“Bagaimana
bisa Muhammad tanpa ia sadari tahu tentang bangsa-bangsa yang telah ada
sebelumnya (yaitu bangsa-bangsa sebagaimana yang diceritakan dalam
Alkitab)? Bagaimana Muhammad tanpa ia sadari memberikan jawaban yang
orang-orang tanyakan kepadanya, dan jawabannya itu demikian tepat?”
Muslim
mengklaim bahwa Quran adalah mujizat terbesar dari seorang Nabi yang
buta huruf dan yang tidak memiliki informasi apapun mengenai
ajaran-ajaran Yudaisme dan Kekristenan, namun melalui pewahyuan Allah,
ia membuktikan bahwa ia adalah nabi yang dan pengajar yang terbesar
sepanjang masa!
Komunitas Yahudi-Nasrani akan mudah sekali membedakan
mana kisah dangkal hasil dengar-dengaran yang diperoleh Muhammad, dan mana kisah asli Injil yang ditandai dengan kedalaman teologis.
Pertama-tama, kita ingin mendudukkan obyektivitas dengan memperlihatkan betapa pengetahuan keagamaan dari Muhammad itu tidak dimulai dari nol sebelum beliau diberi wahyu. Hanya
para ahli Islam saja yang terlalu jauh berasumsi akan ke-ummi-an (buta
huruf) Muhammad, seolah-olah Nabi Islam itu sama sekali tidak tahu dan
tidak mendapatkan informasi apapun mengenai dunia luar; atau lebih
tepatnya mengenai cerita-cerita dan pesan-pesan yang ada di Alkitab.
Mereka
bertanya: “Bagaimana bisa Muhammad tanpa ia sadari tahu tentang
bangsa-bangsa yang telah ada sebelumnya (yaitu bangsa-bangsa sebagaimana
yang diceritakan dalam Alkitab)? Bagaimana Muhammad tanpa ia sadari
memberikan jawaban yang orang-orang tanyakan kepadanya, dan jawabannya
itu demikian tepat?”
Muslim
mengklaim bahwa Quran adalah mujizat terbesar dari seorang Nabi yang
buta huruf dan yang tidak memiliki informasi apapun mengenai
ajaran-ajaran Yudaisme dan Kekristenan, namun melalui pewahyuan Allah,
ia membuktikan bahwa ia adalah nabi yang dan pengajar yang terbesar
sepanjang masa!
Darimana Muhammad Dapatkan Orientasi-Nasrani?
Terlepas
dari slogan dan retorika yang ditiupkan pakar Islam, Muhammad sungguh
mempunyai segudang peluang dan kapasitas untuk belajar dan dengar-dengaran tentang ajaran moral dan kisah ajaib yang ia peroleh
khususnya dari sumber-sumber Yahudi, Nasrani, dan Persia. Kita tahu
bahwa komunitas Yahudi maupun Kristen telah ada di Arabia sebelum
Muhammad. Mereka sukses bekerja dalam perdagangan dan pertanian. Secara
historis, ajaran dan tradisi Yudeo-Kristiani telah banyak dikenal oleh
orang-orang Arab pada masa Muhammad. Dan ini tentu tak luput diserap
oleh Muhammad yang memang aktif dan penuh minat dalam mencari
nilai-nilai keagamaan, makna hidup secara mendalam, lewat perhatiannya
terhadap pelbagai bentuk kemerosotan moral dan spiritual
dilingkungannya. Itu sebabnya beliau tercatat sering melakukan meditasi
mengasingkan diri di gua Hira.
Perjalanan pertama kali dari si kecil
Muhammad 12 tahun, bersama dengan pamannya Abu Thalib ke Syam (Syria)
sudah bertemu dengan kalangan orang-orang Nasrani yang berada disana,
antara lain dengan Bahira, seorang rahib Kristen Syria. Diusianya
yang begitu dini, namun ia sudah mempunyai kecerdasan dan kebesaran
jiwa untuk siap menerima risalah yang menunggunya. Dan kelak dalam
perjalanan kabilah dagangnya ke Syria, beliau tak luput menangkap paham
kekristenan dan kisah nabi-nabi Yahudi yang telah luas diperbincangkan
di seluruh penjuru Asia Tengah dan Arabia.
Begitu pula dengan penerimaan monotheisme
yang dihasilkan dari kontak khusus, baik dengan karavan dagang Yahudi
dan Kristen ke Mekah dan seluruh semenanjung Arab, maupun dengan para
imigran yang sudah menetap disana. Kisah-kisah inspiratif tentang sosok
Yesus, mujizat dan ajaran-Nya telah bergaung menjadi breaking news
disana. Bahkan kisah ajaib seperti “kelahiran perawan Maria”,
kebangkitan orang mati dll telah dijadikan legenda dramatis. Muhammad
sendiri tahu, dan beliau pulalah yang telah mengistilahkan para otoritas
pengajaran itu sebagai Ahli-Kitab. Dan percakapan diantara orang-orang kafir Arab tentang isu kebangkitan setelah kematian, yang adalah bagian dari pemahaman Yudeo-Kristiani, tampak sudah didengar dan dipahami Muhammad sejak di Mekah seperti yang ter-rekam dalam Quran, lihat sendiri Qs. 27:67, 68.
67.
Berkatalah orang-orang yang kafir: "Apakah setelah kita menjadi tanah
dan (begitu pula) bapak-bapak kita; apakah sesungguhnya kita akan
dikeluarkan (dari kubur)?
68.
Sesungguhnya kami telah diberi ancaman dengan ini dan (juga)
bapak-bapak kami dahulu; ini tidak lain hanyalah dongengan-dongengan
orang dahulu kala."
Menurut Ibn Ishaq dalam bukunya The Life of Muhammad (Ibn. Ishaq, diterjemahkan oleh Guillaume) komunitas Kristiani
di Mekah (walau tidak terlalu banyak) dikenal sebagai tetangga yang
baik-baik, yang juga dilukiskan oleh para pagan Mekah sebagai “pekerja
ahli/tukang yang bersahabat”, sehingga proyek pembangunan kembali kuil
Ka’ba diserahkan kepada ahli-ahli tukang ini (p.84). Iklim yang
bersahabat telah memberikan peluang yang leluasa bagi Muhammad yang
rindu mencari dan menggeluti hal-hal rohani, dalam interaksinya dengan
kaum Nasrani. Pengaruh komunitas Nasrani diperlihatkan dengan adanya kawasan kuburan Nasrani disana.
Ibn Ishaq juga menuturkan adanya gambar-gambar Maria dan Yesus pada dinding Ka’ba.
Tatkala Muhammad membebaskan Mekah, beliau memerintahkan penghapusan
lambang-lambang berhala dari Ka’bah, namun secara hormat mengecualikan
penghapusan gambar gambar tersebut (p.552). Pada masa renovasi Ka’bah,
40 tahun sebelum kenabian Muhammad, orang-orang-pun telah menemukan
sebuah batu dengan inskripsi sbb: “Barangsiapa
yang menabur kebaikan akan menuai kebahagiaan. Barangsiapa yang menabur
kejahatan akan menuai kepedihan. Dapatkah engkau yang mengerjakan
kejahatan lalu diganjari dengan kebaikan? Tidak, sebagaimana buah anggur tidak dapat dihasilkan oleh semak berduri” (p.88). Jelas kalimat terakhir ini dipetik dari Injil Matius 7:16.
Pada
dasarnya Muhammad sangat dalam minatnya akan aspek kerohanian,
khususnya terhadap agama yang mempunyai Kitab-langit dan yang
monoteistis. Beliau adalah sosok yang tekun mencari Tuhan (hanif), walau
tidak mencarinya sampai kepada sumber asli Taurat dan Injil,
dikarenakan ke-ummiannya dan belum tersedianya kitab-kitab tersebut
dalam bahasa Arab. Namun tampak sekali beliau menggandrungi kisah
tentang sosok Isa yang dikaguminya, sehingga Muhammad mengakui dirinya
sangat kenal dengan Isa: “Saya yang lebih dekat dengan Isa anak Maryam didunia dan diakhirat.” (HSB.no.1501).
Jadi
amat bodoh bilamana kita mati-matian beranggapan bahwa dimasa-mudanya
yang aktif itu Muhammad sama-sekali tidak keluar mencari tahu hal-hal
yang bersifat ilmu keagamaan, sementara ia pulalah yang menyuruh orang
lain keluar untuk mencari ilmu sampai ke negeri Cina.
Sangat bodoh bila menganggap Muhammad buta samasekali akan pemahaman
Yudeo-Kristiani sementara orang orang kafirpun sempat tahu dari
dengar-dengaran mereka. Bukankah Allah memerintahkan yang tidak tahu
(termasuk Muhammad tentu) untuk bertanya kepada yang tahu: “Maka,
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” (Qs.16:43)
Setiap manusia yang gandrung akan agama – siapapun dia – akan mencari informasi tentangnya, dengan atau tanpa Jibril!
Apalagi kisah-kisah dramatis dan ajaib (bak seribu satu malam) yang
memang menjadi konsumsi favorit komunitas Arab pada masa-masa itu. Itu sebabnya sampai muncul isu sumbang yang direkam Quran dalam surat 16:103. Disitu, tercatat “tuduhan” bahwa sumber pembelajaran Muhammad hanyalah manusia belaka – yaitu dari dua orang Nasrani, Jubra dan Ysara,
seperti yang dituturkan oleh al-Badhawi. Menurut tradisi lain, Muhammad
biasanya berhenti dan mendengar kedua orang Kristen ini membacakan
kitab-kitab Musa (Taurat) dan Injil dengan suara keras (TP.Hughes, Dictonary of Islam, p.53). Bagaimanapun, sedikitnya ini turut memperlihatkan betapa nara sumber Nasrani ada disekeliling Muhammad. Dan karena input-input berharga ini diperoleh dari orang per orang – market place, the men in the street,
bukan institusi – secara oral, maka tentu banyak sekali varian-varian
kisah yang membingungkannya, sehingga mau tidak mau harus diolah dibenak
dan dihati sesuai dengan sistim keyakinannya sendiri. Ini menerangkan
betapa banyak ajaran dan nilai-nilai Judeo-kristiani yang diadopsinya
dalam Quran, sekaligus membuang bagian-bagain lainnya, dengan menuduhnya
sebagai “salah” atau “palsu”! J. Bryan mengungkapkan bagaimana kaitan
wahyu yang diterima Muhammad dengan hasil adopsi berbagai tradisi
Yudeo-Kristiani dan Persia:
“Muhammad
dalam tahun-tahun awal memiliki kesamaan dengan para pedagang Mekah,
akrab dengan ajaran adat yang melingkupi berbagai doktrin yang diajarkan
oleh para tokoh Ibrani, sebuah bangsa yang baik, dalam bentuk yang
tidak jelas dan membingungkan. Ia telah mempelajari sebagian hal ini
dalam kabilah dagangnya ke Suriah, dan dalam beberapa kunjungannya
ke-pertemuan-pertemuan syair... yang diadakan secara rutin di Okadh
(Ukaz) dan kota-kota lainnya, dimana masalah-masalah keagamaan
dibicarakan secara terbuka (Muhammad terkenal dalam pelbagai debat syair
-- linguistic warrior – model verbal-duel
diantara orang badui pra-Islam; semacam perang pantun dalam budaya
Melayu/ Minang, namun jauh lebih keras mengejek hingga mengutuk – pen.).
Ia mendapatkan pengetahuan yang lebih jelas dan dalam dari kaum Hanif,
sebuah lembaga kecil yang beranggotakan para pencari kebenaran, warga
Makkah, dan para pelajar tentang Judaisme dan Kristen yang tekun. Ia
karenanya terbina untuk menolak pemberhalaan dan menerima formula
monoteistik, La ilaha ill’Allah...
Banyak ayat-ayat Makkah didalam Quran ditasbihkan kepada kisah para
Nabi, diambil dari sumber-sumber Ibrani” (Jurnal ISLAMIA, vol.iii, no.1;
petikan dari J. Bryan, “Mohammed’s Controversy with Jews and Christians”).
Haekal sama melaporkan bahwa Muhammad sering menyaksikan ahli-ahli
pidato dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengutarakan keyakinan
mereka tentang Kitab-kitab Isa dan Musa, sekaligus mendobrak paganisme
Arab. Dan Muhammad melihat nilai-nilai ajaran ini lebih baik daripada
paganisme. Dikatakan pula: “Muhammad
...mendengarkan percakapan masyarakatnya tentang berhala-berhala, serta
apa pula yang dikatakan orang-orang Nasrani dan Yahudi tentang diri
mereka itu” (Sejarah Hidup Muhammad, p.57, 73).
Dilingkungan-internal keluarga besar Muhammad saja, telah memberikan segudang sumber informasi kekristenan yang tidak bisa dibantah. Kita kenal Waraqah bin Nawfal yang
Nasrani itu (sepupunya Siti Khadijah, isteri Muhammad) yang telah
menjadi nara sumber yang terpercaya bagi Khadijah dan menyusul Muhammad
untuk hal-hal kerohanian khususnya Injil yang begitu populer dimasanya.
Waraqah agaknya adalah pemimpin dari sebuah jemaat kristen yang kecil di
Mekah (house church).
Pengaruhnya atas pasangan ini tampak jelas ketika Waraqah tampil
memberkati pernikahan Muhammad dengan berkata: “Wahai penguasa Mekah,
aku ingin kalian bersaksi bahwa aku menyerahkan Khadijah kepada Muhammad
bin Abdullah dengan mahar 400 dirham emas. Semoga Allah membuat
pernikahan mereka berdua bahagia” (Sayid A Razwy, Sejarah Khadijah
al-Kubra, p.45.)
Periwayatan yang lain mengatakan maharnya berupa 20 ekor unta). Waraqah
pula yang didatangi Muhammad bersama Khadijah untuk meminta petunjuk
tentang pengalaman ghaibnya digua
Hira. Sebelumnya Khadijah juga berkonsultasi kepada beberapa rahib
kristen untuk hal yang sama, termasuk Addas (Ibn.Kathir, As-Sirah
an-Nabawiyah, I/ 408-409). Lingkaran “mentor kristiani” ini telah
menjadi sumber informasi kekristenan yang tidak kecil bagi Muhammad atau via Khadijah.
Ibn. Ishaq juga menyebutkan sepupu Khadijah yang lain, seorang Kristen yang juga disebut sebagai “Hanif” yang monoteist, Uthman bin Huwayrith.
Tukang rambut dari Khadijah juga seorang Kristen dari Ethiopia. Kita
juga tahu kehadiran anak angkat kesayangan Muhammad sendiri, Zaid ibnu Haritha,
yang akhirnya diberi nama Zaid bin Muhammad. Sebelumnya ia adalah budak
dari Khadijah yang diberikan kepada Muhammad sebagai hadiah berharga.
Ia adalah Nasrani dari suku Banu Kalb di Syria, yang turut menyumbang
pembelajaran kekristenan kepada Muhammad. Jadi apa yang dilakukan oleh
Muhammad sepanjang 15 tahun sesudah menikahi Khadijah hingga panggilan
kenabiannya? Tidakkah beliau juga mempelajari ajaran-ajaran monoteistis
dari agama langit?
Setelah
Khadijah meninggal, Muhammad mendapatkan informasi dari para isteri dan
gundik yang dikawininya secara poligamis, semisal Raihana (isteri ke-7) dan Safiyya (isteri ke-9) adalah orang-orang Yahudi, sementara satu gundik favorit Muhammad, Maria, adalah Kristen Koptic. Demikian juga dengan mengawini isteri ke-10, Umm Habiba
(putri Abu Sufyan, dan jandanya Ubaid Allah yang adalah seorang Kristen
yang bertobat dari Islam), Muhammad dipastikan mendapat banyak
informasi tentang motivasi dan ajaran Kristen dibalik pemurtadan
ex-suaminya. Keseluruhan keluarga besar intern Muhammad jelas telah
menyumbang sederetan pengetahuan “agama-langit” – benar atau salah --
kepada Muhammad, khususnya tentang kisah-kisah dramatis Alkitab (yang
memang sudah pop), serta cerita-cerita profetik, dan sedikit ajaran yang
terambil dari Perjanjian Lama (yang dianggapnya Taurat Musa) dan
Perjanjian Baru (yang dianggapnya Injil Isa).
Semuanya praktis berasal dari nara sumber orang perorang
Yahudi-Nasrani. Namun sedikit Muslim yang sadar bahwa Quran juga
mencatat adanya satu sumber informasi yang diperoleh Muhammad secara
lebih “institutional”,
lalu diturunkan sebagai ayat-ayat Allah setelah di-interaksi dan
dikompromikan dalam batas-batas sistim kepercayaan Muhammad, lihat
Qs.3:33-64. Itulah ayat-ayat sensitif (khususnya tentang kristologi)
yang diperdebatkan antara Muhammad dengan delegasi resmi 60 tokoh/
pendeta Kristen dari Wadi Najran yang diketuai oleh Uskup Abu Haritha bin Alqama,
SOLI DEO GLORIA
www.alfa-ome.ga
http://p.pw/bajnP2
http://p.pw/bajnP2