Oleh: Ahmad Fauzi
(Alumnus UIN Walisongo Semarang)
Ketika sebuah teori menari-menari,
meliuk-liuk sambil menancapkan paku-paku simplisitas dan koherensi, maka
pandangan mata pun jadi berkunang-kunang. Otak kesetanan. Pikiran
menjelajah menantang. Keranjingan akut mencari tumbal. Tubuh mana yang
bisa dirasuki roh anggur kesurupan. Dunia ini terlalu terang, kurang
keseimbangan, mari kita suguhkan pada mereka pengetahuan terlarang. Yang
mengakibatkan kita menjadi anak haram yang tak dikehendaki lahir oleh
zaman.
Buku ini tidak dimaksudkan untuk
menjadi sebuah karya ilmiah yang disiplin dengan aturan-aturan penulisan
yang ketat dan kaku. Penulis sadar, apabila banyak memuat kutipan
langsung seperti; ayat-ayat Al-Quran yang penuh huruf arab tentu membuat
pening dan jenuh para pembaca umum. Maka, sebisa mungkin tulisan dalam
buku ini dibuat lepas tanpa menyebut rujukan yang detail dan runtut.
Dengan mengandalkan orisinalitas dan unsur kreatif serta karakter
penulis yang penuh dengan emosi-skizofrenik, maka provokasi dan
imajinasi adalah roh magis dari karya ini. Namun, bukan berarti
mengabaikan unsur ilmiah dan tanggung jawab intelektual, tulisan ini
tetap memiliki standar kepantasan akademis, penulis hanya tidak ingin
tampil rigid dan kaku, itu saja. Selebihnya, penulis berusaha mengungkap
aspek keindahan dan koherensi, simplisitas dan simetri, yang secara
implisit merembesi teori-teori yang digunakan dalam buku ini, di mana
hal tersebut lebih diagungkan penulis daripada pembuktian-pembuktian
material yang dingin dan tanpa perasaan. Oleh karena itu, jenis buku ini
juga bisa disebut sebagai novel imajiner.
Tulisan dalam buku ini terdiri dari empat bahasan utama. Pada Bab Pertama yang berjudul; Islam sebagai Gerakan Ideologis,
dimulai dengan kritik penulis atas agama yang menopangkan pondasinya
pada pewahyuan. Islam layak disebut sebagai salah satu agama yang sumber
ajarannya berasal dari wahyu tuhan. Umat Islam tentu mengimani wahyu
sebagai kebenaran yang tidak akan lapuk oleh tantangan zaman. Ia juga
tidak akan berkarat oleh rayap sejarah. Ia akan selalu abadi bersama
merananya alam ini dalam waktu yang tak bertepi. Doktrin wahyu dan
kenabian membuktikan bahwa tuhan terlibat aktif dan ikut berpartisipasi
dalam seluruh kejadian di dunia ini. Berdasarkan informasi dari
Al-Qur’an dan Hadis itu sendiri, disebutkan bahwa wahyu muncul melalui
berbagai cara, salah satunya dan ini yang paling kuat argumentasinya,
adalah lewat saluran mimpi. Hadis-hadis yang memberitakan kalau malaikat
menampakkan diri dalam wujud lelaki tampan, ketika menyampaikan wahyu
kepada Nabi, bisa disebut lemah dan tidak dapat dipercaya. Begitu juga
malaikat yang menampakkan dirinya secara utuh pada Nabi lebih sesuai
untuk dianggap sebagai produk halusinasi. Sebab, dari kata “wahyu” itu
sendiri bermakna “sesuatu yang tersamar atau tersembunyi,” maka tidak
mungkin ada penglihatan dan pendengaran yang jelas secara material dalam
pewahyuan.
Sejak zaman primitif, mimpi dianggap
memiliki unsur kegaiban dan ketuhanan. Para Nabi Perjanjian Lama,
semisal Nuh, Ibrahim, Musa, Yusuf dan seterusnya, diceritakan oleh
Taurat, mereka memperoleh wahyu yang ternyata muncul lewat saluran
mimpi. Mereka meyakini tuhan hadir dan menyapa mereka dalam mimpi. Dalam
mimpi, kita merasakan sesuatu yang asing dan janggal, seolah ada
kekuatan yang berasal dari luar diri kita mengendalikan dan menguasai
alam pikiran kita, oleh orang-orang primitif kekuatan ini ditafsirkan
sebagai intervensi ilahiah atau ketuhanan. Tapi, apakah pandangan ini
bisa diterima oleh akal-sehat dan memiliki hujjah pengetahuan yang
sahih? Karena, yang membuat kita merasa asing dan seolah dikendalikan
oleh kekuatan yang berasal dari luar diri kita, sebenarnya itu adalah
dinamika alam bawah sadar yang belum bisa dipahami oleh masyarakat
primitif. Kekuatan alam bawah sadar dalam diri kita sendirilah yang
menjadi sebab terciptanya gambaran-gambaran mimpi…..
… Sekilas kita menganggap wahyu tuhan
itu cahaya yang terang, tapi pernahkah terbersit dalam pikiran kita
bahwa sesuatu yang terang dan ilahiah tersebut bisa menyembunyikan nafsu
gelap dan kegilaan? Penulis percaya kalau wahyu Al-Qur’an bisa disebut
ayat-ayat ideologis, karena yang dinamai ideologi dalam pengertian
Marxisme dan Psikoanalisa adalah kekuatan yang mampu memanipulasi dan
mendistorsi kesadaran sehingga realitas dan kenyataan yang sebenarnya
menjadi tersembunyi dan tersamarkan. Penulis curiga, bahwa sebenarnya
wahyu menjadi ideologi atau kedok yang telah mengaburkan kesadaran orang
yang mengimaninya sehingga manusia tidak bisa melihat kontradiksi dan
patologi dibalik cahayanya yang terang dan mengagumkan. Dengan begitu,
wahyu menyembunyikan watak aslinya yang gelap dan remang remang, lalu
menampilkan dirinya menjadi sesuatu yang berkilau dan bersinar. Dari
manakah pandangan-pandangan di atas bisa muncul?
Apabila kita telah membaca buku karangan saya sebelumnya yang berjudul; Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian,
dipaparkan di dalamnya, bahwa yang disebut wahyu itu adalah hasil seni
delusi dan halusinasi yang berasal dari pikiran alam bawah sadar para
nabi. Salah satu petunjuk bagaimana kita menelusuri asal-usul wahyu,
yaitu melalui mimpi. Wahyu yang diperoleh para nabi yang dianggap suci
dan ilahiah oleh kita, ternyata berasal dan muncul dari
pengalaman-pengalaman mimpi. Padahal kalau kita merujuk pada
Psikoanalisa, psikologi mimpi merupakan hasil konflik psikis alam bawah
sadar yang tertekan, di mana di dalamnya terdapat unsur manipulasi dan
distorsi. Tidak ada yang gaib dan ilahiah di dalam mimpi. Mimpi
merupakan bagian dari lumbung alam bawah sadar yang berisikan naluri
kesenangan, yang penuh gairah, hasrat, nafsu dan daya agresi yang selalu
ingin dipuaskan secara sewenang-wenang dalam kenyataan. Maka apabila
agama kita mendasarkan diri pada wahyu yang muncul dari pengalaman
mimpi, tentu agama yang kita anut memiliki akar-akar kekacauan
psikologis yang sangat dalam. Apakah kita masih beragama dengan
menopangkan kepercayaan kita pada sesuatu yan g mengandung patologi?
Dalam Bab Kedua yang berjudul; Mimpi, Mitos dan Kenabian,
penulis berusaha menunjukkan bahwa mitologi yang selama ini kita temui
dalam kisah-kisah kitab suci sebenarnya memiliki struktur pembentukan
yang hampir mirip dengan mekanisme kerja mimpi. Salah satu cirinya
adalah mimpi dan mitologi mempunyai simbol-simbol yang janggal dan
asing. Fungsi simbol-simbol dalam mitologi, yaitu menyamarkan atau
menyembunyikan sesuatu yang apabila diungkap secara tegas tentu akan
mengganggu tabu dan ide-ide moral yang berlaku dalam masyarakat
tersebut. Hal ini mengakibatkan realitas yang sebenarnya, sulit untuk
diketahui karena disamarkan dan disembunyikan oleh simbol-simbol yang
kabur. Jadilah, jalan cerita mitologi itu nampak kontradiktif dan tidak
koheren, karena alur yang seharusnya simetris dibelokkan oleh
simbol-simbol yang janggal. Begitu juga dengan mekanisme kerja mimpi, di
mana fungsi simbol-simbol aneh di dalamnya adalah untuk mengaburkan dan
menyembunyikan pikiran dan motif sebenarnya dari pembentukan gambaran
mimpi. Hasilnya, tampil gambaran mimpi yang aneh dan asing. Maka
keduanya, baik mitos atau pun mimpi memiliki realitas dan pikiran yang
tersembunyi.
Pada bab ini digambarkan adanya
hubungan yang kuat antara mimpi, mitologi dan kenabian. Hubungan ini
sepintas terlihat melalui fakta bahwa para nabi sebagaimana yang kita
ketahui ternyata memperoleh wahyu lewat mimpi, padahal mimpi memiliki
ciri-ciri yang hampir mirip dengan mitologi. Kisah-kisah nabi juga
dipaparkan dalam bentuk mitologi. Maka, apabila kita mampu memahami
mekanisme kerja mimpi dengan baik tentu misteri dalam mitologi dan
kenabian dapat dimengerti dan terjelaskan. Kemudian, motif paling
tersembunyi dan tujuan hadirnya para nabi di tengah masyarakat pun akan
menjadi terang benderang.
Di Bab Ketiga, yang berjudul; Tragedi Incest Adam dan Hawa,
penulis coba menerapkan penjelasan teori mimpi ke dalam tubuh mitologi
yang kita kenal melalui kitab-kitab suci, yaitu kisah Adam dan Hawa.
Penulis menafsirkan simbol-simbol misterius dalam kisah mitologi Adam
dan Hawa berdasarkan Teori Mimpi Psikoanalisa dengan sedikit modifikasi
tentunya, di mana hasil akhirnya terungkap bahwa Adam dan Hawa itu bukan
sepasang suami-istri, tetapi ayah dan anak. Cerita Adam dan Hawa yang
menjelaskan bahwa mereka merupakan pasangan suami-istri tetapi dilarang
untuk melakukan hubungan seksual, bagi penulis ini cerita yang lucu dan
menggelikan. Untuk mendapatkan kisah yang lebih koheren dan simetris
tentu bergantung pada penjelasan simbol-simbol yang menyertai kisah ini.
Setelah melalui terang Psikoanalisa tetapi melawan keyakinan kita yang
diperoleh dari kitab suci, justeru menjadikan kisah ini lebih koheren.
Yaitu, Adam dan Hawa ternyata bukanlah pasangan suami-istri, tetapi ayah
dan anak, karena telah melakukan hubungan incest, maka diusirlah mereka
berdua dari komunitas masyarakat. Di sini penulis menafsirkan kalau
surga itu bukan suatu taman indah penuh kenikmatan yang terletak di atas
langit, tetapi sebuah komunitas yang terletak di atas daratan bumi di
mana di dalamnya ada “kebun” (jannah) yang ditanami dengan berbagai
macam tumbuhan, dan komunitas ini telah mengenal mengolah tanah,
berternak dan sudah tinggal menetap, yang artinya tidak lagi nomaden
atau berpindah-pindah.
Adam dan Hawa bukanlah manusia pertama
dalam sejarah. Mereka tidak sendirian ketika di surga, mereka telah
berkelompok dan membentuk komunitas yang sudah mengenal mengolah tanah
dan bercocok tanam. Oleh karena telah menetap dan mengolah tanah,
membuktikan komunitas tempat Adam dan Hawa hidup ada dalam fase sejarah
yang agak maju, di mana sebelum mereka tentu sudah ada kelompok
masyarakat yang hidupnya lebih primitif. Dalam komunitas tempat Adam dan
Hawa tinggal, terdapat banyak aturan, di mana ada satu aturan yang
menjadi tabu yang harus dihindari oleh semua anggota, yaitu dilarang
melakukan incest. Perlu kita ketahui tabu incest adalah kode hukum yang
sangat tua dan primitif, bahkan lebih tua daripada dewa-dewa dan konsep
ketuhanan. Suatu saat, karena mengalami kegerahan seksual yang
disimbolkan dengan bisikan ular, Adam dan Hawa digoda oleh
dorongan-dorongan seksual yang ada dalam diri mereka sendiri, lalu ayah
dan anak ini melakukan persetubuhan yang berarti melanggar tabu yang
menjadi pantangan ketat dalam komunitas tersebut. Akhirnya, diusirlah
mereka dari komunitas masyarakatnya sendiri karena telah melakukan
hubungan incest. Tuhan yang mengusir Adam dan Hawa sebenarnya simbol
dari suara masyarakat itu sendiri.
Kisah mitologi Adam dan Hawa memang
bersifat simbolik, tetapi kisah ini memiliki realitas dalam masyarakat
tertentu. Berarti Adam dan Hawa adalah tokoh yang benar-benar hidup
dalam sejarah, hanya saja karena melanggar tabu incest yang memalukan
maka cerita tentang mereka pun dibelokkan dan disamarkan oleh keturunan
mereka dengan simbol-simbol yang kabur. Dengan begitu, kenyataan yang
memalukan di atas dapat disembunyikan dan ditutupi dari pembacaan kita,
generasi seterusnya.
Memasuki bab terakhir, dengan judul; Nabi Kriminal,
penulis membahas sebuah tema yang mungkin terkesan remeh dan sederhana,
yaitu mimpi nabi Ibrahim menyembelih anaknya, Ismail (Versi Islam).
Pemahaman kita atas gambaran mimpi Ibrahim menyembelih Ismail,
sebenarnya memiliki implikasi yang sangat dalam bagi perumusan agama
yang mendasarkan diri pada wahyu, dan tema ini merupakan kontinuitas
atau bahkan puncak dari bab-bab sebelumnya. Dengan metode Psikoanalisa,
penulis akhirnya sampai pada hakikat apa yang sebenarnya dimaksud mimpi
tersebut. Mimpi Ibrahim menyembelih Ismail merupakan simbol pengulangan
peristiwa segitiga Oedipus Complex yang terpendam dalam alam bawah sadar
Ibrahim. Yaitu, rasa permusuhan yang ditujukan oleh Ismail kepadanya
demi memperoleh hak cinta sang ibu, Hajar, telah membangunkan daya
agresivitas Ibrahim dengan menekan dan menghukum Ismail, yang diwujudkan
dalam gambaran ia menyembelih Ismail.
Simbol ia menyembelih Ismail berasal
dari dorongan agresivitas atau rasa pemusuhannya dengan Ismail karena
Ismail ingin menyingkirkannya demi memperoleh cinta istrinya, ibu
Ismail. Inilah pikiran laten yang tersembunyi dalam psikis alam bawah
sadar Ibrahim yang tidak disadarinya sendiri, motif sebenarnya kenapa ia
menyembelih Ismail. Di dalam pikiran tersebut, sedikitpun tidak ada
tanda ketuhanan dan kegaiban, murni motif kriminal, percobaan
pembunuhan. Tetapi, Ibrahim justeru dengan cerobohnya menafsirkan
mimpinya sebagai simbol perintah tuhan yang sedang menguji ketaatannya
yang harus dibuktikan dengan menyembelih anaknya sendiri. Tuhan macam
apa yang membutuhkan ketaatan hambanya dengan membunuh anaknya sendiri?
Ini menyimbolkan Ibrahim menganut konsep Tuhan yang barbar, konsep tuhan
yang diciptakan sendiri oleh pikirannya yang penuh dengan sifat agresif
dan merusak. Tuhan Ibrahim yang barbar merefleksikan diri Ibrahim yang
sebenarnya, yaitu sosok ayah yang sadis. Tuhan berasal dari proyeksi
sifat-sifat dan kedirian manusia yang ditinggikan dan diobjektifkan ke
dunia luar, setelah mendapatkan atribut personal kemudian diinternalisir
kembali oleh manusia seolah ia eksis dan ada. Dalam sifat-sifat tuhan
terdapat kepribadian manusia yang sebenarnya. Maka, dengan melihat
konsep tuhan yang barbar dan sadis tersebut mencerminkan bahwa kata-kata
tuhan dan wahyu, atau tepatnya delusi ketuhanan hanya digunakan untuk
melegitimasi hasrat merusak dan membunuh dari manusia itu sendiri.
Tindakan Ibrahim yang berusaha
menyembelih anaknya tersebut, memiliki arti ia mengangkat kualitas
mimpinya yang mengandung kekacauan psikologis pada sesuatu yang bersifat
ilahiah dan ketuhanan. Bagamana bisa kekacauan psikologis disucikan
menjadi keilahian? Di sinilah terjadi perselingkuhan antara penyakit
psikis dengan ketuhanan, sehingga kritik pengetahuan atas tindakan
tersebut menjadi mandul, karena kritik ini membentur tembok keras yang
terbuat dari beton kegaiban dan ketuhanan. Agama akhinya menjadi
institusi kriminal, yang mensucikan sebuah percobaan pembunuhan. Ta’wil
mimpi yang dilakukan Ibrahim berarti sama saja dengan membunuh kewarasan
dan memelihara kegilaan. Apakah agama semacam ini patut dibela dan
dipertahankan?
Ta’wil mimpi Ibrahim di atas
meyimbolkan bahwa kenabian dan dasar-dasar keimanan ternyata ditopangkan
pada landasan yang sangat lemah dan rentan atas kritik. Bukan saja
memandulkan akal-sehat, tapi kisah ini bisa mendorong munculnya motif
tindakan yang melawan dan memusuhi kemanusiaan dengan mengatasnamakan
tuhan dan kesucian. Herannya kisah ini diagungkan oleh Al-Qur’an,
diperingati oleh Nabi dan seluruh umat Islam, layaknya pesta suci yang
maha kolosal. Orang beriman kehilangan kesadarannya, karena tidak mampu
melihat apa yang ada di balik wahyu, dan tidak mengerti bahwa pewahyuan
menyembunyikan naluri merusak dan menumpahkan darah. Kritik Psikoanalisa
yang memperlihatkan sisi gelap dari agama pewahyuan, sebenarnya
membantu kita untuk merumuskan kembali dasar-dasar agama yang lebih
sehat dan dewasa, lepas dari delusi dan kekacauan psikologis. Yaitu,
agama yang menopangkan dasar-dasarnya pada kewarasan dan pengetahuan,
bukan pada wahyu yang delusif dan manipulatif.