Nampaknya
keberatan terbesar mereka adalah perempuan dapat dengan bebas memilih
suami. Hukum Islam mengijinkan kaum pria untuk menikahi wanita non
Muslim, namun tidak sebaliknya, dengan asumsi bahwa orang non Muslim
akan tunduk kepada orang Muslim, dan bahwa seisi rumah-tangga akan
mengikuti agama suami.
Seperti dikemukakan
pada akhir the posting yang mendahului tulisan ini,
“usaha-usaha untuk melegislasi perlindungan terhadap
hak-hak perempuan
mendapatkan protes atas nama Syariah”
Terimakasih karena
telah memuat tulisan kami. "Indonesia: Kelompok-kelompok Islam Menolak
Undang-undang Kesetaraan Jender", dari AdnKronos International, 15 Maret March
(terimakasih kepada The Religion of Peace):
Jakarta, 15 Maret
(AKI/Jakarta Post) – Enam organisasi Islam terbesar di Indonesia telah
menyuarakan keberatan terhadap Undang-undang keadilan dan kesetaraan
jender, mereka mengatakan bahwa beberapa artikelnya bertentangan dengan
nilai-nilai Islam.
Keberatan-keberatan
tersebut disampaikan pada pertemuan konsultasi antara
organisasi-organisasi dan Departemen Agama dan komisi urusan-urusan
sosial.
Kritik juga datang
dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Musyawarah Organisasi - Ikatan
Wanita Islam (BMO-IWI), Aisyiah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Partai
Umat Islam (PUI) dan Muslimah NU.
Para perwakilan, yang semuanya
perempuan, mengatakan bahwa undang-undang tersebut dapat melanggar hukum
waris Islam, pernikahan dan hak-hak perempuan untuk menjadi ibu dan
istri. Mereka mengatakan bahwa artikel 12 dari undang-undang tersebut,
sebagai contoh, yang mengemukakan bahwa setiap pria dan wanita dapat
dengan bebas memilih suami atau istri, bertentangan dengan hukum Islam
yang menganjurkan agar pengantin pria dan wanita mempunyai keyakinan
yang sama.
Nampaknya keberatan
terbesar mereka adalah perempuan dapat dengan bebas memilih suami. Hukum
Islam mengijinkan kaum pria untuk menikahi wanita non Muslim, namun
tidak sebaliknya, dengan sumsi bahwa orang non Muslim akan tunduk kepada
orang Muslim, dan bahwa seisi rumah-tangga akan mengikuti agama suami.
Eneng Zubaedah dari
MUI mengatakan bahwa Islam sebagai agama dengan keras meregulasi
proporsi warisan antara seorang pria dan wanita, yaitu dua banding
satu.
“Kita harus menyadari
bahwa itu juga dapat bertentangan dengan ide di balik undang-undang
tersebut”, ujar Eneng Zubaedah.
Juru bicara HTI Iffah Ainur Rochmah
mengatakan bahwa kesetaraan jender yang mendorong kaum wanita untuk
bekerja pada akhirnya akan lebih banyak menimbulkan konflik dalam
pernikahan. “Pada tahun 2009, statistik dari Jakarta mengemukakan bahwa
angka rata-rata perceraian para guru meningkat terutama karena para
istri memiliki gaji yang lebih tinggi, dan dengan demikian merasa lebih
superior”, ujarnya ...
Itu kedengarannya
sedikit seperti proyeksi kesombongan yang mudah terluka. Nampaknya
mereka mengesampingkan tanggung-jawab dengan tidak mencari kesalahan
tanpa iri hati, tetapi dengan “memprovokasi” kecemburuan oleh karena
pasangannya lebih berhasil, dan menjadi lebih mandiri. Sudah tentu,
taktik yang sama seringkali digunakan jika terkait dengan kemarahan.
Sumber: Jihadwatch.org