TIGA hal yang sering
-atau tepatnya sengaja- dirancukan oleh kelompok Islam fundamentalis itu
adalah: 1. Kebebasan berbicara 2. Penistaan agama dan 3. Kritik
terhadap agama.
Tulisan di bawah ini, secara khusus memang menyoroti tingkah-polah
kelompok Islam fundamentalis berdasarkan berbagai peristiwa yang tengah
hangat belakangan. Namun maksud luasnya adalah menyoroti fanatisme
terhadap ideologi pada umumnya, yang bisa terjadi pada umat beragama
manapun.
Secara “normatif”, kelompok Islam fundamentalis tampak mendukung
kebebasan berbicara sebagai bagian dari hak azasi yang dijamin oleh
undang-undang. Buktinya mereka memanfaatkan norma kebebasan berbicara
untuk berdakwah serta menyuarakan opini ketidaksetujuan terhadap
rival-rival ideologis mereka. Tetapi ketika bertemu dengan opini kritis
terhadap umat Islam, atau -yang ini lebih sensitif- teologi Islam,
mereka akan membiaskan kasus tersebut ke arah “penistaan agama”. Dan,
ketika tuduhannya ” penistaan agama”, mereka merasa berhak untuk
membungkam, mengintimidasi atau menuntut si pelaku kritik ke ranah
hukum.
Curangnya, standar ini sepertinya tidak berlaku untuk diri mereka
sendiri. Mereka tampak begitu bebas berbicara, bahkan mengkritik atau
menyinggung agama lain. Sebagai contoh, kita bisa lihat betapa banyak
buku-buku Islam yang dijual di toko buku umum yang jelas-jelas
mengkritik agama Kristen. Tetapi sebaliknya, adakah buku-buku Kristen
atau agama lain yang secara keras mengkritik teologi Islam dijual bebas
di toko-toko buku umum? Kalau tidak bisa dikatakan tidak ada, jarang
sekali. Kalaupun ada, itu tidak dijual di toko buku umum dan biasanya
untuk kalangan sendiri. Dari sini saja sebenarnya sudah kelihatan
permasalahannya: Kecurangan arus informasi. Kelompok mayoritas (baca:
Islam) tampak bebas dan leluasa melakukan propaganda. Sementara kelompok
yang berseberangan dengan Islam, dibatasi.
Apa sebenarnya yang dimaksud “penistaan terhadap agama?” Terutama dalam
konteks Indonesia, ini sesuatu yang dapat dengan mudah dibiaskan, karena
tidak ada ukuran dan batasan yang jelas dengan yang disebut “kebebasan
berpendapat” (DUHAM pasal 19). Misalkan, ada seorang penulis buku yang
mengatakan “Muhammad bukan nabi”. Apakah pernyataan tersebut termasuk
penistaan agama, atau bagian dari kebebasan berpendapat? Kalau
pernyataan itu dianggap penistaan terhadap agama, apakah itu berarti
semua orang “dipaksa” untuk mengakui kenabian Muhammad, sehingga sangat
dilarang untuk mengatakan sebaliknya? Mengikuti alur logika demikian,
bagaimana dengan Alquran yang mengatakan bahwa Isa Almasih bukan tuhan,
apakah Alquran telah melakukan penistaan terhadap teologi Kristen?
Ada contoh kasus. Pada tahun 2003, MUI melarang peredaran salah satu
edisi Majalah Newsweek. Alasannya, Majalah Newsweek pada edisi tersebut,
menampilkan artikel yang mengangkat tesisnya Christoph Luxenberg,
seorang ahli filologi, yang mengatakan bahwa Alquran pada mulanya
ditulis dalam bahasa Aramaik, bukan Arab. Yang lucu, MUI menuduh Majalah
Newsweek dan Christoph Luxenberg melakukan “penistaan agama”. Di sini,
kita bisa melihat kesewenangan kelompok agamawan konservatif yang
direpresentasikan oleh MUI. Mereka bisa mencap sebuah tesis ilmiah
sebagai “penistaan agama” hanya karena tesis tersebut menyatakan sesuatu
yang bertentangan dengan keyakinan arus utama.
Jadi, apa itu “penistaan agama?” Apakah opini kritis terhadap agama,
atau pandangan terhadap agama yang bertentangan dengan arus utama
terkategori sebagai “penistaan agama?”
Tampaknya, berbagai cara digunakan oleh kelompok konservatif agama untuk
membungkam apapun opini kritis terhadap agama. Agama bagaikan “barang
pecah belah” yang mudah rusak, sehingga harus dijaga supremasinya
setengah mati.
Selain membiaskan masalah “kebebasan berpendapat” menjadi “penistaan
agama”, pembungkaman terhadap opini kritis atas agama juga dilakukan
dengan mengatakan si pelontar kritik keliru dalam memahami agama yang
dikritiknya. Sehingga dengan demikian, ada alasan untuk membungkam opini
kritisnya. Kemungkinan keliru ini tidak perlu disanggah, karena manusia
pada dasarnya bisa saja keliru. Tetapi, kekeliruan dalam memahami objek
kritik sama sekali bukan alasan untuk melakukan pembungkaman terhadap
kritisisme atas agama.
Setiap orang bisa saja mengatakan bahwa Ibukota Jawa Barat adalah
Semarang. Tentu saja pernyataan tersebut keliru. Tapi kelirunya
pernyataan tersebut, bukan alasan untuk mengkriminalisasikan si pembuat
pernyataan. Hal yang paling cerdas adalah memberi koreksi atas
pernyataan tersebut.
****
BEBERAPA waktu lalu, sebuah acara peluncuran dan diskusi buku karya
penulis Irshad Manji, dibubarkan ormas Islam. Alasan mereka klise, penuh
prasangka dan terkesan serampangan: Buku yang dibahas tersebut berisi
kesesatan dan tuduhan “kampanye lesbianisme”. Tuduhan tersebut jelas
sepihak, penuh prasangka dan sangat mudah dibantah. Pertama, “sesat”
itu, dalam konteks ini, bersifat relatif. Kedua, “kampanye lesbianisme”
adalah tuduhan yang mengada-ada. Sejak kapan lesbian menjadi
isme?Lesbian adalah perilaku atau kondisi seseorang yang terkait dengan
orientasi seksualnya. Sedangkan isme merupakan “susunan ide” yang
membentuk sebuah “pandangan dunia”. Jadi, “lesbian” bukan semacam
ideologi yang bisa dianut.
Kemudian, coba dipikirkan: Apa yang salah dengan Irshad Manji? Bahwa dia
kritis terhadap Islam, ya. Lantas, salahkah Irshad Manji kritis
terhadap Islam? Seharusnya tidak. Toh banyak pemuka Islam kritis
terhadap agama lain, dan mereka tampak bebas saja mengemukakan
pendapatnya.
Okelah, kita terima saja pendapat yang mengatakan bahwa pemahaman Irshad
Manji terhadap Islam itu dangkal dan distortif. Tetapi, apakah kondisi
yang demikian itu membuat Irshad atau seseorang manapun kehilangan
haknya berpendapat? Seharusnya tidak. “Hak berpendapat” dengan “kualitas
pendapat” itu adalah dua hal yang berbeda.
Jika dipikir-pikir, bukankah banyak juga pemuka Islam yang mengkritik
agama lain baik melalui buku maupun ceramah, secara simplistis, dangkal
dan distortif, biasanya dengan metoda “cherry picking”, sekedar untuk
menggiring opini jemaahnya ke arah yang diinginkannya? Sudah tidak
terhitung. Curangnya, kalau itu dilakukan oleh pemuka Islam terhadap
agama lain, publik relatif menerima dan dianggap “dakwah”. Tetapi kalau
sebaliknya, ada pemuka agama lain melakukan itu terhadap Islam, publik
meradang. Pasti tuduhannya “penistaan agama”, “fitnah”, dan sebagainya.
Ambil contoh, “mantan biarawati” Irena Handono. Coba lihat, bagaimana
dia menjelek-jelekkan kekristenan dan gereja. Umat Muslim biasanya
senang dengar yang begitu dan kasih applause tanpa mikir, apakah
“informasi” yang disampaikan “mantan biarawati” itu benar, atau sudah
didistorsikan untuk kepentingan propaganda? Nah, yang menarik, bagaimana
jika terjadi sebaliknya:Ada murtadin yang vokal terhadap Islam, ceramah
dan kasih kesaksian di mana-mana bahwa Islam itu begini dan begitu, dan
seterusnya. Wah, pasti forum semacam itu akan memicu emosi ormas-ormas
Islam.
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/wacomtablet/opini-kritis-terhadap-agama-penistaan-atau-kebebasan-berpendapat_54f3782b745513a02b6c771b
A hal yang sering -atau
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/wacomtablet/opini-kritis-terhadap-agama-penistaan-atau-kebebasan-berpendapat_54f3782b745513a0
inilah bukti bahwa agama islam hanyalah tradisi dan hasil dari khayalan seorang yang terganggu jiwanya, tak perlu banyak pertimbangan tuk berpikir lagi apakah agama islam ini benar, karna banyak
kebohongan di dalam nya.
antara lain :
1)
KIBLAT
Arah Kiblat ke Kaabah, menunjukkan bahwa