Jumat, 24 Agustus 2012

Kebebasan beragama dan preman berjubah_GKI Yasmin

oleh TL Elisa pada 30 Juni 2012 pukul 0:41 ·


Sedikitnya 16 undang-undang tempat ibadah Kristiani yang disegel oleh Tim Terpadu Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Singkil sejak Selasa 1 Mei 2012 lalu. Polemik penyegelan rumah ibadah umat Kristiani di Kabupaten Aceh Singkil pun menyisakan tanda tanya.

Kasus di atas sebenarnya hanya merupakan sebagian kecil dari rentetan pelanggaran terhadap kebebasan beribadah dan beragama yang di daerah lain bentuknya bisa bervariasi mulai dari penutupan, penyegelan, intimidasi, pembubaran secara paksa kegiatan umat beragama tertentu. Sebut saja diantaranya yang menimpa umat Ahmadyah, HKBP Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi. Kasus tersebut masih yang tercatat dan mencuat lewat media massa, bagaimana dengan kasus serupa yang masih luput dari perhatian karena keterbatasan teknis maupun tindakan massif namun "ditutupi" oleh penguasa. Tentu angkanya akan semakin mencengangkan.

Indonesia telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang semakin mempertegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian dari HAM yang berlaku secara umum?. Bahkan, negara sebenarnya telah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Kenyataannya, pemerintah juga gagal menangani berbagai peraturan nasional maupun daerah (perda) yang jelas-jelas diskriminatif seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 09 Tahun 2006, No 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah ibadat, Peraturan perundang-undangan tersebut selain sangat mengekang dan membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, juga turut menyulut tindakan sepihak ormas atau kelompok agama lain terhadap kelompok lain.

Bagimu Agamamu, Bagiku Agamaku & Umat Muslim Mengingkari pedomannya
Kita tentu tidak asing lagi dengan ungkapan “Lakum dinukum wa liyadin”, yang artinya, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” (Surat Al Kafirun, ayat ke-6).  Ungkapan ini sering dilontarkan oleh rekan-rekan Muslim untuk menggambarkan toleransi ajaran Islam terhadap ajaran-ajaran lain yang ada pada saat diturunkannya Al Quran, utamanya Kristen/Nasrani dan Yahudi.  Selain mereka yang termasuk dalam golongan Islam liberal, pihak-pihak yang mendukung pemberlakuan syariat Islam pun seringkali mengutip ungkapan tersebut untuk menyatakan bahwa dalam Islam tidak ada paksaan bagi non-Muslim untuk beribadah sesuai kepercayaan masing-masing karena agama adalah urusan pribadi antara seorang individual dengan Tuhannya.  Namun benarkah demikian?
FAKTA!... Dengan keputusan kemenangan dari MA, seharusnya jemaat GKI Yasmin sudah berhak atas gedung gereja mereka. Dan seharusnya mereka sudah bebas melakukan kegiatan keagamaan di gedung itu,,TAPI... Kelihatan umat Muslim bukan hanya tidak menghargai keputusan dari lembaga hukum tertinggi. Tetapi mereka juga melanggar ajaran mereka sendiri, yaituagamamu untuk mu”.
Penolakan umat Muslim atas keputusan MA dan tetap menolak jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di bangunan mereka sendiri, membuktikan bahwa sebagian dari umat Muslim tidak dapat menghargai perbedaan.

"Kenyataannya, di negara Islam manapun di seluruh dunia, hak gerak non-Muslim senantiasa dibatasi.  Tidak satu pun negara berazaskan Islam yang memberikan hak dan kedudukan yang sama antara Muslim dan non-Muslim."

Ijin Sudah Ada Tetapi Beribadah Tetap Dilarang
dalam UUD 45 Pasal 29 ayat 2.“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Tentu kebebasan ini mencakup setiap hal yang dilakukan dan berhubungan dengan keagamaan. Juga dengan sarana beribadah.
Namun sepertinya apa yang sudah menjadi kesepakatan dan aturan yang telah ditetapkan oleh negara dan agama tidak berlaku bagi jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin. Sebab, jemaat GKI Yasmin belum dapat beribadah di gereja mereka sendiri walaupun Mahkamah Agung (MA) telah memenangkan GKI Yasmin di pengadilan.

Indonesia Bukan Negara Islam
Harus selalu ditegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia adalah negara Pancasila. Sekarang ada semacam ketegangan, apakah Indonesia negara Pancasila ataukah negara Syariah? Tidak mudah mengurai hal ini. Ini lalu menjadi diskusi yang tidak habis-habisnya, yang sesungguhnya sudah dimulai pada saat-saat pertama proklamasi kemerdekaan. Kita masih ingat akan peristiwa “7 patah kata” yang sampai sekarang belum tuntas diselesaikan. Organisasi-organisasi Islam terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah telah menegaskan, bahwa Indonesia adalah Negara Pancasila yang di dalamnya kemajemukan diterima.
Tetapi pertanyaannya adalah, apakah persepsi kita sama? Sebagai organisasi Islam, tentu saja mereka berhak untuk menfasirkan Pancasila di dalam kerangka nilai-nilai Islam. Demikian juga Kristen. Namun kita mesti menemukan semacam modus vivendi, yang di dalamnya kita semua memperoleh kepastian-kepastian. Satu hal jelas, menurut saya, yaitu bahwa Pancasila adalah “rumah bersama”, yang di dalamnya kita semua, apapun agama dan suku kita diam secara bersama. Maka rumah itu tidak boleh dirubuhkan. Dengana kata-kata lain, nilai-nilai agama yang bersifat universal itu senantiasa difahami di dalam kerangka (frame) Pancasila. Sebaliknya juga benar, bahwa di dalam Pancasila ditemukan nilai-nilai universal yang kita hayati dari agama-agama

Bagaimana Dengan Syariah?
Secara harfiah, “syariah” berarti “jalan”. Sama maknanya dengan “Torah” di dalam Perjanjian Lama.
Dalam pengertian ini tidak ada keberatan bagi yang menjalankannya. Dalam sebuah percakapan dengan Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla, beliau menegaskan bahwa sebagai orang Islam ia wajib melaksanakan syariah, sama halnya dengan seorang Kristen yang juga wajib melaksanakan tuntutan-tuntutan agamanya. Sampai di situ, menurut saya tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah, bahwa syariah (atau apapaun namanya) yang mestinya merupakan kewajiban spesifik bagi penganut suatu agama lalu dipromosikan menjadi ketentuan yang berlaku umum. Bagi yang tidak termasuk dalam agama tersebut, tentu ia merasa asing atau diasingkan. Pada pihak lain, tentu saja ada nilai-nilai universal yang terkandung di dalam syariah, yang bisa saja diterima. Misalnya saja nilai keadilan sosial, tentu ada pada setiap agama. Tetapi nilai itupun sudah ditanmpung di dalam UU yang tidak secara spesifik bernuansa syariah. Mungkin oleh adanya pemahaman seperti itu, maka ada yang menawarkan apa yang disebut “syariah substantif”, artinya bahwa secara substansial nilai-nilai itu terdapat di dalam syariah. Yang menjadi persoalan adalah apabila syariah hanya diartikan secara simbolik dan lahiriah. Kencenderungan yang ada sekarang dengan perda-perda misalnya bahwa terlampau banyak hal-hal simbolis yang ditonjolkan sehingga tidak menolong bagi adanya sebuah integrasi sosial.

Preman berjubah
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, maraknya pembubaran kegiatan keagamaan oleh ormas tertentu dengan dukungan aparat kepolisian akhir-akhir ini membuktikan bahwa pemerintah melalaikan kewajiban melindungi hak dasar warga dalam beribadah dan berpendapat. "Kebebasan dalam menjalankan ibadah dan berpendapat sudah tertuang dalam konstitusi negara sehingga pemerintah punya kewajiban melindunginya," kata anggota Subkomisi Mediasi Komnas HAM, Ridha Saleh, saat dihubungi Minggu 6 Mei 2012
Dengan keputusan kemenangan dari MA, seharusnya jemaat GKI Yasmin sudah berhak atas gedung gereja mereka. Dan seharusnya mereka sudah bebas melakukan kegiatan keagamaan di gedung itu.

Negeri ini semakin dikuasai oleh segerombolan preman berjubah. Organisasi massa yang berkedok agama mayoritas di Indonesia semakin lama semakin meresahkan masyarakat. Kepolisian Republik Indonesia yang seharusnya menjadi lembaga ‘resmi’ penegak hukum dan pelindung masyarakat malah menjadi impoten dan tiarap ketakutan menghadapi Gerombolan ini. Tidak ada satupun institusi pemerintah negeri ini yang berani menghadapi Gerombolan. Dari kepala negara sampai aparat kelurahan semuanya gemetar ketakutan.

Dalam waktu singkat, sepak terjang Gerombolan Preman Berjubah ini makin ‘bersinar’. Belum lama ini aksi penghentian acara diskusi buku pengarang Irshad Manji dan juga intimidasi mereka kepada Kepolisian Republik Indonesia dengan sukses melambungkan dan menguatkan nama Indonesia di mata dunia bahwa negeri ini dikuasai oleh Gerombolan Preman Berjubah.


Ancaman Preman Berjubah Menggilas Demokrasi
Rabu, 9 Mei 2012 malam, massa Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) sekitar 150-an orang menyerang masuk ke area pendopo LKIS (Lembaga Kajian Ilmu Sosial) di kawasan Sorowajan, Bantul, untuk membubarkan paksa diskusi Irshad Manji, pengarang buku Allah: Liberty and Love. Irshad Manji juga menjadi Direktur Moral Courage Project, Universitas New York.
Dalam kejadian penyerangan dan kekerasan yang dilakukan oleh MMI, kinerja, fungsi dan tugas kepolisian selalu terlambat, dan abainya polisi dalam beberapa kasus kekerasan oleh kelompok intoleran yang berulang kali terjadi.

Jurnalis dan pemerhati Islam asal Kanada Irshad Manji heran melihat perubahan toleransi di Indonesia. Dia menilai polisi dan pemerintah tunduk kepada para preman.
Pernyataan itu dia sampaikan usai diskusinya di Pendopo Lembaga Kajian Islam dan Sosial di Banguntapan, Yogyakarta, tadi malam dibubarkan. Dalam pernyataan pers yang diterima merdeka.com, Kamis (10/5), dia menyesalkan kondisi Indonesia berubah dibanding empat tahun lalu. "Empat tahun lalu, saya datang ke Indonesia dan merasakan sebuah negara penuh toleransi. Namun sekarang banyak hal berubah. Preman berjubah agama menyerang peserta diskusi sampai luka," ujar Irshad.

"Tapi tidak demikian dengan para kriminal yang menyembunyikan wajah mereka di balik masker dan helm, sambil memukuli orang-orang tak bersalah dan melakukan perusakan. Mereka adalah pengecut."

NB: kalau boleh saya memodifikasi sebuah hadits Nabi, saya akan katakan, "Sungguh, tidak akan pernah bahagia sebuah bangsa yang menyerahkan segala urusannya kepada ulama kompor (preman berjubah)". Lan yufliha qawmun wallaw amrahum ulamâ` al-su`. WAllahu Aalam……

Cari artikel Blog Ini

copy right