Yagmur Dursun*
“Ada sebuah perayaan, tetapi itu bukan pesta
pernikahannya. Ia mengenakan gaun putih, tetapi itu bukan gaun
pengantinnya. Banyak orang datang ke pesta itu, tetapi mereka datang
untuk mengutukinya dan melemparkan batu padanya. Tak ada musik yang
dimainkan dan tidak ada lagu-lagu sukacita yang dinyanyikan; hanya
teriakan Allah-u-Akbar yang memenuhi udara.”
Sejak
peristiwa 11 September, kami masih terus mendengar bahwa Islam adalah
sebuah agama damai. Tetapi aksi-aksi dari ratusan ribu orang-orang
Muslim fanatik memberikan alasan yang tepat untuk kami melihat agama ini
secara berbeda. Jika kita mengalihkan
mata kita dari headline berita,
maka ada juga kisah-kisah yang belum diceritakan, tetapi kisah-kisah itu
pun memperlihatkan pada kita sisi gelap dari Islam.
Dalam kisah tragis berikut ini, anda akan
bertemu dengan Yagmur, yang menceritakan bagaimana saudara perempuannya
jatuh cinta dengan seorang pria muda, dimana ayah pria itu melarangnya
untuk menikahi wanita ini. Yagmur masih ingat betapa bahagia wajah kedua
orang muda ini dan betapa mereka saling mencintai. Dalam usaha untuk
mendapatkan restu dari orangtuanya, saudara perempuan Yagmur dan
pacarnya memberitahukan bahwa ia sudah hamil. Apa yang kemudian
berlangsung dalam kisah nyata mengenai hati yang hancur dan penganiayaan
ini, adalah sesuatu yang tidak terbayangkan oleh mereka yang hidup di
negara Barat. Setelah mendengar kehamilan anak perempuannya, ayah Yagmur
dengan geram membawa anak perempuannya ke para pemimpin agama. Karena
telah terjadi perzinahan, maka saudara perempuan Yagmur akan dihukum
mati dengan cara dilempari dengan batu. Ini adalah sebuah kisah cinta
yang tragis, dengan brutalitas yang tak terbayangkan. Setting dari
hikayat ini mungkin akan mengejutkan banyak orang. Disamping itu, kisah
ini terjadi bukan di Saudi Arabia, Iran atau Afghanistan, melainkan di
Turki – yang banyak orang pada masa kini percaya bahwa negara ini akan
segera menjadi anggota permanen dari Masyarakat Ekonomi Eropa.
Kisah Cinta Yang Belum Pernah Diceritakan
Nama saya Yagmur (artinya “hujan”). Saya
dilahirkan di pedalaman Turki, di sebuah desa. Pada umumnya,
wanita-wanita Turki menikmati banyak kebebasan yang bagi saudari-saudari
Arab kami merupakan hal yang tidak pernah mereka pikirkan. Tetapi
pedalaman Turki adalah cerita yang berbeda. Pembunuhan karena kehormatan
terjadi setiap hari. Biasanya wanita mengerjakan urusan-urusan rumah
tangga meskipun mereka masih diperbolehkan bekerja di luar. Tetapi
sebenarnya wanita bekerja lebih keras dari pria sebab umumnya pria tidak
suka memaksa diri mereka. Di sini, wanita seperti sapi atau budak. Jika
suamimu menyuruhmu melakukan sesuatu maka engkau harus mentaatinya.
Ibu saya adalah seorang wanita yang agak
berpendidikan. Ia mengajariku di rumah dan bahkan mengijinkanku belajar
di sekolah. Hobby saya adalah membaca buku. Melalui buku-buku ini, saya
mempelajari bahasa-bahasa yang berbeda dan memperoleh banyak
pengetahuan.
Saya seorang gadis yang berdisiplin dan taat,
berbeda dengan saudara perempuanku yang agak angkuh. Ketika ia berusia
delapan belas tahun, ia jatuh cinta pada seorang pria muda. Keduanya
saling mencintai, tetapi pria itu sudah dijodohkan dengan gadis lain,
dan ini adalah keputusan orangtuanya. Pacaran merupakan hal yang
dilarang dalam Islam; pernikahan terjadi karena dijodohkan dan
seringkali orang-orang muda hanya bertemu pasangannya pada hari
pernikahan.
Tetapi kakak perempuanku memberontak. Ia
“berpacaran” dengan pria muda itu. Setiap malam ia akan pergi untuk
bertemu dengannya. Mereka melakukan ciuman dan kemudian hubungan itu
menjadi terlalu jauh: Ia pun hamil. Pada awalnya mereka merencanakan
untuk melarikan diri ke kota besar dimana kemungkinan mereka akan aman
di sana. Mereka tahu peraturan agama di desa dan menyadari bahwa mereka
akan mendapatkan masalah besar. Para pemimpin pusat tidak perduli apa
yang terjadi di pedalaman Turki. Kadang-kadang memang ada imam atau
mullah dan para tua-tua yang dihukum karena mereka mencoba untuk
mempraktekkan hukum Islam (Sharia) dan melanggar hukum sekular
pemerintah. Tetapi biasanya pemegang otoritas lebih tertarik dengan
kota-kota besar yang dipenuhi oleh para turis dan menutup mata mereka
terhadap apa yang terjadi di desa-desa.
Saya ingat wajah muda mereka. Saya tidak
memahami seluruh situasinya; saya hanyalah seorang gadis kecil. Tetapi
ketika saya memandang mereka saya bisa melihat bahwa mereka berbahagia.
Kebahagiaan mereka membuat saya bahagia juga, dan saya ingin tersenyum.
Bukannya menikah dengan orang pilihannya,
mereka berbicara kepada ayah saya. Kehamilan adalah sebuah alasan baik
untuk mendapatkan ijin menikah, itu yang mereka kira.
Celakanya, kakakku salah dalam mengkalkulasikan
cinta ayah kami padanya dan obsesi ayah dengan agamanya. Ternyata ia
menjadi sangat marah. Bukannya membiarkan dua orang yang sedang jatuh
cinta ini menikah dan membangun cinta mereka, ia membawanya ke para
pemimpin agama dan mereka menetapkan bahwa kakakku telah melakukan dosa
perzinahan. Ia dijatuhi hukuman mati dengan dilempari dengan batu.
Mereka tidak menunjukkan belas kasihan bahkan terhadap janin dalam
kandungannya. Ia telah menodai “kehormatan” keluarganya dan satu-satunya
jalan untuk menghapus noda itu adalah dengan melenyapkan hidupnya yang
baru bersemi itu. Janin dalam kandungannya juga merupakan noda, dan
ciptaan kecil itu harus dihancurkan supaya keluarga kami bisa kembali
hidup dengan terhormat.
Pada malam sebelum ia dieksekusi, ia datang ke
kamar saya dan mengatakan kepadaku bahwa ia akan merindukan saya. Ia
menangis dan memeluk saya di dadanya. Kemudian ia tersenyum dan berkata
bahwa ia akan melihat bayinya yang belum lahir. Saya merasa bahagia,
tidak tahu akan nasibnya, tetapi saya bisa merasakan bahwa sesuatu yang
buruk akan terjadi. Saya begitu takut!
Saya masih ingat matanya yang hitam; ia menatap
langit ketika tanah digali dan ia dimasukkan ke dalamnya. Ia dibungkus
dengan kain putih dan tangannya diikat ke tubuhnya. Ia dikubur hingga
batas pinggang. Massa mengelilinginya dengan batu di tangan mereka dan
mulai melemparinya dengan batu sambil menyerukan Allah-u-Akbar!
Allah-u-Akbar! sebagai tambahan atas kegilaan yang mereka lakukan.
Kakakku menggelepar kesakitan sementara batu-batu menghantam tubuhnya
yang lemah dan memecahkan kepalanya. Darah mengalir keluar dari wajah,
pipi, mulut, hidung dan matanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah
membungkukkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Perlahan-lahan gerakannya
melambat dan akhirnya berhenti meskipun hujan batu terus berlangsung.
Kepalanya tertelungkup di dadanya. Wajahnya yang penuh darah tetap
tenang. Semua kesakitan telah pergi. Massa yang histeris menjadi kasihan
dan teriakan Allah-u-Akbar pun berhenti. Seseorang mendekat, dengan
sebuah batu besar di tangannya, menghantam tengkorak kakak saya dengan
batu itu untuk memastikan nyawanya berakhir. Sebetulnya ia tidak perlu
melakukan itu karena ia sudah mati. Mata hitamnya yang biasanya bersinar
dengan kehidupan sekarang tertutup. Tawa riangnya yang biasanya
memenuhi dunia di sekelilingnya kini telah membisu. Jantungnya yang
berdetak dengan cinta surgawi untuk waktu yang hanya singkat saja,
sekarang telah berhenti. Bahkan janinnya tidak diberikan kesempatan
untuk menghirup udara. Janin ini menemani ibunya yang masih muda di
tempatnya yang sunyi dan kuburannya yang dingin, atau siapa yang tahu,
mungkin ke tempat yang lebih baik dimana cinta memerintah dan kesakitan
serta kebodohan tidak dikenal. Nyawa kedua mahluk hidup ini harus
dihapus supaya ayah saya bisa menjaga kehormatannya.
Ia ingin menikah dengan pria yang ia cintai. Ia
memimpikan bisa mengenakan gaun putih di hari pernikahannya; dimana
akan ada sebuah pesta perayaan yang besar, banyak orang akan diundang
dan mereka semua akan mengucapkan selamat kepadanya, menyanyikan
lagu-lagu sukacita, dan melemparkan bunga dan guntingan kertas berwarna
kepadanya. Ya, memang masih ada perayaan, tetapi bukan perayaan pesta
pernikahannya. Ia memang masih mengenakan pakaian putih, tetapi itu
bukan gaun putih untuk pernikahannya. Banyak orang datang ke pesta itu,
tetapi mereka datang untuk mengutukinya, dan melemparinya dengan batu.
Tidak ada musik yang dimainkan dan tidak ada lagu-lagu sukacita yang
dinyanyikan; hanya teriakan Allah-u-Akbar yang memenuhi udara. Pelukan
yang ia terima hanya dari tanah yang dingin dimana separuh tubuhnya
dikubur. Ciuman yang ia terima hanya dari batu-batu yang dilemparkan
kepadanya dan merobek dagingnya serta menghancurkan tulang-tulangnya.
Mereka menciumnya dengan kematian. Ia tidak dipersatukan dengan pria
yang ia cintai tetapi dinikahkan dengan kematian.
Ini adalah sebuah tragedi bagi kekasih kakak
saya. Hidupnya menjadi tidak berarti. Ia mendapatkan cambukan, tetapi
hanya itu saja. Ia bisa saja melupakan seluruh kisah asmara mereka dan
melanjutkan hidupnya, tetapi ia tidak sanggup melakukannya. Saya setiap
hari melihatnya berdiri di depan pintu rumah kami, seolah-olah sedang
menunggu kakak saya untuk keluar dan bertemu dengannya. Saya melihatnya
menangis. Saya hanya bisa membayangkan bahwa ketika ia tidak menangis di
depan rumah kami, maka saat itu ia sedang berada di pemakaman, menangis
di atas makam orang yang ia kasihi dan bayinya. Hingga suatu hari ia
tidak sanggup lagi menanggung penderitaannya dan kemudian ia pun gantung
diri hingga mati.
Kematiannya didiamkan dan tak ada orang yang
membicarakannya. Mungkin tak ada orang yang peduli. Ia dipersatukan
dengan kekasihnya dan bayinya. Tak ada lagi orang yang bisa menyakiti
mereka. Tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka.
Ini adalah sebuah kisah sedih. Tetapi berbeda
dengan cerita Romeo dan Juliet, ini adalah kisah nyata yang belum pernah
diungkapkan. Tak seorang pun membicarakan kedua orang yang tengah
kasmaran itu. Tak ada orang yang menangisi mereka. Tidak hanya mereka
dikubur, tetapi memori mengenai mereka berdua juga dikubur seolah-olah
mereka tidak pernah eksis. Cinta mereka yang tulus membuat orang lain
merasa malu, perasaan malu yang harus dihilangkan dengan darah mereka.
Tetapi bagian yang paling menyedihkan adalah
bahwa, berdasarkan hukum Islam, kakakku layak dihukum mati. Para tua-tua
yakin bahwa ia akan dibakar di api neraka hingga selama-lamanya. Tidak,
saya tidak bisa membayangkan bahwa Tuhan akan mengirimkan seseorang ke
neraka karena mencintai seseorang dan karena merasa bahagia oleh cinta
itu. Saya tidak bisa menerima tuhan yang sadis seperti itu.
Ketika saya telah berusia delapan belas tahun,
saya menikah dengan seorang pria Turki yang bekerja sebagai bisnisman.
Ia berasal dari Jerman. Ketika saya datang ke Jerman, saya menemukan
bahwa ia sudah memiliki seorang isteri yang lain.
Ia bukan seorang yang jahat. Ia sangat baik,
tetapi ia seorang Muslim. Ia tidak bisa mengerti mengapa orang Eropa
tidak suka poligami. Ia tidak mengijinkan kami isteri-isterinya keluar
rumah. Ia melindungi kehormatan kami dengan cara yang aneh.
Kemudian kami pindah ke Inggris. Di sini kami
bahkan lebih terisolasi daripada di Jerman karena hanya ada sedikit
orang Turki di negara ini. Di Jerman, paling tidak kami masih bisa
bertemu dengan orang-orang Turki yang lain.
Hubunganku dengan isteri pertama suamiku
seperti teman. Tentu saja ada rivalitas diantara kami, tetapi saya
sendirian dan tidak bisa keluar rumah untuk bertemu dengan orang lain.
Hidupnya membosankan dan kosong sama seperti hidup saya. Kami tidak
dapat membenci satu sama lain; kami harus menjadi teman untuk mengatasi
masalah-masalah kami. Aku dan dia seperti dua orang pasangan sel. Kami
saling memiliki. Tidak ada banyak ruang untuk antagonisme atau sakit
hati.
Saya memiliki lima anak, dia empat anak. Ia
menempati posisi yang lebih istimewa dalam keluarga kami karena ia
memiliki anak laki-laki. Sejauh ini saya hanya melahirkan anak-anak
perempuan.
Kami berdua berpendidikan, tetapi ia sangat
terobsesi dengan anak-anak sehingga ia berhenti membaca buku. Saya masih
mencoba untuk belajar, barangkali suatu hari kelak saya akan
dibebaskan...membaca buku, tetap memasukkan informasi ke dalam otakku,
sebab aku suka berpikir. Ia sendiri tidak suka membaca buku atau
berpikir, karena itu saya merasa sendiri.
Terkadang saya berpikir untuk melarikan diri,
tetapi saya memiliki lima orang anak perempuan. Saya tidak bisa
meninggalkan mereka atau lari dari mereka. Saya merasa terjebak.
Meskipun saya sudah meninggalkan Islam cukup
lama, saya tidak pernah berhenti berdoa dan berpuasa. Suami saya
menyimpan rotan untuk ketidaktaatan.
Ketika saya coba memprotes, mulut saya
dibungkam dengan kutipan dari Quran. Islamlah yang menentukan hidup
kita. Betapa bodohnya jika ada orang yang menjalani hidup mereka
berdasarkan sebuah buku yang ditulis jauh di masa lalu?
Saya tidak sedang menyesali hidup saya. Tetapi
saya benar-benar benci dengan Islam. Paling tidak saya bisa
mempraktekkan tradisi tertentu, tetapi Islam telah menghancurkan budaya
kami, menurunkan derajat kaum wanita menjadi budak dan membiarkan mereka
dalam kebodohannya. Apa yang bisa anda harapkan dari seorang wanita tak
berpendidikan?
Ketika saya memandangi anak-anak perempuanku, saya
berdoa bahwa mereka akan hidup di sebuah dunia yang bebas, bebas dari
Islam dan perbudakan ini.
Yagmur Dursun* adalah nama yang ia
berikan dalam surat-suratnya. Sejumlah detil dari kisah ini telah
dirubah untuk menyembunyikan identitas penulis