“Ada
laporan-laporan yang menyatakan bahwa polisi bekerja sama dengan
kelompok garis keras dalam melawan anggota sekte yang mereka anggap
'menyimpang' saat menegakkan peraturan perundang-undangan yang membatasi
kebebasan beragama,”
Kedutaan
Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta mengkritisi kebebasan beragama di
Indonesia. Dalam laporan kebebasan beragama internasional 2012
Departemen Luar Negeri AS, Kedutaan Besar AS mengaku telah mendapat
sejumlah
laporan soal kolaborasi aparat negara dengan kelompok Islam garis keras untuk menentang anggota kelompok-kelompok agama yang dianggap menyimpang.
laporan soal kolaborasi aparat negara dengan kelompok Islam garis keras untuk menentang anggota kelompok-kelompok agama yang dianggap menyimpang.
“Ada
laporan-laporan yang menyatakan bahwa polisi bekerja sama dengan
kelompok garis keras dalam melawan anggota sekte yang mereka anggap
'menyimpang' saat menegakkan peraturan perundang-undangan yang membatasi
kebebasan beragama,” demikian isi laporan Departemen Luar Negeri AS
tentang kebebasan beragama di Indonesia yang diterima merdeka.com,
Selasa (18/6).
Dalam
laporan itu, pemerintah AS menyatakan pihak Kepolisian bekerjasama
dengan FPI dan kelompok garis keras lainnya untuk membubarkan sejumlah
acara yang dinilai menyimpang. Salah satunya adalah acara diskusi Kanada
Irshad Manji, penulis buku 'Allah, Kebebasan, dan Cinta' (Allah,
Liberty, and Love) di Jakarta pada 4 Mei 2012 lalu.
“Setelah
pernyataan publik oleh FPI yang mengutuk karya dan menuduh Manji
sebagai seorang lesbian, Kepolisian dan FPI mengakhiri acara tersebut.
Diskusi berikutnya pun dibubarkan oleh kelompok garis keras Sunni di
Yogyakarta, sementara polisi tidak melakukan tindakan apapun.”
Contoh
lain yang ditulis dalam laporan itu adalah, soal apa yang terjadi di
Kampung Cisalopa, Jawa Barat, pada 8 Juli 2012. Saat itu polisi bersama
para tokoh kampung menahan pemimpin sekte Islam At Tijaniyah dan
beberapa pengikutnya.
Hal
itu dilakukan karena pemerintah setempat, polisi, TNI, MUI setempat dan
ormas Islam garis keras Gerakan Reformasi Islam (GARIS) menuduh
pemimpin kelompok itu, Sumarna, telah menyebarkan paham Islam yang
menyimpang kepada para pengikutnya. Mereka mengimbau penganut aliran
tersebut untuk kembali ke Islam aliran utama.
“Tanggal
19 Agustus, sekitar 1.000 anggota GARIS membakar tujuh rumah milik
Sumarna dan para pengikutnya. Serangan tersebut menyusul gagalnya upaya
pencarian pemimpin GARIS yang hilang, Ustaz Edin Zainudin. Polisi yang
datang ke lokasi kejadian menemukan jasad Zainudin sekitar 460 meter
dari rumah Sumarna dan kemudian menangkap Sumarna. Menurut laporan
kelompok HAM terkemuka, Zainudin sering melontarkan kritik keras
terhadap Sumarna serta kelompoknya yang dianggap 'menyimpang'. Di akhir
tahun, kasus Sumarna masih ditangguhkan. Tidak ada penangkapan berkaitan
dengan serangan terhadap anggota aliran tersebut.”
Tak
hanya itu, pemerintah AS juga mendapat laporan pengawasan penyebaran
atheisme di Indonesia semakin meningkat setelah seorang PNS atheis,
Alexander Aan ditangkap. Penganut atheis itu dihukum 30 bulan karena
telah memposting di laman Facebook tentang pernyataan dan material
terkait atheisme yang dianggap oleh MUI setempat sebagai penistaan
terhadap agama.
“Aan
dihukum karena telah melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang melarang penyebaran informasi yang dibuat untuk
menyebarkan kebencian kepada atau pertikaian di antara individu dan atau
beberapa kelompok komunitas berdasarkan etnis, agama atau ras. Setelah
dijatuhi hukuman, Aan mengemukakan kepada umum bahwa ia telah
meninggalkan atheisme dan dilaporkan pindah (kembali) ke Islam. Di
penghujung tahun, ia masih tetap di penjara.”
Sumber: Merdeka.com