Kesaksian Oleh: (Pendeta Asal Aceh, Muhamad Husein)
Dibenaknya tidak pernah terpikir sedikitpun untuk pindah agama. Tapi rencana Tuhan lain. Di usianya yang tiga tahun, pria kelahiran Sigli, Aceh Pidie, 14 Agustus 1951 ini ikut ayahnya yang militer pindah tugas ke Medan. Ayahnya mempunyai 4 istri. "ibu kandung saya meninggal waktu saya masih kecil.
"Saya menyelesaikan studi saya sampai menjadi calon uztad," tutur Pdt. Muhamad Husein Hosea. Di Medan ia ikut organisasi yang kala itu ingin membentuk Aceh Merdeka. "Kami memerangi orang Kristen dan Batak. Saat itu saya menjabat sebagai Sekjen. Tujuan kami membentuk RI jadi negara Islam. Dimasa itu saya juga masuk anggota Komando Jihad," tuturnya.
Tahun 1967, katanya, mereka merusak sejumlah gereja di Aceh sehingga tinggal dua gereja. Itupun karena kedua gereja tersebut berada di lingkungan Angkatan Laut. Aksi itu berlanjut ke Sumatera Utara. "salah satu aksi kami adalah membom Gereja Methodist Indonesia di Medan tahun 1971" jelasnya.
::Membunuh Pendeta
Pada akhir 1972, ia diperintahkan membunuh pendeta HKBP Teladan, Medan. "Selama empat minggu berturut turut, saya bersama teman teman saya mempelajari tentang pendeta itu. Sehari sebelum hari H, gereja itu kami tebari kotoran manusia" ucapnya. Pada hari H dengan bersenjatakan Golok dan rencong, mereka sudah berada di Gereja itu sejak pagi hari.
"Sampai jam 11.00 siang, pendeta yang kami incar tak kunjung datang". Paparnya. Tapi hal itu tidak menyurutkan keinginan mereka. "Setelah letih menunggu diluar, saya bersama teman menunggu di dalam gereja. Yang sebagian lagi diluar mengawasi situasi. Kami duduk dikursi paling belakang. Kami mengikuti ibadah tersebut dengan hati yang panas" lanjutnya.
Saat sang pendeta tengah berkhotbah tentang Adam dan Hawa, ia lalu mencoba membandingkan isi khotbah itu dengan agamanya. "Tiada bedanya," kilahnya. Entah mengapa saat itu ia tampak begitu menyimak khotbah tersebut. Ternyata dalam acara itu juga dilaksanakan ibadah pemberkatan nikah
"Ketika itu pendeta berkata bahwa barangsiapa yang telah disatukan Allah, tidak bisa dipisahkan oleh manusia. Lantas saya berpikir kalau di agama saya bisa seorang suami beristri lebih dari satu asalkan berlaku adil. Dan seorang suami juga bisa menceraikan istri mulai dari talak satu sampai pasak (membatalkan)" kisahnya.
Seketika itu juga teringatlah ia pada orang tuanya. Saya begitu sedih tentang hal ini. "Ayah saya beristri empat"cetusnya. Terjadilah perbandingan dalam pikirannya. Pergumulan kian hebat. Ribuan pertanyaan terlontar. Mungkinkah seorang suami berlaku adil dengan dua atau tiga istri? Dimana letak keadilannya? Pertanyaan itu terlintas di benaknya.
Akhirnya sampailah ia pada suatu kesimpulan bahwa agamanya telah tidak berlaku adil. "Bagaimana mungkin seorang suami berlaku adil dengan istri yang lebih dari satu?" batinnya. Khotkah pendeta itu ternyata berdampak besar terhadap dirinya. "Akhirnya saya mengurungkan niat membunuh. Teman-teman saya keheranan saat saya ajak pulang. Mereka bertanya tanya, ada setan apa yang membuat saya berubah drastis. Tidak lagi bernafsu membunuh, malah membatalkan rencana yang sudah rapi tandasnya.
Pada tahun 1973, ia mengikuti MTQ tingkat peropinsi di Medan. Hari-hari yang dilaluinya tidak lepas dari khotbah yang diucapkan pendeta tadi. "Saya bertanya dalam hati apakah maksud semuanya ini" ungkapnya. Seusai MTQ ia baru sadar bahwa apa yang selama ini dialami merupakan panggilan Tuhan. Ia memutuskan untuk mencari kantor penginjilan dan menyerahkan diri bagi Kristus. Awalnya ia tidak tahu kemana. Tapi seingatnya ada kantor orang Kristen di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Dengan uang secukupnya dan bermodal tekad bulat berangkatlahia ke kota itu. Di Siantar ia bertemu dengan Pdt. Panjaitan yang saat itu menjabat direktur Zending HKBP.
Setelah menceritakan kisah hidupnya ternyata ia tidak langsung diterima. Pasalnya ia adalah seorang yang tengah dipersiapkan menjadi seorang ustad. Latar belakang keluarganya yang fanatik dijadikan alasan untuk menolaknya. "Tidak baik seorang calon ustad pindah agama, demikian kira kira ucapan Panjaitan. "Tapi saya sudah bertekad menjadi Kristen. Bukan karena paksaan, semuanya murni keinginan saya" tuturnya.
Akhirnya oleh seorang pengurus sebuah Panti Asuhan ia dikirim ke Dinas Sosial. "Disana saya dibina selama enam bulan. Dari situ saya dibawa ke Tarutung. Saya belajar selama satu tahun setelah itu saya baru masuk STT. Saya dikirim ke STT Duta Wacana Yogjakarta. Saya dibaptis tahun 1975 di Sipoholon, Tapanuli Utara" ujar suami tercinta Enny Simamora ini.
::Disiksa di Penjara::
Setelah meyelesaikan studi dan menyandang predikat hamba Tuhan, ia menginjil dikota kelahirannya. Mengetahui hal itu, orang tuanya yang dari awal sudah menentang kepindahannya langsung menyebarkan isu isu menyesatkan pada masyarakat setempat.
Ia dituduh mengkristenkan orang Aceh secara paksa. Orang tuanya juga melaporkannya kepada Polisi Pangkalan Susu dengan tuduhan melakukan Kristenisasi. Ia langsung dijebloskan ke penjara dan mendekam selama enam bulan.
Di penjara, ia dihajar, dipukul bahkan diperlakukan tidak seperti manusia. "Di penjara yang berukuran sempit, saya hanya mengenakan pakaian dalam. Saya tidur berdiri" ujarnya. Keluarganya secara terang-terangan menyuap polisi agar memperlakukannya secara sadis. Sementara ia menjalani masa hukuman, keluarganya sudah menyusun rencana menghabisinya. "Saya pasrah. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa dan berdoa. Saya percaya bahwa Allah yang saya sembah adalah Allah yang sanggup menolong saya. Saya berdoa sampai menangis. Ternyata doa saya dijawab Tuhan," kenangnya. Melalui memo dari Kapolda Sumut saat itu akhirnya ia dibebaskan. "Bagi saya itu suatu mujizat," tutur ayah Ranto Rosnawati, Sondang Nur Cahaya, Daniel Kariadi dan Cut Rachel ini.
Jeruji besi ternyata tidak mampu memadamkan semangatnya untuk melayani. Ini terbukti sekeluarnya dari penjara, ia bersama keluarganya memutuskan pergi ke Lhokseumawe. Selain menginjil, ia juga ingin bertemu dengan keluarganya, walaupun keluarganya masih antipati, tapi ia tidak menyimpan dendam.
Justru ia ingin membuktikan bahwa agana yang dianutnya mengajarnya untuk mengasihi sesama bagaimanapun pahitnya kehidupan. Ketika ayahnya meninggal tahun 1982, ia tidak diizinkan untuk melihat jasadnya. "Haram hukumnya," ujar mereka menghalang halanginya. Ia hanya diizinkan melihat dari balik jeruji besi mobil tahanan. Ironis sekali.
"Saat saya menetap di Lhokseumawe, banyak orang Aceh mengenal Tuhan. Setelah sekian lama belajar firman Tuhan pada tanggal 12 Desember 1991 saya membaptiskan enam orang Aceh," kisah anak ke dua dari sembilan bersaudara pasangan Alm, H. Muhammad Yusuf dan Cut Manyen ini.
Malamnya , rumahnya didatangi massa yang jumlahnya ratusan. "Dalam waktu sekejap rumah saya habis dilalap api. Harta benda kami habis dijarah," ungkapnya. Tapi, lanjutnya lagi lagi mujizat Tuhan terjadi. Meski rumah kami habis, tapi tidak ada satupun dari kami yang lecet sedikitpun.
"Saya masuk penjara lagi selama empat bulan" kisahnya. Ia dituduh telah menghianati agama terdahulunya. Hukuman yang diterimanya adalah rajam (dipukul dengan rotan) sebanyak 1000 kali. Ada dua pilihan yang diberikan padanya. Dirajam atau pindah kembali ke agama asalnya. "Ketika itu saya diiming imingi berbagai fasilitas mewah jika pindah agama. Di pengadilan yang dihadiri oleh Pemda, Muspida dan keluarga saya, ditanya apa keputusan saya. Tapi saya tetap memutuskan untuk menjadi pengikut Kristus. Segala harta benda itu fana, tapi Kristus abadi," jelasnya.
Soal teror, sampai saat inipun masih membayanginya. "kepala saya dihargai mereka lima juta" ujarnya. Kini Husein Hosea melayani di Tangerang. Ia juga kerap diminta bersaksi di berbagai tempat.
Saya ingin kelak anak saya mengikuti jejak saya memberitakan kabar baik.