Aisha, wanita remaja Afghanistan yang hidungnya dipotong oleh suaminya, seorang pejuang Taliban
ALLAH
swt berfirman,“…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka…” (Qs an-Nisaa 3:34)
KABUL,
5 Februari 2014 - Parlemen Afghanistan dikabarkan
menyetujui rancangan
undang-undang yang memperbolehkan suami memukuli istri, anak, dan
saudara perempuannya demi menjaga kehormatan keluarga.
Aturan
yang akan berlaku secara efektif jika disetujui Presiden Hamid Karzai
itu juga memuat ketentuan bahwa kerabat yang menolak bersaksi untuk
menjerat suami pelaku pemukulan tak akan diperkarakan secara hukum.
Usulan
hukum baru Afghanistan ini diprediksi makin memperburuk intimidasi
terhadap kaum perempuan di negara bekas jajahan Uni Soviet itu. RUU baru
itu sekaligus akan membungkam para saksi potensial untuk mengungkap
kebenaran.
"Aturan
ini membuat penegak hukum tak bisa lagi menuntut para pelaku kejahatan
yang korbannya kaum wanita. Mereka tak lagi dapat keadilan," ucap
Manizha Naderi, Direktur Pelindungan Perempuan Afghanistan seperti
dikutip dari Guardian, Rabu (5/2).
Jika
disetujui presiden, lanjut Naderi, kasus penganiayaan berat seperti
dialami Sahar Gul, pengantin cilik yang dikerangkeng di gudang tanpa
diberi makan karena menolak jadi pelacur, dipastikan takkan pernah
sampai ke pengadilan.
Ipar
Sahar Gul merantainya di basement, dibiarkan kelaparan, disundut rokok
dan dicambuk ketika ia menolak untuk dipekerjakan sebagai pelacur;
sementara itu hakim memutuskan untuk membebaskan ke-3 ipar Sahar Gul yang telah menyiksanya
Dunia
juga takkan lagi tahu ada kasus pemotongan hidung dan bibir perempuan
berumur 31 tahun bernama Sitara oleh suaminya sendiri, karena dianggap
telah mencoreng kehormatan keluarga.
Hukum
baru tersebut seperti melegalkan kekerasan bahkan pembunuhan perempuan
oleh ayah atau saudara laki-laki karena korban menolak dijadikan alat
untuk melunasi hutang keluarga.
Yang
lebih mengkhawatirkan lagi, aksi kawin paksa bahkan perdagangan anak
perempuan akan semakin marak karena para pelaku kejahatan seolah
mendapat perlindungan hukum dari aturan baru tersebut.
Para
aktivis perlindungan perempuan Afghanistan berjanji akan mendesak Hamid
Karzai menolak RUU yang diajukan parlemen. Namun, upaya itu diprediksi
bakal sia-sia sebab kekuasaan parlemen saat ini sangat dominan. Terlebih
mereka tahu pasukan perdamaian internasional bakal angkat kaki dari
Afghanistan tahun ini juga.
Selay
Ghaffar, Direktur Advokasi Kemanusiaan untuk Perempuan dan Anak
Afghanistan mengatakan, seiring dengan kejatuhan Taliban, pada awalnya
parlemen agak takut dengan pemerintahan baru dan media.
Tapi
sekarang mereka bisa melakukan apapun karena tahu pemerintah yang
dipimpin Karzai sama bobroknya dan tak mendukung hak-hak dasar kaum
perempuan.