Berbagai tokoh partai Islam,
seperti PKS dan PBB selalu mengatakan bahwa Islam
tidaklah berlawanan dengan Demokrasi ataupun Pancasila. Benarkah
perkataan mereka, ataukah ini hanyalah kemunafikan
mereka untuk menjadikan Demokrasi sebagai alat sementara untuk
mewujudkan Indonesia sebagai budak Syariat
Arab (Islam)?
Kata
“demokrasi" berasal dari
dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti hukum/pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan
sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam UUD 1945,
konsep demokrasi tertuang dalam pasal 1 ayat 2, yang berbunyi:
Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.
Ayat diatas dapat dijabarkan
bahwa dalam demokrasi kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat,
dimana kedaulatan tersebut dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar
sebagai Sumber Hukum tertinggi dibawah Pancasila. Pasal 3 ayat 1 UUD
1945 juga menyebutkan bahwa Undang Undang Dasar sebagai Konstitusi Hukum
tertinggi ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
manifestasi dari rakyat.
Hal
diatas sangat bertentangan dengan Al Quran karena di dalam Syariat
Islam, hukum hanyalah milik Allah dan rakyat tidak berhak menetapkan
hukum / Undang Undang.
“Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah.
Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (Qs
Yusuf: 40)
”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka,
supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu.” (Qs Al-Maaidah: 49).
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs
An-Nisaa: 59)
Jadi jika berdasar
Syariat Islam, maka pasal 1 ayat 2 UUD 1945 seharusnya berbunyi:
Kedaulatan berada di tangan
Allah dan dilaksanakan menurut Al Quran dan Sunnah RasulNya.
Lalu bagaimana jika ternyata
hukum yang dibuat Allah dan Muhammad (Quran dan Sunnah) tidak dapat
mengcover seluruh detail aturan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
permasalahan manusia? Karena itulah dilakukan Musyawarah / Syura.
Para pembela Islam munafik seringkali mengatakan bahwa
Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, karena Islam juga mengajarkan
musyawarah / syura. Atau dengan kata lain Syura = Demokrasi.
Anggapan
ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak berdasar, sebab antara
kedua istilah ini terdapat perbedaan yang amat mendasar, yang menjadikan
keduanya sangatlah bertentangan. Untuk memahami hal ini secara benar,
kita harus mengetahui bagaimanakah prinsip2 Syura berdasarkan Syariat
Islam:
Prinsip Syura Pertama:
Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan
yang tidak ada dalilnya.
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa tujuan
musyawarah ialah untuk mencapai keputusan yang ternyata tidak tercakup
dalam Al Quran ataupun As Sunnah, hal ini berdasarkan Quran;
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain
tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.” (QS.
Al Ahzab: 36)
Syura didalam Islam
jarang terjadi dan hanya dilakukan dalam beberapa urusan yang musykil
(sukar diputuskan atau dipahami). Sedangkan untuk persoalan
yang telah ada ketetapan dari Allah dan Muhammad, maka tidak diadakan
Syura. Hal ini bertentangan dengan demokrasi, dimana musyawarah mufakat
diletakkan sebagai jalan utama untuk menyelesaikan suatu persoalan.
Permusyawaratan rakyatlah yang berkuasa untuk mengatur permasalahan
berdasarkan undang-undang yang telah dibuat.
Prinsip Syura Kedua:
Kebenaran tidak ditentukan oleh mayoritas suara
terbanyak
Dalam
demokrasi, jika kata mufakat tidak tercapai, jalan keluar terakhir
adalah dengan pemungutan suara terbanyak. Hal ini bertentangan dengan
Quran;
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka
bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka
tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al An’am 116)
Ibnu Katsir berkata dalam
Kitab Tafsir-nya tentang ayat ini :
Allah
memberitahukan tentang keadaan penduduk bumi dari kalangan Bani Adam
bahwa kebanyakan mereka dalam kesesatan. Seperti itu juga Allah
berfirman :
‘Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy)
sebagian besar dari orang-orang yang dahulu.’ (QS. Ash Shaffat : 71)
Begitu pula firman Allah :
‘Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu
sangat menginginkannya.’ (QS. Yusuf : 103)
Mereka dalam kesesatan tanpa
keyakinan namun hanya sekadar persangkaan dusta dan perkiraan yang
bathil belaka.
‘Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).’” (QS.
Al An’am : 116)
Artinya
suara mayoritas belum tentu menunjukkan kebenaran, dan sebaliknya,
suara minoritas belum tentu suara yang salah.
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi
kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al Baqarah : 243)
“Tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali
mengingkari(nya).” (QS Al Isra’ : 89)
“Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada
keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman.” (QS.
Al Ghafir : 59)
“Dan sebagian besar manusia tidak akan
beriman walaupun kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf : 103)
Dan masih banyak ayat2 dalam
Quran yang serupa dengan ayat2 diatas.
Prinsip Syura Ketiga:
Yang berhak menjadi anggota
Majelis Permusyawaratan ialah para pemuka masyarakat, ulama dan pakar di
setiap bidang keilmuan yang ditunjuk oleh Khalifah.
Berdasarkan Syariat Islam
yang berhak menjadi anggota Majelis Syura hanyalah ahlul hilli wal
aqdi, yaitu para ulama dan pewaris para Nabi, atau mereka yang
ditunjuk oleh Khalifah. Anggota Majelis Permusyawaratan / Syura tidak
boleh berasal dari kalangan kafir / diluar Islam, dan juga tidak boleh
seorang wanita.
Sedangkan
dalam demokrasi, anggota Majelis Permusyawaratan dipilih oleh rakyat,
rakyatlah yang menentukan para perwakilan mereka. Setiap anggota
masyarakat, siapapun dia, berhak dipilih untuk menjadi anggota Majelis
Syura sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, meskipun
ia wanita ataupun seorang kafir (Kristen, Hindu, Budha, ataupun agama
lain diluar Islam).
Jelaslah
apa perbedaan Syura dalam Islam dengan Demokrasi. Jika terdapat orang
atau partai yang menyatakan bahwa demokrasi dalam Islam adalah sistem
syura / musyawarah, bukan sitem demokrasi ala Yunani, sehingga ini hanya
sebatas penamaan, hal tersebut adalah kemunafikan yang amat sangat.
Pertama: Istilah demokrasi adalah istilah yang muhdats
(hasil rekayasa manusia) maka tidak layak dan tidak dibenarkan
menggunakan istilah2 semacam ini dalam Islam.
Kedua: Penggunaan istilah
ini merupakan praktek menyerupai (tasyabbuh) dengan orang2
kafir (khususnya Yunani, bangsa asal demokrasi), dan Islam telah
mengharamkan umatnya untuk berbuat menyerupai orang2 kafir dalam hal2
yang merupakan ciri khas mereka. Muhammad pernah berkata:
“Barang siapa yang
menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong dari mereka.” (Hadis Abu Dawud)
Lalu bagaimana dengan
Syariat Islam yang menyatakan bahwa Tuhanlah sumber seluruh hukum untuk
mengatur seluk beluk kehidupan manusia, sampai hal terkecil seperti
kebiasaan makan dan tidur. Ternyata hal tersebut hanyalah hasil contekan
dari agama Yahudi, dengan
bumbu Arabisasi ala Muhammad.
Syariat
Islam juga menyatakan bahwa Al Quran sebagai sumber kebenaran tertinggi
yang sempurna. Namun kenyataannya Al Quran jauh dari kata sempurna,
banyak kesalahan dalam Quran, baik kesalahan sejarah ataupun kontradiksi
dalam ayat2nya. Bahkan Penyusunan Quran (klik
disini) tidak lepas dari intrik dan kebohongan.
Keseluruhan uraian diatas
dengan jelas menunjukkan bahwa ISLAM ADALAH ANTI DEMOKRASI. Karena
demokrasi adalah bagian dari Pancasila (sila 4), maka secara otomatis ISLAM
JUGA ANTI PANCASILA.
Lalu mengapa banyak
partai Islam masih menggunakan Pancasila sebagai ideologi partainya dan
juga tetap ikut PEMILU yang merupakan pesta demokrasi? Layakkah kita
menyebut partai2 ini dengan istilah Partai Kemunafikan Sejati?
Saudaraku, mana yang anda pilih? Pancasila yang adalah
Indonesianisasi. Ataukah Islam yang adalah Arabisasi. Sadarlah wahai
saudaraku! Sadarlah!