PENCARIAN PRABU BRAWIJAYA OLEH SUNAN KALIJAGA.
Prabu
Jimbun akhirnya memerintahkan Sunan Kalijaga untuk mencari ayahnya dan
membujuknya dengan cara baik-baik, mungkin dengan pertimbangan bahwa
ayahnya masih memiliki kekuatan, yaitu kedua anak lainnya Adipati
Ponorogo dan Adipati Penging masih berkuasa di wilayahnya masing-masing
dan
kalau sampai Prabu Brawijaya berhasil sampai ke Bali, maka ia dapat
meminta bantuan raja Bali untuk menyerang balik.
Sunan
Kalijaga dalam perjalanan mencari Prabu Brawijaya, hanya diantar dua
sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari
informasi. Perjalanan Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa,
menurutkan bekas jalan-jalan yang dilalui Prabu Brawijaya.
Ternyata
Prabu Brawijaya telah sampailah di Blambangan. Karena merasa lelah
kemudian ia berhenti di pinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu
benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya abdi berdua, yaitu Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi.
Tidak
lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil menjumpainya. Sunan Kalijaga
bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya
kepada Sunan Kalijaga,
“Sahid! Kamu datang ada apa? Apa perlunya mengikuti aku?”
Sunan Kalijaga berkata,
“Hamba
diutus putra Paduka, untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada
Paduka dimanapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya,
sampai lancang berani merebut tahta Paduka, karena terlena oleh darah
mudanya [atau karena ISLAM ?]
yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintah negeri,
disembah para bupati. Sekarang putra Paduka sangat merasa bersalah.
Adapun
ayahanda Raja Agung yang menaikkan dan memberi derajat Adipati di
Demak, tak mungkin bisa membalas kebajikan Paduka, Kini putra Paduka
ingat, bahwa Paduka lolos dari istana tidak karuan dimana tinggalnya.
Karena itu putra Paduka merasa pasti akan mendapat kutukan Tuhan. Karena
itulah hamba yang lemah ini diutus utk mencari dimana Paduka berada.
Jika bertemu mohon kembali pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi raja
seperti sedia kala, memangku mahligai istana dijunjung para punggawa,
menjadi pusaka dan pedoman yang dijunjung tinggi para anak cucu dan para
sanak keluarga, dihormati dan dimintai restu keselamatan semua yang di
bumi.
Jika
Paduka berkenan pulang, putra Paduka akan menyerahkan tahta Paduka
Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup dan mati. Itu pun jika Paduka
berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka atas kekhilafan dan
memohon tetap sebagai Adipati Demak saja. Adapun apabila Paduka tidak
berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat dimana,
menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal, putra
Paduka memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon pusaka
Kraton d tanah Jawa, diminta dengan tulus.”
Sang Prabu Brawijaya bersabda,
“Aku
sudah dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi aku tidak gagas! Aku sudah muak
bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua,
maka blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya
hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar
buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya seperti kenyng
buntut ! Apa coba salahku? Mengapa negaraku dirusak tanpa kesalahan? Tanpa adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa tantangan! Apakah mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan manusia yang utama!”
(Kebiasaan licik Muhammad dan pengikutnya, menyerang tiba2 tanpa memberi peringatan)
Setelah
mendengar bersabda Sang Prabu, Sunan Kalijaga merasa sangat bersalah
karena telah ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat
menyesal. Namun yang semua telah terjadi. Maka kemudian ia berkata
lembut,
“Mudah-mudahan
kemarahan Paduka kepada putra Paduka, menjadi jimat yang dipegang erat,
diikat dipucuk rambut, dimasukkan dalam ubun-ubun, menambahi cahaya
nubuwat yang bening, untuk keselamatan putra cucu Paduka semua. Karena
semua telah terjadi, apalagi yang dimohon lagi, kecuali hanya ampunan
Paduka. Sekarang paduka hendak pergi ke mana?”
Sang Prabu Brawijaya berkata,
“Sekarang
aku akan ke Pulau Bali, bertemu dengan Prabu Dewa Agung di Kelungkung.
Aku akan beri tahu tingkah si Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa
dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk
mengambil kembali tahta Majapahit. Adipati Palembang akan kuberi tahu
bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku angkat menjadi
Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan rajanya.
Aku akan minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus,
sebab pertama durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja.
Aku
juga hendak memberitahu kepada Hongte di Cina, bahwa putrinya yang
menjadi istriku punya anak laki-laki satu, tetapi tidak tahu jalan,
berani durhaka kepada ayah raja. Ia juga kuminta kerelaan cucunya hendak
aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina untuk perang. Akan kuminta
agar datang di negeri Bali. Apabila sudah siap semua prajurit, serta
ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih kepada orang tua ini,
pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan perang. Aku ajak
menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang besar ayah
melawan anak. Aku tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan
meninggalkan tata cara yang mulia.”
Sunan Kalijaga sangat prihatin. Ia berkata dalam hati,
“Tidak
salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih
gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung
wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti
akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti kalah karena dalam posisi
salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugerah. Sudah pasti
orang jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat
senjata. Pasti akan kalah orang Islam tertumpas dalam peperangan.”
Akhirnya Sunan Kalijaga (si mulut licik ini) berkata pelan,
“Aduh
Gusti Prabu! Apabila Paduka nanti tiba di Bali, kemudian memanggil para
raja, pasti akan terjadi perang besar. Apakah tidak sayang Negeri Jawa
rusak. Sudah dapat dipastikan putra Paduka yang akan celaka, kemudian
Paduka bertahta kembali menjadi raja, tapi tidak lama kemudian lengser
keprabon. Tahta Jawa lalu diambil oleh bukan darah keturunan Paduka.
Jika terjadi demikian ibarat serigala berebut bangkai, yang berkelahi
terus berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala lainnya.”
Balas sang Prabu :
“Ini
semua kehendak Dewata Yang Maha Lebih. Aku ini raja binatara, menepati
sumpah sejati, tidak memakai dua mata, hanya menepati satu kebenaran,
menurut Hukum dan Undang-Undang para leluhur. Seumpamanya si Patah
menganggap aku sebagai bapaknya, lalu ingin menjadi raja, diminta dengan
baik-baik, istana tana Jawa ini akan kuberikan dengan baik-baik pula.
Aku sudah tua renta, sudah kenyang menjadi raja, menerima menjadi
pendeta bertafakur di gunung. Sedangkan si Patah meng-aniaya kepadaku.
Pastilah aku tidak rela tanah Jawa dirajainya. Bagaimana
pertanggungjawabanku kepada rakyatku di belakang hari nanti?”
Mendengar kemarahan Sang Prabu yang tak tertahankan lagi, Sunan
Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau
menyembah kaki Sang Prabu sambil menyerahkan kerisnya dengan berkata,
apabila Sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar
dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa yang menjijikkan
itu. (Benar2 cara yang Islami)
Sang
Prabu melihat tingkah Sunan Kalijaga yang demikian tadi, hatinya
tersentuh juga. Sampai lama beliau tidak berkata selalu mengambil nafas
dalam-dalam dengan meneteskan air mata. Berat sabdanya,
“Sahid!
Duduklah dahulu. Kupikirkan baik-baik, kupertimbangkan saranmu, benar
dan salahnya, baik dan buruknya, karena aku khawatir apabila kata-katamu
itu bohong saja. Ketahuilah Sahid! Seumpama aku pulang ke Majapahit, si
Patah menghadap kepadaku, bencinya tidak bisa sembuh karena punya ayah
Buda kawak kafir kufur. Lain hari lupa, aku kemudian ditangkap dikebiri,
disuruh menunggu pintu belakang. Pagi sore dibokongi sembahyang,
apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok dengan ilalang
kering.”
Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga,
“Coba pikirkanlah, Sahid! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan direndam dalam air.”
Sunan Kalijaga (bagai ular licik) memendam senyum (kemenangan) dan berkata,
“Mustahil
jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega
putra Paduka memperlakukan sia-sia kepada Paduka. Akan halnya masalah
agama hanya terserah sekehendak Paduka, namun lebih baik jika Paduka
berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi
jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama.
Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika
belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.”
PERDEBATAN ILAHI PRABU BRAWIJAYA
Sang Prabu berkata, “Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan."
Sunan
Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, "asyhadu ala ilaha ilallah, wa
asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi, tiada Tuhan
selain Allah, dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah.
“
Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu,
“Manusia
yang menyembah kepada angan-angan saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka
ia tetap kafir, dan manusia yang menyembah kepada sesuatu yang kelihatan
mata, itu menyembah berhala namanya, maka manusia itu perlu mengerti
secara lahir dan batin. Manusia mengucap itu harus paham kepada apa yang
diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah itu Muhammad
itu makam kuburan. Jadi badan manusia itu tempatnya sekalian rasa yang
memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di Arab. (
Badan
manusia itu bayangan Dzat Tuhan. Badan jasmani manusia adalah letak
rasa. Rasul adalah rasa kang nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul naik ke
surga, lullah, luluh menjadi lembut. Disebut Rasulullah itu rasa ala
ganda salah. Diringkas menjadi satu Muhammad Rasulullah. Yang pertama
pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban manusia menghayati
rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah, maka
sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada pun
raga manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya
Rasul rasa, keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena
asyhadu alla, jika tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun
Islam maka tidak akan mengerti awal kejadian.”
Sunan
Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah
Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan
tetapi rambutnya tidak mempan digunting. Sunan Kalijaga lantas berkata,
Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabila hanya lahir saja,
rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau
sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.
PERDEBATAN ILAHI BRAWIJAYA DENGAN SABDOPALON (SEMAR)
Sang
Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan
Nayagenggong, yang rupanya membiarkan percakapan Sunan Kalijaga dan
Prabu Brawijaya.
“Kamu
berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan
memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau
kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan
agama Buddha.”
Sabdapalon berkata dengan sedih;
“Hamba
ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta
menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku
Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun-temurun sampai sekarang.
Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa.
Hamba
jika ingin tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada
peperangan saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri.
Sampai sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh
raja-raja Jawa. Tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menempati
agama Buddha, baru Paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa.”
Jawa
artinya 'tahu'. Mau menerima berarti 'Jawan'. Kalau hanya ikut-ikutan,
akan membuat celaka muksa Paduka kelak,” Kata Wikutama yang kemudian
disambut halilintar bersahutan.
Sang Prabu bertanya,
“Bagaimana
niatanmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul,
lalu menyebut Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang Sejati?”
Sabdopalon berkata dengan sedih
“Paduka masuklah sendiri. Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan.
Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang
mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri
sendiri.
Kalau
hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri
sendiri. Hamba suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu
tubuh Dewata yang bersifat budi dan hawa, sudah menjadi kewajiban
manusia itu menurut budi kehendaknya, menjadi tuntas dan tidak
mengecewakan, jika menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad
itu makaman kubur, kubur rasa yang salah, hanya men-Tuhan-kan badan
jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat karma dibelakang.
Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa.
Ruh
idafi artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya lagi.
Prabu Brawijaya nanti akan pulang kemana. Adam itu sama dengan Hyang
Ibrahm, arthinya kebrahen ketika hidupnya, tidak mendapatkan rasa yang
benar. Tetapi bangunnya rasa yang berwujud badan dinamai Muhammadun,
tempat kuburan rasa. Jasa budi menjadi sifat manusia. Jika diambil Yang
Maha Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya.
Orang
tua tidak membuat, maka dinamai anak, karena adanya dengan sendirinya,
jadinya atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata wal Hujwa, yang
meliputi wujud, wujudi sendiri, rusak-rusaknya sendiri, jika diambil
oleh Yang Maha Kuasa, hanya tinggal rasa dan amal yang Paduka bawa ke
mana saja. Jika nista menjadi setan yang menjaga suatu tempat. Hanya
menunggui daging basi yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian tadi
tidak ada perlunya. Demikian itu karena kurang budi dan pengetahuannya.
Ketika hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan buah pohon budi.
Pilih mati menjadi setan, menunggu batu mengharap-harap manusia mengirim
sajian dan selamatan. Kelak meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan
kiamat kepada anak cucunya yang tinggal. Manusia mati tidak dalam
aturan raja yang sifatnya lahiriah. Sukma pisah dengan budi, jika
tekadnya baik akan menerima kemuliaan. Akan tetapi jika tekadnya buruk
akan menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata hamba itu!”
Prabu berkata
“Kembali kepada asalnya, asal Nur bali kepada Nur”.
Sabdapalon bertutur
“Itu
pengetahuan manusia yang bingung, hidupnya merugi, tidak punya
pengetahuan ingat, belum menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu
mendapat satu. Itu bukan mati yang utama. Mati yang utama itu sewu
satus telung puluh. Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu
pulih, wujud kembali, wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya yang
berasal dari ruh idhafi lapisan, bulan surup pasti dari mana asalnya
mulai menjadi manusia. Surup artinya sumurup purwa madya wasana,
menepati kedudukan manusia.”
Sang Prabu menjawab,
“Ciptaku menempel pada orang yang lebih.”
Sabdopalon berkata,
“Itu
manusia tersesat, seperti kemladeyan menempel di pepohonan besar, tidak
punya kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi
matinya manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-ikutan, tidak
memiliki sendiri, jika diusir kemudian gentayangan menjadi kuntilanak,
kemudian menempel kepada awal mulanya lagi.”
Sang Prabu berkata lagi,
“Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan, ketika aku belum mewujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak.”
Sabdopalon menjawab,
“Itu
matinya manusia tidak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika
hidupnya seperti hewan, hanya makan, minum, dan tidur. Demikian itu
hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang
makna hidup dalam mati.”
Sang Prabu,
“Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi debu.”
Sabdopalon menyambung,
“Itulah
matinya manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui daging di
kuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti berganti
ruh idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!”
Sang Prabu berkata,
“Aku akan muksa (menghikang) dengan ragaku.”
Sabdopalon tersenyum,
“Kalau
orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan
badannya, gemuk kebanyakan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena
mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Tidak bersyahadat, tidak mati dan
tidak hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi baru, hanya menjadi gunungan
demit.”
Sang Prabu,
“Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon,
“Paduka
meninggalkan sifat tidak merasa sebagai titah yang terpuji,
meninggalkan kewajiban sebagai manusia. Manusia diwenangkan untuk
menolak atau memilih. Jika sudah menerima akan mati, sudah tidak perlu
mencari ilmu kemuliaan mati.”
Sang Prabu,
“Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon berkata,
“Akhirat, surga, sudah Paduka kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam besar. Paduka akan pergi ke akhirat mana? Apa tidak tersesat?
Padahal akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat. Bila mau
hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan seperti dalam
pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum, ditangkap,
dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi.
Nusa artinya anusia, sreng artinya berat sekali, enggi artinya kerja.
Jadi
maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi. Apa tidak
celaka, manusia hidup di dunia demikian tadi, sekeluarganya hanya
mendapat beras sekojong tanpa daging, sambal, sayur. Itu perumpamaan
akhirat yang kelihatan nyata. Jika akhirat manusia mati malah lebih dari
itu, Paduka jangan sampai pulang ke akhirat, jangan sampai masuk ke
surga, malah tersesat, banyak binatang yang mengganggu, semua tidur
berselimut tanah, hidupnya berkerja dengan paksaan, tidak salah dipaksa.
Paduka
jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak
berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan
akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya
bintang dan rembulan. Bertemunya cahaya menyala menjadi satu, tidak
pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan, dekat tidak bertemu. Saya
tidak tahan dekat apalagi Paduka, Kanjenga Nabi Musa toh tidak tahan
melihat Gusti Allah. Maka Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya yang
meliputi semua makhluk. Paduka bibit ruhani, bukan jenis malaikat.
Manusia raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang Lata wal Hujwa.
Jika sudah lama, minta yang baru, tidak bolak-balik. Itulah mati hidup.
Orang
yang hidup adalah jika nafasnya masih berjalan, hidup yang langgeng,
tidak berubah tidak bergeser, yang mati hanya raganya, tidak merasakan
kenikmatan, maka bagi manusia Buda, jika raganya sudah tua, sukmanya pun
keluar minta ganti yang baik, melebihi yang sudah tua. Nutfah jangan
sampai berubah dari dunianya. Dunia manusia itu langgeng, tidak
berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa dan raga yang berasal dari
ruh idhafi.
Prabu
Brawijaya itu tidak muda tidak tua, tetapi langgeng berada di tengah
dunianya, berjalan tidak berubah dari tempatnya di gua hasrat cipta yang
hening. Bawalah bekalmu, bekal untuk makan raga. Apapun milik kita akan
hilang, berkumpul dan berpisah. Denyut jantung sebelah kiri adalah
rasa, cipta letaknya di langit-langit mulut. Itu akhir pengetahuan.
Pengetahuan manusia beragama Buda. Ruh berjalan lewat langit-langit
mulut, berhenti di kerongkongan, keluar lewat kemaluan, hanyut dalam
lautan rahmat, kemudian masuk ke gua garbha perempuan. Itulah jatuhnya
nikmat di bumi rahmat. Di situ budi membuat istana baitullah yang mulia,
terjadi lewat sabda kun fayakun. Di tengah rahim ibu itu takdir manusia
ditentukan, rizkinya digariskan, umurnya juga dipastikan, tidak bisa
dirubah, seperti tertulis dalam Lauh Mahfudz. Keberuntungan dan
kematiannya tergantung pada nalar dan pengetahuan, yang kurang
ikhtiarnya akan kurang beruntung pula.
Awal
mula kiblat empat, yaitu timur (Wetan) barat (Kulon) selatan(Kidul) dan
utara (Lor) adalah demikian. Wetan artinya wiwitan asal manusia
mewujud; kulon artinya bapa kelonan; kidul artinya wstri didudul di
tengah perutnya; lor artinya lahirnya jabang bayi. Tanggal pertama
purnama, tarik sekali tenunan sudah selesai. Artinya pur: jumbuh, na:
ana wujud; ma: madep kepada wujud. Jumbuh itu artinya lengkap, serba
ada, menguasai alam besar kecil, tanggal manusia, lahir dari ibunya,
bersama dengan saudaranya kakang mbarep (kakak tertua) adi ragil (adik
terkecil). Kakang mbarep itu kawah, adi itu ari-ari. Saudara ghaib yang
lahir bersamaan, menjaga hidupnya selama matahari tetap terbit di dunia,
berupa cahaya, isinya ingat semuanya. Siang malam jangan khawatir
kepada semua rupa, yang ingat semuanya, surup, dan tanggalnya pun sudah
jelas, waktu dulu, sekarang atau besok, itu pengetahuan manusia Jawa
yang beragama Buddha.
Raga
itu diibaratkan perahu, sedangkan sukma adalah orang yang ada di atas
perahu tadi, yang menunjukkan tujuannya. Jika perahunya berjalan salah
arah, akhirnya perahu pecah, manusia rebah. Maka harus bertujua,
senyampang perahu masih berjalan, jika tidak bertujuan hidupnya, dan
matinya tidak akan bisa sampai tujuan, menepati kemanusiaannya. Jika
perahu rusak maka akan pisah dengan orangnya. Artinya sukma juga pisah
dengan budi, itu namanya syahadat, pisahnya kawula dengan Gusti. Sah
artinya pisah dengan Dzat Tuhan, jika sudah pisah raga dan sukma, budi
kemudian berganti baitullah, nafas memuji kepada Gusti.
Jika
pisah sukma dan budi, maka manusia harus yang waspada, ingatlah
asal-usul manusia, dan wajib meminta kepada Tuhan baitullah yang baru,
yang lebih baik dari yang lama.
Raga
manusia itu namanya baitullah itu perahu buatan Allah, terjadi dari
sabda kun fayakun. Jika perahu manusia Jawa bisa berganti baitullah lagi
yang lebih baik, perahu orang Islam hidupnya tinggal rasa, perahunya
sudah hancur. Jika sukma itu mati di alam dunia kosong, tidak ada
manusia. Manusia hidup di dunia dari muda sampai tua. Meskupun suksma
manusia, tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk,
meskupun sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.
Ketika
Batara Wisnu bertahta di Medang Kasapta, binatang hutan dan makhluk
halus dicipta menjadi manusia, menjadi rakyat Sang Raja. Ketika Eyang
Paduka Prabu Palasara bertahta di Gajahoya, binatang hutan dan makhluk
halus juga dicipta menjadi manusia. Maka bau manusia satu dan yang
lainnya berbeda-beda, baunya seperti ketika masih menjadi hewan. Serat
Tapak Hyang menyebut Sastrajendra Hayuningrat, terjadi dari sabda kun,
dan menyebut jituok artinya hanya puji tok.
Dewa
yang membuat cahaya bersinar meliputi badan. Cahya artinya incengan
aneng cengelmu. Jiling itu puji eling kepada Gusti. Punuk artinya
panakna. Timbangan artinya salang. Pundak itu panduk, hidup di dunia
mencari pengetahuan dengan buah kuldi, jika beroleh buah kuldi banyak,
beruntungnya kaya daging, apabila beroleh buah pengetahuan banyak, bisa
untuk bekal hidup, hidup langgeng yang tidak bisa mati. Tepak artinya
tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning urip. Ula-ula, ulatana, laleren
gegermu kang nggligir. Sungsum artinya sungsungen. Labung, waktu Dewa
menyambung umur, alam manusia itu sampungan, ingat hidup mati.
Lempeng
kiwa tengen artinya tekad yang lahir batin, purwa benar dan salah, baik
dan buruk. Mata artinya lihatlah batin satu, yang lurus kiblatmu,
keblat utara benar satu. Tengen artinya tengenen kang terang, di dunia
hanya sekedar memakai raga, tidak membuat tidak memakai. Kiwa artinya,
raga iki isi hawa kekajengan, tidak wenang mengukuhi mati. Demikian itu
bunyi serat tadi. Jika Paduka mencela, siapa yang membuat raga? Siapa
yang memberi nama? Hanya Lata wal Hujwa, jika Paduka mencaci, Paduka
tetap kafir, cela mati Paduka, tidak percaya kepada takdirGusti, dan
murtad kepada leluhur Jawa semua, menempel pada besi, kayu batu, menjadi
iblis menunggu tanah. Jika Paduka tidak bisa membaca sasmita yang ada
di badan manusia, mati Paduka tersesat seperti kuwuk. Adapun jika bisa
membaca sasmita yang ada pada raga tadi, dari manusia menjadi manusia.
Disebut dalam Serat Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang
mati di kubur, kemudian bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti
tempat baru.
Jika
Paduka memeluk agama Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua.
Badan halus hamba sudah tercakup dan manunggal menjadi tunggal, lahir
batin, jadi tinggal kehendak hamba saja. Adam atau wujud bisa sama, jika
saya ingin mewujud, itulah wujud hamba, kehendak Adam, bisa hilang
seketika. Bisa mewujud dan bisa menghilang seketika. Raga hamba itu
sifat Dewa, badan hamba seluruhnya punya nama sendiri-sendiri.
Coba
Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua sudah jelas, jelas sampai tidak
kelihatan Sabdopalon, tinggal asma meliputi badan, tidak muda tidak tua,
tidak mati tidak hidup. Hidupnya meliputi dalam matinya. Adapun matinya
meliputi dalam hidupnya, langgeng selamanya.”
Sang Prabu bertanya,
“Di mana Tuhan yang Sejati?”
Sabdopalon berkata,
“ Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud sifat suksma. Sejati tunggal budi, roh, dan badan.
Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisah, tetapi juga tidak berkumpul.
Paduka itu raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba
ini.”
Tanya Prabu pada Sabdopalon;
“Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?”
Sabdopalon berkata dengan sedih,
“Ikut
agama lama, kepada agama baru tidak! Kenapa Paduka berganti agama tidak
bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon? Sabda
artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya
pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba
itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.”
Prabu Brawijaya mengeluh
“Bagaimana
ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku
tidak boleh kembali kepada agama Budha lagi, aku malu apabila
ditertawakan bumi langit.”
Sabdopalon berkata,
“Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”
Sunan
Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan
memikirkan yang tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia. (bagi
yang belum tau kebusukannya)
Ia
akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana
baunya. Jika air tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu
sudah mantap kepada agama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu
pertanda jika Sang Prabu masih berpikir Buda. Sunan Kalijaga kemudian
mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau wangi. Sunan
Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan, bahwa
Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber
baunya wangi.
Sabdopalon berkata kepada Sang Prabu,
“Itu
kesaktian apa? Kesaktian kencing hampa kemarin sore dipamerkan kepada
hamba. Seperti anak-anak, jika hamba melawan kencing hamba sendiri.
Paduka dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut ikut-ikutan,
tanpa guna hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi langit, malu mengasuh
manusia tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu mata. Hamba
menyesal telah mengasuh Paduka.
Jika
hamba mau mengeluarkan kesaktian, air kencing hamba, kentut sekali
saja, sudah wangi. Jika paduka tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa,
yang bernama Manik Maya itu hamba, yang membuat kawah air panas di atas
Gunung Mahameru itu semua hamba.
Adikku
Batara Guru hanya mengizinkan saja. Pada waktu dahulu tanah Jawa
gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah. Gunung-gunung hamba
kentuti. Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya banyak yang keluar,
maka tanah Jawa kemudian tidak bergoyang, maka gunung-gunung tinggi
puncaknya, keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air panas dan air
tawar. Itu hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal Hujwa,
yang membuat bumi dan langit.
Apa
cacadnya agama Budha, manusia bisa memohon sendiri kepada Yang Maha
Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama
Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain.
Besok
tentu diperintah oleh orang Jawa yang mengerti. Coba Paduka saksikan,
bulan depan bulan tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh, ditolak oleh
Dewa. Walaupun tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi
seperti kerikil, karena paduka yang salah, suka menyembah batu. (Kabah kah?)
Paduka saksikan besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang
hujan. Berkurang hasil bumi, banyak manusia suka menipu. Berani
bertindak nista dan suka bersumpah, hujan salah musim, membuat bingung
para petani. Sejak hari ini hujan sudah berkurang, sebagai hukuman
banyak manusia berganti agama.
Besok
apabila sudah bertaubat, ingat kepada agama Budha lagi, dan kembali mau
makan buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti
jaman Buda.”
Sang
Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal
karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha.
Lama
beliau tidak berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama
Islam itu karena terpikat kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang
agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya
orang kafir.
(Ya jelaslah, surganya Islam kau dapet 72 perawan, berserks ria tiada henti)
Sabdapalon berkata sambil meludah,
“Sejak
jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena
perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang memulai kehendak.”
Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.
“Kamu
cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu
kutanya, masihkah tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam, sudah
disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa kembali kepada Buddha lagi.”
Sabdapalon
berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika
ditanya perginya akan ke mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak
berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.
Sang
Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan,
yaitulah yang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar
salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi
kedua orang tersebut musnah. (=tiba-tiba menghilang)
Sang Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga,
”Besok
Negara Blambangan gantilah nama dengan Negara Banyuwangi agar menjadi
pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun
kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”
Sunan
Kalijaga kemudian diperintahkan menandai air sumber, jika bau harumnya
hilang, besok, orang Jawa akan meninggalkan agama Islam, kembali ke
agama Kawruh.
Sunan
Kalijaga kemudian membuat dua buah tabung bambu, yang satu diisi air
tawar, satunya diisi air sumber. Air sumber tadi untuk pertanda, jika
bau wangi hilang, orang tanah Jawa akan kembali ke agama Kawruh. Tabung
setelah diisi air, kemudian ditutup daun pandan dan dibawa dua orang
sahabatnya.
Prabu
Brawiaya kemudian pergi, diiringkan Sunan Kalijaga dan dua orang
sahabatnya. Malam harinya istirahat di Sumberwaru. Esok harinya tabung
itu dibuka, airnya dicium masih wangi, kemudian segera melanjutkan
perjalanan lagi agar ketika matahari tenggelam sudah sampai di
Panarukan. Sang Prabu istirahat di sana.
Pagi
harinya air dicium masih wangi. Sang Prabu kemudian melanjutkan
perjalanan lagi. Sesudah matahari tenggelam mereka telah sampai di
Besuki. Sang Prabu beristirahat di sana. Esok harinya tabung air dicium
masih berbau wangi. Sang Prabu kemudian meneruskan perjalanan sampai
matahari tenggelam. Sampai di Prabalingga, disitu juga istirahat
semalam.
Esok
paginya air itu dilihat lagi. Air yang tawar masih enak, tetapi berbusa
harum. Tetapi tinggal sedikit, karena kerap diminum di jalan. Sedangkan
air sumber setelah dicium baunya menjadi bacin (=busuk), lalu dibuang.
Sang
Prabu kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Prabalingga di besuk
namanya dua, Prabalingga dan Bangerwarih. Di sini besok menjadi tempat
untuk perkumpulan orang-orang yang mencari pengetahuan kepintaran dan
kebatinan. Prabalingga artinya perbawanya orang Jawa tertutup dengan
perbawa tetangga.” Sang Prabu kemudian segera meneruskan perjalanan,
agar dalam waktu tujuh hari sudah sampai di Ampelgading. Nyai Ageng
Ambil menyambut kemudian menyembah kepada Sang Prabu sambil menangis
bercucuran air mata.
Sang Prabu kemudian berkata,”
Jangan
menangis, sudahlah semuanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Aku
dan kamu hanya sekedar menjalani, semua peristiwa ini sudah ditulis
dalam Lauh Mahfudz. Baik buruk jangan ditolak. Sudah kewajiban orang
hidup sabar dan menerima.”
Nyai
Ageng Ampel kemudian berkata kepada Sang Prabu, melaporkan tingkah laku
cucunya, Prabu Jimbun, seperti yang sudah diceritakan di depan. Sang
Prabu kemudian memerintahkan untuk memanggil Prabu Jimbun. Nyai Ampel
mengutus santri ke Demak dengan membawa surat. Sesampai di Demak, surat
disampaikan kepada Sang Prabu Jimbun.
Tidak
lama kemudian Prabu Jimbun berangkat menghadap ke Ampel. Putra raja
Majapahit, yang bernama Raden Bondan Kejawan di Tarub, mendengar berita
bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak, malah Sang Prabu
meloloskan diri dari istana, tidak jelas ke mana larinya. Merasa tidak
enak pikirnya, maka kemudian pergi ke Majapahit.
Raden
Bondan Kejawan menyamar untuk mencari berita dimana ayahandanya.
Sesampai di Surabaya ia mendengar berita bahwa Sang Prabu ada di Ampel,
tetapi kemudian sakit. Raden Bondankejawan kemudian menghaturkan sembah
bhakti.
Sang Prabu bertanya,
“Siapa yang menyembah ini?”
Raden Bondan Kejawan berkata,
“Hamba putra Paduka, Bondhan Kejawan.”
Sang
Prabu kemudian merangkul putranya. Sakitnya Sang Prabu semakin parah.
Beliau merasa sudah akan pulang kepada jaman kelanggengan. Kata beliau
kepada Sunan Kalijaga demikian,
“Sahid,
mendekatlah kemari, aku sudah akan kembali ke jaman kelanggengan,
buatlah surat ke Penging dan Ponorogo. Nanti kuberi tanda tangan. Aku
sudah terima hancurnya Majalengka. Jangan ada perang berebut tahtaku,
semua tadi sudah kehendak Yang Maha Suci, jangan ada perang, karena
hanya akan membuat kekacauan dunia. Sayangilah rakyat dan jangan merusak
tanah Jawa. Menghadaplah ke Demak. Jangan ada yang memulai perang
setelah aku. Kuminta kepada Yang Maha Kuasa, perangnya akan kalah.”
Sunan
Kalijaga kemudian menulis surat. Setelah selesai kemudian
ditandatangani oleh Sang Prabu. Kemudian diberikan kepada Adipati
Pengging dan Ponorogo.
Sang Prabu kemudian berkata,
“Sahid,
setelah aku tidak ada, pandai-pandalah kamu memelihara anak cucu-ku.
Aku titip anak kecil ini. Seketurunannya asuhlah. Bila ada untungnya,
besok anak ini yang bisa menurunkan bibit tanah Jawa. Dan lagi pesanku
kepada kamu, apabila aku sudah kembali ke alam kalanggengan, kuburkan
aku di Majapahit sebelah utara laut buatan. Adapun kuburanku kuberi nama
Sastrawulan. Siarkan kabar bahwa yang dikubur di situ Raja Putri Cempa.
Dan lagi pesanku, besok anak cucuku jangan sampai kawin dengan lain
bangsa. Jangan sampai membuat panglima perang orang bangsa lain.”
Sunan Kalijaga kemudian menjawab,
“Apakah Sang Prabu tidak memberi izin kepada putra Paduka Prabu Jimbun untuk menjadi raja di tanah Jawa?”
Sang Prabu berkata,
“Ya, kuberi izin, tetapi hanya berhenti tiga keturunan.”
Sunan Kalijaga meminta petunjuk apa artinya nama kuburan Sang Prabu.
“Sastra
artinya tulisan, wulan artinya cahaya dunia. Artinya kuburanku hanya
seperti cahaya rembulan. Apabila masih kemilau cahaya rembulan, nanti
orang Jawa ingat bahwa kematianku sudah memeluk agama Islam. Maka
kutinggikan Putri Cempa, karena aku sudah dibetinakan oleh si Patah,
serta tidak dianggap laki-laki, sampai aku disia-siakan seperti ini.
Maka aku hanya mengizinkan ia menjadi raja hanya dalam tiga keturunan.
Karena si Patah itu dari tiga bangsa, Jawa, Cina, dan Raksasa. Maka ia
tega kepada ayah serta ngawur caranya. Maka wasiatku, anak cucuku jangan
kawin dengan lain bangsa, karena dalam berkasih-kasihan dengan orang
lain bangsa tadi bisa merubah keyakinan. Bisa mencelakai hidup, maka aku
memberi wasiat jangan mengangkat panglima perang orang yang lain
bangsa. Karena akan menginjak Gustinya, dalam berperang mendua hati.
Sudah Sahid, semua wasiatku tulislah.”
Sang
Prabu setelah bersabda demikian, tangannya kemudian bersedekap, terus
wafat. Jenazahnya kemudian dikuburkan di Astana Sastrawulan Majapahit.
Sampai
sekarang terkenal bahwa yang dikubur di situ adalah Sang Putri Cempa.
Adapun sebenarnya Putri Cempa itu wafatnya di Tuban. Tepatnya kuburan di
Karang Kemuning. Setelah tiga hari wafatnya Prabu Brawijaya, dikisahkan
Sultan Bintara (Raden Patah) baru datang di Ampelgading dan bertemu
Nyai Ageng Ampel.
Nyai Ageng berkata,
“Celaka
kamu Jimbun, tidak melihat wafatnya ayahanda, jadi tidak bisa sungkem
serta minta izin olehnya menjadi raja, serta minta ampunan semua
kesalahan yang sudah terjadi.”
Prabu
Jimbun berkata kepada Nyai Ageng, ia hanya bisa pasrah kepada takdir.
Barang yang sudah terlanjur hanya bisa dijalani. Sultan Demak di Ampel
tiga hari dan kemudian pulang kembali ke Demak.
Diceritakan
Adipati Pengging dan Ponorogo, yaitu Pangeran Handayaningrat di
Pengging dan Raden Batara Katong, sudah mendengar berita bahwa negara
Majapahit dibedah oleh Adipati Demak dengan menyamar menghadap kepada
Sang Prabu waktu Hari Raya Grebeg..
Adapun
Prabu Brawijaya dan putra Raden Gugur meloloskan diri dari istana dan
tidak ketahuan besembunyi dimana. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo
sangat marah. Keduanya kemudian menyiapkan sebuah pasukan hendak
menyerang Demak, membela ayah merebut tahta. Para prajurit sudah siap
senjata untuk menempuh perang hanya tinggal berangkat. Tiba-tiba datang
utusan dari Sang Prabu Brawijaya memberikan surat wasiat. Adipati
Pengging dan Adipati Ponorogo segera menerima dan membaca surat
tersebut. Surat itu kemudian disembah dengan meneteskan air mata berat.
Keduanya terhenyak, marah, giginya gemeretuk, wajahnya merah seperti
api, dan kata-katanya ketus menyumpah kepada ayahnya sendiri,
mudah-mudahan jangan hidup lebih lama lagi, agar tidak memperpanjang
rasa malu. Kedua adipati ngotot tidak mau menghadap ke Demak, karena
gelap pikirannya kemudian keduanya jatuh sakit dan tidak lama kemudian
meninggal.
SEKALANING (KIASAN) RUNTUHNYA MAJAPAHIT
Adapun
menurut pendapat yang lain, matinya Adipati Pengging dan Ponorogo
karena ditenung oleh Sunan Giri, agar jangan mengganggu di belakang
hari. Maka cerita hancurnya negeri Majapahit itu disembunyikan, tidak
seimbang dengan kebesaran serta luasnya kekuasaannya. Semua itu untuk
menutupi rahasia raja, seorang putra memusuhi ayahandanya. Apabila
dipikirkan sangat memalukan. Sejarah hancurnya Majapahit disemukan oleh
para pujangga bijaksana menjadi demikian:
“Karena
Karomah para wali, keris Sunan Giri ditarik keluar ribuan tawon yang
menyengati orang Majapahit. Mahkota Sunan Gunung Jati Cirebon, keluar
tikusnya beribu-ribu menggerogoti bekal dan pelana kuda prajurit
Majapahit sehingga bubar, karena banyaknya tikus.”
“Peti
dari Palembang ada di tengah perang dibuka keluar demit-nya, orang
Majapahit geger karena ditenung demit. Sang Prabu Brawijaya wafat
mikraj.”
Kemudian
Kyai Kalamwadi bertutur kepada murid yang bernama Darmo Gandhul, “Namun
semua tadi hanya pasemon (kiasan). Adapun kenyataannya, cerita
hancurnya Majapahit itu seperti yang kuceritakan tadi. Negara Majapahit
itu besar dan kokoh. Akan tetapi bisa rusak karena digerogoti tikus?
Biasanya tawon itu bubar karena diganggu orang. Hutan angker banyak
demitnya. Bubarnya demit apabila hutannya dirusak oleh manusia untuk
dibuat sawah. Tetapi apabila Majapahit rusak karena dari tikus, tawon,
dan demit, SIAPA YANG PERCAYA?
Apabila
orang percaya Majapahit hancur karena tikus, tawon, dan demit, itu
artinya orang tadi tidak tajam pikirannya. Cerita yang demikian tadi
ANEH DAN TIDAK MASUK AKAL. Tidak cocok lahir batin. Maka hanya untuk
pasemon (kiasan). Apabila diterangkan dengan jelas maka artinya membuka
rahasia Majapahit. Maka hanya diberi perlambang agar orang berpikir
sendiri. Adapun pasemon tadi artinya demikian:
Tikus
itu wataknya remeh, tetapi lama-lama apabila dibiarkan akan berkembang
biak. Artinya, para ulama awalnya ketika baru sampai di Jawa meminta
perlindungan kepada Prabu Brawijaya di Majapahit. Sesudah diberi, balas
merusak.
Tawon itu membawa madu yang rasanya sangat manis, senjatanya berada di anus. Adapun tempat tinggalnya di dalam tala, artinya tadinya ketika dimuka memakai kata-kata yang manis, akhirnya menyengat dari belakang. Adapun tala artinya mentala ‘tega’ merusak Majapahit, siapa yang mendengar pasti marah.
Adapun
demit diberi wadahi peti dari Palembang, setelah dibuka berbunyi
menggelegar. Artinya Palembang itu mlembang, yaitu ganti agama.
Peti artinya wadah yang tertutup untuk mewadahi barang yang samar. Demit artinya samar, remit, rungsid. Demit itu juga TUKANG SANTET.
Adapun jelasnya demikian, hancurnya Negeri Majapahit disantet dengan cara samar, ketika akan menyerang tidak ada tantangan apa-apa,
menyamar hanya untuk menghadap ketika hari raya grebeg. Mereka
dikejutkan, Orang Majapahit tidak siap senjata, tahu-tahu Adipati Terung
sudah membantu Adipati Demak.
Sejak
Jaman Kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur
dengan disengat tawon serta digerogoti tikus saja, bubarnya orang
sekerajaan hanya karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya
menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancuran tersebut
karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu Wali Delapan atau Sunan Delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak. Mereka semua memberontak dengan licik.
Kemudian lagi kata Ki Kalamwadi,
“Guruku
Raden Budi Sukardi meriwayatkan sebelum Majapahit hancur, burung kuntul
itu belum ada yang memakai kuncir. Setelah negara pindah ke Demak,
keadaan di Jawa juga berubah. Lantas ada burung kuntul memakai kuncir.”
Prabu
Brawijaya disindir, Kebo kombang atine entek dimangsa tuma kinjir. Kebo
artinya kerbau, yakni raja kaya, Kombang artinya diam tapi suaranya
riuh, yaitu Prabu Brawijaya tak habis pikir ketika Majapahit hancur.
Maksudnya diam marah saja, tidak berkenan melawan dengan perang. Adapun
tuma kinjir itu kutu babi hutan. Tuma artinya tuman ‘terbiasa’, babi
hutan itu juga bernama andapan, yaitu Raden Patah ketika sampai di
Majapahit bersujud kepada ayahanda Sang Prabu. Waktu itu diberi pangkat,
artinya mendapat simpati dari Sang Prabu. Tapi akhirnya memerangi dan
merebut tahta. Tidak berpikir benar dan salah, sampai Sang Prabu tidak
habis pikir.
Adapun
kuntul memakai kuncir itu pasemon Sultan Demak. Ia mengejek-ejek kepada
Sang Prabu, karena agamanya Buddha kawak kafir kufur. Makanya Gusti
Allah memberi pasemon gitok kuntul kunciran. Artinya lihatlah tengkukmu,
ibumu putri Cina, tidak boleh menghina kepada orang lain beragama.
Sang
Prabu Jimbun itu berasal dari tiga benih. Asalnya Jawa, maka Sang Prabu
Jimbun besar hati menginginkan tahta raja, ingin cepat kaya sesuai
sifat ibunya. Adapun berani tanpa pikir itu dari sifat Sang Arya Damar,
karena Arya Damar itu ibunya putri raksasa, senang minum darah, sifatnya
sia-sia. Maka ada kuntul memakai kuncir itu sudah kehendak Allah, tidak
hanya Sunan Demak sendiri saja yang diperingati mengakui kesalahannya,
tetapi juga para wali lainnya. Apabila tidak mau mengakui kesalahannya,
dosanya lahir batin. Maka namanya wali diartikan walikan dibaiki membalas kejahatan.
SOLI DEO GLORIA
www.alfa-ome.ga