
dan kasih yang mendalam. Saya berjanji pada diri sendiri untuk memerangi
ketidakpedulian ini yang telah memecah-belah umat manusia. Kita telah
membayar perpecahan ini dengan harga yang sangat mahal. Perpecahan ini
disebabkan oleh ketidakpedulian, dan ketidakpedulian adalah akibat dari
kepercayaan palsu dan ideologi yang merusak yang dibuat oleh orang-orang
yang tidak sehat secara emosi, untuk kepentingan mereka sendiri.
Ideologi
memisahkan kita. Agama menyebabkan perpecahan, kebencian, perkelahian,
pembunuhan, dan pertentangan. Sebagai anggota keluarga besar umat
manusia, kita tidak memerlukan ideologi, tujuan, atau agama untuk bisa
bersatu.
Saya
menyadari bahwa tujuan hidup ini bukanlah supaya beriman, tetapi untuk
meragukan. Saya menyadari bahwa tidak seorangpun dapat mengajarkan
kebenaran karena kebenaran tidak dapat diajarkan. Kebenaran hanya dapat
dialami. Tidak ada agama, filsafat, atau doktrin yang dapat mengajarkan
kebenaran kepada anda. Kebenaran ada di dalam kasih kita kepada sesama manusia,
dalam tawa seorang anak, dalam persahabatan, dalam pendampingan, dalam
kasih antara orangtua dan anak, dan dalam hubungan-hubungan kita dengan
sesama. Kebenaran tidak ada dalam ideologi. Satu-satunya hal yang nyata adalah kasih.
Proses
beranjak dari iman kepada pencerahan adalah proses yang sulit dan
menyakitkan. Mari kita meminjam sebuah terminologi dari Sufisme dan
menyebutnya sebagai tujuh “lembah” pencerahan.
Iman
adalah keadaan bersepakat dengan ketidakpedulian. Anda akan tetap
tinggal dalam keadaan indah ketidakpedulian hingga anda dikejutkan dan
dikeluarkan dari ketidakpedulian. Kejutan ini adalah lembah yang pertama.
Reaksi
alamiah pertama terhadap kejutan adalah penyangkalan. Penyangkalan
bertindak sebagai perisai. Perisai itu menahan rasa sakit dan melindungi
anda dari kesengsaraan yang akan anda alami jika anda keluar dari zona
nyaman anda. Zona nyaman adalah tempat dimana kita dapat beristirahat,
dimana kita dapat menemukan bahwa segala sesuatu yang ada disana
tidaklah asing bagi kita, dimana kita tidak harus menghadapi tantangan
maupun hal-hal yang tidak kita ketahui. Penyangkalan adalah lembah yang kedua.
Pertumbuhan
tidak terjadi di zona nyaman. Untuk dapat terus maju dan berkembang
kita harus keluar dari zona nyaman kita. Kita tidak akan melakukannya
kecuali kita telah dikejutkan. Menahan rasa sakit akibat syok dengan
cara menyangkal juga merupakan sesuatu yang alamiah. Saat ini kita
memerlukan kejutan yang lain, dan bisa jadi kita akan memutuskan untuk
memagari diri lagi dengan penyangkalan lain lagi. Semakin kerap orang
terekspos dengan kenyataan, semakin ia dikejutkan, semakin ia berusaha
untuk menjaga dirinya dengan lebih banyak lagi penyangkalan. Namun,
penyangkalan tidak dapat menghapus kenyataan. Penyangkalan hanya
memagari kita untuk sementara waktu. Ketika kita diperhadapkan dengan
kenyataan, pada titik tertentu kita tidak dapat lagi terus menyangkal.
Tiba-tiba kita tidak mampu lagi menegakkan pertahanan kita, lalu dinding
penyangkalan akan segera roboh. Pada akhirnya kita tidak dapat terus
menyembunyikan kepala kita di dalam pasir. Apabila keraguan telah
menerobos masuk, maka keraguan akan membawa efek domino dan kita
mendapati diri kita diserang dari segala arah oleh kenyataan yang hingga
sekarang masih kita hindari dan sangkali. Tiba-tiba semua absurditas
yang telah kita terima bahkan kita bela, tidak logis lagi, dan kita
menolaknya.
Kemudian kita didorong masuk ke dalam tahap kebingungan yang menyakitkan, dan itulah lembah yang ketiga.
Keyakinan-keyakinan lama nampaknya tidak masuk akal, bodoh, dan tidak
dapat diterima, namun kita tidak mempunyai pegangan yang lain. Saya
yakin, lembah ini adalah tahap yang paling mengerikan dalam perjalanan dari iman kepada pencerahan.
Dalam lembah ini kita kehilangan iman kita sebelum menemukan
pencerahan. Kita berdiri di dunia antah berantah. Kita mengalami
jatuh/terbang bebas. Kita mencari pertolongan namun yang kita dapatkan
hanyalah sebuah pengulangan kata-kata klise yang tidak masuk akal.
Nampaknya orang-orang yang berusaha menolong kita juga tersesat, namun
mereka sangat yakin. Mereka percaya pada apa yang tidak mereka ketahui.
Argumen-argumen yang mereka sampaikan sama sekali tidak logis. Mereka
berharap agar kita percaya begitu saja. Mereka menceritakan
teladan-teladan iman orang lain. Tetapi intensitas iman orang lain tidak
membuktikan kebenaran dari apa yang mereka percayai.
Pada akhirnya kebingungan ini memberi jalan menuju lembah yang keempat, yaitu rasa bersalah.
Anda akan merasa bersalah karena telah berpikir. Anda merasa bersalah
karena meragukan, karena mempertanyakan, karena tidak mamahami. Anda
merasa telanjang, dan malu akan pikiran-pikiran anda. Anda mengira
andalah yang bersalah jika semua absurditas yang ada di dalam kitab suci
anda tidak masuk di akal anda. Anda berpikir Tuhan telah meninggalkan
anda atau Dia sedang menguji iman anda. Di dalam lembah ini anda akan
dikoyakkan oleh emosi dan intelektualitas anda. Emosi bukanlah hal yang
rasional, namun sangat berkuasa. Anda ingin kembali ke surga
ketidakpedulian; anda sangat ingin percaya, namun anda tidak bisa. Anda
telah melakukan dosa berpikir. Anda telah memakan buah terlarang dari
pohon pengetahuan. Anda telah membuat sesembahan dalam imajinasi anda
menjadi marah.
Akhirnya
anda memutuskan untuk tidak perlu lagi merasa bersalah karena telah
mengerti. Rasa bersalah itu bukan milik anda. Anda merasa dibebaskan dan
pada saat yang sama kecewa karena semua kebohongan itu telah membuat
anda tidak peduli dan telah menyia-nyiakan waktu. Inilah lembah kekecewaan.
Pada saat yang sama anda dikuasai kesedihan. Anda merasa dibebaskan,
namun seperti baru keluar dari penjara setelah menghabiskan waktu seumur
hidup disana, anda diselimuti oleh depresi yang mendalam. Anda merasa
sendirian dan, di samping kebebasan anda, anda telah kehilangan sesuatu.
Anda memikirkan waktu yang telah hilang. Anda memikirkan orang banyak
yang telah mempercayai hal yang tidak masuk akal ini dan yang dengan
bodohnya telah mengorbankan segala sesuatu untuk kebohongan itu, bahkan
hidup mereka juga. Halaman-halaman sejarah telah ditulis dengan darah
orang-orang yang dibunuh dalam nama Allah, Tuhannya Islam. Semuanya
untuk sesuatu yang sia-sia! Semuanya untuk sebuah kebohongan!
Setelah itu anda memasuki lembah yang keenam: marah.
Anda marah pada diri sendiri, dan pada semuanya. Anda menyadari betapa
hidup anda telah terbuang percuma karena mempercayai
kebohongan-kebohongan itu.
Lalu anda
menyadari bahwa anda adalah orang yang beruntung karena telah berhasil
berjalan sejauh ini, sementara masih ada jutaan orang yang masih
berusaha memagari diri mereka dengan perisai penyangkalan, dan tidak
mengembara keluar dari zona nyaman mereka. Mereka masih mengarungi rawa
di lembah pertama. Pada tahap ini, saat anda telah benar-benar bebas
dari iman, rasa bersalah, dan kemarahan, anda telah siap untuk memahami
kebenaran tertinggi dan menyingkap rahasia-rahasia kehidupan. Anda
dipenuhi empati dan belas kasihan. Anda siap untuk mendapat pencerahan. Pencerahan
datang ketika anda menyadari bahwa kebenaran ada di dalam kasih dan di
dalam relasi kita dengan sesama manusia dan bukan dalam sebuah agama
yang palsu atau bidat. Anda menyadari bahwa Kebenaran adalah
dataran yang tidak mempunyai jalan. Tidak ada seorang nabi atau guru
yang dapat membawa anda kesana. Anda sudah ada disana.
Dipetik dari buku: Why We Left Islam-Former Muslims Speak (Mengapa Kami Meninggalkan Islam – Mantan Muslim Bicara)
Karangan: Susan Crimp dan Joel Richardson