Muhammad tidak terbiasa untuk disanggah
dan ditolak. Ia haram dibantahi istri apalagi berkali-kali seperti ini.
Dia tidak bisa mengalah dan membiarkan orang lain merongrong harga
dirinya sebagai Nabi. Apalagi mengizinkan pihak-pihak istrinya
mengungkit-ungkit hal yang ada berkaitan dengan
denyut syahwatnya. Kini
ia terpaksa tunjuk perkasa membela diri secara otoriter dengan jurus
“pukulan dari langit”. Ia berkata, “Jangan melukai hatiku mengenai
Aisha, karena wahyu tidak turun kepadaku diranjang-ranjang manapun
kecuali diranjang Aisha”.
Uiih! Um Salama kaget dan terdesak sesaat!
Tentu saja ia tidak menyangka bahwa Muhammad akan melakukan intimidasi
atas nama wahyu-Allah yang hanya turun keranjang Aisha.
Oleh: Miryam Ash
Banyak pihak mengatakan bahwa Surat An Nisaa dan Al Ahzaab adalah dua diantara 114 Surat Allah yang paling telak menegatifkan moralitas Allah dalam kehidupan keluarga Muslim dan kemanusiaan. Ya, pernyataan yang mungkin ada banyak kadar kebenarannya.
Apa yang disampaikan dan diperintahkan Allah
dalam kancah KAWIN-MAWIN misalnya sungguh membingungkan, kontradiktif,
tidak beradab, tidak masuk akal, tidak adil, bahkan kejam dan jahat,
khususnya bagi pihak perempuan! Kita dapat mengulasnya amat panjang
dengan rintihan kebatin. Tetapi disini kita hanya mau menyingkapkan dan
mempersoalkan secuil contoh saja.
Pertama-tama, Surat An Nisaa 3 memerintahkan para lelaki untuk berpoligami,
“kawinilah
wanita-wanita yang kamu senangi, DUA, TIGA atau EMPAT”. Segera terlihat
bahwa ayat ini jelas merupakan ayat pendorong poligami karena dimulai
dengan DUA wanita, bukan SATU, padahal sistem mulia monogami-lah yang
seharusnya Allah dorong dan teguhkan sebagai fitrah hidup berpasangan
yang Dia jadikan sejak semula (QS.75:39, 35:11, 53:45, dll).
Kedua,
sesudah mendorong iklim berpoligami seperti diatas, namun apabila ada
lelaki yang was-was tidak bisa berlaku adil kepada para istrinya
(perempuan merdeka), maka si lelaki tersebut tetap diberi “jalan pintas
keluar” untuk mengawini satu perempuan merdeka atau/dan sejumlah
perempuan budak, “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki”.
Jalan pintas ini adalah semacam “poligami mix” yang dinyatakan halal,
namun jelas lebih menjijikkan, mengingat budak-budak perempuan --pihak
yang paling lemah ini-- masih dieksploitasikan sex-nya dengan cara
melegalkan mereka untuk dikawini secara murahan tanpa usah berkeadilan
atau syarat-syarat apapun, dan ini melekat menjadi hukum Allah Islamik
yang kekal. Padahal 600 tahun sebelumnya, Yesus Al-Masih dalam InjilNya
justru telah membebaskan semua pihak dari perhambaan (Yohanes 15:15).
Ketiga, setelah mendorong “poligami
resmi” dengan alternatif “poligami-mix”, datang lagi wahyu kontradiktif
pada Surat An Nisaa yang sama dimana Allah berbalik menegasi atau
menolak semua usaha berpoligami! Satu dan lain hal karena Allah
MEMASTIKAN bahwa tak ada manusia yang bisa berlaku ADIL terhadap para
istri yang dinikahinya,
“Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (QS. An Nisaa : 129).
Jikalau
pembatasan jumlah istri (hingga 4, seperti ayat 3 diatas) tidak
dikenakan kepada Muhammad dengan hadirnya “hukum-ajaib” (33:50,51) yang
mengecualikan dirinya, maka tidak demikian halnya dengan tuntutan
keadilan yang harus Muhammad berikan untuk setiap istri yang
dikawininya! Muhammad diberi pengecualian dengan axioma-mati bahwa ia
sebagai nabi mutlak bisa berbuat adil seadil-adilnya kepada seluruh
umat, apalagi kepada para istrinya! Dia-lah Al-Amin yang harus
membuktikan keadilannya yang sempurna dikalangan istrinya. Namun semua
Muslim tahu bahwa bukan saja tak ada pria-poligami yang bisa berlaku
adil, bahkan Muhammad sendiripun telah mendemonstrasikan
ketidak-adilannya secara terbuka dikalangan istri-istrinya! Jadi kembali
kita menyaksikan betapa hukum akan saling berbenturan dalam realitas,
sekali ada pengecualian yang tanpa dasar.
Sesungguhnyalah, tak ada nabi manapun yang
dikecualikan dari hukum-Tuhan bagi umatNya. Semakin dia nabi yang makin
tinggi derajatnya, semakin dia diharuskan menggenapi dan mencontohkan
praktek hukum yang dikenakan bagi umatnya. Anomali hukum yang diizinkan
justru memacu Muhammad ber-skandal liar dalam kehidupan seks-nya yang
tidak satupun bisa menjadi mercu-suar keteladanan bagi kekudusan
keluarga. Dan balik membantah kenabian Muhammad dan azaz kesempurnaan
Allah yang tanpa cacat!
Keempat, sekalipun poligami dihalalkan,
namun inipun diharamkan oleh Muhammad untuk diberlakukan kepada anak
putrinya Fatimah. Dan ini betul-betul memperkosa rasa dan substansi
keadilan ilahiah!
"Banu
Hisham bin Al-Mughira telah meminta kepada saya untuk mengizinkan mereka
mengawinkan putri mereka kepada Ali bin Abu Talib, namun saya tidak
memberi izin, dan tidak akan memberinya kecuali Ali bin Abi Talib
menceraikan putri saya untuk mengawinkan putri mereka, sebab Fatima
adalah bagian dari tubuh saya, dan saya benci apa yang dia bencikan, dan
apa yang melukainya, melukai saya pula” (HSM.62.157)
Kelima,
semua istri dari Muhammad diberi gelar istimewa yang tercatat di surga,
dan disebut sebagai “Ibu dari orang-orang beriman”, Umm’l Mikminin
(Surat al-Ahzab 33:6). Namun Muhammad dan Muslim tidak terlalu sensitif
akan konsekwensi gelar tersebut. Sebab dengan posisi dan gelar surgawi
itu maka para ibu orang-orang mukmin lalu tidak boleh menikah dengan
siapapun lagi walau mereka sudah jadi jandanya Muhammad yang sudah
tiada. Aisha misalnya diharuskan menjadi janda seumur hidupnya tatkala
justru berumur dewasa 18 tahun! Begitu pula posisi dan gelar ini
sekaligus memunculkan terjadinya kerancuan bahwa Aisha (putri dari Abu
Bakr) misalnya, otomatis telah menjadi ibunda dari bapaknya. Dan Hafsah,
putri dari Umar b. al-Khattab, menjadi wanita mulia yang menurunkan
moyangnya, termasuk Ismail dan Ibrahim! Wujud dan kerangka dari poligami
ala Muhammad sungguh kacau dan tidak berserasi dengan hakekat surgawi.
Apalagi bila hal-hal ini diproyeksikan sampai ke surga Islam kelak,
dengan “intervensi” 72 bidadari yang muda belia dan selalu perawan. Tak
ada yang bisa membayangkan bagaimana posisi Muhammad diantara bidadari
dan ummul mukminin ini, katakanlah yang paling menyolok saja, bagaimana
Muhammad bisa digandengkan dengan 72 bidadari versus Aisha (istri paling
favorit) versus Sauda bint Zama’h (istri yang di-sia-siakan, lihat
dibawah) ...
Sejarah hidup Muhammad segera tampak menjadi
sebuah CONTOH ketidak-adilan yang sempurna dalam memperlakukan para
istrinya, menurut kuantitas dan kualitas “perhatian, cinta kasih, nafkah
dan giliran seks” yang harus diberikan sama kepada setiap mereka. Dan
lebih dari itu beliau justru telah mendemonstrasikan suatu perkosaan
terhadap keadilan poligamis itu tanpa rasa bersalah, melainkan
membiarkan itu terus begitu dan malah mensyukurinya diam-diam dalam
keluarga haremnya! Kedengaran seperti fitnah? Maaf, bukan fitnah, tetapi
fakta keras!
Kita menunjuk kepada kasus Sauda bint Zama’h
misalnya, yang dikawini Muhammad 1 bulan (!) setelah kematian Khadijah.
Ia dikatakan sebagai istri yang bertampang biasa, gemuk dan berumur
(walau tidak pernah diketahui berapa umurnya). Ia tidak pernah mendapat
gairah dan perhatian Muhammad. Nabi malahan sudah siap mau
menceraikannya. Dan kalau akhirnya tidak jadi dicerai, itu hanya karena
Sauda mati-matian memohon kepada Nabi agar ia jangan sampai dicerai
dengan imbalan bahwa hak “giliran seks” baginya akan dialihkan kepada
Aisha yang lebih dicintainya! (Qurtubi, Al-Tabari, Abu Dawud vol.2
no.2130 hal.572). Status Sauda serentak menjadi “stateless marriage” yang paling memprihatinkan! Dan batin Nabi Allah tidak merasa berurusan.
Sebaliknya, bukan rahasia lagi bahwa Aisha
adalah isteri yang paling TOP FAVORIT bagi Muhammad (Sahih Bukhari
3:47:755 dll). Namun ini sekaligus mendatangkan konsekwensi bagi
Muhammad untuk mempertanggung-jawabkan bukti “keadilan poligamisnya”
dalam tuntutan Allah (Surat 4:3). Sebab kita tahu dimana-mana Islam
berslogan-ria tentang hukum keadilan. Dan Muhammad selalu disebut-sebut
pejuang keadilan yang berdiri di garis paling depan. Jadi Muhammad harus
mampu memperlihatkan bagaimana mengoperasikan “keadilan domestik” nya
diantara para istrinya yang begitu banyak itu, sekaligus bangga bisa
berkata kepada dunia secara spesifik: “Belajarlah kalian kepadaku, sebab
hidup berkeluargaku, dalam seksualitas dan keadilan-poligamisku adalah
cermin dari moral yang supra”. Bukankah Yesus juga telah berkata dalam
kerangka ajaran moral yang sama: Belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah
lembut dan rendah hati”, atau “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus”...
(Matius 11:29, Imamat 11:45; 1Petrus 1:16;).
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya dari yang
dislogankan dengan sepenuh yakin. Banyak Hadis dan Sirat yang
menyajikan secara orisinil dan otentik tentang kekejian Muhammad
sehubungan dengan skandal seks dan perkawinan dalam haremnya. Kisah
sudah sangat terang benderang, sekalipun dipoles dengan banyak
eufemisme. Kita hanya mendaftarkan beberapa kasus dan tidak akan masuk
dalam penjabarannya lagi, a.l.
- Kasus pedofil dengan Aisha. Mengapa Nabi perlu memaksakan penghilangan masa kanak-kanak Aisha, dan tidak mampu menjadi suri teladan universal dengan menampik jenis perkawinan yang bercirikan pedofilia, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu… (QS.33:21).
“Rasul
Allah berkata, ‘Saya telah diutus sebagai generasi keturunan Adam yang
terbaik keseluruhannya sejak penciptaan” (HSB 4.56.757)
- Perkawinan dirinya dengan Zainab, yang tercabut dari istri anak angkatnya Zayd bin Muhammad. Padahal Nabi sendiri pula yang tadinya menikahkan keduanya.
Perkawinan yang
membuat Allah harus menurunkan banyak ayat-ayatNya yang aneh dan kerdil
demi untuk pembenaran perkawinan yang tidak mulia ini, yang bahkan
dilakukan tanpa wali dan saksi, karena sudah dipersaksikan oleh Allah
sendiri ketika dikawinkan di surga, “Kami telah kawinkan dia (Zainab)
dengan kamu (Muhammad)” (QS.33:37)??
- Skandal seks Muhammad dengan budak Mariya Coptik, yang dilakukan sembunyi-sembunyi di hari, di rumah, dan di ranjangnya Hafsah. Yang akhirnya menjadi ledakan heboh diseluruh harem Muhammad dan pemboikotan istri-istri terhadap Nabi, sehingga Allah dibuat harus menurunkan jenis wahyu yang mengancam istri-istri yang membangkang (QS.66:1-5).
- Kasus hubungan seks dengan Safiyyah dihari yang sama dengan pembantaian Nabi terhadap suami dan keluarga Safiyyah dimuka hidungnya, yang memperlihatkan ciri seorang psikopat tanpa hati nurani dan empati… dll.
UM SALAMA
Kita memilih memaparkan jeritan Um Salama dan
kubunya disini. Ini karena jarang kasus Um Salama diekposisikan secara
kritis apa adanya. Padahal ia menampilkan potret tentang “the hidden unjustice”
yang dimainkan paling kotor oleh seorang Uswa Hasana, Insan Kamil
Muhammad terhadap Um Salama dan kawan-kawannya sesama ummul mukminin.
Tidak diragukan bahwa Um Salama yang berasal dari keluarga bangsawan
adalah istri Nabi yang cerdas, disiplin, pemberani, dapat dipercayai,
berjiwa pemimpin yang berwibawa, dan disebut sebagai “Ibu Damai Yang
Bijak”, satu dan lain hal karena kemampuannya berinteraksi dengan
orang-orang yang sulit. Bahkan Nabi sendiripun sempat meminta nasihat
kepadanya tatkala timbul krisis tentang upacara kurban dan cukur rambut
yang sempat ditolak oleh 1400 pengikutnya (Tamam Kahn, Untold, p.68,69).
Kini kisah dimana Um Salama yang juga
pencemburu, mewakili kubunya untuk memprotes dan meminta keadilan dan
kesetaraan Muhammad dalam memperlakukan setiap istri, khususnya dalam
kaitannya dengan status Aisha yang diistimewakan sebagai istri-emas
Nabi. Itu sesungguhnya sebuah tuntutan Um Salama yang wajar-wajar, adil,
absah dan hakiki dari segi kemanusiaan maupun Allah. Bahkan sebenarnya
sederhana sekali untuk diselesaikan oleh Nabi dengan sepatah perintah
saja kepada sesama teman-teman Muslim Nabi yang mau memanjakan Muhammad
dengan hadiah-hadiah. Akan tetapi Muhammad memang tidak sensitif untuk
berhirau dan tidak beranjak dari posisinya, manakala itu ada berlawanan
dengan urusan syahwatnya….
Berikut adalah hadis shahih yang menjabarkannya.
“Para istri Rasul Allah terdiri dari dua kubu.
Kubu pertama terdiri dari 'Aisha, Hafsa, Safiyya dan Sauda; dan kubu
kedua terdiri dari Um Salama dan para istri lainnya. Orang-orang Muslim
tahu bahwa Rasul Allah mencintai Aisha, sehingga mereka ketika mau
memberikan hadiah kepada Rasul Allah, mereka akan menahan hadiah
tersebut hingga saat Rasul Allah (tiba giliran-nya) mengunjungi rumah
Aisha dan baru memberinya di rumah dia (Aisha, yang mana hadiah tersebut
akan otomatis menjadi milik Aisha). Kubu Um Salama berdiskusi tentang
hal ini bersama, dan memutuskan agar Um Salama menuntut Rasul Allah
untuk memberitahukan kepada orang-orang yang mau memberi hadiah-hadiah
kepada Rasul Allah itu supaya mengirimkannya ke rumah mana saja dimana
Muhammad berada (tidak pilih dan tunggu ‘hari-Aisha’ saja).
Um Salama menyampaikan kepada Rasul Allah apa
yang telah mereka semua keluhkan, namun beliau tidak menjawab. Ketika
para istri menanyakan kepada Um Salama, iapun berkata, “Beliau tidak
menjawab apapun kepada saya.” Maka mereka meminta kepadanya untuk
berbicara lagi kepada beliau. Ia (Um Salama) berbicara kembali ketika
keduanya bertemu pada hari gilirannya, namun beliau tidak memberikan
jawaban…..Mereka (para istri) meminta kepadanya lagi, ”Bicaralah
kepadanya hingga beliau memberi engkau sebuah jawaban”.
Ketika bertemu lagi pada hari gilirannya, ia mengulang kembali bicaranya. Maka beliau (Muhammad) pun berkata kepadanya,
“Jangan
melukai hatiku mengenai Aisha, karena wahyu-wahyu tidak turun kepadaku
diranjang-ranjang manapun kecuali diranjang Aisha”.
Mendengar
hal itu, Um Salama berkata, “Saya minta ampun kepada Allah karena
menyakitimu”. Kemudian, kubu Um Salama pun memanggil Fatima, putri
Rasulullah, dan mengutusnya kepada Rasulullah untuk berkata:
“Istri-
istrimu meminta agar mereka diperlakukan sama adil seperti yang
diperlakukan terhadap putri Abu Bakr”. Nabi berkata, "O my daughter!
Don't you love whom I love?"
Dia
(Fatima) mengiakan, lalu kembali dan melaporkan situasinya (kepada kubu
Um Salama). Mereka meminta Fatima pergi lagi menghadap beliau, tapi ia
menolaknya. Mereka mengutus Zainab bint Jahsh, dan ia pergi kepada
beliau dan memakai kata-kata keras menegur,“Istri-istrimu meminta agar
mereka diperlakukan sama adil seperti yang diperlakukan terhadap putri
Ibn Abu Quhafa”. Ketika itu ia pun melantangkan suaranya dan memaki
Aisha dengan sengitnya, sedemikian sehingga Rasul Allah melihat kepada
Aisha sambil berharap dia membalasnya dengan keras. Aisha-pun membalas
Zainab hingga dia terdiam. Nabi akhirnya melihat Aisha sambil berkata,
“Sungguh dia (Aisha) putri Abu Bakr”! (Sahih Bukhari 3:47:755).
Dalam Hadis Muslim 31.5984 dikatakan,” Rasul
tersenyum dan berkata, ‘Dia putri Abu Bakr.’” Versi lain mendetailkan,
“Kemudian Zainab menerjang dan menindih tubuh saya (Aisha) beberapa
saat… hingga saya tahu bahwa Rasulullah tidak akan marah jika saya
membalas serangan Zainab hingga menang… Kemudian Rasulullah tersenyum
sambil berkata: “Aisha memang putri Abu Bakar” (HSM no. 4472, Lidwa).
Maka tiba saatnya Um Salama memainkan diplomasi
dan bakat khususnya untuk baik-baik menjelaskan apa-apa yang
menyesakkan hati yang terjadi selama ini. Atas nama para istri Nabi,
Umm’l-Mukminin, maka Um Salama mengemukakan ketidak-adilan yang terjadi
dan memprotes kepada Nabi. Tetapi Muhammad terdiam, tidak menjawab
apapun. Dia rupanya tak punya amunisi untuk membela diri, sehingga
mengambil sikap diam dalam menghadapi “ayat kebenaran” yang dilontarkan
oleh Um Salama secara cerdas. Tapi diamnya Nabi berarti diskriminasi
istri dan ketidak-adilannya berjalan terus. Dosa pelanggaran ayat
berjalan terus, hingga tiba putaran kedua “harinya Um Salama” (menurut
jadwal kunjungan bergilir Muhammad ke rumah istri-istrinya, “demi
keadilan”). Keadilan disini bukan hanya terbatas pada pembagian
hari-hari yang digilirkan adil oleh Muhammad (yang juga telah cacat,
kontrasnya ketika memperlakukan Sauda ketimbang Aisha). Para istri juga
menuntut pembagian materi yang adil, yaitu hadiah-hadiah dari
orang-orang Muslim kepada Muhammad sebagai kepala dari semua istri,
namun nyatanya hadiah-hadiah hanya dan selalu jatuh ke tangan Aisha!
Maka kembali Um Salama mempersoalkan hal yang
sama, untuk kali yang kedua. Tentu kali ini dengan sikap Um Salam yang
lebih assertif. Namun kembali Muhammad tetap tidak bergeming dan tidak
tanggap. Gayung tidak bersambut, dan tanya tidak berjawab. Akhirnya pada
putaran berikutnya Um Salama diminta oleh kubunya untuk wanti-wanti
menanyakan secara tuntas, tas, tas, tas, ”Bicaralah kepadanya hingga
beliau memberi engkau sebuah jawaban”!
Ego Muhammad terkenal rapuh dan ringkih
terhadap tekanan oposisi, terlebih-lebih jika bantahan itu datangnya
dari kalangan istri-istri, yang dianggapnya harus mutlak tunduk kepada
suami,
“Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita …maka perempuan-perempuan yang
saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dibalik belakang
suaminya… Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka” (QS.4:34).
Muhammad
tidak terbiasa untuk disanggah dan ditolak. Ia haram dibantahi istri
apalagi berkali-kali seperti ini. Dia tidak bisa mengalah dan membiarkan
orang lain merongrong harga dirinya sebagai Nabi. Apalagi mengizinkan
pihak-pihak istrinya mengungkit-ungkit hal yang ada berkaitan dengan
denyut syahwatnya. Kini ia terpaksa tunjuk perkasa membela diri secara
otoriter dengan jurus “pukulan dari langit”. Ia berkata,
“Jangan melukai hatiku mengenai Aisha, karena wahyu tidak turun kepadaku diranjang-ranjang manapun kecuali diranjang Aisha”.
Uiih!
Um Salama kaget dan terdesak sesaat! Tentu saja ia tidak menyangka
bahwa Muhammad akan melakukan intimidasi atas nama wahyu-Allah yang
hanya turun ke ranjang Aisha. Ia tahu diri dan buru-buru minta maaf.
Akan tetapi jawaban ini sungguh tidak menjawab pertanyaan dan inti
masalahnya. Um Salama utamanya meminta agar Nabi memberi keadilan atas
hadiah-hadiah yang diberikan kepada Nabi. Yaitu agar orang-orang yang
mau mengirim hadiah kepada Muhammad, jangan sengaja menyampaikannya
hanya pada “hari Aisha” (sehingga hadiah hanya menjadi milik Aisha).
Jadi jawaban Muhammad ini jelas nyasar jauh, berbau intimidasi, karena
masalahnya adalah lokasi jatuhnya hadiah-hadiah kepada para istri secara
adil, dan samasekali tidak relevan dengan lokasi jatuhnya wahyu Allah
yang tidak bisa digugat oleh siapapun! Dengan jawaban Muhammad yang aneh
dan serong ini, kita malahan bisa mencium bahwa memang Muhammad telah
memberi-kan frekwensi “hari Aisha” yang berlebihan ketimbang hari bagi
istri-istri lainnya!
Um Salama tidak sebodoh yang diperkirakan
orang-orang bodoh. Ketika isu “hadiah Aisha” berubah menjadi “ranjang
Aisha”, maka pastilah jawaban semacam ini dirasakan Um Salam dkk sebagai
palsu dan mengada-ngada. Masak ‘wahyu yang maha-mulia’ turun tatkala
Nabi berasyik syahwat dalam ranjang. Dan masak ‘wahyu yang selalu maha
adil’ itu hanya bisa turun di ranjangnya Aisha dan anti-ranjang
selainnya?! Apa hebatnya ranjang Aisha dimata Allah sehingga hanya
ranjang itulah yang bisa dan layak menampung wahyuNya, dan bukan
nabiNya? Alangkah wahyu Allah telah dihujat oleh seorang nabiNya. Dan
bila pun alasannya benar begitu, maka Muhammad seharusnya sudah dapat
menjawab Um Salama pada kesempatan pertama ia menanyainya, dan tidak
usah terdiam-diam menunggu hingga tersudut ketiga kalinya?! Tak ada
rasionalitas yang pas untuk dapat memahami tanggap akrobatika Muhammad.
Sekalipun terintimidasi sesaat oleh pernyataan
Nabi yang mengatas-namakan wahyu Allah, jelas Um Salama dan
Umm’l-Mukminin lainnya tidak menganggap masalahnya selesai. Mereka
tidak menggubris wahyu akal-akalan ini, karena tak ada dasar akal-sehat
untuk mempercayainya. Ini terbukti dengan makin sewotnya mereka menolak
perlakuan Nabi Allah dan mempersiapkan pengutusan berikutnya untuk
menghadap Nabi.
Kini kubu Um Salama melirik kepada sosok
Fatimah, putri kesayangan Muhammad, berbudi santun dengan talenta
berbicara yang menghanyutkan orang. Ia dan suaminya kebetulan bersahabat
sangat baik dengan Um Salama. “Kasihnya Muhammad terhadap Aisha harus
dikonfrontasikan dengan sayangnya Nabi kepada Fatimah”, demikian pikiran
rasional yang ada di benak kubu ini. Apalagi Fatimah adalah juga
saksi-mata atas ketidak-adilan ayahnya, sebab ketika Fatimah sampai mau
diutus, itu tentu karena memang melihat sendiri (sebagaimana para
pemberi hadiah juga sama tahu) betapa tindakan ayahnya kepada
istri-istri lain sudah diluar koridor keadilan dari seorang “AHMAD,Yang
Terpuji”. Dan ini tidak bisa dibiarkan karena akan merusak reputasi sang
ayah pula. Maka iapun siap menghadap ayahnya untuk mengingatkan dan
bermediasi. Message yang Fatima terima dari pihak Umm’l-Mukminin ini
dibuat sangat eksplisit, fair, dan sederhana untuk direspons oleh
ayahnya, yaitu: “Para istrimu meminta agar mereka diperlakukan sama adil
seperti yang diperlakukan terhadap putri Abu Bakr”.
Namun segera tampak bahwa Fatimah bukan
tandingan sang ayah. Muhammad – seperti yang sudah-sudah – bukan
merenungkan pesan “para cewek” yang dianggap memberontak itu, bukan pula
mau menjawab masalahnya, melainkan sekali lagi secara licin mencoba
menyerongkannya dengan memainkan nuansa emosi sang anak untuk
diperhadapkan kepada wibawa dirinya sebagai ayah. Maka Muhammad cukup
merangkul Fatimah dengan berkata pendek:
"O
my daughter! Don't you love whom I love?" Dan gugurlah maksud dan
kehendak mulia Fatimah semula untuk menyadarkan sang ayah. Ia menyerah
tanpa bisa berkata “tidak” terhadap jurus “kasih-ayah” yang dimainkan
Muhammad.
Mendengar laporan kegagalan
ini, kegeraman para istri-pun tidak terhindarkan lagi. Ini dianggap
bukan menjawab pertanyaan yang begitu serius. Ini hanya main petak-umpet
yang terus-terusan diserongkan Nabi kemana-mana. Ini perjuangan untuk
mendapatkan “keadilan dasar” para istri yang dipoligamikan oleh seorang
Nabi: demi Allah dan demi keadilan yang Allah sendiri tuangkan dalam
perintah-perintah-Nya.
Mereka sepakat meminta ulang kepada Fatimah
untuk penuntasan perkara. Tapi Fatimah… O, dia yang berhati santun… Ia
sudah luluh, ciut dan tak berani menghadap sang ayah lagi. Ia kini sudah
belajar satu hal baru dalam hidupnya, bahwa sekalipun ayahnya begitu
sayang kepada dirinya dalam ucapan dan sumpah, masih ada sosok lain
didekatnya yang jauh lebih disayangi ayahnya dalam praktek.
Bukankah
Nabi pernah berkata: “Apa yang menyenangkan dia (Fatima) menyenangkan
saya, dan apa yang membuatnya marah membuat saya marah.” (HSB.62.157).
Nabi
juga berkata, "Perempuan terbaik diantara perempuan-perempuan penghuni
surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam
binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim, istri Firaun” (Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah, IV, p.13, no.1508).
Fatima
tentu bingung siapa jadi favorit ayahnya dalam hidup ini menurut apa
yang diucapkannya. Namun kini mendapat pelajaran berharga bahwa ayahnya
menjadi sosok yang splitted personality karena terbius akan “ranjang Aisha” yang terus menaburkan wewangian wahyu Allah yang turun tiada henti…
Tidak bisa lain, kubu merasa kian dilecehkan.
Akhirnya mereka memilih Zainab bint Jahsh untuk jadi utusan pamungkas.
Zainab punya asset yang cocok untuk ngotot kepada Nabi. Ia punya suara
keras dan temperamen keras serta berperingkat sama dengan Aisha di
matanya Nabi. Zainab pun mendatangi Nabi. Dalam kegeramannya ia lalu
langsung membentaki Muhammad: “Istri-istrimu meminta engkau memperlakukan mereka sama adil dengan putri Ibn Abu Quhafa”!
Ini diteriakkan Zainab sembari mendamprat muka Aisha sekalian. Kenapa
sekalian? Ya, kan Nabi membawa-bawa ranjangnya Aisha untuk mendapatkan
wahyu, dan Aisha membawa-bawa Muhammad untuk mendapatkan hadiah-hadiah?
Wah, semua sudah compleks semrawut dan
kehilangan kualitas keluarga kenabian. Apalagi hubungan perkawinan
Muhammad dengan Zainab tak ada tandingannya, karena --benar atau
salah--mereka berdua telah tercatat dijodohkan Allah disurga, “Kami
telah kawinkan dia (Zainab) dengan kamu (Muhammad)” (QS.33:37).
Ya, Zainab tidak main-main. Ia bukan lagi
sekedar bertanya (yang selama ini tidak dijawab Nabi secara lurus),
melainkan memilih cara berkonfrontasi “adu jotos” langsung satu lawan
dua: sang Nabi plus Aisha. Dia begitu percaya bahwa tudingan ‘para ibu
orang mukmin’ (termasuk dirinya) adalah benar, betul, adil dan mendesak
dimata Allah dan manusia. Hanya setanlah yang akan menafikannya, dan
nabi-nabian yang tetap masa-bodo. Harap diketahui bahwa Zainab nekad
bertindak keras ini dengan risiko dirinya digebuki oleh Muhammad, karena
tahu bahwa bahkan Aisha sebagai istri kesayangannya pernah dipukul
sampai sakit oleh Muhammad di dadanya (HS.Muslim 9.3506). Namun
rupa-rupanya Zainab tak perduli apapun lagi kecuali mau meneriakkan
sebuah gugatan kepada seorang nabi yang moral dan perasaannya sudah
total terbenam dalam ranjang pencetak wahyu …
Dan, apa yang terjadi?
Muhammad sedemikian jauh tetap tidak merasa
harus menyelesaikan persoalan domestiknya ini dengan selayak dan
sebijaknya dia sebagai Utusan Allah. Ia malahan menjawabnya secara flanking, nyasar bersilangan (tidak ketemu point) seolah hilang sadar dan immune
akan ayat ayat-keadilan Allah yang banyak terpampang dalam Quran yang
diturunkanNya lewat dia. Muhammad telah menghalalkan 5 “jurus silat”
untuk digelarkan sebagai defensi terhadap serangan istri-istrinya.
Sayangnya tidak ada satu juruspun yang terpuji.
Jurus pertama: Jurus diam. Ia diam karena serba salah dan ignorant.
Ia tidak mampu menjawab Um Salama secara taktis karena begitu jelas ia
sedang berjalan di jalur yang salah, yang tidak terbela. Score kalah
0-1.
Jurus kedua, kembali jurus “diam” seribu
bahasa. Wangsit dari langit pun tidak bisa membela Muhammad. Score 0-2.
Dan sebaliknya pihak Um Salama juga makin terasa gregetan dan terhina!
Jurus ketiga, Nabi cari-cari akal bulus,
dan ia tak segan memanfaatkan “wahyu Allah” untuk mementahkan desakan
Um Salama yang tak tertahankan. Sayangnya wahyu itu terlalu vulgar
turunnya dan diada-adakan kaitannya dengan ranjang Aisha sambil menampik
ranjang “para ibu orang beriman” lainnya. Kita tahu bahwa Wahyu Tuhan
tak pernah bisa dikalahkan, namun tidak yang satu ini. Pendalilan atas
nama wahyu, tidak masuk ke akal para istri Nabi sama sekali! Wahyu
dianggap sontoloyo dan disingkirkan! Nabi boleh sesaat mengira ia
menang, namun tiba-tiba muncul Fatimah menggugat sang ayah! Ini telak
Score 0-3.
Jurus keempat, menghadapi anaknya,
Fatimah, Muhammad harus memainkan kartu lain lagi dengan lebih “jenius”.
Kalau sebelumnya Muhammad memainkan kartu “atas nama wahyu Allah” dan
ternyata masih kedodoran, kini beliau memainkan kartu “atas nama kasih
ayah”. Kalimat disusun sedemikian sehingga sang anak tidak bisa berkata
‘tidak’ atas kasih seorang ayah! Dan benar, Fatimah melempar kain putih
ke sudut ring tanda menyerah. Horeee, Nabi Allah menang! …Tapi apanya
yang Nabi menangkan? Ego dirinya atau dosa ketidak-adilan? Lihat, pihak
istri-istri bukan makin melemah atau menyerah, melainkan makin berangas
dan membentuk jihad of justice melawan sang “Nabi Allah”. Untuk
jihad yang menentukan ini mereka sepakat mengutus istri Nabi yang
istimewa: Zainab! Zainab ini saingan setara Aisha, istri temperamental,
yang sebelumnya menjadi mantu Nabi yang dinikahkan Nabi kepada anak
angkatnya Zaid. Namun ajaib! Setelah menikahkan dengan anaknya, Nabi
jatuh berahi kepadanya (Ibn Sa’d, Nisa’, pp.71-72; Al-Tabari, Tafsir,
vol.22. pp.10-11), dan dengan wahyu surga yang spesial dibuat khusus,
Nabi buru-buru dikawinkan dengan eks-mantunya oleh Allah “di surga”
sehingga tidak bisa menghadirkan wali dan saksi. Score of no return 0-4.
Jurus kelima, Zainab mendatangi dan
mendamprat baik Nabi maupun Aisha secara keras. Menyadari bahwa semua
jurus yang diterapkan terdahulu tidak menghentikan protes para istri,
maka dalam kesempatan sekali ini Muhammad diam-diam memberi kode agar
Aisha turun tangan untuk membela diri dengan cara keras lawan keras!
Dan benarlah.
Zainab ditengking dan tertempalak oleh Aisha.
Dan Zainab kalah kuat dalam tenaga dan suara, dalam volume maupun jumlah
(satu lawan dua). Ia terhenyak dan terdiam, tak berkutik! Dan untuk itu
Sang Nabi Arif Bijaksana kita justru memuji Aisha dengan senyum
kemenangan: “Sungguh dia (Aisha) putri Abu Bakr”!
Itulah senyum kemenangan yang paling tengik.
Sungguh memalukan! Masalah tidak selesai, ketidak-adilan tidak diangkat,
dibiarkan terkatung-katung, bahkan tidak bergeser apapun, namun
dianggap selesai, dan Nabi puas merayakan “kemenangannya” yang diperoleh
lewat kekerasan istri lawan istri. Anda tidak usah heran, itu adalah
wajah kenabian Muhammad yang selalu membangga dirinya dengan tangan
teracung: “I have been made victorious with terror” (Bukhari 4.52.220).
Tapi tahukah Anda berapa besar pelanggaran
Muhammad terhadap Allah dan para istri ummul mukminin yang teraniaya
moril dan materiil ini? Pertama-tama, Muhammad sendiri yang menyampaikan
hukum keadilan bagi umatnya diseluruh kehidupan (QS.3:135,4:3,5:8,
dll), tetapi dia pula yang memperkosanya dengan memutarkan balikkan
keadilan, tanpa nurani dan empati. Maka apakah masih berlaku slogan dan
retorika manis untuk karakter Muhammad?
Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. …
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…
“Saya (Muhammad) telah diutus sebagai generasi
keturunan Adam yang terbaik keseluruhannya sejak penciptaan” (QS.68:4,
33:21, HS.Bukhari 4.56.757).
Muhammad sesungguhnya sudah diwanti-wanti Allah
dengan wahyu-wahyu yang telak dan serius dibawah ini, namun dia tidak
merasa itu tertuju kepada dirinya yang menharuskan dia
terlebih-lebihuntuk tunduk dengan rendah hati, misalnya,
(A). “…janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”
(QS. An Nisaa : 129b).
Tidakkah telak ayat ini menegur Muhammad ketika
ia terlalu cenderung kepada Aisha sambil membiarkan Um Salama dan
lain-lain Ummul Mukminin terkatung-katung, bahkan hingga hari kiamat
nanti?
(B). “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika
ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya…”
(QS.4:135).
Lihat betapa keadilan yang dituntut Allah adalah keadilan yang tanpa pandang bulu!
(C). “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS.61:3).
Kasus pendzaliman Um Salama membuktikan
sepenuhnya bahwa Muhammad tidak mengerjakan apa-apa yang dia sendiri
katakan. Termasuk dirinya yang diketahui tidak bersunat dan tidak
membayar zakat! Inilah ayat keras Allah yang berlaku telak bagi
Muhammad. Muhammad berkata ini dan itu, namun dia sendiri tidak beraksi
ini dan itu. Itulah NATO, no action, talk only! yang amat sangat
dimurkai Allah!
Akhirnya, sangat tragis bahwa tak ada orang
Muslim yang berani memprotes atau mempermasalahkan ketidak-adilan sang
Nabi yang terbuka kasar begini. Sangat tragis bahwa tak ada Muslim yang
bersimpati dengan Um Salama dan Zainab cs. yang berjuang sendiri, dan
berakhir dengan penjahilan dan pembungkaman oleh Nabi, dengan sebuah
senyuman tengik.
Um Salama, Zainab dll. ibu orang-orang berimana
tetap terhormat dan mulia. Mereka adalah korban, samasekali tidak
berjuang salah, tidak kalah moral, kebenaran, atau keadilan yang Allah
sendiri canangkan!
Mereka melainkan didzalimi dan ditaklukkan oleh
tirani suaminya sendiri tanpa bisa berbuat apa-apa. Shame on Muhammad!
yang kehilangan total integritas dan kredibelitas kenabian! Yang
menurunkan “wahyu-wahyu” sesukanya atas nama Allah fiktif (antah
berantah) yang tidak dipertanggung-jawabkannya.
Kiranya paparan kecil ini menjadi sebuah
renungan mendalam dan rujukan kritis bagi setiap Muslim yang mencari
keadilan pada Tuhan-Sejati yang Maha Adil…