Selasa, 08 Maret 2016

Buku Heboh: Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal bin Cabul

ahmad fauzi
Oleh: Ahmad Fauzi
(Alumnus UIN Walisongo Semarang)


Ketika sebuah teori menari-menari, meliuk-liuk sambil menancapkan paku-paku simplisitas dan koherensi, maka pandangan mata pun jadi berkunang-kunang. Otak kesetanan. Pikiran menjelajah menantang. Keranjingan akut mencari tumbal. Tubuh mana yang
bisa dirasuki roh anggur kesurupan. Dunia ini terlalu terang, kurang keseimbangan, mari kita suguhkan pada mereka pengetahuan terlarang. Yang mengakibatkan kita menjadi anak haram yang tak dikehendaki lahir oleh zaman.
Buku ini tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah karya ilmiah yang disiplin dengan aturan-aturan penulisan yang ketat dan kaku. Penulis sadar, apabila banyak memuat kutipan langsung seperti; ayat-ayat Al-Quran yang penuh huruf arab tentu membuat pening dan jenuh para pembaca umum. Maka, sebisa mungkin tulisan dalam buku ini dibuat lepas tanpa menyebut rujukan yang detail dan runtut. Dengan mengandalkan orisinalitas dan unsur kreatif serta karakter penulis yang penuh dengan emosi-skizofrenik, maka provokasi dan imajinasi adalah roh magis dari karya ini. Namun, bukan berarti mengabaikan unsur ilmiah dan tanggung jawab intelektual, tulisan ini tetap memiliki standar kepantasan akademis, penulis hanya tidak ingin tampil rigid dan kaku, itu saja. Selebihnya, penulis berusaha mengungkap aspek keindahan dan koherensi, simplisitas dan simetri, yang secara implisit merembesi teori-teori yang digunakan dalam buku ini, di mana hal tersebut lebih diagungkan penulis daripada pembuktian-pembuktian material yang dingin dan tanpa perasaan. Oleh karena itu, jenis buku ini juga bisa disebut sebagai novel imajiner.
Tulisan dalam buku ini terdiri dari empat bahasan utama. Pada Bab Pertama yang berjudul; Islam sebagai Gerakan Ideologis, dimulai dengan kritik penulis atas agama yang menopangkan pondasinya pada pewahyuan. Islam layak disebut sebagai salah satu agama yang sumber ajarannya berasal dari wahyu tuhan. Umat Islam tentu mengimani wahyu sebagai kebenaran yang tidak akan lapuk oleh tantangan zaman. Ia juga tidak akan berkarat oleh rayap sejarah. Ia akan selalu abadi bersama merananya alam ini dalam waktu yang tak bertepi. Doktrin wahyu dan kenabian membuktikan bahwa tuhan terlibat aktif dan ikut berpartisipasi dalam seluruh kejadian di dunia ini. Berdasarkan informasi dari Al-Qur’an dan Hadis itu sendiri, disebutkan bahwa wahyu muncul melalui berbagai cara, salah satunya dan ini yang paling kuat argumentasinya, adalah lewat saluran mimpi. Hadis-hadis yang memberitakan kalau malaikat menampakkan diri dalam wujud lelaki tampan, ketika menyampaikan wahyu kepada Nabi, bisa disebut lemah dan tidak dapat dipercaya. Begitu juga malaikat yang menampakkan dirinya secara utuh pada Nabi lebih sesuai untuk dianggap sebagai produk halusinasi. Sebab, dari kata “wahyu” itu sendiri bermakna “sesuatu yang tersamar atau tersembunyi,” maka tidak mungkin ada penglihatan dan pendengaran yang jelas secara material dalam pewahyuan.
Sejak zaman primitif, mimpi dianggap memiliki unsur kegaiban dan ketuhanan. Para Nabi Perjanjian Lama, semisal Nuh, Ibrahim, Musa, Yusuf dan seterusnya, diceritakan oleh Taurat, mereka memperoleh wahyu yang ternyata muncul lewat saluran mimpi. Mereka meyakini tuhan hadir dan menyapa mereka dalam mimpi. Dalam mimpi, kita merasakan sesuatu yang asing dan janggal, seolah ada kekuatan yang berasal dari luar diri kita mengendalikan dan menguasai alam pikiran kita, oleh orang-orang primitif kekuatan ini ditafsirkan sebagai intervensi ilahiah atau ketuhanan. Tapi, apakah pandangan ini bisa diterima oleh akal-sehat dan memiliki hujjah pengetahuan yang sahih? Karena, yang membuat kita merasa asing dan seolah dikendalikan oleh kekuatan yang berasal dari luar diri kita, sebenarnya itu adalah dinamika alam bawah sadar yang belum bisa dipahami oleh masyarakat primitif. Kekuatan alam bawah sadar dalam diri kita sendirilah yang menjadi sebab terciptanya gambaran-gambaran mimpi…..
… Sekilas kita menganggap wahyu tuhan itu cahaya yang terang, tapi pernahkah terbersit dalam pikiran kita bahwa sesuatu yang terang dan ilahiah tersebut bisa menyembunyikan nafsu gelap dan kegilaan? Penulis percaya kalau wahyu Al-Qur’an bisa disebut ayat-ayat ideologis, karena yang dinamai ideologi dalam pengertian Marxisme dan Psikoanalisa adalah kekuatan yang mampu memanipulasi dan mendistorsi kesadaran sehingga realitas dan kenyataan yang sebenarnya menjadi tersembunyi dan tersamarkan. Penulis curiga, bahwa sebenarnya wahyu menjadi ideologi atau kedok yang telah mengaburkan kesadaran orang yang mengimaninya sehingga manusia tidak bisa melihat kontradiksi dan patologi dibalik cahayanya yang terang dan mengagumkan. Dengan begitu, wahyu menyembunyikan watak aslinya yang gelap dan remang remang, lalu menampilkan dirinya menjadi sesuatu yang berkilau dan bersinar. Dari manakah pandangan-pandangan di atas bisa muncul?
Apabila kita telah membaca buku karangan saya sebelumnya yang berjudul; Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian, dipaparkan di dalamnya, bahwa yang disebut wahyu itu adalah hasil seni delusi dan halusinasi yang berasal dari pikiran alam bawah sadar para nabi. Salah satu petunjuk bagaimana kita menelusuri asal-usul wahyu, yaitu melalui mimpi. Wahyu yang diperoleh para nabi yang dianggap suci dan ilahiah oleh kita, ternyata berasal dan muncul dari pengalaman-pengalaman mimpi. Padahal kalau kita merujuk pada Psikoanalisa, psikologi mimpi merupakan hasil konflik psikis alam bawah sadar yang tertekan, di mana di dalamnya terdapat unsur manipulasi dan distorsi. Tidak ada yang gaib dan ilahiah di dalam mimpi. Mimpi merupakan bagian dari lumbung alam bawah sadar yang berisikan naluri kesenangan, yang penuh gairah, hasrat, nafsu dan daya agresi yang selalu ingin dipuaskan secara sewenang-wenang dalam kenyataan. Maka apabila agama kita mendasarkan diri pada wahyu yang muncul dari pengalaman mimpi, tentu agama yang kita anut memiliki akar-akar kekacauan psikologis yang sangat dalam. Apakah kita masih beragama dengan menopangkan kepercayaan kita pada sesuatu yan g mengandung patologi?
Dalam Bab Kedua yang berjudul; Mimpi, Mitos dan Kenabian, penulis berusaha menunjukkan bahwa mitologi yang selama ini kita temui dalam kisah-kisah kitab suci sebenarnya memiliki struktur pembentukan yang hampir mirip dengan mekanisme kerja mimpi. Salah satu cirinya adalah mimpi dan mitologi mempunyai simbol-simbol yang janggal dan asing. Fungsi simbol-simbol dalam mitologi, yaitu menyamarkan atau menyembunyikan sesuatu yang apabila diungkap secara tegas tentu akan mengganggu tabu dan ide-ide moral yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Hal ini mengakibatkan realitas yang sebenarnya, sulit untuk diketahui karena disamarkan dan disembunyikan oleh simbol-simbol yang kabur. Jadilah, jalan cerita mitologi itu nampak kontradiktif dan tidak koheren, karena alur yang seharusnya simetris dibelokkan oleh simbol-simbol yang janggal. Begitu juga dengan mekanisme kerja mimpi, di mana fungsi simbol-simbol aneh di dalamnya adalah untuk mengaburkan dan menyembunyikan pikiran dan motif sebenarnya dari pembentukan gambaran mimpi. Hasilnya, tampil gambaran mimpi yang aneh dan asing. Maka keduanya, baik mitos atau pun mimpi memiliki realitas dan pikiran yang tersembunyi.
Pada bab ini digambarkan adanya hubungan yang kuat antara mimpi, mitologi dan kenabian. Hubungan ini sepintas terlihat melalui fakta bahwa para nabi sebagaimana yang kita ketahui ternyata memperoleh wahyu lewat mimpi, padahal mimpi memiliki ciri-ciri yang hampir mirip dengan mitologi. Kisah-kisah nabi juga dipaparkan dalam bentuk mitologi. Maka, apabila kita mampu memahami mekanisme kerja mimpi dengan baik tentu misteri dalam mitologi dan kenabian dapat dimengerti dan terjelaskan. Kemudian, motif paling tersembunyi dan tujuan hadirnya para nabi di tengah masyarakat pun akan menjadi terang benderang.
Di Bab Ketiga, yang berjudul; Tragedi Incest Adam dan Hawa, penulis coba menerapkan penjelasan teori mimpi ke dalam tubuh mitologi yang kita kenal melalui kitab-kitab suci, yaitu kisah Adam dan Hawa. Penulis menafsirkan simbol-simbol misterius dalam kisah mitologi Adam dan Hawa berdasarkan Teori Mimpi Psikoanalisa dengan sedikit modifikasi tentunya, di mana hasil akhirnya terungkap bahwa Adam dan Hawa itu bukan sepasang suami-istri, tetapi ayah dan anak. Cerita Adam dan Hawa yang menjelaskan bahwa mereka merupakan pasangan suami-istri tetapi dilarang untuk melakukan hubungan seksual, bagi penulis ini cerita yang lucu dan menggelikan. Untuk mendapatkan kisah yang lebih koheren dan simetris tentu bergantung pada penjelasan simbol-simbol yang menyertai kisah ini. Setelah melalui terang Psikoanalisa tetapi melawan keyakinan kita yang diperoleh dari kitab suci, justeru menjadikan kisah ini lebih koheren. Yaitu, Adam dan Hawa ternyata bukanlah pasangan suami-istri, tetapi ayah dan anak, karena telah melakukan hubungan incest, maka diusirlah mereka berdua dari komunitas masyarakat. Di sini penulis menafsirkan kalau surga itu bukan suatu taman indah penuh kenikmatan yang terletak di atas langit, tetapi sebuah komunitas yang terletak di atas daratan bumi di mana di dalamnya ada “kebun” (jannah) yang ditanami dengan berbagai macam tumbuhan, dan komunitas ini telah mengenal mengolah tanah, berternak dan sudah tinggal menetap, yang artinya tidak lagi nomaden atau berpindah-pindah.
Adam dan Hawa bukanlah manusia pertama dalam sejarah. Mereka tidak sendirian ketika di surga, mereka telah berkelompok dan membentuk komunitas yang sudah mengenal mengolah tanah dan bercocok tanam. Oleh karena telah menetap dan mengolah tanah, membuktikan komunitas tempat Adam dan Hawa hidup ada dalam fase sejarah yang agak maju, di mana sebelum mereka tentu sudah ada kelompok masyarakat yang hidupnya lebih primitif. Dalam komunitas tempat Adam dan Hawa tinggal, terdapat banyak aturan, di mana ada satu aturan yang menjadi tabu yang harus dihindari oleh semua anggota, yaitu dilarang melakukan incest. Perlu kita ketahui tabu incest adalah kode hukum yang sangat tua dan primitif, bahkan lebih tua daripada dewa-dewa dan konsep ketuhanan. Suatu saat, karena mengalami kegerahan seksual yang disimbolkan dengan bisikan ular, Adam dan Hawa digoda oleh dorongan-dorongan seksual yang ada dalam diri mereka sendiri, lalu ayah dan anak ini melakukan persetubuhan yang berarti melanggar tabu yang menjadi pantangan ketat dalam komunitas tersebut. Akhirnya, diusirlah mereka dari komunitas masyarakatnya sendiri karena telah melakukan hubungan incest. Tuhan yang mengusir Adam dan Hawa sebenarnya simbol dari suara masyarakat itu sendiri.
Kisah mitologi Adam dan Hawa memang bersifat simbolik, tetapi kisah ini memiliki realitas dalam masyarakat tertentu. Berarti Adam dan Hawa adalah tokoh yang benar-benar hidup dalam sejarah, hanya saja karena melanggar tabu incest yang memalukan maka cerita tentang mereka pun dibelokkan dan disamarkan oleh keturunan mereka dengan simbol-simbol yang kabur. Dengan begitu, kenyataan yang memalukan di atas dapat disembunyikan dan ditutupi dari pembacaan kita, generasi seterusnya.
Memasuki bab terakhir, dengan judul; Nabi Kriminal, penulis membahas sebuah tema yang mungkin terkesan remeh dan sederhana, yaitu mimpi nabi Ibrahim menyembelih anaknya, Ismail (Versi Islam). Pemahaman kita atas gambaran mimpi Ibrahim menyembelih Ismail, sebenarnya memiliki implikasi yang sangat dalam bagi perumusan agama yang mendasarkan diri pada wahyu, dan tema ini merupakan kontinuitas atau bahkan puncak dari bab-bab sebelumnya. Dengan metode Psikoanalisa, penulis akhirnya sampai pada hakikat apa yang sebenarnya dimaksud mimpi tersebut. Mimpi Ibrahim menyembelih Ismail merupakan simbol pengulangan peristiwa segitiga Oedipus Complex yang terpendam dalam alam bawah sadar Ibrahim. Yaitu, rasa permusuhan yang ditujukan oleh Ismail kepadanya demi memperoleh hak cinta sang ibu, Hajar, telah membangunkan daya agresivitas Ibrahim dengan menekan dan menghukum Ismail, yang diwujudkan dalam gambaran ia menyembelih Ismail.
Simbol ia menyembelih Ismail berasal dari dorongan agresivitas atau rasa pemusuhannya dengan Ismail karena Ismail ingin menyingkirkannya demi memperoleh cinta istrinya, ibu Ismail. Inilah pikiran laten yang tersembunyi dalam psikis alam bawah sadar Ibrahim yang tidak disadarinya sendiri, motif sebenarnya kenapa ia menyembelih Ismail. Di dalam pikiran tersebut, sedikitpun tidak ada tanda ketuhanan dan kegaiban, murni motif kriminal, percobaan pembunuhan. Tetapi, Ibrahim justeru dengan cerobohnya menafsirkan mimpinya sebagai simbol perintah tuhan yang sedang menguji ketaatannya yang harus dibuktikan dengan menyembelih anaknya sendiri. Tuhan macam apa yang membutuhkan ketaatan hambanya dengan membunuh anaknya sendiri? Ini menyimbolkan Ibrahim menganut konsep Tuhan yang barbar, konsep tuhan yang diciptakan sendiri oleh pikirannya yang penuh dengan sifat agresif dan merusak. Tuhan Ibrahim yang barbar merefleksikan diri Ibrahim yang sebenarnya, yaitu sosok ayah yang sadis. Tuhan berasal dari proyeksi sifat-sifat dan kedirian manusia yang ditinggikan dan diobjektifkan ke dunia luar, setelah mendapatkan atribut personal kemudian diinternalisir kembali oleh manusia seolah ia eksis dan ada. Dalam sifat-sifat tuhan terdapat kepribadian manusia yang sebenarnya. Maka, dengan melihat konsep tuhan yang barbar dan sadis tersebut mencerminkan bahwa kata-kata tuhan dan wahyu, atau tepatnya delusi ketuhanan hanya digunakan untuk melegitimasi hasrat merusak dan membunuh dari manusia itu sendiri.
Tindakan Ibrahim yang berusaha menyembelih anaknya tersebut, memiliki arti ia mengangkat kualitas mimpinya yang mengandung kekacauan psikologis pada sesuatu yang bersifat ilahiah dan ketuhanan. Bagamana bisa kekacauan psikologis disucikan menjadi keilahian? Di sinilah terjadi perselingkuhan antara penyakit psikis dengan ketuhanan, sehingga kritik pengetahuan atas tindakan tersebut menjadi mandul, karena kritik ini membentur tembok keras yang terbuat dari beton kegaiban dan ketuhanan. Agama akhinya menjadi institusi kriminal, yang mensucikan sebuah percobaan pembunuhan. Ta’wil mimpi yang dilakukan Ibrahim berarti sama saja dengan membunuh kewarasan dan memelihara kegilaan. Apakah agama semacam ini patut dibela dan dipertahankan?
Ta’wil mimpi Ibrahim di atas meyimbolkan bahwa kenabian dan dasar-dasar keimanan ternyata ditopangkan pada landasan yang sangat lemah dan rentan atas kritik. Bukan saja memandulkan akal-sehat, tapi kisah ini bisa mendorong munculnya motif tindakan yang melawan dan memusuhi kemanusiaan dengan mengatasnamakan tuhan dan kesucian. Herannya kisah ini diagungkan oleh Al-Qur’an, diperingati oleh Nabi dan seluruh umat Islam, layaknya pesta suci yang maha kolosal. Orang beriman kehilangan kesadarannya, karena tidak mampu melihat apa yang ada di balik wahyu, dan tidak mengerti bahwa pewahyuan menyembunyikan naluri merusak dan menumpahkan darah. Kritik Psikoanalisa yang memperlihatkan sisi gelap dari agama pewahyuan, sebenarnya membantu kita untuk merumuskan kembali dasar-dasar agama yang lebih sehat dan dewasa, lepas dari delusi dan kekacauan psikologis. Yaitu, agama yang menopangkan dasar-dasarnya pada kewarasan dan pengetahuan, bukan pada wahyu yang delusif dan manipulatif.

Cari artikel Blog Ini

copy right