KESAKSIAN NUR EMMAH DARI
PAMEKASAN
Sebuah kisah sejati yang sangat
dahsyat dan menyentuh hati.
Bagaimana
Nuremmah harus melindungi dan menjaga keluarganya dari teror dan
ancaman pembunuhan, setelah ia memutuskan mengikut jalan Kristus.
Apalagi ia bersuamikan Tionghoa dan keluarganya pemeluk agama yang kuat.
Tetapi wanita Madura kelahiran Madura 1 Desember 1965 ini tak pernah
menyerah, baginya satu-satunya Juruselamat cuma Yesus. Seperti
dituturkan jemaat GBIS Bunga Bakung Pamekasan ini kepada GLORIA.
Saya
lahir dari sebuah keluarga Madura yang taat menjalankan perintah agama.
Doktrin yang saya terima dari bapak begitu jelas. Saya boleh menikah
dengan siapa saja, apapun rasnya, asal yang bersangkutan seiman dengan
saya. Maka ketika hati saya tertambat pada seorang pria Tionghoa yang
berbeda agama dengan saya, tiba-tiba saja sebuah masalah besar
menghadang di depan mata. Apalagi sebagai wanita yang masih sangat muda
waktu itu, saya lebih menuruti kata hati dan perasaan. Ya, perasaan yang
tengah tumbuh subur oleh cinta. Sebenarnya sebagai anak yang berbakti,
saya tak hendak menentang kehendak orangtua. Tapi yang satu ini,
dorongan hatiku agaknya lebih kuat dari berbagai larangan maupun resiko
paling buruk yang mesti kuhadapi. Maka
mesti ditentang disana-sini, kadang juga diancam, aku pantang mundur
untuk memadu cinta dengannya.
Tetapi
kekangan dan tekanan keluarga rupanya jauh lebih kuat. Keinginan orang
tua kami cuma satu: kalau aku hendak menikah dengan pacarku, maka dia
yang tidak seiman dengan kami mesti memeluk kepercayaan yang kami anut.
Mungkin demi kasihnya yang begitu besar kepadaku, dia pacarku, akhirnya
menuruti kemauan orang tuaku. Begitulah, setelah semua persyaratan yang
diajukan bapak dipenuhi, kamipun menikah pada 27 Juli 1985, tepat pada
hari ulang tahun pacar saya. Tak lama kemudian buah hati pertama kami
lahir, kami beri nama Nova. Ia cantik dan pintar.
Lalu menyusul adiknya, Agnes. Nah saat Agnes berusia 2
tahun, tepatnya pada 1989, saya mengalami mimpi aneh. Dalam mimpi itu seakan-akan saya
berada di padang pasir yang tandus dan panas. Rasa haus menyiksa
kerongkongan. Sepi,
tak seorangpun ada di sana. Jeritan minta tolong seperti lenyap disapu
angin padang pasir. Tiba-tiba dalam mimpi itu, saya seperti melihat
kilat. Bersamaan dengan itu muncul sesosok laki-laki berambut panjang
dan berjubah. Di bagian belakang jubahnya terlihat warna biru langit
yang segar. Sayapun melambaikan tangan kearahnya, berharap pertolongan.
Mendadak orang itu berkata, "Saat
ini kamu sedang diambang kematian. Jika ingin selamat, kamu harus
percaya kepada-Ku. Karena jalan keselamatan, hanya ada didalam-Ku.
Akulah Tuhanmu. Apakah kamu masih belum percaya? Akulah jalan kebenaran
hidup. Barangsiapa percaya kepadaKu, maka ia akan selamat. Ikutlah
padaKu ..!"
Saya
kontan terbangun. Anehnya keadaan kamar saya waktu itu ikut terang
benderang. Padahal lampu penerangan di kamar saya hanya 15 watt. Saya
jadi tercenung, mengenangkan semua mimpi yang baru terjadi. Saya ingat
dengan jelas wajah laki-laki berjubah yang menemui saya di dalam mimpi
itu.
Ah,
benar! Wajahnya itu kerap dibawa suami saya dari Surabaya, enam tahun
silam. Ketika itu suami saya membawa gambar Yesus dan sebuah Alkitab.
Melihat semua itu emosi saya jadi terbakar, gambar Yesus saya
injak-injak dan saya sobek. Dengan penuh kemarahan saya berkata kepada
suami saya, "Saat ini juga kita cerai....!"
Mungkin takut atau tak ingin ribut-ribut, sejak itu suami saya tak
pernah lagi membawa gambar Yesus ke rumah.
Demikian
pula dengan Alkitab, saya tak pernah melihatnya untuk yang kedua kali.
Kendati begitu mimpi di padang pasir terus mengusik pikiran saya. Sampai
kira-kira sebulan kemudian, saya bertengkar hebat dengan suami. Jujur
mesti saya akui kalau suami saya sangat baik dan sabar. Jika terjadi pertengkaran di antara
kami, ia memilih mengalah atau menghindar. Saya sendiri aduh .....
acapkali kesetanan.
Dengan
kedua tangan saya mencekiknya. Sesudah itu saya berendam di kamar mandi
hingga berjam-jam. Begitu juga yang terjadi malam itu, usai bertengkar
dengan suami, saya langsung masuk ke kamar mandi dan menguncinya dari
dalam. Takut terjadi sesuatu dengan saya, suami mencoba menggedor-gedor
pintu. "Kalau kamu marah, jangan begitu. Itu
namanya menyiksa diri. Lebih baik kau pukul saja aku .... biar lega",
bujuk suami saya.
Mendengar
kata-katanya yang begitu sejuk, kemarahan saya akhirnya mencair.
Tiba-tiba muncul perasaan iba kepadanya. Keluar dari kamar mandi, saya
langsung membaringkan tubuh ke atas tempat tidur. Malam itu suhu tubuh
saya meninggi dan mendekati tengah malam saya mengalami kejang-kejang.
Suami saya kebingungan melihat kondisi saya. Dipanggilnya seluruh
keluarga, termasuk tante-tante saya. Lalu dibacakan doa-doa untuk saya.
Tapi keadaan saya makin memburuk. Perut saya mengeras, dan bibir saya
terlihat biru. Samar-samar terdengar suami saya berkata, "Ma,
kami semua mencintai mama. Aku dan juga anak-anak, sangat sayang pada
mama. Apakah mama tidak ingin sembuh, tidak ingin hidup dan mendampingi
kami lagi? Tolong ma, bertahanlah. Cobalah mama
mengumpulkan semangat. Sebutlah nama Yesus!"
Saat
itu saya merasakan segalanya hampir berakhir. Tapi hati kecil saya
belum rela meninggalkan anak-anak dan suami. Dan dalam himpitan
demikian, sayapun menyebut nama yang disarankan suami saya. Yesus!
Bahkan dengan cara berdoa semampu saya, saya minta tolong Yesus untuk
disembuhkan. Lalu perlahan-lahan saya merasakan seluruh syaraf saya
mengendur. Saya tidak tegang lagi. Saya bisa melihat dengan sempurna.
Saya melihat suami saya tersenyum dan memanggil saya.
Sebuah panggilan yang lembut dan mesra. Kendati
begitu saya belum juga mau bertobat. Dan malamnya, saya bermimpi lagi. Dalam
mimpi itu seolah-olah saya hendak tenggelam di laut. Lalu tiba-tiba
muncul sesosok wajah seperti dalam mimpi yang dulu. Wajah Yesus. "Kamu masih belum percaya kepada-Ku? Akulah Tuhanmu,
Akulah jalan, kebenaran dan hidup", katanya. Sayapun mengangguk.
Lalu
saya diangkat-Nya. Keesokan harinya saya mulai membuka Alkitab yang
disembunyikan suami saya. Ketika pertama membuka, saya temukan bunyi
kalimat : "Akulah Tuhanmu. Akulah jalan,
kebenaran dan hidup".
Pembaca yang seiman, meski dengan sembunyi-sembunyi saya tahu kalau
selama ini suami saya ternyata masih rajin ke gereja. Agar kepergiannya
tidak saya ketahui, biasanya ia ke gereja dengan menyamar, hanya
mengenakan sandal jepit, kaus oblong dan Alkitab kecil diselipkan di
dalam saku.
Agaknya ia takut
ketahuan keluarga saya. Mula-mula saya kerap berkata Alkitab itu najis. Tapi waktu itu saya buka, saya
mendapat firman itu lagi. Saya bilang, "Ya
Tuhan, kok saya memperoleh ayat itu lagi?".
Saya tutup Alkitab itu dan besoknya saya buka kembali. Namun lagi-lagi
ayat itu yang saya temukan. Saya sampai berpikir waktu itu, "Kok ayatnya ini semua? Apa tidak ada bacaan lain?"
Padahal Alkitab Perjanjian Baru itu tebal. Saya jadi penasaran, dan
akhirnya mulai membukanya dari yang pertama.
Sejak
saat itu saya jadi tekun mendalami Alkitab. Tapi gengsi saya masih
menggunung. Malu diketahui suami, semua itu saya lakukan dengan
sembunyi-sembunyi. Saya mulai membanding-bandingkan mana ajaran yang
paling benar. Saya bahkan pernah baca dua kitab suci sekaligus dan
mencoba membandingkannya. Roh Tuhan rupanya bekerja dalam jiwa saya.
Setelah sadar bahwa Alkitab merupakan kebenaran Firman Allah, maka saya
mencoba berkata kepada-Nya: "Tuhan,
saatnya saya bertobat dan berlutut di hadapan Engkau". Ya, sejak
itu Tuhan mulai berkarya dalam hidup saya. Saya berani bilang pada
suami, "Kamu boleh ke gereja,
tapi pakai sandal jepit dan jangan sampai kelihatan tetangga".
Tetapi seperti pepatah "Sepandai-pandainya
tupai melompat akhirnya jatuh juga",
begitulah yang terjadi pada kami. Aktifitas kami berdua ke gereja
akhirnya ketahuan juga. Sejak itulah keluarga kami mulai mengalami masa
penganiayaan. Tiga tahun kami mengalami pergulatan yang menyesakkan.
Bahkan dua anak saya, pernah diancam akan dimasukkan ke sumur. Setiap
pagi saat saya membuka toko, di depan toko saya temukan banyak kotoran
manusia terserak dimana-mana. Bahkan di atas kotoran itu pernah
ditancapkan sebuah salib dan diberi komentar "Lihatlah Tuhanmu lagi
tidur". Atau "Seperti inilah Tuhanmu".
Polisi
agaknya melihat kami sedang diteror dan diancam, karena itu mereka
mulai menjaga toko kami. Kami sendiri sudah pasrah, dan hanya
menggantungkan semua perkara kepada Tuhan. Puncaknya rumah kami pernah
dikepung dan hendak dibakar massa. Akan halnya bapak, beliau yang begitu
benci kepada saya pernah mengizinkan orang-orang untuk menghabisi kami
semua. Begitu juga dengan tante-tante, mereka bahkan pernah bilang pada
bapak, "Lebih baik nggak punya anak dari pada
kamu punya anak menjadi kafir". Yang lebih tragis, sejak itu
toko saya menjadi sepi. Paling banyak saya hanya mendapat pemasukan Rp. 2
ribu sehari.
Ketika
anak ketiga kami lahir, ia tak pernah merasakan bermain dengan
anak-anak sebayanya di kampung. Mereka ditolak masuk kampung. Bukan itu
saja, anak-anak juga dicemooh, dikatakan , "Kristen
...Kristen".
Sudah tak terhitung paha anak saya disulut rokok. Atau rambutnya
dipangkas tak beraturan. Sejak itu saya melarang anak-anak keluar rumah.
Ajaibnya, meski keluarga kami mengalami tekanan yang begitu dahsyat,
ternyata diam-diam adik saya mengikuti jejak kami. Prosesnya nyaris
sama, yakni setelah ia diselamatkan Tuhan dari sakitnya. Tetapi sejak
mengikuti jalan Kristus ia harus membayar dengan mahal, penganiayaan
yang dialaminya lebih berat. Suatu hari adik saya bahkan hendak dibunuh.
Pedang dan clurit sudah melingkar di tubuhnya. Saya yang mendengar
laporan itu lalu berkata pada suami, "Pa,
jika
aku mati, aku rela karena kematianku demi Yesus. Aku titip anak-anak
padamu. Sekarang, aku harus berangkat menolong dan menyelamatkan adikku".
Ketika
saya berangkat air mata bercucuran membasahi pipi. Di tengah perjalanan
mulut saya tak pernah lepas sedetikpun dari doa. Begitu saya sampai di
lokasi tempat adik saya hendak dihabisi, orang-orang tercengang melihat
saya. Sebab dari mulut saya terus meluncur doa yang saya kutip dari dua
kitab suci sekaligus. Dan meski hati ini tergetar melihat tubuh adik
saya basah kuyup oleh minyak tanah, mulut saya tetap melantunkan doa-doa
pada Yesus.
Tuhan yang penuh
kasih itu menjamah kami dengan hangat. Adik saya dilepas massa. Dan
kamipun berangkulan. Lalu kepada adik, saya minta dia untuk tinggal di
rumah kami. Saya telah membuktikan kekuatan Yesus. Oleh karena itu saya
tidak takut mati karena Yesus. Saya tidak takut mati demi Yesus.
"Berbahagialah
orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji,
ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada
barangsiapa yang mengasihi Dia" (Yakobus 1 : 12)