Sabtu, 02 April 2016

Robeknya Intoleransi akibat ulah FPI menyebabkan Jogja Menangis

 manusia-akar

Sri Sultan Hamengkubuwana ke-X menyambut baik para pendatang ingin ke Jogja, sejauh mereka menghargai nilai-nilai dan tradisi Jogja. Masyarakat diaspora itu telah menganggap Sultan sebagai bapak. Karenanya, Jogja pun dikenal sebagai City of Tolerance. Tetapi kenapa Jogja menangis..?
Jogjakarta, Jogja, telah lama dikenal sebagai
Indonesia mini. Suku bangsa dari Sabang sampai Marauke ada di Jogja dan menjadi bagian dari masyarakat Jogja. Di Jogja, mereka bekerja, belajar bahkan ada yang sudah tinggal menetap. Hidup masyarakat ini sangat damai dan saling menghargai satu sama lain.
Namun, kini City of Tolerance sudah mulai terkena “bom” intolerance. Bom itu mulai terjadi ketika kelompok atas nama nilai-nilai agama tertentu membongkar paksa patung Manusia Akar di Titik Nol Jogja. Patung itu merupakan karya seni kontemporer yang menambah citra estetis kawasan budaya dan pariwisata itu. Kini patung itu telah dicabut dan menyisahkan rasa kesal dan marah sebagian besar masyarakat yang mencintai Jogja. Hal itu dimulai dari Titik Nol, Jogja.

Titik Nol

Satu tempat yang paling dikenal di Jogja adalah Titik Nol. Tempat ini sering dikunjungi oleh setiap orang yang pernah datang ke Jogja. Warga Jogja pun sering berkumpul di tempat ini untuk menikmati suasana malam kota yang indah dan damai. Memang, di Titik Nol, kota Jogja sangat indah.
Letak Titik Nol berada di daerah sekitar perempatan di ujung selatan jalan Malioboro. Para era tahun 1970-an hingga 1980-an tepat di tengah perempatan itu terdapat air mancur kota. Di situlah letak Titik Nol.
Di kawasan Titik Nol ini, terdapat bangunan-bangunan bersejarah. Di antaranya adalah Benteng Vredeburg, Monumen Serangan Umum 1 Maret, pasar Bringharjo, Istana Kepresidenan Gedung Agung, Kantor Pos, Stadsklok, Kantor Arusansi Nill Maastschappij dan de Javasche Bank (sekarang gedung BNI), dan Kantor de Indische Bank (sekarang kantor perwakilan Bank Indonesia). Bangunan-bangunan ini merupakan saksi bisu horison sejarah Jogjakarta.
Saat ini, kawasan Titik Nol ini telah menjadi pusat kawasan bisnis pariwisata dan budaya Jogja.
Sebutan Titik Nol berkenaan dengan makna filosofis. Emha Ainun Najib mencoba  memaknai Titik Nol ini dengan nama awal jalan dimana Titik Nol itu berada, yakni jalan Margo Mulyo. Bahwa, “jika telah melakukan keutamaan hidup dan menyebarkannya, manusia akan mencapai kemuliaan” (tempo.co, 13/04/2012). Boleh jadi, nol berarti kekosongan (sunya), kemuliaan, dimana manusia lepas bebas dari keterikatan duniawi.
Dalam budaya timur, khususnya Hindu India, angka nol merupakan angka yang mistik. Angka nol berarti kekosongan. Kosong berarti semadi, yoga, kedamaian, ketenangan dan keheningan. Dengan kondisi ini, setiap orang dapat menilai dan merefleksikan hidupnya. Setiap orang yang ingin melihat setinggi apa pencapaian hidupnya, ia harus memposisikan dirinya di Titik Nol ini (bdk. Gde Aryantha Soethama, 2010). Karena itulah, kawasan ini sering dijadikan tempat berkumpul, bercerita, hening et cetera bagi warga Jogja yang ingin menemukan keseimbangan di tengah penatnya rutinitas.
Bagi masyarakat Jogja, Titik Nol juga menunjukan garis imaginer matematis yang menghubungan sumbu-sumbu simbolik dalam mistisisme Jawa. Titik Nol dalam titik pertemuan antara garis imaginer Gunung Merapi (sebalah Utara kota Jogja), Keraton Yogyakarata dan Pantai Selatan. Titik Nol pun menjadi simbol keramat yang penting dijaga keberadaanya oleh semua orang yang mencintai Jogja.

Zero Tolerance

Di tengah kecintaan banyak orang akan Jogja yang damai, kelompok tertentu justru datang merusaknya. Kelompok ini merusak citra Jogja tepat di jantung kota Jogja, Titik Nol.
Di Titik Nol, dengan alasan dogma agama, ormas Front Pembela Islam (FPI) memaksa pembongkaran patung artistik Manusia Akar yang telah lama berada di Titik Nol. Ormas ini terus menerus menteror kepala UPT Malioboro, Syarif Teguh, untuk melenyapkan patung Manusia Akar itu.

(Patung Manusia Akar, Alfred Tuname)
Patung Manusia Akar sebenarnya sebuah ungkapan dan teguran kepada manusia untuk sadar dan mencintai lingkungan. Patung ini berwarna kemerahan, berkaki manusia dan bertubuh akar yang meranggas di antara kaki berotot itu. Karya kreatif seniman-seniman Jogja pada Event Bienalle Jogja 2011 ini pun diberi nama “Tropic Effect”. Karena, manusia di iklim tropis ini sudah terlalu kebablasan merusak lingkungan dan hutan, seakan manusialah yang paling perkasa di bumi ini.
Tetapi, di mata FPI patung ini adalah simbol kemusrikan. Dengan alasan porno dan cabul, mereka mendesak dan mencabut patung ini. Bagi FPI, tidak ada muatan estetik pada karya seni patung “Tropic Effect” itu. Patung itu sudah lama berada di Titik Nol, tetapi baru akhir-akhir ini mereka mendesak untuk dibongkar. Ironisnya, mereka justru melakukan itu dengan cara menteror. Jika patung itu musrik, bukankan seharusnya mereka mengajukan keberatan itu sejak pemasangannya dan dengan cara yang humanis demokratis? Ada yang aneh di sini.
Terlepas dari situ, sikap FPI ini sudah keterlaluan. Dengan alasan dogma, FPI tidak memiliki sikap toleransi sama sekali. Islam yang kita kenal adalah Islam yang damai; Islam yang rahmatan lil’ alamin. Islam menghargai satu sama lain. Toleransi Islam dibangun di atas alasan-alasan menghormati kebebasan berpendapat dan berkeyakinan (hurriyyah alra’yi wa al-i’tiqad) dan komitmen untuk hidup berdampingan secara damai (ta’ayusy/coexistence) (Irwan Masduqi, 2011). Islam yang toleran, termasuk menghargai karya seni. Tetapi islam “aliran” FPI ini sesungguhnya telah menistai agama Islam itu sendiri. FPI mengaburkan nilai-nilai islami yang agung.
Rekam jejak FPI di negeri ini sudah sering merusak nilai toleransi bangsa Indonesia. FPI terlalu konsisten dengan sikap tidak toleran itu (consistency of intolerance). Tentu, masyarakat Jogja pun sangat tersinggung dengan consistency of intolerance of FPI ini. Citra Jogja sebagai City of Tolerance telah dicoreng oleh FPI. Parahnya, itu terjadi di sumbu keramat kota Jogja, Titik Nol. Zero tolerance di Titik Nol Jogja.
Sebagai infantri agama, FPI seharusnya mengusung pesan-pesan damai. Tidak pantas FPI merusak humanitas agama dengan perbuatan-perbuatan yang merusak. Ada cara yang lebih dialogis dan humanis jika ingin menyuarakan ketidaksetujuan atas aktivitas pun karya tertentu. Biarlah aparatus negara yang melakukan “kekerasan” atas nama negara, jika memang aktivitas pun karya melukai semangat kebersamaan. FPI tidak bisa melakukan tindakan sewenang-wenang.
Zero tolerance di Titik Nol Jogja sudah menunjukkan betapa biadab dan sewenang-wenangnya FPI terhadap kemanusiaan. Mereka sejatinya telah menistakan nilai-nilai agama dan merusak kebersamaan. Negara harus mengambil sikap tegas atas kelompok ini. Tidak boleh ada toleransi terhadap intoleransi. Jangan sampai ada “negara” di dalam negara yang berhak menggunakan kekerasan dan teror. Pemerintah harus tegas terhadap kelompok-kelompok yang tidak toleran ini, sebab hanya dengan itulah Pancasila tetap kokoh. Atas nama demokrasi, negera pun harus adil.

12 Februari 2014
Alfred Tuname
http://www.weeklyline.net/humaniora/20140213/jogja-menangis-sebab-fpi-merobek-jantung-toleransi.html



SOLI DEO GLORIA 
www.alfa-ome.ga

Cari artikel Blog Ini

copy right