Diposkan
oleh Ali Sina Pada Tanggal 14 Desember 2010
Ayatollah
Montazeri
Di
Bulletin Board of Jebhe Melli (Front Nasional Demokratik Iran), aku
menanyakan beberapa pertanyaan tentang Islam.
Ayatollah Montazeri menjawab beberapa pertanyaanku. Berikut adalah
terjemahan suratnya dan jawabanku padanya.
Ayatollah
Montazeri adalah imam senior dari Iran yang tadinya dipilih oleh
Khomeini untuk menjadi penggantinya. Tapi pandangan Montazeri yang
liberal , dan sikapnya yang menentang pembunuhan-pembunuhan massal tanpa
perasaan yang dilakukan oleh rezim Khomeini, membuat Khomeini menjadi
marah dan dia pun disingkirkan. Kemudian Ayatollah Khamanei, pengganti
Khomeini, menjatuhkan hukuman tahanan rumah bagi Ayatollah Montazeri.
Tuan Montazeri masih merupakan tokoh oposisi untuk Pembaharuan Islam
yang percaya pada Islam tapi tidak percaya pada Velayate Faghih
(Perwalian). Beliau adalah pemimpin agama yang paling dihormati di
Iran.
Montazeri
adalah seorang Muslim, namun di atas semuanya itu ia adalah seorang
manusia yang baik. Ia dicintai oleh semua orang Iran dan tidak akan
pernah dilupakan. Saya memberikan penghormatan untuk seorang pria yang
agung.
Subyek
yang didiskusikan dengan Montazeri adalah mengenai:
- Usia Aisyah yang masih muda.
- Apakah perang-perang yang dilakukan Muhammad adalah merupakan usaha untuk mempertahankan diri?
- dan Genosida terhadap orang-orang
Yahudi di Medina
Usia muda Aisyah
Pertanyaan
no. 1
Muhammad
menikahi Aisyah pada waktu ia berusia 6 tahun dan menidurinya pada ia
berusia 9 tahun. Bagaimana mungkin seorang lelaki berusia 54 tahun
yang memanggil dirinya utusan Tuhan, punya nafsu birahi pada gadis
berusia 9 tahun?
1-
Ayatollah Montazeri
Pada
saat itu, tradisi perkawinan didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan dan
upacara-upacara kesukuan. Tujuan pernikahan ini hanyalah untuk
memperkuat persahabatan antara ayah dari pengantin dan karena itu
perkawinan antara Sang Nabi dengan Aisyah berdasarkan alasan politik.
Tanggapan
Ali Sina: Bukan alasan yang bagus untuk mengawini anak di
bawah umur. Aku tidak merasa terganggu dengan pernikahan Nabi dan anak
Abu Bakr, tapi kenyataannya adalah Aisyah itu anak kecil. Sungguh tidak
layak bagi utusan Tuhan untuk punya nafsu birahi pada anak kecil dan
itu merupakan sikap rendah akhlak. Pada masa sekarang, jika seorang
pria berusia 54 tahun berhubungan kelamin dengan anak kecil usia 9
tahun, ia akan dipenjara dan didakwa sebagai seorang pedofil. Kenapa
Nabi harus dimaafkan?
2
– Ayatollah Montazeri.
Sang
Nabi di usia 25 tahun menikahi Khadijah, wanita yang berusia 40 tahun
dan Nabi tidak menikahi wanita lain selama Khadijah hidup. Jika Nabi
adalah orang yang haus seks, maka ia tidak akan menikahi seorang wanita
yang lebih tua dan setia padanya sampai ia mati.
Ali
Sina:
Khadijah
itu wanita kaya raya dan Nabi saat itu hanyalah pegawainya yang
miskin. Baginya, menikahi seorang wanita kaya adalah tangga ke atas
untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi. Di umur itu, ia
hanyalah seorang anak yatim piatu dengan ambisi kecil. Karena ia
hanyalah seorang anak muda miskin, tidak ada yang menaruh perhatian
padanya. Khadijah adalah anugerah baginya. Khadijah menyediakan
kenyamanan dan kemapanan sehingga ia tidak usah khawatir dalam masalah
keuangan. Sekarang ia bisa bertapa di guanya dan membiarkan imajinasinya
terbang; ketemu jin, bertempur dengan setan, ngobrol dengan Jibril,
dan segala macam makhluk yang menghantui pikirannya yang suram.
Kalau
ia tetap setia pada Khadijah, bukanlah karena ia suci atau setia tapi
Khadijah seorang wanita yang berkuasa dan tidak akan toleran kalau
suaminya serong. Pada saat itu Muhammad tidak punya pengikut dan ia
akan kehilangan semuanya jika ia menyinggung perasaan istrinya yang
kaya raya. Kalau ini sampai terjadi, ini akan menghancurkan semua yang
dimiliki Muhammad.
Akan
tetapi, Muhammad menunjukkan belangnya yang asli kala ia jadi orang
yang berkuasa dan tak ada yang dapat mengekangnya untuk melakukan
hal-hal yang ia sukai. Pada saat itulah ia menghancurkan semua
norma-norma kesusilaan dengan memakai selubung nama Allah-nya.
3-
Ayatollah Montazeri.
Tujuan
sang Nabi menikahi begitu banyak wanita-wanita tua dan janda-janda,
terpisah dari alasan-alasan sosial politik, adalah untuk menaikkan
status sosial mereka. Pada zaman itu, para wanita, terutama budak-budak
wanita, sangat sedikit nilainya atau malah tidak ada sama sekali
sehingga mereka sampai harus mengubur bayi-bayi perempuan mereka
hidup-hidup.
Ali
Sina:
Sang
Nabi menikahi Khadijah, seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya,
adalah karena kekayaan Khadijah. Setelah Khadijah meninggal, ia
menikahi Aisyah yang baru berusia 6 tahun dan karena permintaan Abu
Bakr untuk tidak menidurinya dulu sampai 3 tahun setelah menikah. Selama
tiga tahun ini Muhammad butuh seorang wanita dan para wanita
non-Muslim tidak ada yang mau mengawininya karena mereka menduga ia
orang gila. Diantara pengikutnya yang masih sedikit itu, hanya tersedia
sedikit wanita yang dapat dikawininya. Sauda adalah wanita Muslim dan
seorang janda. Dia cocok untuk keadaan saat itu. Dia dapat
menghangatkan ranjang Muhammad dan mengurus rumah dan keperluannya.
Muhammad menikahinya dua bulan setelah kematian Khadijah. Khadijah dan
Sauda hanyalah dua istri Muhammad yang dikawininya bukan karena
dorongan nafsu birahi, tapi karena keadaannya saat itu. Hafsah, anak
Omar yang mungkin juga tidak begitu cantik seperti yang dinyatakan oleh
ayahnya sendiri, sang Nabi mungkin mengawininya untuk menyenangkan
Omar dan untuk alasan-alasan politis. Isteri-isteri lainnya semuanya
adalah perawan dan janda-janda yang cantik. Kebanyakan, meskipun tidak
semuanya, adalah para remaja. Nabi mengawini mereka atau meniduri
mereka tanpa mengawininya hanya karena penampilan mereka yang menarik.
Kadang-kadang ia harus membelokkan beberapa aturan dan bahkan membawa
nama Tuhan untuk mengungkapkan firman baru baginya sendiri untuk
mengizinkan dirinya mendapat apa yang diingininya. Contohnya dalam
kasus Zainab Bint Jash, Mariah Koptik dan Aisyah. Tidak ada satupun
istrinya yang menderita kurang gizi atau janda-janda yang miskin dan
kesepian sebelum dinikahi olehnya. Kisah-kisah Safiyah, Mariah, dan
Zainab adalah kisah-kisah cinta yang dibumbui nafsu birahi,
pengkhianatan, dan kejahatan.
Engkau
betul waktu menyatakan keadaan para budak wanita yang parah di zaman
itu, tapi engkau lupa mengungkapkan bahwa banyak dari budak-budak
wanita ini yang tadinya adalah orang-orang merdeka sebelum Nabi
mengambil kemerdekaannya dan menurunkan derajat mereka jadi budak.
Apakah engkau mengatakan bahwa budak-budak wanita ini seharusnya
berterima kasih pada sang Nabi yang membunuh orang-orang yang mereka
cintai dan menjual diri mereka di pasar-pasar perbudakan untuk seorang
Muslim yang lalu menggunakan mereka sebagai pelayan dan budak nafsu
birahi?
4-
Ayatollah Montazeri
Pernikahan
sang Nabi dengan Aisyah terjadi kira-kira tahun pertama atau kedua
Hijrah dan karena paksaan ayah Aisyah yakni Abu Bakr dan beberapa
kawannya. Setelah kematian Khadijah, sang Nabi tetap sendirian selama
beberapa saat. Alasan satu-satunya menikahi Aisyah adalah karena alasan
politis. Alasan pernikahan ini karena sang Nabi ada di bawah tekanan
berat dari para musuhnya seperti Abu Lahab dan Abu Jahl dan Nabi sangat
bergantung pada perlindungan suku-suku yang lain. Abu Bakr punya
pengaruh yang kuat di daerah itu. Dalam keadaan
seperti itu, adalah tidak bijaksana bagi Nabi untuk menolak tawaran Abu
Bakr. Pada kenyataannya, pernikahan ini adalah simbol dan bukan untuk
memuaskan nafsu seks sang Nabi, karena aturannya seorang pria 53 tahun
tidak mungkin punya gairah seksual terhadap anak berusia 9 tahun.
Ali
Sina:
Sang
Nabi tidak menikahi Aisyah bukan karena paksaan ayahnya. Banyak Hadith
yang menunjukkan bahwa Nabi-lah yang bernafsu terhadap Aisyah dan
meminta Abu Bakr untuk menyerahkan anaknya yang masih berusia 6 tahun
itu untuk dinikahi. Malah sebenarnya Abu Bakr kaget sekali atas
permintaan itu. Dia menolaknya dengan alasan dia adalah saudara angkat
sang Nabi, yang dengan sendirinya membuat pernikahan seperti itu haram.
Tapi Nabi menolak alasan Abu Bakr dengan berkata bahwa mereka bukan
saudara sedarah dan sumpah persaudaraan mereka tidak dapat diterapkan di
kasus ini.
Sahih
Bukhari 7.18
Dinyatakan ‘Ursa:
Sang Nabi meminta Abu Bakr untuk menyerahkan Aisha untuk dinikahi. Abu Bakr berkata,”Tapi engkau saudaraku.” Nabi berkata, ”Engkau saudaraku dalam agama Allah dan BukuNya, tapi ia (Aisha) adalah sah untuk dinikahiku.”
Dinyatakan ‘Ursa:
Sang Nabi meminta Abu Bakr untuk menyerahkan Aisha untuk dinikahi. Abu Bakr berkata,”Tapi engkau saudaraku.” Nabi berkata, ”Engkau saudaraku dalam agama Allah dan BukuNya, tapi ia (Aisha) adalah sah untuk dinikahiku.”
Orang2
Arab waktu itu masih primitif dengan sedikit aturan2 yang harus
ditaati. Tapi mereka punya kode etik yang dihormati dengan cermat.
Contohnya, meskipun mereka berperang sepanjang tahun, mereka
menghilangkan semua permusuhan di beberapa bulan suci dalam tahun itu.
Mereka juga menganggap Mekah adalah kota suci dan tidak berperang
terhadapnya. Istri dari anak angkat seorang pria akan dianggap sebagai
menantu wanitanya dan pria itu tidak akan menikahi menantu wanita itu.
Adalah suatu kebiasaan untuk membuat sumpah persaudaraan dan menganggap
satu sama lain sebagai saudara kandung. Sang Nabi melecehkan semua
aturan2 ini setiap kali aturan2 ini menghalangi keinginannya.
Abu
Bakr dan Muhammad sudah bersumpah untuk menjadi saudara bagi satu sama
lain. Jadi berdasarkan adat mereka, Ayesha seharusnya sudah seperti
keponakan bagi sang Nabi Suci. Tapi inipun tidak menghentikannya untuk
menikahinya walaupun Ayesha masih berusia 6 tahun.
Tapi
Nabi yang berubah-ubah moralnya tergantung keadaan ini menggunakan
alasan yang sama untuk menolak menikahi anak Hamza, yang juga merupakan
saudara angkat Nabi, karena anak perempuan Hamza tidak begitu cantik.
Sahih
Bukhari V.7, B62, N. 37
Dinyatakan Ibn ‘Abbas:
Dikatakan pada sang Nabi,”Maukah engkau menikahi anak perempuan Hamza?” Nabi menjawab,”Dia adalah keponakan angkatku (anak saudara angkatku).”
Dinyatakan Ibn ‘Abbas:
Dikatakan pada sang Nabi,”Maukah engkau menikahi anak perempuan Hamza?” Nabi menjawab,”Dia adalah keponakan angkatku (anak saudara angkatku).”
Di
Hadith berikut, sang Nabi menceritakan secara rahasia pada Aisyah bahwa
ia bermimpi tentang dia sebelum meminta ayahnya untuk memperistrinya.
Sahih
Bukhari 9.140
Dinyatakan ‘Aisha:
Nabi Allah berkata padaku,”Kau ditampakkan padaku dua kali (dalam mimpiku) sebelum aku menikahimu. Aku melihat seorang malaikat membawamu dalam kain sutra, dan aku berkata padanya,’Singkapkan (dia), ‘dan lihatlah, tampaklah engkau. Aku berkata (pada diriku sendiri), ‘jika ini dari Allah, maka ini harus terjadi.’ Maka kau ditunjukkan padaku, malaikat membawamu dengan sehelai kain sutra, dan aku berkata (pada malaikat), ‘Singkapkan (dia), dan lihat, tampaklah engkau. Aku berkata (pada diriku sendiri), ‘jika ini dari Allah, maka ini harus terjadi.’”
Dinyatakan ‘Aisha:
Nabi Allah berkata padaku,”Kau ditampakkan padaku dua kali (dalam mimpiku) sebelum aku menikahimu. Aku melihat seorang malaikat membawamu dalam kain sutra, dan aku berkata padanya,’Singkapkan (dia), ‘dan lihatlah, tampaklah engkau. Aku berkata (pada diriku sendiri), ‘jika ini dari Allah, maka ini harus terjadi.’ Maka kau ditunjukkan padaku, malaikat membawamu dengan sehelai kain sutra, dan aku berkata (pada malaikat), ‘Singkapkan (dia), dan lihat, tampaklah engkau. Aku berkata (pada diriku sendiri), ‘jika ini dari Allah, maka ini harus terjadi.’”
Alasan
bahwa perkawinan ini ‘politis’ dapat disangkal dengan mudah. Abu Bakr
adalah kawan baik Nabi, dia adalah salah satu pengikutnya dan saudara
angkatnya, dia berasal dari suku yang sama dengan Nabi; tidak ada
alasan bagi Nabi Allah untuk meniduri anak kecil Abu Bakr untuk
mempererat persahabatannya. Bukti menunjukkan bahwa sang Nabi suci
mengambil kesempatan dari kesetiaan Abu Bakr dan merusak kepercayaannya
pada Nabi sampai ia harus menyerahkan anak gadisnya yang masih kecil
untuk dikawini Nabi. Bagaimana engkau dapat menolak permintaan seseorang
yang kau percaya sebagai utusan Tuhan?
Abu
Jahl (biangnya ketidakpedulian) adalah nama ejekan yang diberikan pada
Adul Hakam (biangnya yang tak terpelajar). Sukar untuk dimengerti
dengan cara apa meniduri anak 9 tahun dapat melindungi Nabi dari Abu
Jahl? Seperti yang kaukatakan, perkawinan ini terjadi di tahun pertama
dan kedua setelah Hijrah. Musuh Nabi ada di Mekah. Meskipun jikalau
perkawinan itu memang melindungi sang Nabi, meskipun ini tetap tidak
masuk akal, dia sebenarnya sudah aman berada di Medina. Jadi alibi
(alasan) ini tidak dapat diterima.
Pokok
masalahnya bukan pada Nabi menikahi anak perempuan Abu Bakr. Tapi
masalahnya adalah dia berhubungan seks dengan anak berumur 9 tahun.
Jika engkau mengatakan ini untuk melindungi dirinya, maka Nabi adalah
seorang oportunis (orang yang ambil kesempatan untuk cari selamat), yang
memperkosa anak umur 9 tahun untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Mohon jangan katakan ini bukanlah pemerkosaan karena anak berusia 9
tahun belum cukup dewasa untuk bisa mengambil keputusan (seksual) dan
karena itulah ini merupakan pemerkosaan. Pembelaanmu memberatkan sang
utusan Allah itu lebih daripada tuduhanku sendiri.
Kau
katakan pernikahan ini bersifat simbolis. Bagaimana mungkin simbolik
jika sang Nabi mendekati Aisyah ketika ia, ini berdasarkan pengakuannya
sendiri lho, sedang bermain dengan mainan-mainannya, dan Nabi
memberinya mainan yang lain sama sekali dan yang ‘MENGEJUTKAN’ anak
kecil itu?
Sahih
Bukhari Volume 7, Book 62, Number 90
Dinyatakan Aisha:
Ketika sang Nabi menikahiku, ibu datang padaku dan membawaku ke dalam rumah (sang Nabi) dan TIDAK ADA YANG MENGAGETKANKU SELAIN KEDATANGAN SANG NABI ALLAH PADAKU DI PAGI HARI.
Dinyatakan Aisha:
Ketika sang Nabi menikahiku, ibu datang padaku dan membawaku ke dalam rumah (sang Nabi) dan TIDAK ADA YANG MENGAGETKANKU SELAIN KEDATANGAN SANG NABI ALLAH PADAKU DI PAGI HARI.
Kau
katakan,” …aturannya seorang pria 53 tahun tidak mungkin punya gairah
seksual terhadap anak berusia 9 tahun.” Ini sungguh benar. Inilah hal
utama yang kuutarakan. Sayangnya, kita tidak hidup di dunia yang
sempurna dan ada beberapa orang yang sakit jiwa dan melawan
aturan-aturan Zaman sekarang pun ada orang tua yang berfantasi
melakukan hubungan seks dengan anak-anak kecil, menyimpan foto-foto
mereka (anak-anak kecil tsb.) dan saling menukar foto dengan orang lain
yang sama sakit jiwanya di internet. Mereka ini dikenal sebagai
Pedofilia dan untuk melindungi anak-anak kita, kita masukkan orang
seperti ini dalam penjara. Jika sang Nabi tidak ‘mengagetkan’ gadis
kecil itu di pagi hari yang sama kala ibunya membawanya ke rumah Nabi,
maka aku dapat menerimanya sebagai perkawinan “simbolik”, meskipun
sebenarnya tidak jelas manfaatnya. Tapi jika kita lihat bahwa sang Nabi
Allah meniduri gadis kecil itu di hari yang sama dia dibawa ke rumah
Nabi, maka perkawinan ini sukar untuk dipandang sebagai sesuatu yang
“simbolik”. Simbol apa?
5-
Ayatollah Montazeri.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kondisi udara mempengaruhi pertumbuhan tubuh
dan jiwa para gadis, dan pertumbuhan mereka lebih cepat di udara panas.
Ali
Sina:
Di
pokok pembicaraan terdahulu, engkau menjelaskan bahwa perkawinan ini
simbolis dan “aturannya seorang pria 53 tahun tidak mungkin punya
gairah seksual terhadap anak berusia 9 tahun”. Tapi sekarang engkau
membahas masalah ini dari sudut yang berbeda sama sekali.
Saya
yakin gadis-gadis berusia 9 tahun di Arabia adalah masih sama dengan
anak-anak kecil berusia 9 tahun di tempat lain. Kecuali engkau memajukan
teori evolusi bahwa ras manusia harus menjalani mutasi besar-besaran
selama jangka waktu 1.400 tahun ini dan di zaman dulu para wanita
mencapai kedewasaan pada usia 9 tahun. Kenyataannya adalah sama bahwa
sang Nabi punya nafsu birahi terhadap seorang gadis kecil di bawah umur
dan ini adalah salah. Untuk meyakinkan bahwa anak berusia 9 tahun
adalah tetap seorang anak, bahkan pula di zaman Nabi, kita tidak perlu
melihat jauh-jauh dari Hadith yang lain yang dikisahkan sendiri oleh
Aisyah. Di Hadith berikut, Aisyah mengungkapkan bahwa ia sedang bermain
di ayunan ketika ibunya membawanya pada sang Nabi.
Sunan
Abu-Dawud Buku 41, Nomer 4915, juga Nomer 4915 and Nomer 4915
Dinyatakan Aisha, Ummul Mu’minin:
Sang Rasul Allah menikahiku ketika aku berusia tujuh atau enam tahun. Ketika kami tiba di Medina, beberapa wanita datang, menurut versi Bishr: Umm Ruman datang padaku ketika aku sedang bermain ayunan. Mereka memandangku, mempersiapkanku, dan mendandaniku. Kemudian aku dibawa ke Rasul Allah, dan ia hidup bersamaku sebagai suami istri ketika aku berusia sembilan tahun. Ia (Umm Ruman) menghentikanku di pintu, dan aku meledak tertawa.
Dinyatakan Aisha, Ummul Mu’minin:
Sang Rasul Allah menikahiku ketika aku berusia tujuh atau enam tahun. Ketika kami tiba di Medina, beberapa wanita datang, menurut versi Bishr: Umm Ruman datang padaku ketika aku sedang bermain ayunan. Mereka memandangku, mempersiapkanku, dan mendandaniku. Kemudian aku dibawa ke Rasul Allah, dan ia hidup bersamaku sebagai suami istri ketika aku berusia sembilan tahun. Ia (Umm Ruman) menghentikanku di pintu, dan aku meledak tertawa.
Dan
biasa bermain dengan boneka-bonekanya.
Sahih
Bukhari Volume 8, Buku 73, Nomer 151
Dinyatakan ‘Aisha:
Aku biasa bermain dengan boneka di depan sang Nabi, dan kawan-kawan perempuanku juga biasa bermain bersamaku. Kalau Rasul Allah biasanya masuk ke dalam (tempat tinggalku) mereka lalu bersembunyi, tapi sang Nabi lalu memanggil mereka untuk bergabung dan bermain bersamaku. (Bermain dengan boneka atau bentuk yang serupa itu dilarang, tapi dalam kasus ini diizinkan sebab Aisyah saat itu masih anak kecil, belum mencapai usia pubertas) (Fateh-al-Bari halaman 143, Vol.13)
Dinyatakan ‘Aisha:
Aku biasa bermain dengan boneka di depan sang Nabi, dan kawan-kawan perempuanku juga biasa bermain bersamaku. Kalau Rasul Allah biasanya masuk ke dalam (tempat tinggalku) mereka lalu bersembunyi, tapi sang Nabi lalu memanggil mereka untuk bergabung dan bermain bersamaku. (Bermain dengan boneka atau bentuk yang serupa itu dilarang, tapi dalam kasus ini diizinkan sebab Aisyah saat itu masih anak kecil, belum mencapai usia pubertas) (Fateh-al-Bari halaman 143, Vol.13)
Sahih
Muslim Buku 008, Nomer 3327:
‘A’isha (Allah memberkatinya) melaporkan bahwa Rasul Allah menikahinya ketika ia berusia tujuh tahun, dan ia (Muhammad) membawanya ke rumahnya sebagai pengantin ketika ia berusia sembilan tahun, dan boneka-bonekanya dibawanya, dan ketika ia (Muhammad) mati, ia (A’isha) berusia delapanbelas tahun.
‘A’isha (Allah memberkatinya) melaporkan bahwa Rasul Allah menikahinya ketika ia berusia tujuh tahun, dan ia (Muhammad) membawanya ke rumahnya sebagai pengantin ketika ia berusia sembilan tahun, dan boneka-bonekanya dibawanya, dan ketika ia (Muhammad) mati, ia (A’isha) berusia delapanbelas tahun.
Dalam
aturannya, orang akan berkata jika ia masih bermain dengan
boneka-bonekanya, ia belum cukup dewasa untuk mengetahui tentang seks,
apalagi dari orang yang cukup tua untuk jadi kakeknya.
6-
Ayatollah Montazeri.
Perbedaan
usia antara pria dan wanita yang dinikahinya di masyarakat primitif
dapat diterima dan sering terjadi. Juga bukan merupakan hal yang tak
layak atau cabul bagi seorang pria untuk menikahi gadis-gadis yang
sangat muda dan orang pada saat itu tidak menganggap itu sebagai hal
yang tak bermoral. Bahkan sampai hari ini pun, orang masih menemukan
perkawinan dengan gadis-gadis yang masih sangat muda diantara masyarakat
Arab. Sebagai aturan, sebaiknya jangan dibandingkan kebiasaan
masyarakat adat dan primitif dengan kebiasaan masyarakat modern dan
maju di saat ini.
Ali
Sina:
Aku
setuju bahwa masyarakat primitif punya kebiasaan yang mengejutkan bagi
kepekaan masyarakat modern. Orang-orang primitif banyak melakukan
hal-hal yang mengagetkan kita saat ini. Mereka misalnya melakukan
pembunuhan korban manusia atau binatang, mempraktekkan diskriminasi
berdasarkan perbedaan jenis kelamin, perbudakan dan banyak lagi bentuk
pelanggaran hak-hak kemanusiaan. Aku tidak mengecam masyarakat primitif
sebab mereka tidak tahu hal yang lebih baik. Aku mengutuk masyarakat
modern yang mengikuti masyarakat primitif itu dengan melakukan hal yang
dilakukan seorang pria yang hanyalah keluaran produk masyarakat
primitif. Aku mengutuk orang yang memanggil dirinya sendiri Nabi Allah,
“Pengampunan Tuhan pada dunia” “Rahmatu’llah lil Alamin” dan contoh
bagi seluruh umat manusia, yang sebaliknya memberi batasan contoh moral
dan kebajikan yang mengikuti kebiasaan hidup masyarakat-masyarakat
primitifnya dan lalu menegaskannya dan mengabadikannya sebagai suatu
contoh. Aku mengutuk masyarakat yang lupa keagungan dan kemegahannya di
masa lampau dan sekarang mencoba untuk meniru kebiasaan masyarakat
primitif dan mau menegakkan ajaran mereka yang purba dengan mengikuti
nabinya yang tidak punya ajaran baru apapun untuk masyarakat primitif
dan ia sebenarnya hanyalah produk dari masyarakat primitif itu.
Iya,
memang kita harus membandingkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan suku
primitf dengan kebiasaan masyarakat modern dan maju saat ini. Tapi
kenapa kita harus mencontoh mereka? Kenapa kita harus mengikuti mereka?
Kenapa kita harus menerima nabi mereka yang tidak mampu melepaskan diri
dari sifat-sifat primitif, barbar, dan buas?
Jika
sang Nabi benar-benar seorang nabi, maka dia akan bertindak berbeda. Ia
tidak akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan masyarakat primitif tapi akan
menegakkan standard baru. Jika ia mengikuti kebiasaan masyarakat
primitifnya, kenapa kita harus mengikuti dia? Orang Muslim seluruh
dunia mempelajari kehidupan sang Nabi secara terperinci, mencoba
menirunya dalam segala hal yang dilakukannya. Mereka berpakaian seperti
dia, mengatur janggutnya seperti dia, jalan seperti dia, dan bicara
seperti dia, melakukan apa yang dia lakukan dan hidup seperti cara dia
hidup. Mereka percaya segala yang dilakukannya direstui Tuhan dan dia
dikirim untuk menjadi contoh bagi kaum manusia. Tapi meskipun begitu,
engkau baru saja tadi mengatakan bahwa yang dilakukannya tidak
mengindahkan aturan dan kebiasaan masyarakat primitif dan kita harus
mengampuni dosanya karena dia hanyalah korban dari masyarakat primitif
itu. Betapa malangnya kita yang belum melihat hal ini. Lihatlah apa yang
telah menimpa negara kita yang besar (Iran) yang telah melupakan masa
lalunya yang agung dan sekarang secara buta mengikuti orang yang meniru
kebiasaan-kebiasaan masyarakatnya yang primitif. Dapatkah kita
terjeblos lebih dalam lagi dari ini? Adakah penghinaan yang lebih parah
daripada ini?
7-
Ayatollah Montazeri
Masalah
di tiap waktu dan tempat harus dilihat sesuai dengan standard waktu
dan tempat saat itu sendiri dan tidak dengan standard di lain waktu dan
tempat. Di lain pihak kita menemukan bahwa sang Nabi tidak melawan
banyak kebiasaan pada zamannya yang tidak jauh berbeda dengan tujuan
pendidikan dan spiritual Islam. Ia menghadapinya secara bertahap dan
praktis untuk mengubah mereka pelan-pelan.
Ali
Sina:
Aku
setuju masalah-masalah harus dilihat dari konteks waktu dan tempatnya
saat itu. Sesuatu yang bisa diterima 1.400 tahun yang lalu di Arabia
mungkin tidak tampak baik saat ini. Mungkin kita sebaiknya tidak
menghakimi mereka secara keras. Tapi pertanyaannya adalah mengapa kita
harus mengikuti mereka? Pemecahan masalah yang layak saat itu ternyata
tidak layak lagi bagi waktu kita saat ini. Kenapa mengikuti doktrin yang
sudah kehilangan gunanya dan ditancapkan dalam sejarah?
Orang-orang
Muslim dinasehati untuk mengikuti Sunnah Nabi. Kau bilang bahwa sang
Nabi adalah orang Arab, mengikuti tradisi masyarakatnya sendiri,
sehingga yang dilakukannya adalah benar pada konteks itu. Tapi dengan
mengikuti dia, tidakkah kita mengabadikan kebiasaan-kebiasaan orang Arab
1.400 tahun yang lalu ,yang tidak cocok dan sudah ketinggalan zaman?
Engkau
menegaskan bahwa sang Nabi tidak melawan kebiasaan-kebiasaan jelek itu
dan kebiasaan-kebiasaan itu tidak jauh berbeda dari tujuan spiritual
dan pendidikan Islam. Maka pertanyaanku adalah apakah tujuan spiritual
dan pendidikan Islam? Apakah tujuan utama Islam itu sendiri? Jawaban
orang Muslim tentunya adalah untuk mengetahui bahwa Tuhan itu satu dan
dia tidak punya partner dan Muhammad adalah RasulNya. Ini adalah hal
yang paling diutamakan dalam Islam. Masalah moral dan etika karena itu
hanyalah masalah kedua. Semua dosa dapat diampuni. Pencurian,
pembunuhan, dan pedofilia dapat diampuni; tapi menggandakan Tuhan itu
tidak akan terampuni.
“Allah tidak mengampuni penggandaan allah-allah lain
denganNya, tapi Ia memaafkan yang segala (dosa) lainnya, pada siapa Ia
berkenan, menggandakan allah2-allah lain dengan Allah berarti sungguh
melakukan dosa yang Paling besar.” (Q.4: 48 ).
Dalam
perkataan lain, Saddam Hussein, Idi Amin, Ben Laden, Khalkhali dan
Khomeini akan diampuni biarpun dosanya besar sekali karena mereka
adalah Muslim dan tidak menggandakan Tuhan. Tetapi Gandhi, yang beragama
Hindu dan kaum Muslim percaya bahwa Hindu punya banyak dewa, akan
dibakar selamanya di neraka.
Kalau
begitu, Allah ini tentunya sinting. Ia adalah makhluk yang sinting dan
begitu menderita sehingga sangat ingin dikenal oleh ciptaanNya dan
sangatlah pencemburu. Jika ini tuhannya Muhammad, maka ia tidak layak
dipuja tapi perlu segera dikunci di rumah sakit jiwa.
Tentang
kebiasaan buruk orang-orang yang tidak dilawan secara langsung oleh
sang Nabi suci tapi berusaha mengubah mereka pelan-pelan, apakah mereka
itu? Di dunia kami, fedofilia itu adalah tindak kejahatan. Sungguh
memalukan bahwa Nabi tidak memandang kasus pedofilia sebagai suatu kasus
yang sangat penting dan harus segera ditangani karena pedofilia ini
tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan spiritual Islam. Tapi aku
sebenarnya akan senang kalau melihat Nabi setidaknya menentangnya. Tapi
tidak, ia tidak menentangnya sama sekali. Ia malah mendukungnya dengan
membuat dirinya sebagai contoh. Ini bukanlah cara untuk “mengubah”
sesuatu. Inilah cara untuk menegaskannya, untuk mengabadikannya dan
untuk mempromosikannya.
Sebelum
Islam, kami bangsa Iran adalah masyarakat yang berbudaya. Kami tidak
memiliki kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi barbar ini. Terima
kasih karena jasa Islam, tradisi memalukan ini merambat dalam budaya
kita dan dipraktekan di tanah air kita.
Pedofilia
adalah satu dari pemberian Islam pada kita. Sang Nabi suci menyokong
banyak tradisi yang sama memuakkannya. Pembunuhan pada musuh adalah hal
yang biasa sekarang di negara kita dan ini juga adalah tradisi sang
Nabi. Dia terbiasa mengirim para pembunuh ke rumah-rumah musuhnya dan
membunuh mereka kala mereka tidur. Anggota-anggota terhormat Rezim Islam
Iran sekarang mengikuti tradisi utusan Tuhan ini (semoga damai beserta
hatinya yang suci murni tak ternoda).
_______________________________________________
Pertanyaan
nomor 2:
Bagaimana
mungkin seseorang yang memanggil dirinya utusan Tuhan ternyata
merampok rombongan kafilah pedagang dan bertingkah seperti penjahat
murahan dan penyamun jalanan?
Ayatollah
Montazeri:
Penyerangan
terhadap kafilah pedagang Quraish adalah karena kafilah ini terdiri
dari beberapa orang Mekah yang kaya raya, yang merupakan musuh Islam
dan ditemani oleh Abu Sofyan yang dikenal sebagai musuh bebuyutan Islam
dan orang-orang Muslim. Di tahun itu, permusuhan kaum Quraish dan
hasutan yang melawan Islam dan orang-orang Muslim telah meningkat.
Medina jadi pusat kegiatan politik dan pemerintahan bagi orang-orang
Muslim dan kota ini diserang musuh-musuhnya yakni orang Quraish dari
berbagai arah.
Banyak
orang Muslim yang dipaksa meninggalkan rumahnya karena penyerangan
kaum Quraish dan mereka harus melarikan diri ke Medina. Mereka ini lalu
ingin balas dendam dan mengambil kembali barang-barang mereka yang
dirampas oleh kaum Quraish. Mereka diberitahu bahwa kafilah ini membawa
banyak barang berharga. Para pemimpin Muslim juga merencanakan untuk
membuat jalan raya itu jadi tidak aman bagi para musuh karena jalan ini
penting bagi kebutuhan ekonomi dan militer bagi mereka. Tujuan utama
serangan mendadak ini adalah memutuskan urat nadi sehingga musuh jadi
lemah dalam peperangan melawan kaum Muslim. Peperangan ini terus
berlanjut sampai Mekah ditaklukan.
Sudah
jelas jika dua negara atau dua kekuatan sedang berperang, dan saat itu
tidak ada perjanjian damai diantara mereka, setiap pihak sah saja
untuk melemahkan kekuatan ekonomi dan militer pihak musuh dan mengancam
keamanannya.
Sejak
dulu sampai sekarang hal ini dianggap sebagai perlakuan yang wajar di
seluruh dunia. Ini sungguh beda dengan perampok jalanan. Perampok
jalanan adalah penjahat dan pengacau yang membahayakan kehidupan dan
keselamatan orang yang hidup damai di kota atau negaranya sendiri yang
tidak saling membenci dan mencuri barang orang lain.
TANGGAPAN
ALI SINA:
Wahai
Ayatollah Ozma Montazeri,
Pertama-tama, aku ingin mengucapkan terima kasih karena engkau jujur dan tidak seperti kebanyakan Muslim yang berkata semua perang-perang sang Nabi hanya merupakan upaya bela diri. Engkau mengakui bahwa dialah yang jadi agresor dan memang dialah yang menyerang kafilahkafilah pedagang itu. Ini menyingkat banyak waktu untuk kita berdua karena aku tidak usah memberikan daftar begitu banyaknya serangan-serangan Muhammad pada siapa saja yang dianggapnya sebagai musuhnya.
Pertama-tama, aku ingin mengucapkan terima kasih karena engkau jujur dan tidak seperti kebanyakan Muslim yang berkata semua perang-perang sang Nabi hanya merupakan upaya bela diri. Engkau mengakui bahwa dialah yang jadi agresor dan memang dialah yang menyerang kafilahkafilah pedagang itu. Ini menyingkat banyak waktu untuk kita berdua karena aku tidak usah memberikan daftar begitu banyaknya serangan-serangan Muhammad pada siapa saja yang dianggapnya sebagai musuhnya.
Akan
tetapi, engkau tampaknya mensahkan penyerangannya terhadap kafilah
pedagang, kota-kota, dan pembantaiannya terhadap penduduk sipil karena
kau memandangnya sebagai strategi militer untuk memperlemah kedudukan
musuh. Keterangan dari Muhammad sendiri adalah, orang-orang Muslim
punya hak untuk mengambil kembali apa yang dirampas oleh kaum Quraish
ketika mereka memaksa orang-orang Muslim melarikan diri.
Tetapi
sebenarnya, penduduk Mekah tidak mengusir orang-orang Muslim ke luar
dari rumahnya. Orang-orang Muslim ini keluar karena keinginan mereka
sendiri dan karena paksaan Muhammad. Pertama-tama, dia memerintahkan
pengikutnya untuk pergi ke Abyssinia dan ketika dia menemukan cukup
pengikut di Medinah, dia mengirim mereka ke sana.
Kebenarannya adalah meskipun ada fakta bahwa Muhammad terus-menerus menghina agama orang Quraish dan membuat marah mereka dengan kelakuannya yang kasar, tidak satu pun kejadian pertengkaran fisik atau penindasan terhadap Muhammad atau pengikutnya yang tercatat dalam sejarah Islam.
Kebenarannya adalah meskipun ada fakta bahwa Muhammad terus-menerus menghina agama orang Quraish dan membuat marah mereka dengan kelakuannya yang kasar, tidak satu pun kejadian pertengkaran fisik atau penindasan terhadap Muhammad atau pengikutnya yang tercatat dalam sejarah Islam.
Saat
ini, para Muslim tidak menoleransi kritik apapun terhadap agamanya.
Mereka dengan cepat main bunuh orang yang berani mempertanyakan
agamanya. Ini memang hal yang diajarkan sang Nabi. Tapi orang-orang
Arab sebelum zaman Muhammad lebih toleran. Mereka tadinya biasa hidup
damai bersama dengan orang-orang Yahudi dan Kristen tanpa ada
pertengkaran agama diantara mereka. Ujian berat terhadap toleransi
mereka terjadi ketika Muhammad mulai menghina dewa-dewa mereka. Meskipun
demikian, orang-orang Quraish menunjukkan dengan jelas tingginya
toleransi mereka dan meskipun mereka tersinggung, mereka tidak pernah
menyakiti Muhammad atau seorang pun dari pengikutnya.
Bandingkan
dengan perilaku terhadap kaum Baha’i di Iran. Baha’i tidak menghina
Muhammad atau Allahnya. Mereka tidak menolak para Imam atau tidak
menentang bagian manapun dalam Qur’an. Yang mereka katakan adalah,
Utusan mereka adalah Yang Dijanjikan dari orang-orang Muslim. Ini tidak
ada apa-apanya dibandingkan dengan penghinaan Muhammad terhadap
kepercayaan orang-orang Quraish. Meskipun begitu orang-orang Muslim
tidak menahan diri untuk tidak membunuh orang Baha’i. Mereka membunuh
banyak dari orang Baha’i, memenjarakan, menyiksa, memukul mereka,
melecehkan hak-hak manusiawinya dan memperlakukan mereka secara biadab.
Tidak satu pun perlakuan serupa diterapkan kepada Muhammad dan
pengikutnya di Mekah, juga bahkan ketika ia terus-menerus menghina
dewa-dewa mereka dan mengutuki agama mereka, seakan menantang untuk
bertengkar.
Ketika
orang-orang Mekah sudah tidak tahan lagi atas ejekan Muhammad terhadap
agama mereka, sekelompok pemimpin mereka datang ke Abu Talib, paman
Muhammad dan mereka mengeluh: ”Keponakanmu telah menghina dewa-dewa dan
agama kami dan mengatakan kami bodoh, dan kakek moyang kami semuanya
sesat. Sekarang, balaskanlah kami dari dia, atau, (melihat kamu juga
dalam keadaan yang sama dengan kami) biarkanlah dia agar kami bisa
membalas dia.” Abu Talib menjawab dengan lemah lembut dan meyakinkan
mereka bahwa ia akan menasehati keponakannya untuk bersikap hormat. Tapi
Muhammad tidak merubah kelakuannya. Sehingga orang-orang Mekah itu
sekali lagi pergi bertemu Abu Talib dengan penuh rasa jengkel, dan
memperingati dia jika dia tidak mengekang keponakannya dari sikapnya
yang menyakitkan, mereka sendiri yang akan mengekang dia. Mereka
menambahkan: “dan sekarang kami sudah tidak bisa bersikap sabar lagi
terhadap pelecehannya pada kami, kakek moyang kami, dan dewa-dewa kami.
Sekarang tahanlah dia dari kami atau kamu berada di pihaknya sehingga
kita perlu mengambil keputusan diantara kita.”
Itulah
yang tertulis tentang penindasan terhadap orang-orang Muslim di Mekah.
Yang tertulis di atas adalah suatu peringatan tapi bukan ancaman
pembunuhan. Malah kenyataannya, dari waktu Abu Talib masih hidup sampai
dia meninggal, Muhammad tinggal di Mekah tanpa disakiti dan tidak ada
pengikutnya yang menderita penindasan.
Satu-satunya
kekerasan fisik terhadap seorang Muslim yang dicatat adalah, pemukulan
yang dilakukan Omar terhadap adik perempuannya sendiri yang telah
memeluk Islam, dan ini juga yang kemudian membuatnya memeluk Islam. Ini
tidak dapat dianggap sebagai penindasan agama karena ini adalah
kekerasan dalam keluarga sebab Omar adalah orang yang gampang marah
dengan sifatnya yang labil, mudah lepas kendali dan lalu ngamuk. Tapi
Hadith ini pun mungkin tidak benar karena Hadith lain yang diceritakan
oleh Omar sendiri menggambarkan ia menjadi pemeluk Islam dengan cara
yang berbeda.
Maka
timbulah pertanyaan, kalau tidak ada penindasan terhadap orang-orang
Muslim, siapa yang mengusir mereka ke luar dari rumah mereka? Kita
tahu bahwa banyak dari mereka yang meninggalkan Mekah dan pergi pertama
kali ke Abyssinia dan lalu ke Medina. Kenapa mereka meninggalkan rumah
mereka jika mereka tidak dalam keadaan bahaya?
Jawaban pertanyaan ini dapat ditemukan pada Muhammad dan apa yang terjadi dalam pikirannya. Dialah yang meminta mereka pergi. Malah dia memerintah mereka dengan memakai firman dari Allah. Ayat-ayat berikut dengan jelas menunjukkan hal ini.
Jawaban pertanyaan ini dapat ditemukan pada Muhammad dan apa yang terjadi dalam pikirannya. Dialah yang meminta mereka pergi. Malah dia memerintah mereka dengan memakai firman dari Allah. Ayat-ayat berikut dengan jelas menunjukkan hal ini.
“Lihat! Mereka yang percaya dan meninggalkan rumahnya dan
berjuang dengan kekayaan dan hidupnya untuk kepentingan Allah,
orang-orang yang membawa mereka masuk dan menolong mereka: mereka
adalah kawan yang melindungi satu sama lain. Dan mereka yang percaya
tapi tidak mau meninggalkan rumahnya, kalian tidak punya tugas untuk
melindungi mereka sampai mereka meninggalkan rumahnya; tapi jika mereka
minta tolong padamu karena alasan agama maka itulah tugasmu untuk
menolong (mereka) kecuali terhadap orang-orang yang diantara mereka dan
kalian terdapat suatu perjanjian. Allah mengetahui apa yang kalian
lakukan.” Q.8:72)
Ini
adalah kata-kata yang sangat keras terhadap pengikutnya yang tidak mau
meninggalkan Mekah dan tetap tinggal di sana. Di bagian lain ia
menekankannya lebih lanjut.
Mereka ingin agar kalian jadi tidak percaya sama seperti
mereka tidak percaya, agar kalian sama derajatnya (seperti mereka).
Maka janganlah berkawan dengan mereka sampai mereka meninggalkan
rumahnya dalam jalan Allah; jika mereka balik (membenci) maka
tangkaplah mereka dan bunuh mereka di manapun kalian menemukan mereka,
and jangan berkawan dan jangan jadi penolong diantara mereka, (Q.4: 89)
Pada
ayat di atas, Muhammad memerintahkan orang-orangnya di Mekah untuk
meninggalkan rumahnya dan pergi ke Medina. Dia bahkan lebih lanjut
memerintahkan Muslim lain untuk membunuh mereka jika mereka balik
kembali ke rumahnya. Ini sungguh sesuai dengan sifat Islam sebagai
sebuah bidat/sekte sesat. Jadi kita bisa melihat bahwa kepergian
orang-orang Muslim dari Mekah tidak disebabkan oleh penindasan kaum
penyembah berhala. Tidak ada penindasan dari mereka meskipun Muhammad
menghina kaum Quarish sampai pada batas kesabaran mereka. Para pengikut
Muhammad baru meninggalkan Mekah karena dia memerintahkan mereka untuk
pergi. Caranya menekan sedemikian hebat sampai-sampai dia berkata
bahwa mereka akan masuk neraka jika mereka tetap tinggal dan tidak mau
pergi.
Lihat! Para malaikat membawa (kematian) bagi mereka
ketika mereka berdosa, (para malaikat) akan bertanya: apa yang sedang
terjadi padamu? Mereka akan berkata: Kami ditekan di daerah ini. (Para
malaikat) akan berkata: Tidakkah bumi milik Allah luas sehingga kalian
bisa pindah ke tempat lain? Karena itu, tempat kalian adalah di neraka,
ujung perjalanan kejahatan. (Q.4: 97)
Muhammad
merencanakan untuk menaklukan Arabia dan menundukkan Persia.
Pertanyaan
yang kemudian timbul adalah: “Kenapa?” Kenapa sang Nabi memaksa
pengikutnya bermigrasi padahal mereka tidak ditekan di kota mereka
sendiri? Kenapa dia memaksa mereka untuk meninggalkan tanah asalnya?
Cara ini sungguh tidak lazim sehingga banyak ahli sejarah Islam dari
dunia Barat seperti Sprenger dan Sir William Muir gagal melihat rencana
sebenarnya yang sedang digodok dalam kepala Muhammad sejak hari-hari
awal waktu dia tahu bahwa hanya ada segelintir orang saja yang
sebenarnya percaya bahwa dia itu utusan Tuhan.
Muir
dalam “Kisah Hidup Muhammad” mengutip Hishami:
Orang-orang Koreish, mendengar bahwa Abu Talib hampir
mati, mengirim seorang utusan yang mengusahakan agar ada ikatan di
kedua belah pihak, bahwa setelah kematian Abu Talib, semua kekangan
pada Muhammad akan ditiadakan. Mereka mengajukan persyaratan agar
mereka tetap dapat memeluk agama kuno mereka, dan Muhammad harus
berjanji untuk tidak mengganggu atau ikut campur, dan sebaliknya mereka
pun setuju untuk tidak menganggu kepercayaannya.
Abu
Talib memanggil Muhammad dan menyampaikan permintaan wajar itu.
Muhammad menjawab, “Tidak, tapi ada satu kata, yang jika kalian katakan,
kalian akan jadi penakluk Arabia, dan menundukkan Ajam (Persia).”
“Bagus!”
kata Abu Jahl, “tidak ada satu kata seperti itu, tapi sepuluh.”
Muhammad
menjawab, “Maka dari itu katakanlah: Tidak ada Tuhan selain Allah, dan
tinggalkan agama kalian.”
Dan
mereka pun menepukkan tangan mereka dengan marah, “Apakah kamu memang
benar-benar ingin mengubah dewa-dewa kami jadi satu Tuhan? Sungguh aneh
sekali!”
Dan
mereka pun mulai bersahutan satu sama lain, “Orang ini keras kepala dan
tidak dapat diajak kerja sama. Kalian tidak akan dapat persetujuan
apapun yang kalian harapkan. Kembalilah, dan biarkan kami menganut
agama dari kakek moyang kami sampai Tuhan menentukan masalah diantara
kami dan dia.”
Maka
mereka bangkit dan pergi. Hishami, halaman 136
Dari
cerita di atas kita bisa mengambil beberapa fakta:
a. Orang Quraish tidak menindas orang Muslim dan pemimpinnya. Mereka hanya meminta agar Muhammad menghormati kepercayaan mereka.
b. Muhammad bersikeras untuk melanjutkan tingkah lakunya yang kasar dan menghina orang-orang Mekah dan agamanya.
c. Muhammad bermimpi untuk menaklukkan Arabia dan menundukkan Ajam/Persia.
a. Orang Quraish tidak menindas orang Muslim dan pemimpinnya. Mereka hanya meminta agar Muhammad menghormati kepercayaan mereka.
b. Muhammad bersikeras untuk melanjutkan tingkah lakunya yang kasar dan menghina orang-orang Mekah dan agamanya.
c. Muhammad bermimpi untuk menaklukkan Arabia dan menundukkan Ajam/Persia.
Sudah
menjadi jelas bahwa sang Nabi ketika masih di Mekah dengan segelintir
pengikut sebenarnya sudah berangan-angan untuk menaklukkan Arabia dan
menundukkan Persia. Apakah layak bagi utusan Tuhan berangan-angan untuk
“menaklukkan” dan “menundukkan”?
Yang
sewajarnya diharapkan dari orang yang dipilih Tuhan akan menjadi terang
bagi umat manusia, punya pemikiran yang lebih mulia untuk membimbing,
mendidik dan memerdekakan manusia, dan bukannya menaklukkan dan
menundukkan mereka. Ini adalah pemikiran para penakluk bengis seperti
Jengis Khan, Napoleon, Hitler dan bahkan Saddam Hussein. Tapi pemikiran
seperti ini tidak layak datang dari seorang Nabi Tuhan, yang
seharusnya memancarkan kasih sayang, belas kasihan, dan
kualitas-kualitas spiritual.
Sang
Nabi adalah kasus jelas seorang megalomaniak. Dia penderita manik
depresif yang hebat. Ketika dia sedang penuh semangat, dia punya
angan-angan untuk menaklukan dunia dan ketika ia sedang patah semangat,
ia penuh dengan pemikiran untuk bunuh diri.
Sahih Bukhari V. 9, Buku 87, Nomor 111
“….Inspirasi Illahi juga berhenti sesaat dan sang Nabi jadi begitu sedih seperti yang telah kita dengar bahwa ia beberapa kali bermaksud melemparkan dirinya dari puncak gunung tinggi dan setiap kali ia naik ke atas gunung untuk melemparkan dirinya ke bawah, Jibril akan muncul di depannya dan berkata, “O Muhammad! Engkau memang betul-betul Rasul Allah” dan hatinya jadi tenang dan ia pun turun ke bawah dan kembali ke rumahnya. Dan jikalau masa datangnya insipirasi jadi lama sekali, ia pun akan melakukannya lagi, tapi pada saat ia mencapai puncak gunung, Jibril muncul di mukanya dan berkata seperti yang telah dikatakan sebelumnya.”
“….Inspirasi Illahi juga berhenti sesaat dan sang Nabi jadi begitu sedih seperti yang telah kita dengar bahwa ia beberapa kali bermaksud melemparkan dirinya dari puncak gunung tinggi dan setiap kali ia naik ke atas gunung untuk melemparkan dirinya ke bawah, Jibril akan muncul di depannya dan berkata, “O Muhammad! Engkau memang betul-betul Rasul Allah” dan hatinya jadi tenang dan ia pun turun ke bawah dan kembali ke rumahnya. Dan jikalau masa datangnya insipirasi jadi lama sekali, ia pun akan melakukannya lagi, tapi pada saat ia mencapai puncak gunung, Jibril muncul di mukanya dan berkata seperti yang telah dikatakan sebelumnya.”
Perubahan
suasana hati ini menunjukkan pada kita bahwa sang Nabi bukanlah utusan
dari tuhan manapun, tapi ia adalah orang yang sakit jiwa, orang manik
depresif yang labil. Impiannya untuk menaklukkan dan mengalahkan begitu
kuat, dan ini menggerogoti pikiran-pikirannya sedemikian rupa sehingga
mengacaukan batas pengertian baik dan buruk dari kesadarannya.
Baginya, impian mendominasi menjadi tujuannya yang paling utama. Dan
untuk mencapai tujuan itu, ia tidak akan mau berhenti karena alasan
apapun. Dia terdorong berbohong dan bohongnya itu sangat meyakinkan
sehingga ia bahkan berhasil membohongi dirinya sendiri. Meskipun
penglihatan-penglihatan awalnya adalah hasil dari khayalannya. Jika
khayalan itu berhenti pun dia tetap saja mengeluarkan ayat-ayat karangan
sendiri dan menyatakan dengan teliti impian-impiannya yang megah
dengan begitu meyakinkan, dan gejala ini khas pada orang yang sakit
jiwa.
Megalomaniak
seperti Muhammad dan Hitler seringkali merupakan orang-orang yang
berkharisma dengan kepribadian yang mempesona yang bisa memukau
penontonnya dengan pidatonya, dengan semangatnya, dan dengan rasa
percaya dirinya. Melihat Hitler dengan pidatonya yang penuh keceriaan,
semangat, inspirasi dan pengaruh yang dibawakannya dengan penuh rasa
percaya diri, dan yang memukau imajinasi jutaan orang Jerman yang
mendengarkannya, mungkin bisa memberi kita pandangan ke dalam pemikiran
sang Rasul Allah dan mendapat penjelasan mengenai misteri dari sihirnya
atas pengikut dan pengabdinya yang naif dan sederhana.
Seperti
yang dia katakan di tempat pamannya Abu Talib yang waktu itu hampir
mati, Muhammad bermimpi untuk menaklukkan Arabia dan menundukkan Persia
yang perkasa, bahkan ketika pengikutnya hanyalah kelompok kecil yang
tidak terlatih dan tidak berarti, tanpa kemampuan untuk melawan atau
membela diri. Tetapi dia tidak hanya jadi pemimpi belaka, tapi dia juga
adalah orang yang berusaha mewujudkan impiannya dengan tekad dan
keuletan yang utuh. Untuk perjuangan menjadi penguasa besar, dia tidak
segan-segan mengorbankan apapun. Dia akan membunuh siapapun yang
melawannya. Dia akan membunuh orang-orang yang berpaling daripadanya.
Dia akan menghukum mati siapapun yang mengritiknya. Dia akan membantai
seluruh masyarakat Yahudi dan Kristen di Jazirah Arabia dan melakukan
salah satu genosida (pembantaian massal rasial) pada masyarakat Yahudi
di Medina dan Khaibar. Dia akan mengarang cerita-cerita jin dan
malaikat dan akan mengelabui pengikutnya dengan kisah-kisah
kunjungannya ke Surga dan Neraka untuk mengontrol pengikutnya yang
gampang tertipu dan bodoh. Dan dia akan menciptakan sebuah Allah,
mengaku sebagai utusanNya dan menjadi satu-satunya penghubung bagiNya,
sehingga ia dapat meminta penyerahan total tanpa syarat dari
pengikutnya hanya padanya seorang.
Impian-impiannya
adalah tentang kemegahan dan rencananya adalah sempurna. Waktunya
tepat dan ia memiliki orang-orang terbaik untuk membantunya. Orang-orang
Arab pada zamannya itu pemikirannya penuh dengan takhayul, fanatik,
ambisius, kejam, barbar, keras kepala, punya sifat patriotik
berlebihan, dan di atas semuanya mereka adalah orang-orang yang gampang
tertipu dan gampang percaya. Impian menaklukkan Arabia dan menundukkan
Ajam cocok bagi orang yang terpikat pada Muhammad di daerah itu.
Tapi
bagaimana ia dapat mewujudkan impiannya tanpa pasukan tentara?
Bagaimana caranya agar ia dapat meyakinkan pengikutnya untuk mengangkat
pedang dan menggunakannya untuk membunuh saudara, orangtua, dan
kawan-kawan mereka sendiri? Dia harus menciptakan perasaan tidak
senang. Dia harus menciptakan alasan kebencian yang tadinya tidak ada.
Dia harus mengadu saudara dengan saudara dan memecah belah orang-orang
sedemikian rupa sehingga mereka dengan sukarela mengangkat pedang dan
membabat satu sama lain atas perintahnya.
Karena
itu, di satu pihak ia menyelenggarakan kampanye untuk menghina
kepercayaan orang-orang Quraish dan mengganggu mereka senantiasa dengan
perkataan yang kasar dan menyakitkan hati untuk membuat mereka marah
dan memusuhi. Selanjutnya mereka akan menyerang dan menyakiti pengikut
Muhammad. Sebaliknya hal itu akan membuat pengikut-pengikut ini merasa
menjadi korban dan diperlakukan tidak benar. Di lain pihak, dia memaksa
pengikut-pengikutnya untuk menjalani kesukaran hidup di pengasingan,
meninggalkan rumah-rumah mereka dan pergi ke tanah asing. Jadi ia
menempatkan satu pihak bermusuhan dengan pihak lain, dan mengakibatkan
pengikutnya merasa tengah dianiaya. Sekarang mereka miskin, payah, dan
menderita. Muhammad membutuhkan rasa marah dan sakit hati ini untuk
memperkuat pengaruhnya pada mereka dan menguasai ketaatan mereka. Agar
bisa berkuasa, dia harus memecah belah dulu.
Untuk
berkuasa atas orang-orang bodoh dan membuat mereka berpihak kepadamu,
engkau harus memberi mereka sekelompok musuh. Tidak ada yang lebih
dapat membuat orang-orang berkumpul di sekeliling Muhammad selain
adanya pihak musuh. Ini merupakan tipuan paling kuno, yang sudah sangat
berhasil digunakan oleh semua diktator di seluruh sejarah hidup umat
manusia. Bahkan Ayatollah Khomeini pun menggunakan taktik ini untuk
memperkuat dominasinya terhadap orang-orang Iran yang mudah tertipu dan
percaya pada kebohongannya.
Muhammad,
yang membual di Qur’an “Makaroo va makara Allah. va Allah khairul
makereen” merupakan pembohong ulung pula. Dia berhasil membuat
kebencian agama diantara orang-orang yang meskipun bodoh dan fanatik
tapi sebelumnya tak pernah menunjukkan sikap tak bertoleransi pada
agama lain. Sekarang ia punya pengikut yang miskin, tidak puas, dan
marah. Mereka siap berperang baginya dan menolongnya untuk mewujudkan
impian-impiannya. Ketaatan pada “Tuhan dan Rasul Allah”, jadi semboyan
Islam. Dan tentu saja, seperti biasanya, Allah akan memunculkan
ayat-ayat untuk memberi NabiNya kekuasaan mutlak.
Siapapun yang tidak taat pada TUHAN DAN NABINYA, akan
dimasukkan ke dalam Api Neraka, mereka akan berada di sana, selamanya!
(Q.72: 23)
Menarik
untuk disimak bahwa setelah ber-tahun-tahun menderita cacian, kaum
Quraish memboikot usaha dagang dengan Muhammad dan pengikutnya. Mereka
tidak mau membeli ataupun menjual apapun pada Muhammad dan pengikutnya.
Mereka tidak mau menikah dengan siapapun dari kelompok Muhammad. Mereka
bahkan mengancam untuk menghukumnya jika dia tidak berhenti menghina
dewa-dewanya.
Selama
waktu ini, Muhammad membentengi dirinya dengan anggota-anggota
keluarganya, orang-orang Hashemis (tanpa Abu Lahab) di Perempatan Mekah
yang dikenal sebagai She’b dari Abu Talib. Keadaan ini berlangsung
selama 3 tahun. Selama itu, mereka hanya ke luar saat naik haji dan
kembali lagi setelah selesai. Suku Quarish tidak pernah menyerang
Perempatan itu. Sebaliknya, mereka tampak puas sekali bahwa Muhammad
tidak lagi berada di jalan-jalan meneriakkan kata-kata kotor pada
dewa-dewa mereka.
Jika
kaum Quraish ingin benar-benar menghabisi orang-orang Muslim dan
Muhammad, mereka punya banyak kesempatan untuk melakukan hal itu. Tapi
meskipun demikian mereka tidak menunjukkan sikap permusuhan dalam
bentuk kekerasan terhadap kaum Muslim. Sebenarnya jauh lebih mudah bagi
mereka untuk membasmi Muhammad beserta keluarganya daripada bagi
Muhammad untuk membasmi tiga suku Yahudi di Medina.
Meskipun
begitu, suku Quraish tetap curiga pada sang Nabi dan
tindakan-tindakannya, karena mereka mendengar jumlah pengikutnya
bertambah di Medina. Pesan-pesan Muhammad penuh nada kematian dan
ancaman untuk membuat mereka sengsara dan sikapnya pada orang-orang
Mekah jelas penuh permusuhan. Karena itu, wajarlah jika mereka bersikap
waspada pada tindak-tanduknya dan mengawasinya dengan seksama.
Kecurigaan mereka meningkat saat mereka mengetahui bahwa sang Nabi
mengadakan pertemuan rahasia di tengah malam dengan para Peziarah dari
Medina di Acaba, di pinggir kota Mekah.
Orang-orang
Mekah tidak dalam keadaan berperang dengan orang-orang Yathrib
(Medina). Tetapi meskipun demikian, orang-orang Medina merupakan
orang-orang asing. Apa hubungan sang Nabi dengan mereka? Mengapa dia
bersekongkol dengan orang-orang asing dan apa tujuannya pertemuan
rahasia dengan mereka di tengah malam? Kita tidak dapat menyalahkan
orang Quraish yang waswas dan khawatir akan keselamatan mereka ketika
melihat rapat gelap yang mungkin mengancam kehidupan mereka.
Ini
mengharuskan mereka untuk bertemu dan bicara dengan sang Nabi untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya. Hasil pertemuan tidak jelas, tapi
yang pasti ini membuat Muhammad takut kehilangan nyawanya dan melarikan
diri dari Mekah ke rumah temannya, Abu Bakr.
Muhammad
kemudian mengingat kejadian itu dan menebak, mungkin mereka berencana
untuk menangkapnya, membunuh atau melenyapkannya. Tapi tidak ada bukti
akan terkaan itu dan bahkan dia sendiri maupun tuhannya yang MAHA tahu
tampaknya tidak yakin akan hasil akhir pertemuan itu.
“Dan teringat ketika orang-orang tidak beriman
merencanakan untuk melawanmu, dan mereka mungkin akan menangkapmu, atau
membunuhmu, atau melenyapkanmu. Ya, mereka merencanakan, tapi Tuhan
merencanakan yang sebaliknya. Dan Tuhan adalah perencana terbaik.”
(Q.8: 29)
Di
Medina
Setelah
Muhammad dan Abu Bakr lari ke Medina, keluarga mereka tinggal di tempat
asal (Mekah) selama beberapa minggu. Tapi tidak ada sesuatu pun yang
terjadi pada mereka, dan suku Quraish tidak pernah menyakiti, mengusir
atau mengganggu mereka sama sekali. Meskipun sebagaimana yang
diungkapkan Muir “bukannya tidak masuk akal untuk menyandera mereka
(keluarga Muhammad dan Abu Bakr) untuk berjaga-jaga terhadap serangan
dari Medina. Kenyataan ini menyebabkan kita ragu akan tingginya tingkat
kebencian dan kepahitan suku Quraish terhadap Muhammad yang tampaknya
tidak seperti yang biasanya diceritakan. Sesuai dengan pandangan ini,
ternyata yang pertama-tama menyerang duluan, setelah peristiwa Hegira,
adalah pihak Muhammad dan para pengikutnya. Setelah beberapa kafilah
mereka dijarah dan dihancurkan, dan darah dikucurkan, barulah
orang-orang Mekah terpaksa membela diri mengangkat senjata”.
Kenyataan
bahwa Muhammad dan Abu Bakar tenang-tenang saja terhadap keamanan
keluarga mereka yang ditinggalkan sendirian di Mekah, jelas menunjukkan
bahwa sikap permusuhan yang dituduhkan pada kaum Quraish terhadap
orang-orang Muslim ternyata dilebih-lebihkan dan hanya merupakan alasan
belaka untuk mensahkan penyerangan selanjutnya ke Mekah. Tiada seorang
Muslim pun yang diusir. Semuanya ke luar dari kota itu karena keinginan
sendiri. Sebagian dari mereka ditahan oleh anggota keluarga mereka
sendiri dan beberapa yang menjadi budak tidak dapat ikut pergi.
Selebihnya ikut Muhammad tanpa gangguan dari suku Quraish.
Ketika
Muhammad sampai di Medina, terdapat kira-kira duaratus pengikutnya
(yang berasal dari Mekah) dan orang-orang Medina dari suku Khazraj dan
Aus yang percaya padanya dan mungkin jumlahnya juga sekitar duaratusan.
Orang Mekah bukanlah orang yang trampil dan biasanya mereka bekerja di
ladang dan perkebunan. Kebanyakan bekerja sebagai buruh dan pesuruh
orang-orang Yahudi yang kaya raya. Maka keadaan saat itu sukar buat
orang-orang dari Mekah ini. Iman percaya pada Allah memang baik tapi
tidak bisa memberi mereka makan. Muhammad tahu bahwa dia tidak dapat
menguasai pengikutnya terlalu lama jika dia tidak bisa memenuhi
kebutuhan sehari-hari mereka. Lebih dari itu, ia memaksa mereka pindah
tempat untuk berperang bagi dia dan mendirikan kekuasaannya di seluruh
Arabia dan menundukkan Persia.
Akan
tetapi pengikutnya yang berjumlah kecil itu tidak layak untuk menerima
tugas-tugas militer. Meskipun begitu dia telah menjanjikan mereka yang
meninggalkan rumah-rumahnya di Mekah, akan menggantinya dengan rumah
yang mewah di dunia dan sekaranglah waktu untuk mewujudkan janjinya.
Kalau tidak ia akan menghadapi pemberontakan dan penolakan dari
pengikut-pengikutnya.
“Bagi
mereka yang meninggalkan rumah-rumah mereka karena Tuhan, setelah
menderita tekanan, – Kita tentu akan memberikan sebuah rumah mewah di
dunia ini, tapi sebenarnya hadiah di dunia baka lebih besar lagi. Jika
saja mereka mengetahui (hal ini)!” (Q.16: 41)
Bagaimana
mungkin dia dapat menyediakan segala kemewahan yang dijanjikannya pada
mereka di dunia ini? Tentu saja Allah sendiri tidak dapat melakukan hal
itu. Inilah saat dia harus menerapkan rencana yang sudah dipikirkannya
di tahun-tahun sebelumnya. Tentu saja menaklukkan Arabia dan menundukkan
Persia tidaklah mungkin dengan sedikit pengikut seperti itu, tapi
menyerangi kafilah pedagang dan merampoki barang-barang mereka sih bisa
saja.
======>>>>>