SHABESTAN
— Front Pembela Islam (FPI) tercatat sebagai organisasi masyarakat yang
paling banyak menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan selama satu tahun ini. Hal itu berdasarkan catatan akhir
tahun yang dilakukan oleh Wahid Institute.
Koordinator
Program Wahid Institute Rumadi Ahmad, menyebutkan sebanyak 52 kasus FPI
terlibat dalam pelanggaran kebebasan beragama selama tahun 2012,
disusul kelompok masyarakat sebanyak 51 kasus, individu sebanyak 25
kasus, Majelis Ulama Indonesia (MUI) 24 kasus, dan tokoh agama 12 kasus.
“Tingginya
jumlah pelaku yang melibatkan anggota FPI pada tahun ini tidak berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2011 anggota FPI juga tertinggi
menjadi 38 kasus,” ujar Rumadi di Balai Kartini Jakarta, Jumat
(28/12/2012).
Artinya,
lanjut Rumadi, angka tersebut meningkat. Dimana sebelumnya tiap 10 hari
melakukan kekerasan sebanyak satu kali namun saat ini mereka melakukan
satu kali dalam seminggu.
Rumadi mengatakan tindakan intoleransi yang dilakukan FPI dalam bentuk intimidasi maupun penyerangan fisik terhadap pihak-pihak yang mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu disebabkan oleh ideologi kekerasan yang sering dipraktekkan para anggota FPI di lapangan, dan lemahnya aparat penegak hukum di lapangan untuk menindak pelaku kekerasan.
Rumadi mengatakan tindakan intoleransi yang dilakukan FPI dalam bentuk intimidasi maupun penyerangan fisik terhadap pihak-pihak yang mereka anggap bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu disebabkan oleh ideologi kekerasan yang sering dipraktekkan para anggota FPI di lapangan, dan lemahnya aparat penegak hukum di lapangan untuk menindak pelaku kekerasan.
Selain
FPI, ormas lain yang juga menonjol sebagai pelaku pelanggaran
non-pemerintah yaitu MUI. Sama halnya dengan FPI, tindak kekerasan yang
dilakukan oleh MUI juga meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang
berjumlah 17 kasus. Tahun 2011, MUI menduduki posisi ketujuh, namun
tahun ini meningkat ke posisi empat.
“Bentuk
tindakan intoleransi yang paling sering dilakukan MUI adalah
fatwa-fatwa keagamaan yang menyesatkan kelompok lain, dimana MUI juga
meminta pemerintah melarang kelompok tersebut,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, MUI juga sering melakukan tindakan penyebaran rasa benci terhadap aliran-aliran yang mereka sesatkan.
Lebih
lanjut Rumadi mengatakan, bahwa peningkatan pelanggaran kebebasan
beragama dalam beberapa tahun terakhir menunjukan bahwa perkembangan dan
situasi kehidupan beragama di Indonesia tidak dijadikan sebagai
indikator utama pencapaian pembangunan dan demokratisasi di Indonesia.
“Pemerintah
cenderung lebih mengutamakan pencapaian-pencapaian dibidang fisik dan
ekonomi untuk mengukur tingkat pertumbuhan setiap tahunnya," tuturnya.
Oleh
karenanya, sambung Rumadi, Wahid Institute mendesak agar pemerintah dan
DPR segera menyusun UU tentang perlindungan kebebasan beragama dan
berkeyakinan. UU ini diharapkan menjadi pegangan bagi para penegak hukum
dilapangan dalam melindungi hak tiap warga negara dalam beribadah dan
beragama.
Selain
itu, Wahid Institute juga mendesak kepada pemerintah untuk lebih berani
menghadapi ormas-ormas pelaku kekerasan atas nama agama. Hal itu untuk
memberikan sanksi terhadap ormas tersebut.