Sebuah
artikel menarik yang disadur dari http://www.madinaonline.id.
sharingkalimatallah.com menyadur dari bacabacaquran.com yang mengutip
keseluruhan artikel tanpa editan sama sekali. Tidak semua bagian dari
saduran ini disetujui oleh admin, namun kami akan menyusulkan tanggapan
yang lebih mendasar untuk memperlihatkan siapa sesungguhnya yang
bermasalah: Quran, Injil atau Pihak Ulama! Padahal, kalau saja para provokator itu bersedia mempelajari diskusi mendalam antara para ilmuwan dan membaca kitab-kitab rujukan keagamaan, cara pandang semacam itu jauh dari kebenaran.
Menurut banyak ilmuwan Islam, bisa jadi memang ada perubahan teks Injil dan Taurat dari versi aslinya, tapi perubahan yang terjadi bukanlah ‘kebohongan dan kesesatan’.
Percaya kepada kitab-kitab suci sebelum Al-Quran sebenarnya adalah satu dari sekian hal yang wajib diimani komunitas Muslim. Sebagian ulama hanya membatasi iman pada dua kitab suci seperti Taurat dan Injil (alkitab), tapi sebagian lain memasukkan kitab suci di luar Taurat dan Injil.
Kewajiban mengimani kitab-kitab suci sebelum Al-Quran didasarkan pada sejumlah ayat Al-Quran yang menegaskan bahwa Al-Quran itu membawa kebenaran yang sama dengan kitab-kitab sebelumnya. Di sejumlah ayat yang lain, Al-Quran bahkan menyebut dirinya pembenar dan penjaga kitab suci sebelumnya.
Memang, selain bersikap afirmatif terhadap kitab-kitab suci sebelumnya, ada pula ayat-ayat Al-Quran yang bersikap mempertanyakan isi kitab-kitab terdahulu, khususnya kepada Taurat dan Injil.
Namun ini pun harus dipahami sesuai konteks kelahiran ayat-ayat Al-Quran itu mengingat interaksi Nabi Muhammad dan komunitas Muslim dengan komunitas Kristen dan Yahudi di Madinah sering kali naik-turun. Kadang harmonis, kadang berpolemik.
Misalnya saja, kritik Al-Quran yang sering dikutip untuk menunjukkan alkitab telah diselewengkan (tahrif), adalah al-Baqarah (2) ayat 75; al-Nisa (4) ayat 46; al-Ma’idah (5) ayat 13; dan al-Ma’idah (5) ayat 41. Ternyata, menurut para analis, empat ayat ini disinyalir muncul kala hubungan antara Nabi dan komunitas Muslim dengan komunitas Yahudi dan Kristen tengah berpolemik.
Sekedar catatan, ada beberapa kata kunci lain dalam Al-Quran yang bernada serupa dengan tahrif, yaitu tabdil (mengganti), kitman(menyembunyikan), labs (merusak), layy (memutar-balik), dan nisyan (melupakan). Namun, kata-kata tadi memiliki titik tekannya masing-masing dalam Al-Quran.
Sayangnya, dalam berbagai kesempatan ayat-ayat Al-Quran itu kerap disalahgunakan kelompok Muslim konservatif, bahkan Muslim radikal, sebagai senjata untuk merendahkan atau mendelegitimasi keimanan pihak lain.
Tanpa mempertimbangkan konteks kemunculannya, mereka mengutip ayat-ayat Al-Quran itu begitu saja untuk menyerang keyakinan komunitas Yahudi maupun Kristen. Hal ini pun bisa disaksikan di Indonesia.
Terkait ayat tentang tahrif, ulama tafsir punya pandangan yang beragam. Ada yang berpandangan penyelewengan itu hanya di level pemaknaan, bukan pada teks; ada yang berpandangan penyelewengan itu di level teks dan pemaknaannya sekaligus; serta ada yang berpandangan penyelewengan itu di level teks dan pemaknaannya, tapi tak semuanya.
Perbedaan pandangan ini misalnya dirangkum secara sangat baik oleh Mun’im Sirry dalam bukunya, Polemik Kitab Suci (Gramedia, 2013). Dalam buku itu, ia memberi sejumlah contoh.
Mufasir modern asal Suriah, Jamal al-Din al-Qasimi, misalnya, berpendapat bahwa yang diselewengkan adalah penafsiran atas Taurat dan Injil, sementara teksnya masih bisa diyakini kebenarannya. Untuk mengukuhkan pandangannya itu, al-Qasimi mengutip sejumlah mufasir klasik terkemuka, seperti Ibn Katsir dan Ibn Jarir al-Thabari.
Al-Qasimi menunjukkan bahwa Ibn Katsir menggunakan ‘yuharrifunahu’ dalam arti ‘mereka menafsirkannya (kalam ilahi) berbeda dengan makna yang sebenarnya’, sementara Tabari menyebutkan bahwa ‘yuharrifunahu’ berarti mereka menukar makna dan penafsirannya, dan mengubahnya.
Al-Qasimi juga menyandarkan pandangannya kepada sarjana Muslim abad pertengahan, Ibn Taimiyah. Sebelum memulai pendapatnya, Ibn Taimiyah –ulama yang fatwa-fatwanya selalu menjadi rujukan kelompok konservatif bahkan radikal—mendedah sikap ulama yang secara umum terbagi menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan: sebagian berpandangan tak ada lagi teks dalam alkitab yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya, dan sebagian lain berpandangan sebaliknya. Mereka yang berpandangan sebaliknya itu merujuk Al-Quran, “Katakanlah: Bawalah Taurat, lalu bacalah jika kamu orang-orang yang benar” (Al Imron: 93).
Dari situ Ibn Taimiyah kemudian berpendapat, “Pengubahan yang terjadi hanya sedikit, dan sebagian besar bagian kitab suci terdahulu tidak diubah.”
Kolega al-Qasimi dari Mesir, Rasyid Rida, berpendapat bahwa alkitab telah diselewengkan. Menurut Rida frase “yuharrifuna al-kalimah ‘an mawadi’ihi” bisa dimaknai sebagai penyelewengan tekstual dan penyelewengan interpretasi. Namun pendapat Rida itu berseberangan dengan pendapat gurunya, Muhammad Abduh, mantan Syeikh Universitas Al-Azhar, yang menolak pandangan adanya penyelewengan dalam alkitab.
Pendapat Rida itu tampaknya tak lepas dari pengaruh situasi polemis di Mesir saat itu. Rida menulis banyak artikel sebagai respon terhadap gerakan misionaris di Mesir yang dimuat dalam jurnalnya, al-Manar. Artikel-artikel itu kemudian dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Syubahat al-Nashara wa Hujaj al-Islam (Kritik Kristen dan Argumentasi Islam).
Yang menarik, untuk tiba pada pandangan itu, Rida menggunakan sumber-sumber yang mengkritik alkitab (higher Bible Critisism) yang ditulis sejarawan alkitab asal Eropa. Temuan-temuan para sejarawan itu juga kerap digunakan sarjana Muslim lainnya ketika berbicara tentang alkitab. Menurut Rida, alkitab sudah tidak otentik lagi karena, menurut pendapat standar di kalangan sejarawan Eropa, Taurat yang ada saat ini ditulis beberapa abad setelah Musa.
Meski menyangsikan keotentikan alkitab, tapi bukan berarti Rida tidak mengakui validitas ajaran Yahudi. Menurut Rida, subtansi ajaran Yahudi tetap harus diakui dan tidak menyimpang, selama petunjuk dari ajarannya terus terpelihara. Untuk menguatkan pendapatnya itu, Rida mengutip Al-Quran yang berbunyi, “…. Mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya ada hukum Allah….” (al-Maidah: 43).
Validitas ajaran Kristen juga tetap diakui Rida. “Mereka memiliki keuntungan dari mengetahui wahyu orang Yahudi (Taurat) dan perintah dari Nabi-Nabi lainnya serta ajaran Yesus yang mereka miliki. Lebih jauh lagi, semangat dakwah juga ada di antara mereka,” tulis Rida.
Pakar Ilmu Al-Quran dari dalam negeri, M. Quraish Shibab juga menyinggung ayat tentang tahrif dalam karyanya Tafsir al-Mishbah. Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari uraian Shihab tentang ayat tahrif.
Pertama, menurut Shihab ada beberapa kemungkinan modus tahrif yang dimaksud Al-Quran: (a) mengubah satu kata dengan kata lain, misalnya mengubah kata rajam, melempari dengan batu hingga mati, sebagai bentuk hukuman bagi orang berzina dengan kata jilid, cukup mencambuk saja; (b) memberikan penafsiran yang keliru terhadap ayat-ayat dengan penafsiran yang sesuai dengan kepentingan mereka; (c) memutarbalikkan atau menyampaikan secara salah setelah mendengar langsung jawaban dari nabi ketika mereka menanyakan hal-hal tertentu kepada nabi.
Kedua, alkitab diselewengkan hanya pada ajaran-ajaran tertentu tapi tidak semuanya. Dan kalaupun itu terjadi, akan ada suara yang menentangnya. Ini, misalnya, terkait dengan peristiwa spesifik yang menjadi penyebab turunnya surat al-Ma’idah (5) ayat 41 yang dikutip Shihab dari satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui Ibn ‘Umar.
Dalam riwayat itu disebutkan sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi Muhammad untuk mengadu bahwa seorang lelaki dan perempuan dari mereka telah berbuat zina. Mereka lalu meminta nabi untuk memutuskan hukuman setimpal bagi keduanya.
Sebelum memutuskan hukuman, nabi bertanya terlebih dahulu kepada rombongan orang-orang Yahudi itu apa hukuman bagi penzina yang terdapat dalam Taurat. Mereka menjawab, “Kami permalukan dan kami cambuk”.
Abdullah ibn Sallam, salah seorang sahabat dan mantan pemuka Yahudi, yang hadir dalam peristiwa itu menyela dan berkata, “Kalian berbohong! Dalam Taurat ada hukum rajam. Bawalah Taurat dan buka lembaran-lembarannya.”
Salah seorang Yahudi yang terlihat membawa Taurat dengan sengaja menutupi ayat tentang hukum bagi penzina dalam Taurat dengan tangannya. Abdullah ibn Sallam yang melihat perangai orang itu lalu memintanya untuk mengangkat tangannya. Setelah itu, ditemukanlah ayat rajam bagi penzina itu. Hukum bagi penzina itu termaktub dalam Kitab Ulangan 22 ayat 22-24.
“Ayat-ayat itu masih terdapat dalam Taurat atau Perjanjian Lama sampai sekarang,” tulis Shihab di Tafsir al-Mishbah volume IV.
Ketiga, seperti yang tertulis dalam surah al-Baqarah ayat 27, Shihab berpendapat bahwa yang melakukan penyelewengan alkitab hanyalah segelintir dari komunitas Yahudi. Mereka adalah pemuka Yahudi yang menafsirkan alkitab dengan mengikuti hawa nafsu mereka. Para pemuka yang dijangkiti penyakit iri hati itu memaknai alkitab agar sesuai dengan kepentingan duniawi mereka.
Dari penjelasan 3 mufasir di atas, kiranya ayat Al-Quran yang berbicara tentang penyelewengan dalam alkitab (tahrif) tidak dapat ditafsirkan untuk menunjukkan Injil dan Taurat sebagai kitab suci yang penuh kebohongan dan menyesatkan.
Yang menyesatkan nampaknya justru adalah sikap para pemuka Islam yang sengaja menyuburkan kebencian dan melarang terbangunnya hubungan harmonis antara umat Islam dengan umat Yahudi dan Kristen.
Persamaan antara isi Al-Quran dengan Injil dan Taurat sangatlah besar. Bagi mereka yang percaya itu tentu bukan hal luar biasa, karena bukankah ketiganya memang datang dari Allah yang sama?
(Irwan Amrizal)
Sumber: madinaonline