Pages

Senin, 18 Agustus 2014

Benarkah Islam Sebuah Monoteisme (tauhid)? atau hanya kedok busuk saja

Tidak, sama sekali tidak! Islam bukanlah sebuah agama monoteis, setidaknya jika berdasarkan pada pengakuan mayoritas Muslim yang mengikuti pandangan Imam Ahmad Ibn Hanbal (wafat tahun 855), dan teolog yang
dianggap paling berpengaruh yaitu Abul Hasan Al Ashari (wafat tahun 935)
Menurut kredo/pengakuan ini, dikatakan Quran itu bukan hanya bersifat kekal, tetapi yang lebih penting lagi Quran itu “tidak diciptakan” (Bahasa Arab: ġayr mahlūq). Apa persisnya yang dianggap sebagai “tidak diciptakan” dibawah nama “Quran”, barangkali yang disebut “Lempeng Quran Yang Tersimpan” di surga (Arab: lauḥ maḥfūẓ, surah al Buruuj 85:21,22)
Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, yang tersimpan di lauh mahfuz                                                                                       
atau, sebagaimana yang ditekankan oleh Ibn Hanbal – bahwa cara pelafalan bahasa Arabnya sendiri tidak relevan. Kredo ini mengajarkan sesuatu yang tidak diciptakan (dalam istilah filsafat: tidak bersyarat) yaitu tidak identik dengan Allah dan juga dengan ilah lainnya.
Pendekatan ini telah dibawa pada abad ke-9 oleh sekolah teologi dan filsafat Mutazila untuk melawan para penentang mereka. Namun para penentang mereka, dibawah kepemimpinan Al Ashari, setelah mengalami penganiayaan singkat oleh inkuisisi (Arab: mihna) yang dilakukan Kalif Al Mamun (wafat 833), pada akhirnya mengalami kemenangan total atas kaum Mutazila, yang sekarang dikecam sebagai kelompok bidat. Al Ashari dan para pengikutnya berargumen bahwa Quran itu tidak diciptakan (Arab: karena ia adalah Firman Allah dan karena itu sama seperti atribut Allah, Quran maupun Allah sama-sama tidak diciptakan dan bersifat kekal.
Al Ashari dan para pengikutnya mengatakan bahwa Quran tidak diciptakan (Arab: mahlūq), karena ia adalah perkataan Allah dan karena itu sama seperti atribut Allah, ada bersama-sama dengan Allah sebagai sesuatu yang tidak diciptakan dan bersifat kekal.
Sekarang, untuk alasan yang beragam, Quran tak boleh dianggap sebagai sebuah atribut Allah; sebagai contoh ‘keadilannya’. Seseorang mungkin hanya boleh mengucapkan sebuah kalimat seperti “Allah itu adil” dengan sebuah atribut “Quran” atau “Quranik”!
Argumen teologis seperti ini yang menekankan keberadaan Quran yang tidak diciptakan akan membawa pada satu sosok ilah ketiga: Yesus yang dalam Quran disebut sebagai “Kalimat atau Firman Allah” (Quran sura an Nisaa 4:171, yaitu “Utusan Allah” dan “FirmanNya”, dalam bahasa Arab: rasūlu llāhi wa kalimatuhu).
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. (Qs 4:171)
Berdasarkan logika Ashari, karena Yesus adalah Kalimat Allah, maka Yesus pastilah tidak diciptakan, dan oleh karena itu Ia adalah sosok “Ilah/Tuhan yang ke-3”, meski Ashari pasti menyangkali argumen seperti ini.
Sebagai kesimpulan: Kredo Hanbali dan Ashari, yang dipegang oleh mayoritas umat Muslim, tidak mengajarkan konsep Trinitas, tetapi kita tak perlu lagi meragukan bahwa inti ajarannya setidaknya mengajarkan ada 3 Tuhan. Kendati kedua kredo ini secara literal tidak menyebut Quran dan Yesus itu dengan nama “Tuhan” atau sebagai Tuhan, itu tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah kandungan yang diajarkan, bukan pada kata-kata yang dipakai.