Kita
dapat belajar banyak mengenai karakter seseorang dari caranya meresponi
kritik. Berdasarkan pengujian terhadap bukti yang ada, harus dikatakan
bahwa teladan Muhammad berkenaan dengan hal ini menunjukkan bahwa ia
adalah seorang yang sangat tidak mengenal konsep “hidup dan biarkanlah
hidup”. Alih-alih ia berusaha membungkam kritik dan perbedaan pendapat,
sedapat mungkin dengan cara yang kasar.
Barangkali
kritik yang paling terkenal terhadap Muhammad selama masa hidupnya
adalah kritik dari seorang penyair bernama Asma binti Marwan yang
menulis bait-bait satiris menentang Muhammad. Secara halus dapat
dikatakan Muhammad tidak mengapresiasi hal ini dan memastikan bahwa ia
dibungkam dengan cara yang paling brutal yang dapat dilakukan.
Demikianlah Ibn Ishaq memaparkan kisah ini:
“Ketika
Rasul mendengar apa yang dikatakannya Rasul berkata: ‘Siapakah yang
akan menyingkirkan bagiku anak perempuan Marwan?’ ‘Umayr bin ‘Adiy
al-Khatmi yang bersamanya mendengarnya, dan malam itu juga ia pergi ke
rumahnya dan membunuhnya. Pada pagi hari ia pergi menemui Rasul dan
menceritakan apa yang telah dilakukannya dan ia (Muhammad) berkata,
‘Engkau telah menolong Allah dan Rasul-Nya, wahai ‘Umayr!’ Ketika ia
bertanya apakah ia akan mendapatkan konsekuensi buruk Rasul berkata,
‘Dua ekor kambing tidak akan membenturkan kepala mereka mengenai dia’.
Lalu ‘Umayr kembali kepada kaumnya”.
Teror
dan ketakutan yang disebabkan oleh tindakan-tindakan Muhammad dengan
cepat meyakinkan orang dari suku perempuan itu untuk memeluk Islam.
Apakah karena keyakinan yang kuat? Ibn Ishaq tidak mengemukakannya
demikian: “Sehari setelah Binti Marwan terbunuh, orang-orang dari Bani Khatma menjadi Muslim karena mereka melihat kekuatan Islam”. Berdasarkan Sahih Bukhari (4:52:220) Muhammad mengumumkan: “Aku telah [dijadikan] berkemenangan melalui teror [yang ditebarkan ke dalam hati musuh]”. Nampaknya
sesungguhnya inilah yang terjadi pada orang-orang dari suku Asma Binti
Marwan. Kematiannya menebarkan teror ke dalam hati mereka, sehingga
dengan segera mereka berpaling kepada Islam.
Orang
Muslim jelas sangat tidak nyaman dengan kisah ini, dan ada yang
berusaha untuk mengklaim bahwa kisah itu didasarkan pada rantai
transmisi yang lemah. Sebagai tanggapan untuk itu dapat dikatakan bahwa
kisah ini ditemukan dalam Ibn Ishaq, yang merupakan biografi Muhammad
yang paling sahih. Ada pula yang akan mengklaim bahwa pembunuhan Asma Binti Marwan
merupakan kebutuhan politis oleh karena ia adalah tokoh penting dan
pengkritik yang vokal terhadap Muhammad. Namun demikian, ini sama sekali
tidak dapat dipandang sebagai sebuah pembenaran terhadap tindakan-tindakan Muhammad. Lebih jauh lagi, ada pula hadith lainnya
yang mengkonfirmasi bahwa para pengkritik yang tidak mempunyai pengaruh
yang besar (dalam masyarakat) juga disingkirkan secara brutal. Ini
ditemukan dalam sebuah kumpulan hadith yang
sahih (Sunan Abu Dawud 38:4348). Hadith ini memaparkan sebuah kisah
mengenai seorang pria yang membunuh budaknya (yang juga merupakan ibu
dari anak-anaknya) karena perempuan itu menghina Muhammad:
“Si
pembunuh (duduk) di hadapan Muhammad dan berkata: ‘Rasul Allah! Aku
adalah majikannya; ia selalu menghinamu dan mempermalukanmu. Aku
melarangnya, tetapi ia tidak berhenti, dan aku menegurnya, tetapi ia
tidak meninggalkan kebiasaannya itu. Aku mempunyai dua anak laki-laki
yang bagai mutiara darinya, dan ia adalah pendampingku. Semalam ia mulai
menghina dan mempermalukanmu. Lalu aku mengambil sebilah
belati, menusuk perutnya dan menekannya hingga aku menghabisinya’.
Mendengar hal itu Rasul berkata: ‘Jadilah saksiku, tidak ada pembalasan
yang harus dibayarkan untuk darahnya’”.
Tulisan ini membuktikan bahwa perlakuan Muhammad terhadap Asma Binti Marwan sangat konsisten dengan insiden-insiden yang dipaparkan dalam kumpulan hadith yang
sangat sahih. Ini juga membuktikan dugaan bahwa Muhammad memerintahkan
pembunuhan penyair tersebut semata-mata karena alasan strategis karena
disini ia merestui pembunuhan terhadap budak sederhana yang kemungkinan
besar tidak mempunyai pengaruh apapun di luar rumahnya sendiri.
Pertanyaan harus diajukan
Harus
kita jadikan apa ‘Nabi’ yang sangat tidak memiliki rasa aman sehingga
ia memerintahkan pembunuhan terhadap orang-orang yang mengkritiknya
alih-alih meresponi tantangan mereka dengan melakukan debat?