Selasa, 05 April 2016

Detik.com dan Republika.co.id Terbukti Menerbitkan Berita Palsu (Taqqiyah Dalam Islam Halal kok)


SETELAH BERPESTA BERITA TAQIYA HALAL, 
DUA MEDIA BESAR
ISLAM INDONESIA MENELAN TAI NYA SENDIRI.

Kebohongan Jilid Kedua oleh Detik dan Republika?
Setelah ramai tentang kebohongan dan kesalahan “Demitri
Bolykov” yang dimuat oleh Detik dan Republika, ternyata
kedua
media tersebut juga telah menyebarkan hoax bahwa Jacques
Cousteau menjadi mualaf. Berikut adalah tautannya: http://
DETIK.COM
dan REPUBLIKA.CO.ID
NB: SAYANG NYA ARTIKEL INI TELAH DI HAPUS KARENA KE-2 MEDIA INI MALU TELAH MENERBITKAN BERITA HOAXXX

Di artikel tersebut, diklaim bahwa Cousteau terkagum-kagum
dengan “dinding pemisah antara air tawar dan air asin” dan
kesesuaiannya dengan ayat Al-Furqan 53 serta Ar-Rahman 19-20,
sehingga ia masuk Islam. Namun, hal ini adalah hoax, dan, seperti
yang akan dijelaskan, “dinding pemisah” di Terusan Suez maupun
Selat Gibraltar bukanlah “dinding pemisah” dalam arti yang
sebenarnya.
Mualaf?
Apakah benar Cousteau sudah menjadi mualaf? WikiIslam.net
sudah membantahnya secara lengkap, sehingga saya hanya perlu
menerjemahkannya saja. (sumber: http://wikiislam.net/wiki/
Jacques_Cousteau_%28Conversion_to_Islam%29
)
Klaim bahwa Cousteau menjadi mualaf adalah hoax karena:
1. Masyarakat Cousteau (awalnya dinamai “Yayasan Cousteau”
hingga tahun 1992) didirikan oleh Jacques-Yves Cousteau sendiri
dan saat ini dikepalai oleh istri keduanya Francine Cousteau.[1]
Surat klarifikasi berikut (bertahun 1991) yang ditulis oleh Didier
Cerceau dari Masyarakat Cousteau menyatakan bahwa Cousteau
tidak menjadi mualaf. Perlu dicatat bahwa dokumen berikut
merupakan komunikasi resmi dengan Yayasan Cousteau dan
Cousteau sendiri tidak membantahnya.
http://wikiislam.net/w/uploads/f/f8/Cousteau.gif
Karena suratnya dalam bahasa Perancis, berikut adalah
terjemahannya:
Monsieur Charles TUCKER 11A Chemin de Pennachy 69230 ST
GENIS LAVAL
FC/DC
Paris, 2 November 1991
Tuan, Kami telah menerima surat dari Anda dan kami berterima
kasih karena sudah tertarik kepada aktivitas kami. Kami
mengatakan dengan gamblang kepada Anda bahwa Komandan
Cousteau tidak pernah menjadi Muslim dan rumor ini menyebar
tanpa landasan apapun.
Dengan ramah tamah,
Didier CERCEAU
chargé de mission
2. Majalah Forbes melaporkan pada tanggal 18 Mei 2004 bahwa,
meskipun rumornya menyebar di dunia Islam, keluarga Cousteau
“kerap menampiknya”:
Selama berdekade-dekade, sebagai pelopor penjelajahan bawah
laut sistematis, penemu Aqua-Lung dan pemimpin pelestarian
ekologi laut, Jacques Cousteau adalah pahlawan media global.
Dokumenter perjalanannya di bawah laut telah ditonton di mana TV
berada. Di dunia Muslim, rumor bahwa ia menjadi mualaf sebelum
meninggal masih menyebar, meskipun keluarganya secara hormat
kerap menampiknya.[2]
3. Teks berikut telah menyebar secara luas di Internet dan
dikatakan merupakan kutipan Cousteau yang mengungkapkan
pilihannya atas Islam setelah mengetahui bahwa dua samudra
tidak bercampur, yang sesuai dengan Quran.
“In 1962 German scientists said that the waters of the Red Sea
and the Indian Ocean did not mix with each other in the Strait of
Bab-ul-Mandab where the Aden Bay and the Red Sea join. So we
began to examine whether the waters of the Atlantic Ocean and the
Mediterranean mixed with each other. First we analyzed the water
in the Mediterranean to find out its natural salinity and density,
and the life it contained. We repeated the same procedure in the
Atlantic Ocean. The two masses of water had been meeting each
other in the Gibraltar for thousands of years. Accordingly, the two
masses of water must have been mixing with each other and they
must have been sharing identical, or, at least, similar properties in
salinity and density. On the contrary, even at places where the two
seas were closest to each other, each mass of water preserved its
properties. In other words, at the point where the two seas met, a
curtain of water prevented the waters belonging to the two seas
from mixing. When I told Professor Maurice Bucaille about this
phenomenon, he said that it was no surprise and that it was
written clearly in Islam’s Holy Book,the Qur’an al-karim. Indeed,
this fact was defined in a plain language in the Qur’an al-karim.
When I knew this, I believed in the fact that the Qur’an al-karim
was the ‘Word of Allah’. I chose Islam, the true religion. The
spiritual potency inherent in the Islamic religion gave me the
strength to endure the pain I had been suffering for the loss of my
son.”
Namun, kutipan ini diambil dari “The Reasons Why They Become
Muslims”, buku Turki yang diterbitkan oleh Waqf Ikhlas
Publications, dan tidak dikaitkan dengan Cousteau oleh sumber
terpercaya manapun.
4. Jacques-Yves Cousteau sendiri meninggal akibat serangan
jantung pada tanggal 25 Juni 1997 di Paris pada usia 87 tahun. Ia
tidak dikubur secara Islami, tetapi secara Katolik Roma. Ia
dimakamkan di permakaman keluarga di Saint-André-de-Cubzac,
Perancis.[3]
Maka, jelas bahwa klaim kemualafan Cousteau tidak memiliki
landasan apapun dan bisa dikatakan sebagai sebuah hoax.
Dinding Pemisah
Pada entri sebelumnya, Studens Philosophiae sudah membantah
cocologi ayat di Al-Furqan dan Ar-Rahman dengan dinding laut
pemisah. Berikut adalah salinan ulang ulasannya:
https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-sn…/578687_1
Ada sebuah cocologi yang mencocok-cocokan ayat dalam Al-
Furqan 53 dan Ar-Rahman 19-20 dengan sebuah fenomena di
antara Sungai Nil dengan Laut Merah seperti yang tampak pada
gambar di atas. Ayat Al-Furqan berbunyi, “Dan Dialah (Allah) yang
membiarkan dua laut mengalir (berdampingan), yang satu tawar
dan segar dan yang lainnya asin. Dia jadikan antara keduanya
dinding dan batas yang tidak tembus”, sementara ayat Ar-Rahman
berbunyi “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya
kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak
dilampaui masing-masing.”
Sayangnya ada fakta sains yang akan meruntuhkan cocologi ini.
Foto di atas kalau dilihat secara superfisial memang seakan ada
pembatas sehingga kedua air (asin dan tawar) tidak bercampur ( ﻻ
ﻳﺒﻐﻴﺎﻥ ). Namun pada kenyataanya melalui penelitian, air laut yang
asin dan air sungai yang tawar itu bercampur dan daerah
pencampuran ini disebut ‘estuary’. Jika laut, salinitasnya 35,
sementara air tawar tingkat salinitasnya 0,5. Tapi di daerah
estuary itu selalu antara dua angka tersebut.[4] Selain itu, di foto
tersebut estuary sungai Nil tidak membentuk batasan yang
permanen dengan Laut Merah, tetapi hanya merupakan perbedaan
tingkat salinitas yang sementara dan air laut beserta garamnya
bercampur dengan air tawar yang mengalir dari Nil secara
perlahan-lahan. Ini jelas tidak sesuai dengan kedua ayat yang
menekankan ketidakbercampuran ( ﻻ ﻳﺒﻐﻴﺎﻥ ).
Simpulan
Klaim mengenai kemualafan Cousteau tampaknya hanyalah hoax
yang tidak jelas kebenarannya, dan organisasi resmi yang
didirikan Cousteau sudah menekankan bahkan pada saat Cousteau
masih hidup bahwa beliau tidak pernah menjadi mualaf.
Sementara itu, pencocok-cocokan ayat Al-Furqan dan Al-Rahman
dengan estuary patut ditolak karena di estuary manapun, baik di
laut Merah maupun di selat Gibraltar, tidak ada dinding batas yang
“tidak tembus” atau ‘tidak dilampaui” antara air tawar dan air asin,
tetapi yang ada adalah gradasi tingkat salinitas yang variatif.
Dengan begini kita bisa melihat Detik dan Republika lagi-lagi
kewalahan karena tidak menyeleksi dan memeriksa ulang dahulu
kebenaran konten beritanya. Demi kredibilitasnya, ada baiknya agar
kedua media membuat klarifikasi. Dan semoga kita semua juga
bisa menjadikan peristiwa ini sebagai pembelajaran agar menjadi
lebih kritis, skeptis, dan selektif dalam memilah informasi, apalagi
mengingat banyaknya ensiklopedia dan jurnal ilmiah yang bisa kita
akses dengan gratis untuk pemastian. Seperti kata Bung Karno,
“tidak semua yang ada di Internet itu benar, anak Indonesia harus
bisa memilih.” Dan jikalau Anda kritis, selektif, dan tidak sekadar
menelan informasi mentah-mentah, Anda akan tahu bahwa kutipan
barusan saya karang karena pada zaman Bung Karno belum ada
Internet. Tapi poinnya adalah, kritis itu sangat penting karena:
“Dengan meragukan, kita akan mencapai kebenaran” - Rene
Descartes
“If we are not able to ask skeptical questions, to interrogate those
who tell us that something is true, to be skeptical of those in
authority, then we’re up for grabs for the next charlatan, political
or religious, who comes ambling along.” - Carl Sagan

SUMBER KEDUA ; kOMPASIANA : 2 MEDIA BERITA ONLINE TERBUKTI HOAXX
SAYA cukup terkejut sekaligus kecewa, setelah di Minggu pagi buka internet, dikirimi artikel dari blog teman yang menguak kepalsuan data Republika dan Detik.com –dua buah media online ternama di Indonesia. Semua berawal dari dua situs berikut ini, Republika dan Detikcom yang sama-sama mengulas tentang ilmuwan fisika yang menjadi mualaf karena keilmuwannya. Sosok yang diberitakan sebagai ilmuwan mualaf itu adalah Demitri Bolykov, seorang ilmuwan asal Ukraina yang masuk Islam setelah melakukan sejumlah penelitian ilmiah. Bolykov, bersama rekan satu timnya Nicolai Kasinikov, melakukan percobaan tentang perputaran bumi pada porosnya, yang ujungnya menyimpulkan bahwa kutub magnet bisa berubah, dan bumi bisa berputar ke arah sebaliknya. Hal ini, sebagaimana tersirat dalam tulisan Detikcom, membenarkan ajaran kepercayaan Islam bahwa di hari kiamat matahari bisa terbit dari sebelah barat. Oke, saya tidak akan membahas dari segi benar-salahnya teori tersebut secara fisika. Saya juga tidak akan membahas soal benar-salahnya agama Islam. Saya tertarik pada kecerobohan redaktur Republikaonline dan Detikcom dalam mengangkat suatu issue, mengingat dua media tersebut adalah media cukup ternama di Indonesia, yang semestinya bisa jadi acuan informasi. Cerita Demitri Bolykov jadi mualaf tersebut, telah lama saya baca di sebuah blog di internet. Artinya, cerita tersebut memang bukan pertama kali muncul di Republikaonline maupun Detikcom. Sejak pertama kali membaca kisah tersebut, saya sudah menduga bahwa kisah tersebut cuma hoax internet yang menjadi viral. Banyak kok kisah mualaf palsu yang beredar di internet, salah satunya adalah kisah Jaques Cousteau masuk Islam yang tidak jelas sumber asalnya dari mana. Sampai akhir hayatnya, Cousteau adalah penganut Katolik dan dimakamkan secara Katolik. Tidak pernah ada pernyataan resmi atau sumber internet resmi yang bisa dijadikan acuan valid bahwa Cousteau telah masuk Islam. Demikian pula kisah Neil Armstrong yang juga dikabarkan masuk Islam setelah mendengar adzan di Bulan. Tokoh Fiktif Baik Cousteau maupun Armstrong, adalah tokoh prominent yang kita semua telah kenal. Keduanya bukan sosok fiktif. Mudah mencari profilnya di ­google. Yang fiktif hanya cerita masuk Islamnya. Lain halnya dengan Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov, keduanya tidak jelas siapa profilnya. Siapakah Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov? Jika anda search di google dengan kata kunci kedua tokoh tersebut, anda tidak akan menemukan apa-apa kecuali artikel hoax yang menyebut nama mereka. Jika ejaan nama kedua tokoh tersebut anda rubah sedikit, dengan asumsi barangkali Republika atau Detikcom keliru mengeja secara tepat nama tokoh tersebut, tetap saja anda tidak akan menemukan apa-apa yang relevan dengan fisika, kecuali cerita hoax tersebut. Jika Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov memang betul tokoh fisika, dengan karyanya yang diceritakan tersebut pasti merupakan sosok prominent di bidangnya, dan pasti tidak akan sulit mencari informasi dan profilnya via google. Bahkan, jika ejaan yang kita ketik salah pun, google akan secara otomatis mengkoreksinya. Dan pastinya, tidak akan sulit mengetahui bagaimana wajah tokoh-tokoh tersebut sehingga Republika dan Detikcom tidak sembarang menaruh foto orang lain yang diklaim sebagai Demitri Bolykov. Ini kesalahan kedua: Republikaonline dan Detikcom telah gegabah memasang foto orang lain sebagai “Demitri Bolykov”. Lucu sekali! Apakah kedua media mainstream tersebut profesional? Apakah mereka memahami etika jurnalistik? Siapakah profesor berwajah oriental yang dipajang sebagai Demitri Bolykov tersebut? Ternyata adalah Profesor Xinsheng Sean Ling dari Brown University! Bahkan dengan mudah kita bisa tahu email pribadinya: xsling@brown.edu 1345375194713845342 Perbandingan hasil search di google antara profil ilmuwan asli dan palsu. Silakan anda ketik nama Craig Venter atau Frans de Waal, atau bahkan Xinsheng Sean Ling, anda akan menemukan banyak sekali link berita, artikel, atau apapun tentang tokoh-tokoh tersebut. Craig Venter adalah ilmuwan yang berhasil menggubah bakteri sintetis tahun lalu. Sedangkan Frans de Waal adalah ahli primata dari Universitas Emory. Demitri Bolykov? Nicolai Kosinikov? Kisah hoax di internet bukanlah barang baru. Sejauh ini, saya telah membaca banyak sekali informasi dan extraordinary claims yang tidak jelas asal muasalnya. Namun yang menyedihkan, adalah ketika cerita-cerita hoax tersebut dimuat di media mainstream seperti Republikaonline dan Detikcom. Sejauh ini saya memandang Republikaonline cukup baik. Walaupun sajiannya cenderung bias ke arah Islam, saya pikir wajar asal masih berbasis fakta. Demikian juga Detikcom, yang walaupun dalam beberapa pemberitaan terkesan lebay, saya menilai masih dalam taraf kewajaran asalkan tetap berbasis fakta. Namun setelah membaca artikel berita di atas, sejujurnya saya mulai ragu terhadap kredibilitas dan kebenaran sajian media Republia dan Detikcom. Media massa boleh bertendensi miring ke kiri maupun ke kanan. Tapi sebaiknya tetaplah menjunjung tinggi etika mendasar dalam jurnalistik, yaitu hanya memberitakan fakta, dan memperhatikan betul aspek “sumber berita”. Saya membayangkan, bagaimana kalau berita di Republika dan Detik tersebut diupload di Kompasiana oleh Kompasianer, pasti bisa dilaporkan ke admin dan diberangus. Apalagi itu diupload oleh media ber-SIUPP sekelas Republika dan Detik. []

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wacomtablet/setelah-foto-palsu-rohingnya-kini-profil-mualaf-palsu-muncul-di-media-online-mainstream_551710b7a333111a06b65923
SAYA cukup terkejut sekaligus kecewa, setelah di Minggu pagi buka internet, dikirimi artikel dari blog teman yang menguak kepalsuan data Republika dan Detik.com –dua buah media online ternama di Indonesia. Semua berawal dari dua situs berikut ini, Republika dan Detikcom yang sama-sama mengulas tentang ilmuwan fisika yang menjadi mualaf karena keilmuwannya. Sosok yang diberitakan sebagai ilmuwan mualaf itu adalah Demitri Bolykov, seorang ilmuwan asal Ukraina yang masuk Islam setelah melakukan sejumlah penelitian ilmiah. Bolykov, bersama rekan satu timnya Nicolai Kasinikov, melakukan percobaan tentang perputaran bumi pada porosnya, yang ujungnya menyimpulkan bahwa kutub magnet bisa berubah, dan bumi bisa berputar ke arah sebaliknya. Hal ini, sebagaimana tersirat dalam tulisan Detikcom, membenarkan ajaran kepercayaan Islam bahwa di hari kiamat matahari bisa terbit dari sebelah barat. Oke, saya tidak akan membahas dari segi benar-salahnya teori tersebut secara fisika. Saya juga tidak akan membahas soal benar-salahnya agama Islam. Saya tertarik pada kecerobohan redaktur Republikaonline dan Detikcom dalam mengangkat suatu issue, mengingat dua media tersebut adalah media cukup ternama di Indonesia, yang semestinya bisa jadi acuan informasi. Cerita Demitri Bolykov jadi mualaf tersebut, telah lama saya baca di sebuah blog di internet. Artinya, cerita tersebut memang bukan pertama kali muncul di Republikaonline maupun Detikcom. Sejak pertama kali membaca kisah tersebut, saya sudah menduga bahwa kisah tersebut cuma hoax internet yang menjadi viral. Banyak kok kisah mualaf palsu yang beredar di internet, salah satunya adalah kisah Jaques Cousteau masuk Islam yang tidak jelas sumber asalnya dari mana. Sampai akhir hayatnya, Cousteau adalah penganut Katolik dan dimakamkan secara Katolik. Tidak pernah ada pernyataan resmi atau sumber internet resmi yang bisa dijadikan acuan valid bahwa Cousteau telah masuk Islam. Demikian pula kisah Neil Armstrong yang juga dikabarkan masuk Islam setelah mendengar adzan di Bulan. Tokoh Fiktif Baik Cousteau maupun Armstrong, adalah tokoh prominent yang kita semua telah kenal. Keduanya bukan sosok fiktif. Mudah mencari profilnya di ­google. Yang fiktif hanya cerita masuk Islamnya. Lain halnya dengan Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov, keduanya tidak jelas siapa profilnya. Siapakah Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov? Jika anda search di google dengan kata kunci kedua tokoh tersebut, anda tidak akan menemukan apa-apa kecuali artikel hoax yang menyebut nama mereka. Jika ejaan nama kedua tokoh tersebut anda rubah sedikit, dengan asumsi barangkali Republika atau Detikcom keliru mengeja secara tepat nama tokoh tersebut, tetap saja anda tidak akan menemukan apa-apa yang relevan dengan fisika, kecuali cerita hoax tersebut. Jika Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov memang betul tokoh fisika, dengan karyanya yang diceritakan tersebut pasti merupakan sosok prominent di bidangnya, dan pasti tidak akan sulit mencari informasi dan profilnya via google. Bahkan, jika ejaan yang kita ketik salah pun, google akan secara otomatis mengkoreksinya. Dan pastinya, tidak akan sulit mengetahui bagaimana wajah tokoh-tokoh tersebut sehingga Republika dan Detikcom tidak sembarang menaruh foto orang lain yang diklaim sebagai Demitri Bolykov. Ini kesalahan kedua: Republikaonline dan Detikcom telah gegabah memasang foto orang lain sebagai “Demitri Bolykov”. Lucu sekali! Apakah kedua media mainstream tersebut profesional? Apakah mereka memahami etika jurnalistik? Siapakah profesor berwajah oriental yang dipajang sebagai Demitri Bolykov tersebut? Ternyata adalah Profesor Xinsheng Sean Ling dari Brown University! Bahkan dengan mudah kita bisa tahu email pribadinya: xsling@brown.edu 1345375194713845342 Perbandingan hasil search di google antara profil ilmuwan asli dan palsu. Silakan anda ketik nama Craig Venter atau Frans de Waal, atau bahkan Xinsheng Sean Ling, anda akan menemukan banyak sekali link berita, artikel, atau apapun tentang tokoh-tokoh tersebut. Craig Venter adalah ilmuwan yang berhasil menggubah bakteri sintetis tahun lalu. Sedangkan Frans de Waal adalah ahli primata dari Universitas Emory. Demitri Bolykov? Nicolai Kosinikov? Kisah hoax di internet bukanlah barang baru. Sejauh ini, saya telah membaca banyak sekali informasi dan extraordinary claims yang tidak jelas asal muasalnya. Namun yang menyedihkan, adalah ketika cerita-cerita hoax tersebut dimuat di media mainstream seperti Republikaonline dan Detikcom. Sejauh ini saya memandang Republikaonline cukup baik. Walaupun sajiannya cenderung bias ke arah Islam, saya pikir wajar asal masih berbasis fakta. Demikian juga Detikcom, yang walaupun dalam beberapa pemberitaan terkesan lebay, saya menilai masih dalam taraf kewajaran asalkan tetap berbasis fakta. Namun setelah membaca artikel berita di atas, sejujurnya saya mulai ragu terhadap kredibilitas dan kebenaran sajian media Republia dan Detikcom. Media massa boleh bertendensi miring ke kiri maupun ke kanan. Tapi sebaiknya tetaplah menjunjung tinggi etika mendasar dalam jurnalistik, yaitu hanya memberitakan fakta, dan memperhatikan betul aspek “sumber berita”. Saya membayangkan, bagaimana kalau berita di Republika dan Detik tersebut diupload di Kompasiana oleh Kompasianer, pasti bisa dilaporkan ke admin dan diberangus. Apalagi itu diupload oleh media ber-SIUPP sekelas Republika dan Detik.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wacomtablet/setelah-foto-palsu-rohingnya-kini-profil-mualaf-palsu-muncul-di-media-online-mainstream_551710b7a333111a06b65923

SAYA cukup terkejut sekaligus kecewa, setelah di Minggu pagi buka internet, dikirimi artikel dari blog teman yang menguak kepalsuan data Republika dan Detik.com –dua buah media online ternama di Indonesia. Semua berawal dari dua situs berikut ini, Republika dan Detikcom yang sama-sama mengulas tentang ilmuwan fisika yang menjadi mualaf karena keilmuwannya. Sosok yang diberitakan sebagai ilmuwan mualaf itu adalah Demitri Bolykov, seorang ilmuwan asal Ukraina yang masuk Islam setelah melakukan sejumlah penelitian ilmiah. Bolykov, bersama rekan satu timnya Nicolai Kasinikov, melakukan percobaan tentang perputaran bumi pada porosnya, yang ujungnya menyimpulkan bahwa kutub magnet bisa berubah, dan bumi bisa berputar ke arah sebaliknya. Hal ini, sebagaimana tersirat dalam tulisan Detikcom, membenarkan ajaran kepercayaan Islam bahwa di hari kiamat matahari bisa terbit dari sebelah barat. Oke, saya tidak akan membahas dari segi benar-salahnya teori tersebut secara fisika. Saya juga tidak akan membahas soal benar-salahnya agama Islam. Saya tertarik pada kecerobohan redaktur Republikaonline dan Detikcom dalam mengangkat suatu issue, mengingat dua media tersebut adalah media cukup ternama di Indonesia, yang semestinya bisa jadi acuan informasi. Cerita Demitri Bolykov jadi mualaf tersebut, telah lama saya baca di sebuah blog di internet. Artinya, cerita tersebut memang bukan pertama kali muncul di Republikaonline maupun Detikcom. Sejak pertama kali membaca kisah tersebut, saya sudah menduga bahwa kisah tersebut cuma hoax internet yang menjadi viral. Banyak kok kisah mualaf palsu yang beredar di internet, salah satunya adalah kisah Jaques Cousteau masuk Islam yang tidak jelas sumber asalnya dari mana. Sampai akhir hayatnya, Cousteau adalah penganut Katolik dan dimakamkan secara Katolik. Tidak pernah ada pernyataan resmi atau sumber internet resmi yang bisa dijadikan acuan valid bahwa Cousteau telah masuk Islam. Demikian pula kisah Neil Armstrong yang juga dikabarkan masuk Islam setelah mendengar adzan di Bulan. Tokoh Fiktif Baik Cousteau maupun Armstrong, adalah tokoh prominent yang kita semua telah kenal. Keduanya bukan sosok fiktif. Mudah mencari profilnya di ­google. Yang fiktif hanya cerita masuk Islamnya. Lain halnya dengan Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov, keduanya tidak jelas siapa profilnya. Siapakah Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov? Jika anda search di google dengan kata kunci kedua tokoh tersebut, anda tidak akan menemukan apa-apa kecuali artikel hoax yang menyebut nama mereka. Jika ejaan nama kedua tokoh tersebut anda rubah sedikit, dengan asumsi barangkali Republika atau Detikcom keliru mengeja secara tepat nama tokoh tersebut, tetap saja anda tidak akan menemukan apa-apa yang relevan dengan fisika, kecuali cerita hoax tersebut. Jika Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov memang betul tokoh fisika, dengan karyanya yang diceritakan tersebut pasti merupakan sosok prominent di bidangnya, dan pasti tidak akan sulit mencari informasi dan profilnya via google. Bahkan, jika ejaan yang kita ketik salah pun, google akan secara otomatis mengkoreksinya. Dan pastinya, tidak akan sulit mengetahui bagaimana wajah tokoh-tokoh tersebut sehingga Republika dan Detikcom tidak sembarang menaruh foto orang lain yang diklaim sebagai Demitri Bolykov. Ini kesalahan kedua: Republikaonline dan Detikcom telah gegabah memasang foto orang lain sebagai “Demitri Bolykov”. Lucu sekali! Apakah kedua media mainstream tersebut profesional? Apakah mereka memahami etika jurnalistik? Siapakah profesor berwajah oriental yang dipajang sebagai Demitri Bolykov tersebut? Ternyata adalah Profesor Xinsheng Sean Ling dari Brown University! Bahkan dengan mudah kita bisa tahu email pribadinya: xsling@brown.edu 1345375194713845342 Perbandingan hasil search di google antara profil ilmuwan asli dan palsu. Silakan anda ketik nama Craig Venter atau Frans de Waal, atau bahkan Xinsheng Sean Ling, anda akan menemukan banyak sekali link berita, artikel, atau apapun tentang tokoh-tokoh tersebut. Craig Venter adalah ilmuwan yang berhasil menggubah bakteri sintetis tahun lalu. Sedangkan Frans de Waal adalah ahli primata dari Universitas Emory. Demitri Bolykov? Nicolai Kosinikov? Kisah hoax di internet bukanlah barang baru. Sejauh ini, saya telah membaca banyak sekali informasi dan extraordinary claims yang tidak jelas asal muasalnya. Namun yang menyedihkan, adalah ketika cerita-cerita hoax tersebut dimuat di media mainstream seperti Republikaonline dan Detikcom. Sejauh ini saya memandang Republikaonline cukup baik. Walaupun sajiannya cenderung bias ke arah Islam, saya pikir wajar asal masih berbasis fakta. Demikian juga Detikcom, yang walaupun dalam beberapa pemberitaan terkesan lebay, saya menilai masih dalam taraf kewajaran asalkan tetap berbasis fakta. Namun setelah membaca artikel berita di atas, sejujurnya saya mulai ragu terhadap kredibilitas dan kebenaran sajian media Republia dan Detikcom. Media massa boleh bertendensi miring ke kiri maupun ke kanan. Tapi sebaiknya tetaplah menjunjung tinggi etika mendasar dalam jurnalistik, yaitu hanya memberitakan fakta, dan memperhatikan betul aspek “sumber berita”. Saya membayangkan, bagaimana kalau berita di Republika dan Detik tersebut diupload di Kompasiana oleh Kompasianer, pasti bisa dilaporkan ke admin dan diberangus. Apalagi itu diupload oleh media ber-SIUPP sekelas Republika dan Detik.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wacomtablet/setelah-foto-palsu-rohingnya-kini-profil-mualaf-palsu-muncul-di-media-online-mainstream_551710b7a333111a06b65923
PILIHAN Setelah Foto Palsu Rohingnya, Kini Profil Mualaf Palsu Muncul di Media Online Mainstream 19 Agustus 2012 07:41:08 Diperbarui: 25 Juni 2015 01:32:51 Dibaca : 16,498 Komentar : 37 Nilai : 13 Setelah Foto Palsu Rohingnya, Kini Profil Mualaf Palsu Muncul di Media Online Mainstream SAYA cukup terkejut sekaligus kecewa, setelah di Minggu pagi buka internet, dikirimi artikel dari blog teman yang menguak kepalsuan data Republika dan Detik.com –dua buah media online ternama di Indonesia. Semua berawal dari dua situs berikut ini, Republika dan Detikcom yang sama-sama mengulas tentang ilmuwan fisika yang menjadi mualaf karena keilmuwannya. Sosok yang diberitakan sebagai ilmuwan mualaf itu adalah Demitri Bolykov, seorang ilmuwan asal Ukraina yang masuk Islam setelah melakukan sejumlah penelitian ilmiah. Bolykov, bersama rekan satu timnya Nicolai Kasinikov, melakukan percobaan tentang perputaran bumi pada porosnya, yang ujungnya menyimpulkan bahwa kutub magnet bisa berubah, dan bumi bisa berputar ke arah sebaliknya. Hal ini, sebagaimana tersirat dalam tulisan Detikcom, membenarkan ajaran kepercayaan Islam bahwa di hari kiamat matahari bisa terbit dari sebelah barat. Oke, saya tidak akan membahas dari segi benar-salahnya teori tersebut secara fisika. Saya juga tidak akan membahas soal benar-salahnya agama Islam. Saya tertarik pada kecerobohan redaktur Republikaonline dan Detikcom dalam mengangkat suatu issue, mengingat dua media tersebut adalah media cukup ternama di Indonesia, yang semestinya bisa jadi acuan informasi. Cerita Demitri Bolykov jadi mualaf tersebut, telah lama saya baca di sebuah blog di internet. Artinya, cerita tersebut memang bukan pertama kali muncul di Republikaonline maupun Detikcom. Sejak pertama kali membaca kisah tersebut, saya sudah menduga bahwa kisah tersebut cuma hoax internet yang menjadi viral. Banyak kok kisah mualaf palsu yang beredar di internet, salah satunya adalah kisah Jaques Cousteau masuk Islam yang tidak jelas sumber asalnya dari mana. Sampai akhir hayatnya, Cousteau adalah penganut Katolik dan dimakamkan secara Katolik. Tidak pernah ada pernyataan resmi atau sumber internet resmi yang bisa dijadikan acuan valid bahwa Cousteau telah masuk Islam. Demikian pula kisah Neil Armstrong yang juga dikabarkan masuk Islam setelah mendengar adzan di Bulan. Tokoh Fiktif Baik Cousteau maupun Armstrong, adalah tokoh prominent yang kita semua telah kenal. Keduanya bukan sosok fiktif. Mudah mencari profilnya di ­google. Yang fiktif hanya cerita masuk Islamnya. Lain halnya dengan Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov, keduanya tidak jelas siapa profilnya. Siapakah Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov? Jika anda search di google dengan kata kunci kedua tokoh tersebut, anda tidak akan menemukan apa-apa kecuali artikel hoax yang menyebut nama mereka. Jika ejaan nama kedua tokoh tersebut anda rubah sedikit, dengan asumsi barangkali Republika atau Detikcom keliru mengeja secara tepat nama tokoh tersebut, tetap saja anda tidak akan menemukan apa-apa yang relevan dengan fisika, kecuali cerita hoax tersebut. Jika Demitri Bolykov dan Nicolai Kosinikov memang betul tokoh fisika, dengan karyanya yang diceritakan tersebut pasti merupakan sosok prominent di bidangnya, dan pasti tidak akan sulit mencari informasi dan profilnya via google. Bahkan, jika ejaan yang kita ketik salah pun, google akan secara otomatis mengkoreksinya. Dan pastinya, tidak akan sulit mengetahui bagaimana wajah tokoh-tokoh tersebut sehingga Republika dan Detikcom tidak sembarang menaruh foto orang lain yang diklaim sebagai Demitri Bolykov. Ini kesalahan kedua: Republikaonline dan Detikcom telah gegabah memasang foto orang lain sebagai “Demitri Bolykov”. Lucu sekali! Apakah kedua media mainstream tersebut profesional? Apakah mereka memahami etika jurnalistik? Siapakah profesor berwajah oriental yang dipajang sebagai Demitri Bolykov tersebut? Ternyata adalah Profesor Xinsheng Sean Ling dari Brown University! Bahkan dengan mudah kita bisa tahu email pribadinya: xsling@brown.edu 1345375194713845342 Perbandingan hasil search di google antara profil ilmuwan asli dan palsu. Silakan anda ketik nama Craig Venter atau Frans de Waal, atau bahkan Xinsheng Sean Ling, anda akan menemukan banyak sekali link berita, artikel, atau apapun tentang tokoh-tokoh tersebut. Craig Venter adalah ilmuwan yang berhasil menggubah bakteri sintetis tahun lalu. Sedangkan Frans de Waal adalah ahli primata dari Universitas Emory. Demitri Bolykov? Nicolai Kosinikov? Kisah hoax di internet bukanlah barang baru. Sejauh ini, saya telah membaca banyak sekali informasi dan extraordinary claims yang tidak jelas asal muasalnya. Namun yang menyedihkan, adalah ketika cerita-cerita hoax tersebut dimuat di media mainstream seperti Republikaonline dan Detikcom. Sejauh ini saya memandang Republikaonline cukup baik. Walaupun sajiannya cenderung bias ke arah Islam, saya pikir wajar asal masih berbasis fakta. Demikian juga Detikcom, yang walaupun dalam beberapa pemberitaan terkesan lebay, saya menilai masih dalam taraf kewajaran asalkan tetap berbasis fakta. Namun setelah membaca artikel berita di atas, sejujurnya saya mulai ragu terhadap kredibilitas dan kebenaran sajian media Republia dan Detikcom. Media massa boleh bertendensi miring ke kiri maupun ke kanan. Tapi sebaiknya tetaplah menjunjung tinggi etika mendasar dalam jurnalistik, yaitu hanya memberitakan fakta, dan memperhatikan betul aspek “sumber berita”. Saya membayangkan, bagaimana kalau berita di Republika dan Detik tersebut diupload di Kompasiana oleh Kompasianer, pasti bisa dilaporkan ke admin dan diberangus. Apalagi itu diupload oleh media ber-SIUPP sekelas Republika dan Detik.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/wacomtablet/setelah-foto-palsu-rohingnya-kini-profil-mualaf-palsu-muncul-di-media-online-mainstream_551710b7a333111a06b65923
SOLI DEO GLORIA 
www.alfa-ome.ga

Cari artikel Blog Ini

copy right